Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unifah Rosyidi
"Kecamatan merupakan struktur tertua dalam struktur pemerintahan subnasional. Sebelum lahir Undang-Undang (UU) Desentralisasi Tahun 1903, Belanda hanya membangun struktur pemerintahan subnasional menurut asas dekonsentrasi dengan kecamatan (onderdistrict) selaku struktur terbawah yang terus dipertahankan hingga jaman kemerdekaan. UU No. 5/1974 menentukan kecamatan tetap sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi yang dipimpin oleh camat sebagau Kepala Wilayah. Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengubah secara drastik struktur dan status kecamatan sebagai wilayah kerja Camat selaku perangkat daerah otonom kabupaten/kota. Perubahan drastik tersebut dipandang sebagai reformasi administrasi subnasional sehingga berbagai perubahan yang terjadi, konflik yang diakibatkan oleh reformasi tersebut, dan solusi pemerintah subnasional menarik dikaji.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatiif, unit analisis adalah kecamatan di kota Bogor. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, studi dokumentasi, wawancara mendalam, pengamatan dan diskusu terfokus. Key informan bersifat snow ball. Analisis dilakukan pada pemerintah Kota Boogor dan kecamatan. Data dianalisis melalui tahapan pengumpulan data mentah, transkip, koding, penyimpulan sementara, trianggulasi, dan kesimpulan akhir.
Temuan pada pemerintahan subnasional adalah: Pertama, struktur orga nisasi perangkat daera )OPD) cukup ramping, tetapi dengan dibentuknya 26 UPTD menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Pembentukan UPTD sarat konflik kepentingan elit lokal, dan dalam hal tertentu menjadi sumber konflik antar lembaga. Kedua, Pelimpahan wewenang dari walikota kepada camat merupakan aspek positif tetapi belum didukung oleh pelimpahan personil, peralatan dan pem biayaan (3P), yang memadai. Ketiga, Kewenangan yang diterima dipandang aparat kecamatan sebagai kewenangan setengah hari, dan kurang memberikan nilai ekonomis pada kecamatan.
Temuan pada tingkat kecamatan: Pertama, struktur kecamatan lebih ramping, lebih fleksibel dengan sistem, prosedur dan tata kerja pelayanan mengalami perbaikan, tidak berbelit-belit, dan lebih transparan tetapi disiplin dan kecepatan kerja masih rendah. Kecamatan memiliki anggaran berbasis kinerja tetapi sangat terbatas apalagi dengan dilikuidasinya cabang dinas membuat urusan kecamatan semakin banyak dengan kewenangan terbatas. Kepemimpinan Camat sangat strategis, ke atas menyampaikan aspirasi masyarakat ke bawah melaksanakan misi pembangunan. Camat harus dapat berperan ga da sebagai pemimpin masyarakat dan manager kantor kecamatan. Kedua, Perubahan struktur belum diikuti dengan perubahan kinerja individu secara signifikan. Kualifikasi pendidikan aparat masih rendah, tidak memiliki ketrampilan teknis memadai, dan training hampir tidak ada. Budaya kerja meningkat ke arah positif tetapi masih bersifat paternalistik. Cara pandang aparat mengalami perubahan, lebih melayani, lebih ramah, dan lebih bertanggung jawab tetapi penggunaan waktu belum efektif, kurang responsif dna kaku (rule driven).
Konflik yang teramati terjadi pada level individu, lembaga dan dengan masyarakat. Konflik individu sering terjadi pada Camat yang kekuasaannya berkurang signifikan, sehingga secara alamiah kurang responsif terhadap perubahan. Konflik antar lembaga terjadi karena adanya konlik kepentingan, ketidak jelasan dan tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, sikap curiga, dan koordinasi yang tidak berjalan baik. Konlik dengan masarkat disebabkan karena menguatnya posisi tawar masyarakat sebagai dampak dari berkembangnya demokrasi dan kesadaran terhadao HAM. Masarakat cenderung menjadi kelompok penekan (pressure groups).
Pemerintah subnasional dan kecamatan menyelesaikan konflik dengan musyawarah dialog, kesepakatan dan koinsesnsus untuk menciptakan situasi sama-sama menang atau sama-sama tidak dirugikan. Selanjutnya, sedang dikaji kewenangan lai yang akan didelegasikan pada kecamatan dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu, keberadaan UPTD juga akan dikaji karena cenderung memperpanjang birokrasi dan tidak efisien. Walikota memberikan diskresi kepada camat untuk menyelesaikan permaslahan secara otonom. Lebih jauh konflik diselesaika berdasarkan kasus per kasus. Belum ditemukan grand design dalam penyelesaian konflik dengan menggali akar permasalahan yang sesungguhnya.
Berdasarkan analisis hasil penelitian, keberadaan kecamatan masih sangat dibutuhkan sebagai pusat pelayanan yang paling dekat dengan masyarakt. Kecamatan perlu lebih diberikan kewenangan riil, diskresi dan dukungan personil, fasilitas dan dana yang memadai. Di atas semuanya adalah political will, komitmen dan konsistensi pemerintah subnasional dalam menjadikan kecamatan sebagai lini terdepan pelayanan. Implikasi teoritik penelitian ini adalah pengembangan model=model pelayanan kecamatan apakah sebagi single atau multi ouroose agency yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Sub-distnct (kecamatan) is the oldest structure in sub-national/local govemment structure. Before Law of Decentralization in 1903 issued, Dutch only developed the structure in line with deconcentration principle in which sub-district (onderailstricb remained the lowest structure till the independence. Law No. 5/1974 determined that sub-district was still as an administrative region in the context of deconcentration, led by Camat as head of the sub-district. The introduction of Law No. 22/1999 and Law No. 32/2004 as the bases of transforming centralistic system to decentralistic one with the implication of shifting sub-district structure from administrative region to the working area of Camat; and the status of Camat as central apparatus to be the local apparatus. The drastic change is considered as a sub-national administrative reform so that any changes occurred, conflicts as the result of the reform, and the solution of sub-national govemment are interesting to study.
This study used qualitative method with sub-districts in Bogor municipality as the analysis unit. Data was collected by observation technique, document studv, intensive interview, observation, and focused discussion. Key informants were snow ball. The analysis was conducted at the government of Bogor Municipality and sub-districts. Data was analyzed through collecting raw data, transcribing, coding, interim concluding, triangulating, and final concluding.
Findings at sub-national government are: Firstly, local instrument body (LIB) is slim enough, however, the establishment of 26 UPTDs (local technical service unit) makes LIB ineffective and inefficient. The establishment of 26 UPTDs is full conflict of interest of local elites, and, in any cases, becomes the source of conflict among bodies and agencies. Secondly, the delegation of authority from the Mayor to Camat is a positive aspect, but has not been supported yet by the appropriate delegation ofpersonnel, facilities, and budge. Thirdly, the accepted authority is considered by the sub-district apparatus as the half hearted, and gives less economic value for the sub-district.
Findings at sub-district level: Hrslin the sub-district structure is simpler, more flexible where the system and procedure of services have changed. The services are not complicated and more transparent, whereas the discipline and the working velocity are still low. Sub-district has very limited performance-based budget. Moreover, by the liquidation of sub-agency (cabang dinas), it makes sub-district get more and more duties with the restricted authority. The role of Camat is very strategic-delivering the community?s aspiration to the local govemment and conducting the development mission to the community- thus require Camat to function as a community leader and a sub-district manager. Secandig the structure change has not been followed significantly by the change of individual perfonnance. The education qualification of apparatus is still low. They dont have enough technical skills, and hardly take part of in trainings. Working culture improves positively, although it is soil paternalistrc. The apparatus? point of view changes as well. They are more helpful, friendlier and more responsible, but they still spend the times ineffectively, less responsive and rule driven.
The observed conflicts occurred in the individual, institutional and community levels. The individual conflict happened frequently to Camat whose authority decreases significantly so that he/she becomes, naturally, less responsive toward any changes. Conflicts between institutions occurred due to the conflict of interest, me ambiguous and overlapping duties and responsibilities, the skeptical atdtude, and the bad running cardination. Conliict with the community is caused by the better bargaining sition of the community- as the consequences of the development of democracy and gf time awaren s of human rights. The community tends to be the pressure groups.
Sub-national govemment and sub-district make conliict resolution through discussion, dialog, agreement, and consensus rn order to create the win-win solution. Concerning me auighgfiry, the local government is going to review the other authorities given to me sob district with any parties. Besides, the existence of UPTDS is also going to be Fewiewed doe to the fact that UPTDS tend to lengthen bureaucracy and be inefficient. The Mayor gives Camat discretion to solve the problems autonomously. Above all, the local government has not yet developed grand design to resolve the conflict and to make the sub district become a service center.
Based on the result of the study, the existence of sub-district as the closest service centre to the community is still needed in the future. Sub-district also needs more real authority, discretion and the support of personnel, facility and budget. The most important thing is that the local government has good political will, commitment, and consistency to develop sub-district. The theoretical implication of this study is the development of sub-district service models whether it is as a single or as a multi purpose agency. Those models are interested to study further."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D728
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library