Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neysa Calista
"Tujuan: Mendapatkan data nilai insiden postoperative cognitive disorders (POCD) pascaCABG dan menilai perbandingan penurunan fungsi kognitif pasca-CABG dengan mini mental state examination (MMSE) dan Montreal cognitive assessment versi Indonesian (MoCA-Ina). Tujuan tambahan penelitian ini untuk membandingkan lama waktu pemeriksaan MMSE dan MoCA-Ina, mengetahui korelasi antara MMSE dan MoCA-Ina, dan mengetahui hubungan antara karakteristik subjek dengan POCD pasca-CABG.
Metode: Desain pre dan post-test pada sebelum CABG, tiga hari pasca-CABG, dan satu bulan pasca-CABG. Penelitian dilakukan pada 40 subjek yang didapat secara konsekutif, berusia ≥ 40 tahun dan memenuhi kriteria penelitian. Penilaian fungsi kognitif dengan formulir MMSE dan MoCA-Ina. Data demografis dan klinis pasien dikumpulkan dan dicatat.
Hasil: Seluruh subjek mengalami penurunan rerata score MMSE dan MoCA-Ina pada sebelum CABG dibandingkan tiga hari pasca-CABG. Terdapat 10 subjek (25%) dengan MMSE, dan 16 subjek (40%) dengan MoCA-Ina yang tergolong POCD pada 3 hari pascaCABG. Seluruh subjek mengalami peningkatan nilai MMSE dan MoCA-Ina pada satu bulan pasca-CABG dibandingkan tiga hari pasca-CABG. Sebanyak 7 subjek (17,5%) dengan MMSE dan 9 subjek (22,5%) dengan MoCA-Ina tergolong POCD pada 1 bulan pascaCABG. Lama waktu pemeriksaan MMSE lebih singkat hampir dua kali lipat dibandingkan MoCA-Ina (p<0,0001). Terdapat korelasi kuat antara MMSE dengan MoCA-Ina (r=0,79 p<0,0001). Untuk hubungan antara karakteristik subjek, didapatkan korelasi kuat antara lama waktu CPB dengan POCD (r=0,869 p=0,040), korelasi sedang antara usia dengan POCD (r=0,58 p=0,047) pada 3 hari pasca-CABG, korelasi lemah antara tingkat pendidikan (r=0,36 p=0,228) dan lama operasi (r=0,36 p=0,022) terhadap POCD, dan korelasi sangat lemah antara jenis kelamin (r=0,10 p=0,52) dan status pekerjaan (r=0,07 p=0,64) terhadap POCD.
Kesimpulan: Terdapat penurunan fungsi kognitif tiga hari pasca-CABG, yang mengalami perbaikan pada satu bulan pasca-CABG. MoCA-Ina dapat mendeteksi penurunan fungsi kognitif dengan proporsi yang lebih besar dibandingkan MMSE pada subjek pasca-CABG.

Objective: To determine the incidence of postoperative cognitive disorders (POCD) postCABG and assess the comparative decline after CABG using the Mini Mental State Examination (MMSE) and Montreal Cognitive assessment Indonesia version (MoCA-Ina). Secondary purpose are comparing the length of time between MMSE and MoCA-Ina, determining the correlation between MMSE and MoCA-Ina, and also determining the relationship between the characteristics of subjects with POCD post-CABG.
Methods: A pre and post-test on before CABG, 3 days after CABG, and one month afterCABG study. The study was conducted on 40 respondents who obtained consecutively, aged ≥40 years and met the study criteria. Assessment of cognitive functional form using MMSE and MoCA-Ina. Patint demographic and clinical data were collected and recorded.
Results: All subjects experienced decrease in score of MMSE and MoCA-Ina on before CABG than three days post-CABG. There were 10 subjects (25%) using MMSE and 16 subjects (40%) using MoCA-Ina to POCD. All subjects had an increase score both MMSE and MoCA-Ina in one month post-CABG compared to three days post-CABG. There were 7 subjects (17.5%) by MMSE and 9 subjects (22.5%) by MoCA-Ina classified as POCD. The length of time were shorter using MMSE for almost doubled compared to MoCA-Ina (p<0.0001). There was a strong correlation (r=0.76, p<0.0001) between the MMSE with MoCA-Ina. For the correlations between subject characteristics, there was a strong correlation between CPB time to POCD (r=0,869 p=0,040), moderate correlation between the age to POCD (r=0,58 p=0,047) at 3 days post-CABG, a weak correlation between education status (r=0,36 p=0,228) and operation time (r=0,36 p=0,022) to POCD, and very weak correlation between gender (r=0,10 p=0,52) and employment status (r=0,07 p=0,64) to POCD.
Conclusion : There is a decline in cognitive function between three days after CABG, which improves in one month after CABG. MoCA-Ina can detect cognitive dysfunction in a greater proportion compared to MMSE in post - CABG subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Rohim
"Tesis ini menganalisa hubungan antara penggunaan suatu perangkat lunak terhadap kepatuhan pekerja untuk melakukan jeda kerja saat bekerja dengan komputer dalam rangka mencegah repetitive strain injury. Penelitian menggunakan desain cohort pada dua kelompok subyek dengan masing-masing sebanyak 26 subyek penelitian dengan menggunakan data primer dari log-timer dan pengamatan visual. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna penggunaan perangkat lunak terhadap kepatuhan melakukan jeda kerja dengan kemungkinan kepatuhan 10 kali lebih baik dibandingkan dengan tidak menggunakan perangkat lunak (RR=10 p<0,001 dan 95%CI=2,967-38,500). Serta tidak adanya hubungan bermakna antara faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, indeks massa tubuh serta masa kerja dengan kepatuhan melakukan jeda kerja saat bekerja menggunakan komputer. Pada penelitian ini diperoleh informasi bahwa ada sembilan orang subyek yang patuh melakukan jeda kerja akan tetapi tetap melakukan aktivitas pengetikan menggunakan perangkat lain selain komputernya seperti telepon genggam atau komputer jinjing saat jeda kerja, serta ada 16 orang subyek yang tidak patuh melakukan jeda kerja tetapi melakukan aktivitas peregangan atau diam saat jeda kerja. Hasil penelitian menyarankan agar perusahaan melakukan suatu upaya untuk dapat mengingatkan pekerja agar dapat patuh melakukan jeda kerja saat bekerja menggunakan komputer.

The research is to analyze the effect of using a software to worker’s compliance in computer work break to prevent repetitive strain injury. It was cohort design on two groups with 26 respondens each by using primary data from log-timer and visual assesment. The results showed significant relation between the using of software and worker’s compliance to computer work break with 10 times compliance compared with group without software (RR=10 p<0,001 and 95%CI=2,967-38,500). And there was a non-significant relation between age, sex, education, body mass index and years of service towards worker’s compliance for computer work break. This research showed that nine respondens that is comply to have workbreak but still have typing activities using other gadgets such as handphone or laptop during workbreak, and there was 16 respondens that is not comply to have workbreak but doing stretching during workbreak. This Research suggests that company had something to remind workers to have a regular computer work break."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Setiono
"Tujuan: Menilai manfaat edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien cedera medulla spinalis (CMS) di RSUP Fatmawati terhadap pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah.
Metode: Desain studi eksperimental. Subyek 22 orang pasien paraplegi karena CMS dengan gangguan berkemih neurogenik yang dirawat pertama kali di RSUP Fatmawati. Subyek diberikan program edukasi yang terdiri dari 7 topik selama rentang 3 minggu. Dilakukan penilaian pengetahuan dan kemampuan masalah dengan menggunakan kuesioner pada awal penelitian, pasca pemberian edukasi, dan 3 bulan pasca edukasi. Selain itu dilakukan penilaian kepentingan topik edukasi menurut subyek dengan skala Likert.
Hasil: 22 subyek menyelesaikan penilaian awal dan pasca edukasi, namun hanya 18 orang yang dapat dihubungi saat follow up 3 bulan. Terdapat peningkatan pengetahuan yang bermakna antara awal dan pasca edukasi (p=0,033), pasca edukasi dan follow up (p=0,047). Terdapat peningkatan yang bermakna pada kemampuan menyelesaikan masalah antara awal dan pasca edukasi (p=0,000), tidak terdapat perubahan bermakna antara pasca edukasi dan follow up (p=0,157). Seluruh topik edukasi yang diberikan dianggap penting oleh subyek.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah setelah pemberian edukasi, dan terdapat retensi sampai dengan 3 bulan pasca edukasi. Pemberian program edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien CMS penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah, serta mencegah komplikasi urologis.

Objective : To evaluate the effect of educational program in neurogenic bladder for spinal cord injury patient at Fatmawati General Hospital in improving knowledge and problem solving skill.
Methods : This is a experimental study. Twenty two paraplegic SCI patients with neurogenic bladder in Fatmawati hospital was included in this study. The subjects was given educational program which consist of 7 topics in 3 weeks period. Questionnaire for evaluating knowledge and problem solving skill was given at the beginning of the study, after completion of education program, and 3 months after education. A likert scale-based questionnaire also given at the end of education to assess patient?s perception of importance regarding the education topics.
Results : All subjects finished the initial and post education assessment, but only 18 subjects finished follow up evaluation. There was significant difference in knowledge between initial and post education assessment (p=0.033) and between post education and follow up (p=0.047). There was significant improvement in problem solving skill between initial and post education assessment (p=0.000) and no significant difference between post education and follow up (p=0.157). All topics given perceived as important by all the subjects.
Conclusion : There is a significant improvement in knowledge and problem solving skill after educational program, and there is retention up to 3 months after education. Educational program in neurogenic bladder for patients with SCI during hospital stay is important in improving patient?s knowledge and problem solving skill also for prevention of urological complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mathilda Albertina
"ABSTRAK
Pada usia lanjut terjadi gangguan keseimbangan yang dapat menyebabkan jatuh. Oleh karena itu, diperlukan intervensi latihan. Latihan berbasis kelompok lebih disukai oleh usia lanjut namun sayangnya latihan keseimbangan berbasis kelompok belum tersedia di Indonesia. Senam osteoporosis yang dibentuk oleh PEROSI mungkin dapat memperbaiki keseimbangan oleh karena memiliki komponen latihan keseimbangan dan penguatan. Penelitian ini bertujuan menilai efek senam osteoporosis terhadap keseimbangan pada usia lanjut. Performa keseimbangan dinilai dengan pemeriksaan Timed Up and Go(TUG) dan Berg Balance Scale (BBS). Senam osteoporosis dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 8 minggu. Terdapat 22 subjek yang menyelesaikan penelitian. Nilai TUG sebelum intervensi adalah 14,25 (9,82-31,25) detik, sesudah intervensi adalah 15,11±2,76 detik (p=0,380). Nilai BBS sebelum intervensi adalah 51,5 (18-56) dan sesudah intervensi adalah 50,77±3,3 (p=0,174). Secara statistik, tidak didapatkan perbedaan bermakna baik pada TUG maupun BBS sebelum dan setelah senam osteoporosis selama 8 minggu. Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi latihan lain yang berfokus pada keseimbangan untuk mengurangi risiko jatuh pada usia lanjut.

ABSTRACT
lderly usually have balance problem that can cause fall. Therefore, exercise intervention is needed. Community-based exercise is preferred by the elder. Unfortunately, there is no community-based balance exercise in Indonesia. Senam Osteoporosis by PEROSI probably can improve balance since it have balance exercise and strengthening component. This study aimed to know the effects Senam Osteoporosis to balance in elderly. Balance performance was evaluated with Timed Up and Go (TUG) and Berg Balance Scale (BBS). Senam Osteoporosis was done 3 times/week for 8 weeks. There were 22 subject that finish this study. TUG before was 14,25 (9,82-31,25) seconds, after intervention was 15,11±2,76 seconds (p=0,380). BBS score before was 51,5 (18-56), after intervention was 50,77±3,3 (p=0,174). Statistically, there were no difference of TUG and BBS before and after Senam Osteoporosis for 8 weeks. Therefore, other exercise intervention that focused on balance is needed to reduce risk of fall in elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59193
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Leo
"Disfungsi ereksi pada laki-laki sering ditemukan dan berdampak pada penurunan kualitas hidup. Benign prostate hyperplasia (BPH) dengan lower urinary tract symptoms merupakan salah satu komorbid terjadinya disfungsi ereksi dimana terdapat kesamaan jalur patofisiologi pada keduanya. Kontraksi dari otot-otot bulbokavernosus dan isciokavernosus sebagai bagian dari otot dasar panggul akan menginisiasi dan mempertahankan ereksi sehingga latihan penguatan otot-otot tersebut akan membantu rigiditas ereksi penis. Studi laporan kasus berbasis bukti ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan klinis yaitu bagaimana efektivitas pemberian latihan penguatan otot-otot dasar panggul terhadap fungsi ereksi pada pasien BPH. Pencarian literatur dilakukan pada database elektronik yaitu Cochrane, PubMed, Scopus, Science direct, Oxford Academic dan Sage Journal dengan kata kunci sesuai dengan pertanyaan klinis. Hasil pencarian didapatkan sebuah studi kajian sistematik setelah dilakukan penapisan terhadap kriteria eligibilitas, adanya duplikasi dan penilaian seluruh isi naskah pada 142 artikel. Kajian sistematik tersebut menunjukkan latihan penguatan otot-otot dasar panggul memberikan respon komplit perbaikan fungsi ereksi pada 35-47% subjek, peningkatan domain ereksi pada International Index of Erectile Function (p<0,05) dan peningkatan tekanan intrakavernosa serta maximal anal pressure. Kesimpulan penelitian adalah latihan penguatan otot-otot dasar panggul dilakukan dengan kontraksi cepat (1 detik) dan kontraksi lambat (tahan 6-10 detik) dengan frekuensi 9-30 repetisi, 2-3 kali per hari selama 3-12 bulan yang dilakukan pada posisi berbaring, duduk dan berdiri, latihan tersebut dapat diberikan sebagai program latihan di rumah dan perlu dilakukan identifikasi dan pengendalian faktor-faktor komorbid disfungsi ereksi lainnya.

Erectile dysfunction (ED) often found in men and has an impact on reducing the quality of life. Benign prostate hyperplasia (BPH) with lower urinary tract symptoms is one of the comorbid which share the similar pathophysiology with ED. Contraction of the bulbocavernosus and ischiocavernosus muscles as part of the pelvic floor muscles (PFM) will initiate and maintain an erection so strengthening for these muscles will help stiffen the penis. This evidence-based case report study was conducted to answer the clinical question, how effective is giving PFM training on erectile function in BPH patients. Literature search was carried out on electronic databases, namely Cochrane, PubMed, Scopus, Science direct, Oxford Academic and Sage Journal with the keywords according to the clinical question. A systematic review study was obtained after screening from the eligibility criteria, duplication and assessment of the entire contents of the manuscript in 142 articles acquired. The study showed that PFM training improve erectile function in 35-47% of subjects, increased erectile domain in International Index of Erectile Function (p<0.05) and increased intracavernous pressure and maximal anal pressure. The conclusions are PFM training are carried out by fast and slow contractions with 9-30 repetitions, 2-3 times per day for 3-12 months which are carried out in lying, sitting and standing positions, these exercises can be given as a home exercise program and it is necessary to identify and control other comorbid factors of ED."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lucya Putri Juwita
"Gangguan berkemih menyebabkan penurunan kualitas hidup dan mortalitas pasien pasca cedera medula spinalis. Sensasi penuh kandung kemih berperan penting dalam tatalaksana berkemih pasca cedera medula spinalis. Metode clean intermittent catheterization (CIC) berdasarkan sensasi dapat menghindari kateterisasi yang tidak perlu, berkemih terlalu dini atau overdistensi kandung kemih. Urodinamik sebagai baku emas evaluasi sensasi penuh kandung kemih tidak selalu dapat diakses oleh semua pasien dan fasilitas kesehatan. Skor sensori T10-L2 dan S2-S4/5 berdasarkan pemeriksaan International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury (ISNCSCI) diperkirakan dapat memprediksi sensasi penuh kandung kemih. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi hubungan antara skor sensori T10-L2 dan S2-S4/5 terhadap sensasi penuh pada kandung kemih. Penelitian dilaksanakan di RSUP Fatmawati dengan desain kohort retrospektif menggunakan rekam medis, dari April 2020 hingga Februari 2021 dengan total subjek 32 orang, dimana 26 orang tidak memiliki sensasi dan 6 orang memiliki sensasi penuh kandung kemih. Analisis statistik menggunakan rumus perbedaan 2 rerata tidak berpasangan, berbeda signifikan bila p < 0,05. Skor sensori T10-L2 antara kelompok subjek yang tidak memiliki sensasi penuh dengan kelompok subjek yang memiliki sensasi penuh memiliki perbedaan yang signifikan (p=0.008). Skor sensori S2-S4/5 tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok subjek (P = 0,494). Terdapat hubungan bermakna dimana semakin tinggi skor sensori T10-L2 maka semakin besar kemungkinan pasien pasca cedera medula spinalis merasakan sensasi penuh kandung kemih. Penelitian ini juga mendapatkan nilai skor 30 sebagai titik potong skor sensori T10-L2 dalam memprediksi sensasi penuh kandung kemih. Hasil temuan ini dapat menjadi acuan perencanaan program manajemen berkemih menggunakan CIC berdasarkan sensasi, terutama di fasilitas kesehatan tanpa sarana urodinamik.

Bladder dysfunction causes low quality of life and mortality of patients after spinal cord injury. The sensation of bladder fullness is important in bladder management. The sensation-based clean intermittent catheterization (CIC) method can avoid unnecessary catheterization, premature voiding, or bladder overdistention. Urodynamic is the gold standard for bladder fullness evaluation, but it is not always accessible to all patients and health facilities. Sensory scores T10-L2 and S2-S4/5 based on the International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury (ISNCSCI) are estimated to predict the sensation of bladder fullness. This study aimed to identify the association between sensory scores T10-L2 and S2-S4/5 with the sensation of bladder fullness. This study was conducted at Fatmawati Hospital with a retrospective cohort design using medical records, from April 2020 to February 2021, the total subjects are 32 people, of which 26 people had no sensation and 6 people had full bladder sensation. Analyzed statistically by the difference of 2 unpaired means (significantly different if p < 0.05). Sensory scores of T10-L2 between the subjects without sensation and the subjects with the sensation of bladder fullness had a significant difference (p=0.008). Sensory scores of S2-S4/5 were not significantly different between the two groups (P = 0.494). There was a significant association which is the higher the sensory scores of T10-L2, the patient is more likely to feel the sensation of a bladder fullness after spinal cord injury. This study also found that 30 was the cut-off point of the total T10-L2 sensory scores for predicting the sensation of bladder fullness. These findings can be used as a reference for planning a bladder management using the sensation-based CIC, especially in health facilities without urodynamic"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Sugiyono
"Latar belakang: Nyeri leher merupakan salah satu keluhan muskuloskeletal tersering menduduki urutan ke 2 setelah nyeri punggung bawah dalam menyebabkan disabilitas, kehilangan produktivitas dalam pekerjaan dan rekurensi. Nyeri leher berhubungan dengan berbagai hendaya dan disabilitas mulai dari nyeri, kekakuan, gangguan keseimbangan, kognitif dan gangguan emosi serta mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan berpengaruh pada kualitas hidup. Pengukuran disabilitas akibat nyeri leher menggunakan self-reported questionnaire yang sahih dan andal menjadi komponen penting dalam evaluasi dan pemantauan nyeri, disabilitas dan keadaan psikososial pada pasien nyeri leher. Tujuan studi ini adalah untuk menilai kesahihan dan keandalan Neck Disability Index (NDI) untuk mengukur disabilitas pasien nyeri leher di Indonesia. Metode: Kuesioner NDI orisinil dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan metode adaptasi transkultural dari Mapi Research Trust ke bahasa Indonesia melalui proses forward translation, backward translation, cognitive debriefing dan proofreading. Kuesioner NDI bahasa Indonesia yang telah disetujui oleh peneliti dan pengelola kuesioner dinilai kesahihan dan keandalannya dengan diuji pada 50 pasien nyeri leher di Poliklinik Rehabilitasi Medik RS Cipto Mangunkusumo. Kesahihan konstruksi dinilai dengan menggunakan korelasi antar item terhadap skor total. Keandalan dinilai dengan konsistensi internal berdasarkan Cronbach alpha dan keandalan test-retest yang dinilai dalam jangka waktu 2-3 jam dengan kuesioner kedua yang telah dirandomisasi.
Hasil: Subjek penelitian berada pada rentang usia 45.3±14.7 tahun dengan 74% merupakan perempuan. Kesahihan konstruksi dari kuesioner didapatkan korelasi sedang – kuat dengan koefisien korelasi 0.416-0.761. Konsistensi internal didapatkan baik dengan Cronbach 0.839. Keandalan test-retest didapatkan baik dengan intraclass correlation sebesar 0.92 (95% CI 0.86-0.955).
Kesimpulan: Kuesioner Neck Disability Index bahasa Indonesia merupakan kuesioner yang sahih dan andal dalam penilaian disabilitas pada pasien nyeri leher.

Background: Neck pain is one of the most common musculoskeletal complaint and ranks second after low back pain. It causes disability, loss of productivity at work and recurrence. Neck pain is associated with various disabilities ranging from pain, stiffness, balance disorders, cognitive and emotional disorders and affects daily activities and quality of life. Measurement of disability due to pain using self-reported questionnaires that is valid and reliable becomes an important component in the evaluation and monitoring of pain, disability and psychosocial conditions in neck pain patients. The aim of this study was to assess the validity and reliability of Neck Disability Index (NDI) to measure disability in neck pain patients in Indonesia.
Method: The original English NDI questionnaire was translated using the transcultural adaptation method from Mapi Research Trust into Indonesian through the process of forward translation, backward translation, cognitive debriefing and proofreading. The Indonesian NDI questionnaire which was approved by the NDI developer was assessed for validity and reliability by being tested on 50 neck pain patients at the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. The construct validity was assessed using the item-total correlation. Reliability was assessed by internal consistency based on Cronbach alpha and test-retest reliability which was assessed within a period of 2-3 hours with a second randomized questionnaire.
Results: The research subjects were in the age range of 45.3±14.7 years with 74% being women. The validity of the construction of the questionnaire obtained a moderate - strong correlation with a correlation coefficient of 0.416-0.761. Internal consistency was good with Cronbach 0.839. Test-retest reliability was good with an intraclass correlation of 0.92 (95% CI 0.86-0.955).
Conclusion: The Indonesian Neck Disability Index questionnaire is a valid and reliable questionnaire in assessing disability in neck pain patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Irdayani
"Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh Low-Level Laser Therapy (LLLT) yang dikombinasikan dengan penggunaan bidai pergelangan tangan metacarpophalangeal (MCP) nol derajat dan tendon and nerve gliding exercise (TNGE) terhadap profil klinis penderita Carpal Tunnel Syndrome tingkat ringan dan sedang (derajat I-III dengan pemeriksaan elektrodiagnostik). Penelitian menggunakan desain uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal pada 18 subjek. Total subjek penelitian yang menyelesaikan penelitian sebanyak 15 orang dengan 21 tangan. Semua subjek dari kedua kelompok diberikan program latihan TNGE dan bidai pergelangan tangan yang digunakan pada malam hari. Kelompok perlakuan mendapat terapi LLLT dilakukan 3 kali seminggu, total 12 kali sesi terapi menggunakan LLLT GaAs panjang gelombang 905 nm, mean output 25 mW, 8J/cm2 per titik pada 3 titik di pergelangan tangan. Hasil keluaran penelitian ini berupa Visual Analog Scale (VAS), Symptom Severity Scale (SSS) dan Functional Severity Scale (FSS) pada minggu 4, minggu 6 dan minggu 8. Pemeriksaan elektrodiagnostik setelah terapi dilakukan pada minggu 6 hingga minggu 8. Kedua kelompok menunjukkan penurunan yang bermakna pada nilai VAS, SSS dan FSS dibandingkan nilai awal. Tidak terdapat perbedaan bermakna antar kelompok. Hasil nilai distal latensi sensorik, distal latensi motorik dan kecepatan hantar saraf tidak terdapat perbedaan bermakna baik dalam kelompok maupun antar kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan terapi LLLT kombinasi dengan TNGE dan bidai tidak memberikan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan TNGE dan bidai dalam jangka pendek. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan waktu evaluasi yang lebih panjang (> 8 minggu) agar dapat terlihat pengaruh LLLT terhadap profil klinis penderita CTS tingkat ringan dan sedang.

This thesis is structured to determine the effect of Low-Level Laser Therapy (LLLT) combined with tendon and nerve gliding exercise (TNGE) and use of wrist splints on the clinical profile of patients with mild and moderate Carpal Tunnel Syndrome (grade I-III). This study used a single-blind randomized controlled trial in 18 subjects. Subjects who completed the study were 15 people with 21 hands. All subjects from both groups were given the TNGE training program and night wrist splints. The treatment group received LLLT therapy done 3 times a week, a total of 12 therapy sessions using LLLT GaAs wavelength 905 nm, mean output of 25 mW, 8J / cm2 per point at 3 points on the wrist. Outcome of this study were Visual Analog Scale (VAS), Symptom Severity Scale (SSS) and Functional Severity Scale (FSS) questionnaire at week 4, week 6 and week 8. Electrodiagnostics examination after treatment was carried out from week 6 to week 8. Both groups showed significant decreases in VAS, SSS and FSS values compared to baseline values. There were no significant differences between groups. The results of the value of distal sensory latency, distal motor latency and nerve conduction velocity were not significant differences either in groups or between groups. The results showed that the use of LLLT combine with TNGE and splint had no better effect than TNGE and splint in the short term. Further research is needed with a larger number of samples and a longer evaluation time (> 8 weeks) to see the effect of LLLT on the clinical profile ofpatients with mild and moderate CTS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Marina
"ABSTRAK Depresi merupakan masalah psikologis yang paling sering ditemukan pada pasien cedera medulla spinalis (CMS). Kualitas hidup merupakan tujuan utama rehabilitasi. Depresi merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada pasien CMS. Desain penelitian ini adalah studi potong lintang dengan pengambilan sampel secara consecutive dengan subjek sejumlah 67 orang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien cedera medulla spinalis AIS A-D. Seluruh subjek diminta untuk melakukan pengisian kuesioner Beck Depression Inventory dan WHOQOL-BREF versi Bahasa Indonesia. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada pasien CMS (p<0,001). Semakin tinggi tingkat depresi maka kualitas hidup pasien akan semakin rendah (p<0,001). Terdapat korelasi antara nilai SCIM dengan kualitas hidup (p<0.001), terutama pada subskala manajemen pernapasan dan sfingter (p<0.001) serta mobilitas ruangan dan toilet (p<0.001). Terdapat hubungan antara tingkat depresi dan kualitas hidup pada pasien CMS. Selain itu, kapasitas fungsional juga mempengaruhi kualitas hidup pada pasien CMS. 

ABSTRACT
Depression is the most common psychological problems in spinal cord injury (SCI) patients. Quality of life is the main goal of rehabilitation. Depression has known to have correlations with quality of life. The purpose of this study is to evaluate association between the level of depression and quality of life in SCI patients. Cross sectional study was applied in this study with 67 subjects in total collected by consecutive sampling technique. Patients who experienced SCI with AIS A-D were included in this study. All of subjects were asked to fill out Beck Depression Inventory questionnaire and WHOQOL-BREF Indonesian version. In this study, we found that there was an association between level of depression and quality of life in SCI patients (p<0.001). Patient with higher level of depression had lower quality of life (p<0,001). Also, there is correlation between SCIM and quality of life (p<0.001), especially in respiration and sphincter management and mobility in room and toilet (p<0,001). There was an association between level of depression and quality of life in SCI patients. Functional capacity had influence on quality of life in SCI patients. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library