Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dara Ninggar Santoso
"Latar belakang. Purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan vaskulitis sistemik yang paling umum ditemukan pada anak. Diagnosis PHS ditegakkan berdasarkan temuan klinis purpura/ptekiae yang palpable, ditambah minimal salah satu dari nyeri abdomen akut difus, artritis/artralgia akut, keterlibatan ginjal atau bukti histopatologi vaskulitis leukositoklastik atau deposisi IgA. Penyakit ini umumnya bersifat swasirna dan memiliki prognosis baik. Namun, rekurensi dapat terjadi, terutama pada kurun waktu 1-2 tahun setelah episode pertama, dan dihubungkan dengan peningkatan risiko komplikasi seperti penyakit ginjal kronik. Saat ini, belum diketahui data mengenai angka rekurensi PHS di Indonesia dan prediktornya.
Tujuan. Mengetahui insidens rekurensi dan prediktor rekurensi pada pasien PHS anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif melalui penelusuran rekam medis yang diikuti selama 6 bulan pada anak usia 1 bulan sampai <18 tahun yang terdiagnosis PHS sesuai kriteria EULAR/PRES/PRINTO tahun 2008, selama periode waktu 7 tahun di RSCM. Prediktor yang dinilai terdiri dari usia, jenis kelamin, riwayat atopi, manifestasi ginjal saat episode PHS pertama, durasi pemberian kortikosteroid saat episode PHS pertama, dan riwayat infeksi setelah episode pertama teratasi.
Hasil. Sebanyak 116 subjek dengan PHS usia 2-17 tahun diinklusi dalam penelitian ini dengan rerata usia 9 tahun. Selama pemantauan, PHS rekuren didapatkan pada 26 (22,4%) subjek, dan mayoritas (57,6%) rekurensi terjadi dalam rentang waktu >3-6 bulan setelah episode pertama teratasi. Melalui analisis multivariat, riwayat infeksi setelah episode PHS pertama merupakan prediktor terjadinya rekurensi PHS yang secara statistik bermakna (HR 11,301 (IK 95% 4,327-29,519), p <0,001). Penyakit ginjal kronik (PGK) terjadi pada 10 (38,4%) subjek yang mengalami rekurensi. Melalui analisis kesintasan Kaplan-Meier, didapatkan 51% subjek yang mengalami riwayat infeksi terbebas dari PHS rekurenselama rerata waktu 5,3 bulan (IK 95% 4,76-5,99, dan p < 0,0001).
Kesimpulan. Rekurensi PHS pada anak di RSCM didapatkan 22,4% dengan insidens rekurensi 3,56 per 100.000 orang/tahun. Riwayat infeksi setelah episode PHS pertama merupakan prediktor terjadinya rekurensi pada anak dengan PHS. Komplikasi PGK didapatkan pada  22 subjek (19%).

Background. Henoch-Schonlein purpura (HSP) is the most common systemic vasculitis in children. The diagnosis of HSP is based on clinical findings of palpable purpura/ptekiae, and minimum one of acute diffused abdominal pain, acute arthritis/arthralgias, renal manifestation, or histopathology evidence of IgA deposition. It is usually a self-limiting disease with good prognosis. However, recurrence may occur in children, especially within 1-2 years after the first episode of HSP resolved, and it is associated with poorer prognosis, i.e. higher risk of progressing to chronic kidney disease (CKD) as long term complication. In Indonesia, the recurrence rate of HSP and its predictors in children have not been established.
Objectives. To estimate the incidence of recurrent HSP and determine its predictors in children with HSP at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM).
Methods. This is a retrospective cohort from medical records reviews following 1 month-old to <18 year-old children with HSP at RSCM for 6 months. The diagnosis of HSP is based on the EULAR/PRESS/PRINTO 2008 criteria. There are six predictors being evaluated in this study: age; sex; history of atopy; duration of corticosteroid therapy; and history of infection after the first episode of HSP resolved. 
Results. A total of 116 participants age 2-17 year-old with HSP were included in this study with median age of 9 (6-13) year-old. Out of 116 subjects, recurrent HSP occur in 26 (22,4%) subjects, with most cases (57,6%) occured within >3-6 months after the first episode had resolved. Multivariate analysis shows that history of infection after the first episode of HSP is the only statistically significant predictor (HR 11.301 ((95% CI 4.327-29.519), p <0,001). Chronic kidney disease is found in 10 (38,4%) subjects with recurrent HSP. Kaplan-Meier survival analysis shows 51% subjects with history of infection after the first episode of HSP resolved were free of HSP for 5,3 months ((95% CI 4,76-5,99) p < 0,0001).
Conclusion. The recurrence rate is 22,4% in children with HSP at RSCM. The recurrence incidence is 3,56 per 100.000 person/years.  History of infection after the first episode of HSP resolved is the statistically significant predictor for recurrence of HSP. Chronic kidney disease occurs as long-term complication of HSP in 22 participants (19%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tisa Paramita Sari Dyaningsih
"Latar belakang. Internet Gaming Disorder (IGD) pada remaja memiliki faktor risiko internal dan eksternal. IGD pada remaja menyebabkan berbagai dampak negatif baik gangguan emosi perilaku, kesulitan dalam sosial/masyarakat, serta rendahnya prestasi akademis. Prevalens IGD pada remaja di Asia dan Eropa bervariasi antara 1,16%-3,1%, dan penelitian pada remaja di Indonesia masih terbatas dengan kuesioner yang tervalidasi. 
Tujuan. Mengetahui prevalens IGD pada remaja di populasi urban, faktor risiko terjadinya IGD, hubungan IGD dengan gangguan emosi perilaku, dan prestasi akademis pada remaja.
Metode. Desain penelitian potong lintang pada remaja usia 12-18 tahun dilakukan pada 2 sekolah di Jakarta Timur selama Februari-Maret 2022 sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang dibagikan secara daring, kuesioner yang digunakan adalah IGDT-10, dan PSC-17. Nilai akademis diambil melalui guru sesuai dengan tingkatan kelas.
Hasil. Jumlah subyek pada penelitian ini ialah 501 remaja dengan prevalens berisiko IGD sebanyak 3,8%. Faktor risiko untuk terjadinya IGD pada remaja adalah usia mulai bermain game terutama di bawah usia 7 tahun (adjusted OR 6,3, IK 95% 1,637-24,005, p=0,007). Tidak terbukti adanya hubungan antara jenis kelamin, klasifikasi usia remaja, waktu paparan game, jenis gawai, status orangtua tunggal, pengawasan orangtua, hubungan teman sebaya, jenis game dan pendapatan keluarga dengan IGD. Terdapat hubungan antara gangguan emosi perilaku dengan IGD dan masalah eksternalisasi berhubungan dengan IGD pada remaja (p=0,013). Sebagian besar subyek dengan risiko IGD memiliki nilai prestasi akademis di bawah rerata, walaupun tidak didapatkan hubungan bermakna (p=0,078) karena faktor risiko prestasi akademis beragam.
Kesimpulan. Remaja dengan risiko IGD memiliki hubungan dengan faktor risiko usia mulai terpapar game. Usia mulai bermain game di bawah 7 tahun memiliki probabilitas mengalami IGD 6,3 kali dibanding usia diatas 7 tahun. Internet Gaming Disorder berhubungan dengan gangguan emosi perilaku. Remaja dengan risiko IGD memiliki nilai prestasi akademis di bawah rerata.
Background. Internet Gaming Disorder (IGD) has internal and external risk factors. IGD causes various negative impacts including emotional and behavioral problems, difficulties in social/community, and low academic performance. Prevalence of IGD in Asia and Europe were 1,16% - 3,1%, and limited studies in Indonesia especially in adolescents using validated questionnaires.
Objective. To determine the prevalence of IGD problems in adolescents of Indonesian urban population, the risk factors associated with IGD, the relationship of IGD with emotional and behavioral problems and academic achievement.
Methods. A cross-sectional study among adolescents aged 12-18 years at 2 schools in East Jakarta during February-March 2022 according to the inclusion and exclusion criteria. Collecting data using a questionnaire distributed online with IGDT-10 and PSC-17. The academic achievement was given by the teachers according to students grade.
Result. This research included 501 teenagers, with the prevalence of suspected IGD among them was 3,8%. The IGD risk factors in adolescent were age of exposure to online game under 7 years old (adjusted OR 6.3, CI 95% 1.637-24.005, p = 0.007). IGD in adolescents has no association to gender, classification of adolescents age, daily gaming duration, type of device, single parents, parental supervision, peer relation, type of game, and socioeconomic status. Meanwhile, IGD has an association with emotional and behavioral problems, and externalization (p = 0.013). Adolescent with risk of IGD has low academic achievement, but unrelated with IGD (p = 0.078) because it has a lot of risk factors.
Conclusion Adolescent with risk of IGD has association with risk factors of early age exposure of gaming. Early exposure to online game under 7 years old has 6.3 times likelihood to be risk of IGD compared to late exposure over 7 years old. Internet Gaming Disorder associated with emotional behavioral problems. Adolescent suspected of IGD has low academic achievement."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Defi Nurlia Erdian
"Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan tipe histologik palimg sering mencakup 80-85% dari keganasan tiroid. Pada KTP, mutasi BRAFV600E merupakan mutasi paling sering yang memiliki karakteristik biologik yang agresif seperti rekurensi, metastasis kelenjar getah bening (KGB), stadium tumor, dan prognosis yang buruk. Insidensi mutasi BRAFV600E di dunia bervariasi mulai dari 29% sampai 83%. Di Indonesia penelitian mengenai mutasi BRAFV600E ditemukan insidensi mulai dari 37,8% sampai 40,3%. Ki-67 merupakan penanda yang umum digunakan dalam menilai proliferasi sel dan merupakan indikator prognostik pada tumor. Peranan Ki-67 pada neoplasma tiroid berdiferensiasi baik masih bersifat polemik, belum terdapat indeks yang dapat digunakan untuk menentukan agresivitas tumor yang bermanfaat untuk prognosis pasien. Berbeda dengan pada karsinoma medular yang telah terdapat indeks untuk menentukan agresivitasnya. Penelitian ini diharapkan menjadi gambaran awal penilaian imunoekspresi Ki-67 pada KTP dengan mutasi BRAFV600E dan menjadi landasan untuk penelitian selanjutnya. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi potong lintang, populasi penelitian merupakan pasien KTP berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan data sekunder mengalami mutasi dan tanpa mutasi BRAFV600E pada penelitian sebelumnya, di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Pengambilan sampel dilakukan secara acak pada kelompok KTP dengan dan tanpa mutasi BRAFV600E. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer anti-Ki-67. Hasil pemeriksaan imunohistokimia kemudian dievaluasi untuk menentukan ekspresi Ki-67. Didapatkan total 92 kasus KTP, 46 dengan mutasi BRAFV600E dan 46 tanpa mutasi BRAFV600E. Ekspresi Ki-67 dihitung dalam satuan presentase. Sebaran data penelitian menunjukkan penyandang KTP paling banyak memiliki usia <55 tahun (73,9%) dengan dominasi berjenis kelamin perempuan (75%). Ukuran tumor paling banyak ditemukan pada <4 cm (62%). Metastasis KGB ditemukan sebanyak 40,2% dan metastasis organ 16,3% dari total sampel penelitian. Subtipe histologik paling banyak dijumpai subtipe tall cell (38%), kemudian folikular (31,5%), klasik (20,7%), solid (5,4%), dan onkositik (4,3%). Invasi limfovaskular ditemukan sekitar 45,7%. Median ekspresi Ki-67 pada kelompok mutasi BRAFV600E lebih tinggi (2,9%) dari kelompok tanpa mutasi BRAFV600E (2,1%). Nilai titik potong untuk ekspresi Ki-67 yang direkomendasikan adalah 2,63%, kemudian untuk memudahkan penerapan praktek klinis dikategorikan dengan titik potong 3%. Hasil analisis ekspresi Ki-67 berhubungan dengan mutasi BRAFV600E (p=0,031) dengan nilai odds ratio 2,597. Oleh karena itu, melalui penelitian ini dapat diketahui perbedaan bermakna ekspresi Ki-67 pada KTP dengan mutasi BRAFV600E dan KTP tanpa mutasi BRAFV600E sehingga dapat menjadi salah satu dasar patogenesis sifat agresivitas tumor.

Papillary thyroid carcinoma (PTC) is the most common histologic type with about 80-85% of thyroid malignancies. In PTC, the BRAFV600E mutation is the most frequent mutation which has aggressive biological characteristics such as recurrence, lymph node metastasis, higher tumor stage, and poor prognosis. The incidence of the BRAFV600E mutation in the world varies from 29% to 83%. In Indonesia, BRAFV600E was found from 37.8% to 40.3%. Ki-67 is a common marker for assessing cell proliferation and a tumor prognostic indicator. The role of Ki-67 in well-differentiated thyroid neoplasms is still controversial, no index can be used to determine tumor aggressiveness that will be useful for patient prognosis. This is different from medullary carcinoma, which has an index to determine its aggressiveness. This research is expected to provide an initial description of the role of Ki-67 immuno-expression in PTC with the BRAFV600E mutation and become a basis for further research. This research is an analytical study with a cross-sectional study design, the study population is PTC patients based on histopathological examination with secondary data of BRAFV600E mutations in previous studies, in the Department of Anatomic Pathology, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to December 2022. Sampling was conducted randomly in the PTC group with and without the BRAFV600E mutation. Immunohistochemical examination was carried out using the primary antibody anti-Ki-67. The results of the immunohistochemical examination were then evaluated to determine Ki-67 expression. There was a total of 92 cases of PTC, 46 with the BRAFV600E mutation and 46 without the BRAFV600E mutation. Ki-67 expression was calculated in percentage units. The distribution of research data shows that most people are aged <55 years (73.9%) with a predominance of female gender (75%). Tumor size was most commonly found at <4 cm (62%). Lymph node metastases were found in 40.2% and distant organ metastases in 16.3% of the total study sample. The most common histologic subtypes were tall cells (38%), followed by follicular (31.5%), classic (20.7%), solid (5.4%), and oncocytic (4.3%). Lymphovascular invasion was found in around 45.7%. The median Ki-67 expression in the BRAFV600E mutation group was higher (2.9%) than the group without BRAFV600E mutation (2.1%). The recommended cut-off value for Ki-67 expression is 2.63%, then categorized with a cut-off of 3%. The results of the Ki-67 expression analysis were associated with the BRAFV600E mutation (p=0.031) with an odds ratio of 2.597. Therefore, through this research, we can determine the differences in the expression Ki-67 in PTC with BRAFV600E mutation and PTC without BRAFV600E mutation so that it can be one of the basic pathogenesis of tumor aggressiveness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Perkasa Rosari
"Melanoma malignum (MM) kulit merupakan tumor ganas dengan mortalitas tinggi. Karakteristik histopatologik merupakan faktor prediktif prognostik MM kulit, tebal tumor >2 mm dan jumlah mitosis ≥5/mm2 berkorelasi dengan angka kesintasan yang lebih buruk. Mutasi pada MM antara lain terjadi pada promoter telomerase reverse transcriptase (TERT), sehingga proliferasi sel menjadi tidak terbatas. Telomerase juga meningkatkan risiko metastasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik histopatologik dan imunoekspresi TERT dengan angka kejadian metastasis pada MM kulit. Sampel penelitian adalah 30 kasus MM kulit dengan metastasis dan 30 kasus tanpa metastasis di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM, periode Januari 2011 sampai Juli 2023. Dilakukan penilaian karakteristik histopatologik (tebal tumor, indeks mitosis, invasi limfovaskular, invasi perineural) dan pulasan imunohistokimia TERT menggunakan antibodi TERT. Data karakteristik histopatologik dan imunoekspresi TERT dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan angka kejadian metastasis. Karakteristik histopatologik yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian metastasis adalah tebal tumor >2 mm (p=0,006) dan indeks mitosis ≥5/mm2 (p=0,008). Hasil analisis multivariat mendapatkan hubungan antara imunoekspresi TERT tinggi dengan metastasis yang bermakna secara statistik (p<0,001, aOR=56,1). Kesimpulan penelitian ini adalah imunoekspresi TERT tinggi meningkatkan angka kejadian metastasis pada MM kulit. Terdapat hubungan antara tebal tumor dan indeks mitosis dengan angka kejadian metastasis pada MM kulit.

Cutaneous malignant melanoma (MM) is a malignant tumor with high mortality rate. Histopathological characteristics are prognostic predictive factors of cutaneous MM, tumor thickness >2 mm and mitotic rate ≥5/mm2 correlate with worse survival rate. Mutation in MM can occur at telomerase reverse transcriptase (TERT) promoter, which lead to unlimited cell proliferation. Telomerase also increases metastatic risk. This study aims to determine the association between histopathological characteristics and TERT immunoexpression with metastasis in cutaneous MM. The study samples are 30 metastatic and 30 non-metastatic cutaneous MM in Anatomical Pathology Department FKUI/RSCM, from January 2011 to Juli 2023. Histopathological characteristics (tumor thickness, mitotic index, limfovaskular invasion, perineural invasion) were assessed and anti-TERT antibodies were used for immunohistochemistry staining. Histopathological characteristics and TERT immunoexpression data were analyzed to determine their association with metastasis. Histopathological features that correlate significantly with metastasis are tumor thickness >2 mm (p=0,006) and mitotic index ≥5 mitosis/mm2 (p=0,008). Multivariate analysis showed significant association between high TERT immunoexpression and metastasis in cutaneous MM (p<0,001, aOR=56,1). This study concludes that high TERT immunoexpression increases metastatic rate in cutaneous MM. Tumor thickness and mitotic index are associated with metastasis in cutaneous MM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ramacil Afsan Awang Notoprawiro
"Kompleksitas operasi transplantasi hati dapat mengakibatkan terjadinya gangguan elektrolit utama tubuh seperti natrium, kalium dan klorida. Ketidakseimbangan elektrolit menyebabkan buruknya prognosis pasien pasca-operasi karena berkaitan dengan kejadian morbiditas seperti gangguan hemodinamik, gangguan neurologis (ensefalopati, kejang, central pontine myelinolysis), dan bahkan kematian. Belum adanya penelitian yang menggambarkan prevalens dan penilaian faktor risiko gangguan elektrolit pada populasi pediatri di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk melihat prevalens dan menilai faktor risiko terjadinya gangguan elektrolit pada pasien anak pascatransplantasi hati di pusat transplantasi hati Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Indonesia. Studi kohort retrospektif yang dilakukan di pusat transplantasi hati RSCM Jakarta, Indonesia dan melibatkan seluruh pasien anak yang menjalani transplantasi hati pada periode Desember 2010 sampai Desember 2023. Penilaian bivariat dan multivariat dilakukan untuk menilai faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan elektolit pascatransplantasi hati. Sebanyak 78 subyek memenuhi kriteria inklusi dengan 79,5% diantaranya mengalami gangguan elektrolit. Indikasi operasi transplantasi  hati terbanyak adalah atresia bilier  (79,5%). Faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan elektrolit pada pasien anak pasca operasi transplantasi hati adalah durasi operasi lebih dari 12 jam (RR 1,46 IK 95% 1,21-1,54) dan kreatinin serum (RR 0,64 IK 95% 0,27-0,98) dengan nilai p<0,05. Sebagian besar pasien anak yang menjalani operasi transplantasi hari mengalami gangguan elektrolit. Durasi operasi lebih dari 12 jam dan peningkatan nilai kreatinin serum berhubungan dengan kejadian gangguan elektrolit.

The complexity of liver transplantation surgery can lead to major electrolyte disturbances such as sodium, potassium, and chloride. Electrolyte disturbances can result in poor postoperative patient prognosis due to the association with morbidity events such as hemodynamic disorders, neurological disorders (encephalopathy, seizures, central pontine myelinolysis), and even death. There are no studies that describe the prevalence and risk factors of electrolyte disturbances in the pediatric population in Indonesia.This study was conducted to observe the prevalence and assess the risk factors for electrolyte disturbances in pediatric patients after liver transplantation at the Cipto Mangunkusumo Hospital Liver Transplant Center, Jakarta, Indonesia. Retrospective cohort study conducted at a liver transplant center in Jakarta, Indonesia, involving all pediatric patients who underwent liver transplantation from December 2010 to December 2023. Bivariate and multivariate assessments were performed to evaluate the risk factors associated with post-liver transplantation electrolyte disturbances. A total of 78 subjects met the inclusion criteria, with 79.5% experiencing electrolyte disturbances. The most common indication for liver transplantation surgery was biliary atresia (79.5%). The risk factors affecting electrolyte disturbances in pediatric patients after liver transplantation surgery were operation duration more than 12 hours (RR 1.46, 95% CI 1.21-1.54) and serum creatinine (RR 0.64, 95% CI 0.27-0.98) with a p-value <0.05. Most pediatric patients undergoing liver transplantation experience electrolyte disturbances. An operation duration of more than 12 hours and an increase in serum creatinine levels are associated with the occurrence of electrolyte disturbance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faramitha Nur Izzaty
"Latar Belakang : Melanoma malignum (MM) merupakan tumor ganas yang berasal
dari proliferasi sel melanosit dan dapat ditemukan pada kulit, mukosa dan okular. Angka mortalitas MM cukup tinggi, terutama pada stadium lanjut yang ditandai dengan metastasis. Metastasis MM dipengaruhi berbagai faktor risiko yang dapat berbeda pada MM kulit, mukosa dan okular, salah satunya yaitu proses imunologi tumor yang dapat dinilai dari Tumor Infiltrating Lymphocyte (TIL). Komponen TIL yang berperan dalam proses penghindaran sistem imun pada MM adalah sel T regulator dengan penanda yang paling spesifik sampai saat ini adalah Foxp3. Hubungan Foxp3 dengan stadium MM masih kontroversial dan sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan Foxp3 pada TIL dengan stadium MM di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik klinikopatologik dan ekspresi Foxp3 pada TIL dengan stadium MM. Metode: Penelitian analitik pada sediaan MM di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM selama periode Januari 2010 hingga Desember 2021. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara total sampling dari kasus yang memenuhi kriteria inklusi sesuai perhitungan besar sampel untuk masing-masing kelompok. Pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi primer monoklonal Foxp3. Data imunoekspresi dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan stadium MM. Hasil: Didapatkan 54 kasus MM, 19 kasus diantaranya merupakan MM kulit, 29 kasus MM okular, dan 6 kasus MM mukosa. Mayoritas kasus (63%) merupakan stadium lanjut.
Tebal tumor dan mitosis berhubungan dengan stadium klinis MM kulit dan keseluruhan.
Jenis kelamin perempuan, tebal tumor >2 mm, mitosis >16/10 LPB, adanya invasi limfovaskular dan invasi perineural umumnya mempunyai ekspresi Foxp3 yang rendah.
Pada MM kulit dan MM keseluruhan, ekspresi Foxp3 yang rendah ditemukan pada
stadium klinis lanjut meskipun tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan: Tebal tumor dan mitosis berhubungan dengan stadium klinis MM kulit dan keseluruhan. Karakteristik klinikopatologik tidak berhubungan signifikan dengan ekspresi Foxp3

Background: Malignant melanoma (MM) is a malignant tumor originating from
proliferation of melanocyte cells and can be found in skin, mucosa and ocular. The
mortality rate for malignant melanoma is quite high, especially at advanced stage
characterized by metastases. Various risk factors can predispose MM into metastases,
which can be different in cutaneous, mucosal and ocular MM, one of which is the
immunological process of the tumor which can be assessed from Tumor Infiltrating
Lymphocyte (TIL). TIL components that play a role in the process of avoiding the immune
system in malignant melanoma are regulatory T cells, whose the most specific marker so
far is Foxp3. The association of Foxp3 with clinical stage of malignant melanoma is still
controversial and until now there has been no research on the association of Foxp3 in
TIL with clinical stage of MM in Indonesia.
Aims: This study aims to determine the association between clinicopathological
characteristics and Foxp3 expression in TIL with MM clinical stage.
Methods: Analytic study on malignant melanoma diagnosed at Anatomical Pathology
Department FKUI/RSCM during January 2010 until December 2021. Sampling was
carried out by total sampling from cases that met the inclusion criteria according to the
calculation of the sample size for each group. Immunohistochemical examination using
Foxp3 monoclonal primary antibody. Immunoexpression data were analyzed to
determine its relationship with clinical stage of malignant melanoma.
Result: There were 54 cases of MM: 19 cases were skin MM, 29 cases of ocular MM, and
6 cases of mucosal MM. Majority of cases (63%) were in advanced stages. Tumor
thickness and mitosis associated with clinical stage of cutaneous and overall MM. Female
gender, tumor thickness >2 mm, mitoses >16/10 HPF, presence of lymphovascular
invasion and perineural invasion generally had low Foxp3 expression. In cutaneous MM
and overall MM, low Foxp3 expression was found at advanced clinical stage although
no significant association was found.
Conclusion: Tumor thickness and mitosis associated with clinical stage of cutaneous and
overall MM. Clinicopathological characteristic was not statistically significant with
Foxp3 expression. Low Foxp3 expression was associated with advanced clinical stage
although no statistically significant association was found.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hastrina Mailani
"Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang tersering, sebagian dapat bersifat agresif dengan kemungkinan rekurensi yang lebih tinggi. Diperlukan parameter klinikopatologik yang dapat memprediksi terjadinya rekurensi dan progression meningioma sehingga dapat dilakukan strategi tatalaksana yang lebih agresif dan follow-up ketat. Penilaian ekspresi Ki-67 pada meningioma diharapkan dapat menjadi salah satu prediktor rekurensi dan progression tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression dengan yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai meningioma dengan pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM dari tanggal 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression serta yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data kemudian dievaluasi untuk menentukan ekspresi Ki-67.Didapatkan 34 kasus meningioma yang terdiri atas 17 kasus dengan rekurensi dan progression serta 17 kasus tanpa rekurensi dan progression. Median ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi dan progression (2,1%)  lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami rekurensi dan progression (0,5%). Ekspresi Ki-67 berkaitan dengan kejadian rekurensi dan progession meningioma dengan adjusted odds ratio sebesar 4,2. Nilai titik potong yang direkomendasikan adalah sebesar 0,95%. Ekspresi Ki-67 merupakan faktor prediksi kejadian rekurensi dan progression pada meningioma.

Meningioma represents the most frequent primary intracranial tumor, and some subtypes may demonstrate aggressive characteristics with a correspondingly elevated risk of recurrence andprogression. To predict the likelihood of recurrence and progression, clinical and pathological parameters are essential. More aggressive treatment strategies and strict follow-up can be implemented using these parameters. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence and progression. This study aims to evaluate Ki-67 expression in meningioma with recurrence and progression and those without recurrence and progression. This was an analytic case control study including specimens diagnosed as meningioma recorded in archives of Anatomical Pathology Departemen, FMUI/CMH from January 1st. 2019 to December 31th, 2021. Consecutive sampling method was used. Ki-67 immunostaining was conducted using anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Thirty-four cases were selected, consisted of 17 cases with recurrence and progression and 17 cases without recurrence and progression. Median expression of Ki-67 in meningioma with recurrence and progression (2,1%) was higher than median expression of Ki-67 in meningioma without recurrence and progression (0,5%). Ki-67 expression was associated with recurrence and progression in meningioma (aOR=4,2) Recommended cut off value to predict recurrence and progession in this study was  0,95%. Ki-67 expresssion was independent factor for recurrence and progession of meningioma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library