Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Janti Wijayati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Puskesmas Pembina Jatinegara. Secara khusus hal-hal yang diidentifikasi adalah struktur dan alokasi biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, besarnya biaya satuan, dan tingkat kemampuan pembiayaan Puskesmas, serta gambaran mengenai kinerja (efisiensi) pusat biaya produksi (yang menjadi penyelenggara pelayanan klinik dalam gedung) di Puskesmas Pembina Jatinegara sebagai bahan masukan untuk pengambilan keputusan dalam mengembangkan Puskesmas Swadana.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitik. Pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi kesiapan Puskesmas sehubungan dengan dilakukannya analisa biaya, disamping itu dilakukan pula survey sampel selama 2 minggu (Oktober 2001) untuk mendapatkan rata-rata waktu pelayanan pasien di klinik sebagai dasar bagi penghitungan kapasitas output Puskesmas. Data biaya menggunakan data historis dari pengeluaran selama Januari - Juni 2001. Analisa biaya yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi Puskesmas Pembina Jatinegara, terutama dalam hal ketersediaan intormasi yang dibutuhkan. Distribusi biaya dari pusat biaya penunjang ke pusat biaya produksi menggunakan step down method.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kondisi sistem pencatatan di Puskesmas belum dipersiapkan untuk dilakukan analisa biaya. Struktur biaya menunjukkan, bahwa 94,56% total biaya digunakan untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan, dan dari jumlah tersebut biaya tenaga menyerap 71,90% (terdiri dari gaji 61,90% dan insentif : 10%) serta biaya obat dan pusat-pusat biaya. Alokasi biaya menggambarkan, bahwa pusat biaya penunjang memperoleh alokasi 35,24%, kelompok klinik pelayanan kesehatan dasar memperoleh 30,44%, kelompok klinik pelayanan kesehatan semi spesialis/spesialis memperoleh 7,88%, kelompok penunjang diagnostik memperoleh 8,117%, dan rumah bersalin 18,36%. Didapatkan biaya satuan tanpa investasi untuk kelompok klinik pelayanan dasar antara Rp 6.536,00 - Rp 29.199,00 per output; untuk klinik pelayanan semi spesialis/spesialis antara Rp 10.031,00 - Rp 84.663,00 per output; pelayanan penunjang diagnostik Rp 30.895,00 - Rp 32.787,00 per output; serta RB sebesar Rp 247.181,00 per output per hari. Komponen biaya yang dominan dalam membentuk biaya satuan ini pada umumnya adalah biaya tenaga (terutama gaji). Tingkat kemampuan pembiayaan Puskesmas terhadap total biaya pelayanan sebesar 18,31%; dan apabila biaya investasi tidak diperhitungkan maka biaya operasional dan pemeliharaan yang dapat dibiayai adalah 19,36%. Kinerja pusat biaya produksi berdasarkan pencapaian output dibandingkan kapasitasnya menunjukkan, bahwa hanya BPU, BPG, klinik 24 jam, klinik kulit/kelamin dan klinik paru yang cukup efisien; sedangkan pusat biaya lainnya cenderung masih belum efisien.
Dengan hasil tersebut, maka saran yang dapat diajukan untuk Puskesmas adalah : Puskesmas harus mulai memperbaiki sistem pencatatan yang ada untuk mendukung proses analisa biaya; mempertahankan seluruh klinik pelayanan kesehatan dasar, RB, dan pelayanan penunjang diagnostik walaupun ada yang belum efisien; meninjau kembali keberadaan klinik pelayanan semi spesialis/spesialis yang belum efisien; dan apabila Puskesmas masih merasa perlu mempertahankan klinik yang belum efisien, maka upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi adalah meningkatkan utilitas atau memanfaatkan sumberdaya yang telah ada, salah satunya dengan melakukan share tenaga dengan fasilitas kesehatan pemerintah lainnya, dalam rangka kesinambungan penyelenggaraan swadana. Saran yang dapat diajukan untuk Dinas Kesehatan adalah : agar menyiapkan suatu sistem informasi yang reliable di Puskesmas khususnya dan fasilitas kesehatan pemerintah umumnya untuk mendukung analisa biaya; menyiapkan standar pelayanan yang lengkap agar dapat dilakukan penghitungan biaya normatif; meninjau kembali kebijakan tentang Puskesmas Pembina; serta mengoptimalkan sistem rujukan yang ada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T10096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Bachtiar
"Sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, strategi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan pemerintahan adalah dengan memperbesar porsi kemampuan pengelolaan keuangan. Pengelolaan yang dimaksud adalah pengelolaan keuangan yang sesuai dengan prinsip ? prinsip yaitu tanggungjawab, mampu memenuhi kewajiban keuangan, kejujuran, hasil guna ( effectiveness) dan daya guna ( efficiency ), serta pengendalian.
Pelaksanaan otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk bisa mengelola potensi sumber daya dalam memperkuat penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kewenangan itu terkait erat dengan masih terbatasnya sumber penerimaan daerah yang berasal dari pusat. Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa sumber - sumber penerimaan daerah terdiri dari a) Pendapatan Asli Daerah, b) Dana Perimbangan, c) Pinjaman Daerah dan d) Lain - lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri terdiri dari pajak dan restribusi daerah, laba hasil perusahaan daerah, dan lain - lain pendapatan asli daerah yang sah. Berkenaan dengan pajak dan restribusi daerah, pemerintah pusat telah mengeluarkan Undang - Undang No. 34 Tahun 2000.
Dalam rangka memdukung penerimaan daerah di kabupaten Bekasi, pihak pemda telah melakukan penarikan pajak sesuai dengan UU tersebut diatas. Salah satu pajak daerah yang ditarik adalah pajak penerangan jalan. Pajak ini selanjutnya berubah menjadi pajak penggunaan energi listrik sesuai dengan peraturan daerah No. 2 tahun 2000. Dari pajak penerangan jalan ini penerimaan yang diperoleh hampir sebesar 52,65 % dari total penerimaan pajak daerah.
Permasalahan yang muncul berkaitan dengan Pajak penerangan jalan adalah adanya Beban pajak ini dapat mempengaruhi dunia industri sehingga menghawatirkan iklim usaha yang ada di kabupaten Bekasi, selain itu adanya Perubahan nomeklatur dalam penetapan pajak penerangan jalan menjadi pajak energi listrik akan membingungkan para pelaku usaha, hal ini disebabkan adanya perubahan dalam obyek pajak. Masalah lain berkaitan dengan pajak penerangan jalan adalah adanya krisis listrik yang melanda Indonesia.
Berkaitan dengan pajak penerangan jalan, pemerintah daerah dapat melakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak diantaranya adalah penarikan pajak dapat dilakukan secara progresif berdasarkan daya pasang konsumen. Upaya lain adalah memberikan kompensasi bagi pihak perusahaan yang menggunakan tenaga listrik non PLN. Sedangkan bagi pelanggan PLN sebaiknya dapat melakukan perbedaan dalam penetapan prosentase pajak khususnya untuk pelanggan dunia usaha dan pelanggan rumah tangga."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. A. Hera Purnami Kusumasari
"Dengan menurunnya penerimaan negara dari minyak dan pajak minyak pada tahun 1983/1984 yang berdampak pada penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN) tahun 1985/1986, timbullah kesadaran akan menurunnya kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan subsidi kepada pemerintah daerah dan dalam membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah, sehingga dalam hal ini, pemerintah pusat bertekad untuk memberikan kebebasan pada pemerintah daerah dalam usaha nya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan melemahnya subsidi dari pemerintah pusat tidak mengganggu perkembangan ekonomi dan jalannya pemerintahan di daerah.
Untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sebelumnya pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah daerah DKI Jakarta, harus mengetahui potensi sektoralnya yang mana yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Untuk mengetahuinya, dapat dengan cara menghitung Location Quotientsnya, karena dengan perhitungan ini, pemerintah daerah dapat mengetahui potensi sektoral daerahnya. Perhitungan Location Quotients ini dapat menggunakan dua indikator, yaitu: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tenaga kerja.
Dari hasil perhitungan Location Quotients yang menggunakan indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), memperlihatkan bahwa ada lima sektor basis dan ada empat sektor basis. Sektor basis ini mengandung arti bahwa kelima sektor tersebut mempunyai nilai tambah yang tinggi dimana nilai tambah yang tinggi ini disebabkan produktivitas kelima sektor tersebut tinggi dan tingginya produktivitas ini disebabkan kualitas tenaga kerja di kelima sektor tersebut tinggi dimana kualitas tenaga kerja ini dapat dilihat dari pendidikan akhir yang dimiliki tenaga kerja di kelima sektor tersebut. Kelima sektor basis ini, antara lain: sektor listrik, gas kota, dan air bersih; sektor bangunan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor non basis sebaliknya. Keempat sektor non basis ini, antara lain: sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; sektor pertambangan dan penggalian; sektor industri pengolahan; dan sektor jasa-jasa.
Selain itu, dari perhitungan Location Quotients dengan menggunakan indikator tenaga kerja, memperlihatkan bahwa ada tujuh sektor basis dan ada dua sektor non basis. Sektor basis ini mengandung arti bahwa penyerapan tenaga kerja di ketujuh sektor ini sangat banyak dimana penyerapan tenaga kerja yang banyak ini disebabkan penggunaan tenaga kerja di ketujuh sektor ini sangat banyak dan hal ini dapat dilihat dari jumlah jam kerja, status pekerjaan utama, dan jenis pekerjaan utama di ketujuh sektor tersebut. Ketujuh sektor basis ini, antara lain: sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas kota, dan air bersih; sektor bangunan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor non basis sebaliknya. Kedua sektor non basis ini, antara lain: sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; serta sektor pertambangan dan penggalian.
Dari kedua perhitungan Location Quotients yang menggunakan dua indikator memperlihatkan ada perbedaan, yaitu: ada dua sektor yang pada perhitungan Location Quotients yang menggunakan indikator Produk Domestik Bruto, kedua sektor ini merupakan sektor non basis, tetapi pada perhitungan Location Quotients yang menggunakan indikator tenaga kerja, kedua sektor ini merupakan sektor basis. Hal ini mengandung arti bahwa kedua sektor ini di satu sisi mempunyai nilai tambah yang rendah, namun di satu sisi yang lain, penyerapan tenaga kerjanya sangat banyak.
Dari hasil perhitungan Location Quotients dengan menggunakan dua indikator, pemerintah daerah DKI Jakarta dapat melihat potensi sektoral daerahnya yang mana yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Utami
"Industri penyiaran televisi merupakan industri yang sangat diregulasi. Baik karena kelangkaan spektrum maupun karena dampak informasi yang ditayangkan terhadap sikap dan perilaku masyarakat. Tujuan dart penulisan tesis ini yaitu mengetahui dan menganailsis instrumen regulasi di industri penyiaran televisi serta kebijakan persaingan yang diberlakukan di industri penyiaran televisi.
Metode yang digunakan dalam penelitlan ini adalah metode penelitian deskriptis analitis yaitu dengan membuat analisis secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di industri penyiaran televisi dan implikasinya. Masalah yang dibahas dalam tulisan ini dibatasi hanya pada Industri penyiaran televisi di Jawa. Periode pembahasan masalah yaitu pada kurun waktu 2002-Juli 2003.
Hasil anallsis terhadap UU NO. 32 tentang penyiaran Tahun 2003 memperlihatkan bahwa instrumen yang digunakan untuk meregulasi industri penyiaran televisi Indonesia adalah melalui Pembatasan Lisensi dan kepemilikan, Pembatasan kepemilikan terhadap media lain, Pembatasan Iklan, Pembatasan Program, Pengaturan Institusi, dan Penyediaan waktu untuk slaran ikian layanan masyarakat. Instrumen Regulasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut sama dengan instrumen regulasi yang dilakukan oleh beberapa negara di Eropa (seperti Inggris, Perancis, Jerman, Itali dan Spanyol) serta Australia. Bedanya di industri penyiaran televisi Eropa dan Australia tidak ada kewajiban untuk menyediakan waktu guna siaran ikian layanan masyarakat.
Di Indonesia regulasi mengenai kepemilikan dan kepemilikan silang belum ada penjelasannya secara rinci sementara di negara Eropa dan Australia hal tersebut telah dlbatasi secara rinci dan pelaksanaan regulasi tersebut telah diatur oleh lembaga yang sudah exist. Di Indonesia Komisi Penyiaran Indonesia yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas tersebut baru dalam proses pembentukan karena memang UU penyiaran Indonesia relatif masih baru yaitu disahkan pada tanggal 28 Desember 2002.
Tentang ketentuan berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta yang sudah memiliki stasiun relay sebelum adanya UU penyiaran, maka Anteve sudah siap mengantisipasinya dengan sistem waralaba. TPI bekerjasama (berjaringan) dengan Jawa Pos TV. Sementara Metro TV bekerjasama dengan TV Manado dan Jawa Pos Tv.
Kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi Indonesia berdasarkan UU NO. 32 Tahun 2002 menetapkan membatasi lisensi dan kepemilikan di industri penyiaran televisi juga melarang adanya kepemilikan silang media. Realitasnya saat ini ada kepemilikan silang media yaitu PT Bimantara pemilik televisi swasta RCTI juga menjadi pemilik radio Trijaya FM. PT RCTI juga menjadi salah satu pemilik dan Lembaga Penyiaran Beriangganan INDONUSA. Televisi swasta PT SCTV juga menjadi pemilik Metro TV. Realitas tentang kepemilikan silang Inilah yang harus segera ditindaklanjuti begitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terbentuk nantinya. Namun terlebih dahulu KPI harus membuat aturan yang jelas dan menerapkan aturan tersebut secara tegas seperti di Australia.
Kebijakan persaingan di Industri penyiaran televisi Eropa lebih ditujukan untuk membatasi merger dan kepemilikan diantara perusahaan di industri penyiaran televisi dan antara perusahaan televisi dengan produsen program televisi Masyarakat Eropa. Di Amerika Serikat kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi juga ditujukan untuk mengatur dan mengawasi merger dari perusahaan yang memiliki posisi dominan di pasar atau memiliki share pasar terbesar. Kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi Australia mengatur mengenai pembatasan kepemilikan silang media (sama seperti di Indonesia)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emi Ludiyanto
"Untuk menggenjot penerimaan cukai sebagai upaya untuk mencapai tanget penerimaan cukai yang diamanatkan oleh APBN, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menfokuskan pada kebijakan cukai hasil tembakau. Kebljakan cukai hasil tembakau terdiri dari dua variabel yaitu variabel tarif cukai dan variabel harga jual eceran yang secara bersama-sama menjadi variabel Beban Cukai.
Namun demikian pemerintah juga harus cermat dalam menerapkan kebijakan cukai hasil tembakau jangan sampai penurunan produksi yang diakibatkan oleh kenaikan beban cukai justru akan menurunkan juga penerimaan cukai secara keseluruhan.
Penulis ingin menganalisa apakah kebijakan cukai hasil ternbakau yang mengenakan tarif cukai SKT, SKM, dan SKT tersebut berpengaruh terhadap penurunan produksi hasii tembakau jenis Sigaret Putih Mesin. Jangan sampai kebijakan menaikkan tarif cukai justru akan menurunkan penerimaan cukai terutama dari rokok jenis SPM karena bagaimanapun juga penerimaan cukai masih dibutuhkan oleh pemerintah untuk membantu pembiayaan negara.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh pengenaan tarif cukai terhadap harga rokok.
2. Untuk mengetahui pengaruh pengenaan tarif cukai SPM terhadap produksi Sigaret Putih Mesin (SPM).
3. Untuk mengetahui pengaruh pengenaan tarif cukai SKM terhadap produksi Sigaret Putih Mesin (SPM).
4. Untuk mengetahui pengaruh pengenaan tarif cukai SKT terhadap produksi Sigaret Putih Mesin (SPM)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17107
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Irawan
"Dalam menghadapi persaingan perdagangan internasional yang semakin ketat, pemerintah memberikan fasilitas kawasan berikat yang merupakan fasilitas perpajakan dan prosedur pemasukan barang yang diberikan bagi perusahaan yang produk utamanya berorientasi ekspor, hal ini juga upaya pemerintah dalam mensiasati peningkatan daya saing industri dalam negeri pada kancah perdagangan internasional.
Sebagai suatu kebijakan, pemerintah mengharapkan fasilitas kawasan berikat dapat memberikan pengaruh positif bagi industri dalam negeri khususnya dan masyarakat umumnya, sedangkan dari sisi pengusaha, fasilitas kawasan berikat dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam kualitas dan kuantitas produk yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan perusahaan.
Tujuan penelitian tentang fasilitas kawasan berikat ini, pertama, untuk mengetahui bagaimana pengaruh kawasan berikat terhadap daya saing, tenaga kerja, devisa dan pajak dengan menggunakan metode wawancara dan observasi dengan analisa komparasi sebelum dan sesudah kawasan berikat dan dengan perusahaan bukan kawasan berikat. Kedua, untuk mengetahui bagaimana pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan metode perhitungan keuangan dan analisa keuangan dlsertai dengan analisa komparasi.
Berdasarkan hasil penelitian wawancara dan observasi, fasilitas kawasan berikat menunjukan pengaruh yang positif terhadap daya saing, tenaga kerja, devisa dan pajak. Sedangkan dari sisi keuangan perusahaan, berdasarkan perhitungan rasio keuangan dan analisa keuangan yang disertai dengan analisa komparasi, fasilitas kawasan berikat memberikan pengaruh yang positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Sebagai suatu kebijakan pemerintah yang berpengaruh positif bagi industri dalam negeri dan masyarakat, Fasilitas kawasan berikat perlu ditingkatkan lagi untuk mendukung program pemerintah Iainnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlly Kurniati
"Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah. Untuk itu Pemerintah Kota Bekasi menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Parkir serta Terminal, sebagai upaya dalam mendapatkan pemasukan bagi Pemerintah Daerah guna membiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan.
Potensi Retribusi Terminal di Kota Bekasi sangat besar, namun pada kenyataanya realisasi penerimaan Retribusi Terminal dari tahun ke tahun sangat kecil (namun apabila dibandingkan dengan target penerimaan rata-rata mendekati 100%), sehingga kontribusinya terhadap total penerimaan retribusi juga kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Retribusi Terminal di Kota Bekasi, mengkaji kendala-kendala yang dihadapi dan mengetahui proyeksi penerimaan Retribusi Terminal di rasa yang akan datang.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Kontribusi Retribusi Terminal terhadap penerimaan retribusi daerah saat ini masih relatif kecil, rata-rata sebesar 4,30% per tahunnya. Pemberi kontribusi terbesar bagi penerimaan Retribusi Terminal berasal dari penerimaan Retribusi Parkir Kendaraan Umum di Dalam Terminal yang mencapai 90,35% dari total penerimaan Retribusi Terminal. Dilihat dari pertumbuhannya sangat bervariasi; namun cenderung menurun. Nilai elastisitas Retribusi Terminal lebih besar dari satu, dan nilai AER yang meningkat pada tahun berikutnya, maka Retribusi Terminal cukup potensial untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu sumber penerimaan bagi Pemerintah Kota Bekasi.
Hasil analisis proyeksi untuk lima tahun ke depan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Namun hal yang perlu diperhatikan pula adalah pertama melihat potensi yang masih sangat besar, maka sebaiknya dalam penetapan target penerimaan Retribusi Terminal harus disesuaikan dengan potensi yang ada. Kedua, kendala di lapangan cukup berat/serius, antara lain, kondisi terminal yang ada di Bekasi, saat ini jauh dari memadai dan jumlah petugas retribusi masih kurang, baik dalam kualitas dan kuantitasnya, sehingga perlu segera diadakan pembenahan terminal dan peningkatan kuantitas dan kualitas petugas."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mujibudda`wah
"Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi dan fungsi alokasi. Berkaitan dengan fungsi alokasi khususnya alokasi sumber dana, dalam pelaksanaan pemerintah daerah di Indonesia selama ini, pembiayaan pembangunan daerah, pada umumnya masih sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat. Sumber penerimaan daerah sendiri yang berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, dan penerimaan lain-lainnya yang sah masih jauh untuk mencukupi.
Apabila kebutuhan pembangunan pelayanan dasar masyarakat, seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, serta fasilitas-fasilitas umum, terus meningkat, sedangkan, penerimaan daerah tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan dasar tersebut, maka yang akan terjadi adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan ketersediaan fasilitas umum yang ada. Oleh sebab itu, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah meminjam kepada pihak ketiga.
Berdasarkan penghitungan kemampuan meminjam pemerintah kota dengan model analisa Debt Service Coverage Ratio (DSCR) ternyata sebagian besar pemerintah kota di Indonesia mampu untuk melakukan peminjaman. Terbukti hampir semua pemkot nilai DSCR lebih dari 2,5. Akan tetapi harus diakui bahwa untuk menilai kemampuan meminjam tidak hanya menggunakan analisa DSCR.
Dapat terjadi tingginya nilai DSCR suatu pemkot, disebabkan dana DAU yang diperoleh suatu pemkot tinggi, demikian juga nilai DSCR suatu pemkot rendah, karena pada saat itu, kewajiban utang yang jatuh tempo tinggi, yang menyebabkan nilai DSCR suatu pemkot rendah.
Hasil analisis yang lain, ternyata dalam melakukan pinjaman pemkot belum banyak melibatkan jumlah penduduk dan kepadatannya. Terbukti hubungannya masih negatif. Area yang banyak ditemui nilai DSCR tinggi, dan jumlah penduduk rendah.
Hubungan nilai DSCR dengan DAU relative positif, dalam arti sebagian besar pemkot pada area DSCR tinggi, DAU nya tinggi. Kondisi ini tidak baik, mengingat tingginya DSCR banyak diakibatkan karena tingginya nilai DAU.
Untuk pemkot besar dipulau Jawa, nilai DSCR dengan pendapatan asli daerah hubungannya positif, dalam arti kota-kota besar tersebut banyak ditemukan dalam area DSCR tinggi dengan PAD tinggi. Untuk daerah-daerah kecil di luar pulau Jawa, kebanyak pada area DSCR tinggi, PAD rendah.
Demikian juga korelasi antara nilai DSCR dengan penerimaan APBD. Hampir sebagian besar kota-kota besar di Jawa, ditambah dengan Medan dan Makasar, berada pada area DSCR tinggi, penerimaan APBD tinggi. Sedangkan kota-kota di luar pulau Jawa hamper sebagian besar berada pada area atau matriks DSCR tinggi, penerimaan APBD rendah.
Dari hasil penghitungan DSCR dapat disimpulkan bahwa pada umumnya pemkot mampu untuk meminjam, sedangkan korelasi antara nilai DSCR dengan penduduk, kepadatan penduduk, pendapatan asli daerah, DAU dan Penerimaan APBD pada umumnya belum menunjukan korelasi yang diharapkan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryana Romdhony
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan bagi hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam mengoreksi ketimpangan fiskal antar pemerintah daerah (APBD provinsi) di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif yaitu rnelalui analisis dokumen yang dieksplorasi dari data sekunder yang berasal dari Departemen Keuangan dan Biro Pusat Statistik. Metode bagi hasil PPN menggunakan metode ESNA (Equity and Specific Need Approach) pendekatan pemeratan dan kebutuhan khusus, yaitu pertumbuhan ekonorni), ENA (Equity and Need Approach) pendekatan pemerataan dan kebutuhan umum, yaitu jumlah penduduk dan luas wilayah, dan ERA (Equity and Revenue Approach) pendekatan pemerataan dan penerimaan, yaitu konsumsi) masing masing dengan porsi bagi hasil 20%, 25%, dan 30%. Kemudian, untuk mengukur dampak masing-masing metode dan porsi bagi hasil terhadap pemerataan fiskal (penerimaan APBD provinsi, konsolidasi provinsi, dan perkapita provinsi) menggunakan Koevisien Variasi (KV) dan Indeks Williamson (IW) serta Indeks Theil (IT).
Dengan ketiga metode ini semakin besar/kecil porsi bagi hasil maka akan semakin besar/kecil dampak pemerataannya kecuali pada penerimaan kosolidasi provinsi sebaliknya, makin besar porsi bagi hasil makin tidak merata penerimaan antar provinsi.
Dan ketiga metode bagi hasil tersebut yang mampu mengoreksi KV, IW, dan IT terbesar dari sebelum bagi hasil PPN adalah metode ESNA. Metode ini mampu mengoreksi (menurunkan) 33% ketimpangan rata-rata (dari KV, IW, dan IT dengan porsi 30%) pada penerimaan provinsi dan menurunkan 5,8% ketimpangan pada konsolidasi provinsi serta menurunkan 3,9% pada ketimpangan penerimaan perkapita provinsi.
Dengan demikian bagi hasil PPN dapat diaplikasikan untuk mengoreksi ketimpangan fiskal antar provinsi di Indonesia. Bila akan dibagihasilkan Pajak Pertambahan Nilai sebaiknya menggunakan metode ESNA dan diukur berdasarkan penerimaan perkapita provinsi sehingga pemerataan fiskal atar provinsi lebih baik. Adapun besarnya porsi untuk bagi hasil PPN tergantung kemampuan pemerintah pusat (misalnya berdasarkan tingkat pertumbuhan PPN), semakin tinggi pertumbuhan PPN; semakin besar porsi PPN yang dapat dibagihasilkan serta semakin merata penerimaan APBD antar provinsi di Indonesia."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosmaleni
"Kebutuhan akan lahan di perkotaan dari waktu ke waktu berkembang dengan cepat, dipengaruhi oleh perubahan ekonomi, kebijakan terhadap ruang kota serta perkembangan kota ilu sendiri, agar tetap terarah penggunaan ruang di wilayah perkotaan tersebut ditetapkanlah sebuah rencana terhadap ruang kota yang disebut Rencana Tata
Ruang Wilayah Perkotaan (RTRW), di mana didalamnya terdapat arahan-araham bagi semua aspek di wilayah perkotaan. Kebutuhan-kebutuhan terhadap ruang kota tersebut dapat membuat perubahan-perubahan terhadap lahan dan juga kawasan. Hal ini dapat terjadi terhadap aset-aset Pemda yang berada di wilayah pengembangan tersebut, dengan begitu ada kemungkinan Pemda mendapatkan masukan dari perubahan fungsi aset tanah dan bangunan mereka, sehingga Pemda perlu melakukan manajemen terhadap aset-aset mereka, di mana melalui manajemen aset Pemda dapat dengan mudah melakukan rencana-rencana serta pengontrolan terhadap asset mereka, baik untuk dimanfaatkan, dihapus, pembuaatan Neraca Daerah atau untuk hal-hal lainnya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dilakukanlah penelitian mengenai manajemen asset tanah dan bangunun yang dilakukan Pemda DKI saat ini khususnya mengenai manajemce pencatatan asset tanah dan bangunannya, karena bagian ini panting untuk memulai manajemen aset, dengan pencatatan yang baik Pemda dapat mengurangi kemungkinan akan kehilangam aset mereka, juga mencari alternatif untuk menambah pendapatan dengan memenafaatkan aset secara maksimal. Penelitian ini bcrusaha mencarikan cara terbaik untuk Manajemen Aset khususnyn pencatatan yang seharusnya dilakukan oleh Pemda DKI.
Penelitian dimulai dengan eksplorasi terhadap Manajemen Aset yang telah dilakukan oleh beberapa negara sebagai landasan teori/ acuan, kemudian dilakukan observasi terhadap Pemda DKI yang berhubungan dengan Manajemen Aset terutama sistem pencatatan, menelusuri permasalahan-permasalahan yang terjadi, kemudian dicarikan pemecahannya.
Penelitian dilakukan terhadap Aset Tanah dan Bangunam Pemda DKI yang berada di wilayah Jakarta Pusat dengan Kecmnatan Gambir sebanyak 100 sampel, kemudian akan dianalisa sistem pencatatan, pemanfaatan, serta keorganisasiannya.
Hasil dari penelitian tersebut jika dilihat dari struktur organisasi sudah memadai untuk manajemen aset, di mana tiap bagian yang bekerja untuk manajemen aset telah ada tapi kekurangnnnya terletak pada konsistensi tiap bagian yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas masing-masing dan kurang pro-aktif, serta birokrasi yang terlalu panjang dengan tenaga kerja yang tidak efisien, peralatan kerja kurang memadai yaitu teknologi tidak mendukung. Hal ini mengakibatkan ada data-data aset yang tidak cocok dengan keadaan di lapangan, juga aset tidak termanfaatkan dengan baik karena kurang pro-aktifnya Pemda menganalisa peluang yang dapat dilakukan terhadap aset mereka, sehingga kemungkinan Pemda untuk kehilangan aset sangat besar. Pemda harus memperbaiki hal-hal di atas jika tidak ingin kehilangaan aset-aset yang mereka miliki."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T6492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>