Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mirsupi Usman
Abstrak :
Seiring dengan target pemerintah dalam peningkatan produksi minyak dan gas di lepas pantai, maka penggunaan bahan kimia dalam kegiatan produksi minyak dan gas semakin meningkat, hal ini memunculkan kekhawatiran akan potensi permasalahan kesehatan pekerja, oleh karenanya perlu dilakukan kajian risiko kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat risiko (risk rating/RR) kesehatan terkait pajanan dari kesebelas bahan kimia utama yang digunakan pekerja, pada proses produksi minyak dan gas di kapal FPSO XYZ tahun 2022. Metode Chemical Risk Assessment (CRA) yang digunakan adalah Stoffenmanager® 8 version 5.0 yang merupakan tools untuk menilai risiko kesehatan jalur pajanan inhalasi dan dermal dari penanganan enam bahan kimia oleh production technician di area kerja topside deck dan lima bahan kimia oleh utility operator di area kerja machinery deck. Hasil CRA menunjukkan bahwa tingkat risiko (RR) jalur inhalasi dimana satu bahan kimia kategori risiko tinggi (1,highest) delapan bahan kimia kategori risiko sedang (2, medium), dan dua bahan kimia risiko rendah (3, lowest). Sedangkan berdasarkan risk characterization ratio (RCR) pajanan inhalasi, ada dua bahan kimia yang diketahui nilai RCR task ≥ 1, yang berarti perkiraan konsentrasi emisi yang dihasilkan saat beraktivitas (task concentration estimation/TCE) terhadap potensi bahaya terhirup oleh production technician dan utility operator saat beraktivitas pada jarak yang dekat dengan sumber emisi, dikategorikan berbahaya atau risiko tidak dapat di tolerir (Unacceptable risk). Untuk tingkat risiko dermal efek lokal (skin local), sembilan bahan kimia masuk kategori risiko tinggi dan dua bahan kimia masuk kategori risiko sedang. Sedangkan tingkat risiko dermal efek sistemik (skin uptake), empat bahan kimia kategori risiko sedang, dan tujuh bahan kimia kategori risiko rendah. Hasil risk rating (RR) menentukan pula prioritas tindakan (Action Priority/AP) pengendalian risiko kesehatan. Rekomendasi pengendalian adalah menurunkan tingkat bahaya (HR) dengan melakukan penggantian bahan kimia (subtitusi) dengan bahan kimia yang lebih rendah tingkat bahayanya bagi kesehatan, dan untuk pajanan dermal (ER), otomatisasi proses penanganan, modifikasi teknik pekerjaan dengan membuat sistem penambahan bahan kimia secara gravitasi, menurunkan jumlah dosis pemakaian namun tetap efektif efisien (workplace-related modifiers), mengurangi waktu dan frekuensi penggunaan bahan kimia tersebut (activity time), penambahan ventilasi lokal (LEV) selain ventilasi mekanik, serta menggunakan baju khusus tahan kimia beserta sarung tangannya atau Chemsuit (control measures modifiers). ......Along with the government's target to increase offshore oil and gas production,  the use of chemicals in oil and gas production activities tends to increase, this raises concerns about potential health problems for workers, therefore it is necessary to conduct a chemical health risk assessment. This study aims to analyze the health risk rating (RR) related to exposure to the eleven main chemicals used by workers in the oil and gas production process on the FPSO XYZ ship in 2022. The Chemical Risk Assessment (CRA) method that is used is Stoffenmanager® 8 version 5.0 which is a tool to assess the health risks of inhalation and dermal exposure lines from the handling of six chemicals by production technicians on the topside deck work area and five chemicals by utility operators on the machinery deck work area. The results of the CRA show that the risk level (RR) for the inhalation route is one chemical in the high-risk category (1,highest), eight chemicals in the medium risk category (2, medium), and two chemicals in the low-risk category (3, lowest). Meanwhile, based on the risk characterization ratio (RCR) of inhalation exposure, there are two chemicals whose RCR task value is ≥ 1, which means the estimated concentration of emissions produced during the activities (task concentration estimation/TCE) against the potential inhalation hazard by production technicians and utility operators when activities at a close distance to the emission source, are categorized as a dangerous or unacceptable risk. For the level of dermal risk of local effects (skin local), nine chemicals are in the high-risk category and two chemicals are in the medium risk category. While the level of risk of dermal systemic effects (skin uptake), four chemicals were in the moderate risk category, and seven chemicals were in the low-risk category. The results of the risk rating (RR) also determine the priority of action (Action Priority/AP) for controlling health risks. Control recommendations are to reduce the level of hazard (HR) by replacing chemicals (substitutions) with lower chemicals levels of danger to health, and for dermal exposure (ER), automation of handling processes, modification of work techniques by making chemical addition systems automatically. gravity, reducing the number of doses used but still being effective and efficient (workplace-related modifiers), reducing the time and frequency of using these chemicals (activity time), adding local ventilation (LEV) in addition to mechanical ventilation, and using special chemical resistant clothing and gloves or Chemical suit (control measures modifiers).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalu M. Safrizal Kurnia Ramdhoni
Abstrak :
Latar Belakang: Dokter anestesiologi dituntut untuk memiliki kompetensi sesuai dengan perkembangan keilmuan. Pengetahuan akan gas anestetik inhalasi merupakan pengetahuan dasar yang wajib dikuasai oleh dokter spesialis anestesiologi. Kurangnya kompetensi tersebut dapat mengakibatkan peningkatan jumlah morbiditas dan mortalitas dalam praktik anestesiologi. Metode pemelajaran yang selama ini dilakukan antara lain diskusi dan pemberian kuliah. Di era pesatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini, sudah memungkinkan digunakannya screen based simulation (SBS) dalam bentuk aplikasi untuk pemelajaran anestetik inhalasi bagi residen Anestesiologi, seperti aplikasi Gas Man®. Aplikasi Gas Man® bertujuan untuk membantu peserta didik memahami fisiologi dan patofisiologi obat anestetik inhalasi. Metode: Penelitian ini merupakan Randomized Controlled Trial. Subjek penelitian merupakan residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI tahun akademik 2022–2023 dengan status aktif Tahap Pembekalan dan Tahap Magang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Sampel dilakukan randomisasi menggunakan halaman web www.randomizer.org, dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok simulasi dan diskusi. Sampel diberikan pre test dan post test, serta mengisi survei kepuasan di akhir kegiatan. Hasil: Kelompok simulasi mendapat nilai median (IQR) post test 80 (76,67-83,33) sedangkan kelompok diskusi 50 (40-66,67) dengan nilai P=0,000<0,05. Masing-masing kelompok memiliki tingkat kepuasan "Puas" 63,2% dan 68,4% (secara berurutan). Kesimpulan: Metode pemelajaran berbasis simulasi dengan menggunakan aplikasi Gas Man® lebih baik jika dibandingkan berbasis diskusi dalam peningkatan pengetahuan ambilan dan distribusi anestetik inhalasi residen Anestesi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Luther Holan Parasian
Abstrak :
Pendahuluan: Optimalisasi pelayanan resusitasi dapat dipadupadankan dengan teknologi yang berkembang saat ini, salah satunya adalah aplikasi seluler yang dapat diterapkan dengan mudah dalam sistem pelayanan resusitasi. Cardiac Arrest Resuscitation Mobile Application (CARMA) merupakan alat bantu dalam ACLS yang digunakan untuk membantu para praktisi dalam melakukan tindakan resusitasi. Penggunaan aplikasi dapat dimulai pada pelatihan berbasis simulasi. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak pada simulasi henti jantung dengan menggunakan manekin fidelitas tinggi. Simulasi dengan durasi dua belas menit dan berupa lima rangkaian ritme. Sejumlah 26 kelompok mahasiswa kedokteran dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok menggunakan aplikasi dan standar. Tujuan utama penelitian adalah untuk membandingkan kepatuhan panduan klinis pada kedua kelompok. Penilaian kepatuhan berdasarkan persentase pemenuhan daftar tilik yang sudah tervalidasi dan sudah dilakukan uji realibilitas sebelumnya. Tujuan sekunder untuk menilai kualitas kompresi dada dan waktu pemberian epinefrin. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna kepatuhan panduan klinis pada kelompok aplikasi dibandingkan dengan kelompok standar (88,95 ± 6,86 vs 73,98 ± 6,40, p < 0,001). Variabel yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada penelitian ini antara lain adalah kedalaman kompresi dada dan interval waktu pemberian epinefrin. Simpulan: Penggunaan aplikasi seluler dapat meningkatkan kepatuhan panduan klinis pada simulasi kasus henti jantung. ......Background: The optimization of resuscitation services can be aligned with current technological advancements, including mobile applications that can be easily implemented in resuscitation services. The Cardiac Arrest Resuscitation Mobile Application (CARMA) is a tool in Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) designed to assist practitioners in performing resuscitation actions. The application's use can commence in simulation-based training. Methods: This study is a randomized clinical trial on cardiac arrest simulation using a high-fidelity mannequin. The simulation lasted twelve minutes and included five rhythm sequences. Twenty-six groups of medical students were divided into two groups: one using the application and the other following standard procedures. The main objective of the study was to compare compliance with clinical guidelines in both groups. Compliance assessment was based on the percentage of validated checklist items, previously subjected to reliability testing. Secondary objectives included evaluating chest compression quality and epinephrine administration time. Results: There was a significant difference in compliance with clinical guidelines between the application group and the standard group (88.95 ± 6.86 vs. 73.98 ± 6.40, p < 0.001). Variables such as chest compression depth and epinephrine administration interval did not show significant differences in this study. Conclusion: The use of mobile applications can enhance compliance with clinical guidelines in cardiac arrest simulation cases.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Lusiana Tantri
Abstrak :
Erector spinae plane (ESP) block merupakan metode anestesi regional baru dengan tingkat keamanan tinggi dan tingkat ambulasi yang baik, namun memiliki studi yang terbatas mengenai efektivitasnya. Hingga saat ini, bukti efektivitas teknik tersebut pada pasien pembedahan percutaneous nephrolitotomy (PCNL) masih terbatas. Teknik spinal adalah teknik anestesi regional yang paling banyak digunakan pada PCNL dan belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas kedua teknik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas blok ESP dibandingkan spinal sebagai teknik anestesi dan analgesia pada PCNL. Penelitian uji klinis tersamar tunggal dilakukan pada subjek yang menjalani PCNL. Pasien berusia 18 tahun dengan ASA 1-3 dan pertama kali menjalani PCNL diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan single functional kidney, memiliki kontraindikasi pemberian obat anestesi lokal, gangguan kardiovaskular berat, hambatan komunikasi, nyeri kronis, atau hamil dieksklusi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan uji klinis terkontrol acak tersamar tunggal. Pasien dirandomisasi dengan cara random sampling menggunakan teknik randomisasi blok menjadi kelompok ESP dan spinal. Sebanyak 30 subjek (15 ESP dan 15 spinal) diikutsertakan dalam penelitian. Tidak ada perbedaan insiden konversi ke anestesi umum antar kelompok (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0,05). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 plasma antar kelompok (p > 0,05). Didapatkan skala nyeri yang lebih tinggi saat bergerak saat pengukuran di ruang PACU, 6 jam, dan 24 jam pascabeda pada kelompok ESP (p < 0,05). Tidak ada perbedaan konsumsi opioid 24 jam pascabedah antar kelompok (median 60 mg ESP vs. 52,5 mg spinal, p > 0,05). Maka dari itu, blok erector spinae plane tidak lebih baik dibandingkan teknik spinal sebagai anestesi tunggal dan analgesia pascabedah pada PCNL. ......Introduction: The erector spinae plane (ESP) block is a novel regional anesthetic method with high safety and good ambulation rate but has limited studies on its effectiveness. To date, evidence of the effectiveness of these techniques in surgical patients such as percutaneous nephrolitotomy (PCNL) is limited. Until now, spinal technique is still the most widely used regional anesthetic technique in PCNL. However, there are no studies comparing the effectiveness of the two techniques. Aim: To compare the effectiveness of ESP block versus spinal as an anesthetic and analgesia technique in PCNL. Methods: A single-blinded clinical trial study was conducted on subjects undergoing PCNL. Patients aged 18 years with ASA 1-3 and first undergoing PCNL were included in the study. Patients with a single functional kidney, contraindications to local anesthetics, severe cardiovascular disorders, communication barriers, chronic pain, or pregnancy were excluded. Patients were randomized using random allocation sampling into the ESP and spinal groups. Results: A total of 30 subjects (15 ESP and 15 spinal) were included in the study. There was no difference in the incidence of conversion to general anesthesia between groups (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0.05). There was no difference in plasma IL-6 levels between groups (p > 0.05). There was a higher pain scale when moving when measured in the PACU, 6 hours, and 24 hours after the difference in the ESP group (p < 0.05). There were no differences in both groups regarding 24-hour postoperative opioid consumption (median 60 mg ESP vs. 52.5 mg spinal, p > 0.05). Conclusion: The erector spinae plane block is not better than spinal block as a sole anesthesia and postoperative analgesia technique in PCNL.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rialta Hamda
Abstrak :
Background. One way to reduce pain during epidural needle insertion is infiltration of lidocaine using a needle. However, infiltration of lidocaine using the needle alone is a painful process. Free needle infiltration of lidocaine can be an alternative to reduce epidural needle insertion pain. The study of Gozdemir et al. found that 10% lidocaine infiltration without needle was less painful than 2% lidocaine infiltration with a 27G needle with no significant difference in analgesia effect during epidural needle insertion. This study aimed to compare infiltration of lidocain with and without needle for epidural needle insertion in a double-blind study, using a Tuohy needle, Comfort-inTM injector, and wider surgical group as novelty from previous studies. Methods. This study was a double blind randomized controlled trial. Data collection was carried out consecutively on 84 subjects with 42 subjects in each group of lidocaine infiltration without needles and lidocaine infiltration with 23G needles. The effectiveness of analgesia was assessed from three variables like pain with a Numeric Pain Rating Scale (NPRS) of 0 to 10 during lidocaine infiltration, pain with NPRS during epidural needle insertion, and patient movement during epidural needle insertion. Results. Lidocaine infiltration without needle was less painful with an NPRS of 0 (0-6.0) than lidocaine infiltration with needle with an NPRS of 2.5 (0-7.0) with a p value of 0.0001. Epidural needle insertion was more painful for the lidocaine infiltration without needle group with an NPRS of 6.0 ± 3.1 than the lidocaine infiltration with needle group with an NPRS of 4.0 ± 3.6 with a p value of 0.007. There were 20 patients (47.6%) who moved during epidural needle insertion in the lidocaine infiltration without needle group and 12 patients (28.6%) in the lidocaine infiltration with needle group with a p value of 0.116. No patient experienced any side effects when lidocaine infiltration was performed. There was no significant difference between the two groups for satisfaction. Conclusions. Infiltration of lidocaine without needle was shown to be ineffective as analgesia in epidural needle insertion because only one of the three variables of analgesia effectiveness were met in this study ......Latar belakang. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri saat insersi jarum epidural adalah infiltrasi lidokain menggunakan jarum. Namun infiltrasi lidokain menggunakan jarum sendiri adalah proses yang menimbulkan nyeri. Infiltrasi lidokain tanpa jarum dapat menjadi alternatif untuk mengurangi nyeri insersi jarum epidural. Penelitian Gozdemir menemukan bahwa infiltrasi lidokain 10% tanpa jarum lebih tidak nyeri dibanding infiltrasi lidokain 2% dengan jarum 27G dengan efek analgesia yang tidak berbeda bermakna saat dilakukannya insersi jarum epidural. Penelitian ini ingin meneliti perbandingan infiltrasi lidokain 2% tanpa jarum dan dengan jarum sebagai analgesia pada insersi jarum epidural dengan cara double blind, menggunakan jarum Tuohy, alat injektor Comfort-inTM, dan pada kelompok operasi yang lebih luas sebagai pembeda dengan studi yang sudah dilakukan sebelumnya. Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan double blind. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada 84 subjek dengan 42 subjek pada masing-masing kelompok infiltrasi lidokain tanpa jarum dan infiltrasi lidokain dengan jarum 23G. Efektifitas analgesia dinilai dari tiga variabel yaitu nyeri dengan Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 0 sampai dengan 10 saat dilakukannya infiltrasi lidokain, nyeri dengan NPRS saat insersi jarum epidural, dan gerakan pasien saat dilakukannya insersi jarum epidural. Hasil. Infiltrasi lidokain tanpa jarum lebih tidak nyeri dengan NPRS 0 (0-6,0) dibanding infiltrasi lidokain dengan jarum dengan NPRS 2,5 (0-7,0) dengan nilai p 0,0001. Insersi jarum epidural dirasakan lebih nyeri oleh kelompok tanpa jarum dengan NPRS 6,0 ± 3,1 dibanding kelompok dengan jarum dengan NPRS 4,0 ± 3,6 dengan nilai p 0,007. Pasien yang bergerak saat insersi jarum epidural pada kelompok tanpa jarum sebanyak 20 pasien (47,6%) dan kelompok dengan jarum sebanyak 12 pasien (28,6%) dengan nilai p 0,116. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping saat infiltrasi lidokain dilakukan. Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk kepuasan. Simpulan. Infiltrasi lidokain tanpa jarum terbukti tidak efektif sebagai analgesia pada insersi jarum epidural karena hanya satu dari tiga variabel efektifitas analgesia yang terpenuhi pada penelitian ini.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina Soebroto
Abstrak :
Latar Belakang: Prevalensi infeksi yang disebabkan oleh multidrugs resistent microorganism (MDRO), terutama bakteri Enterobacteriaceae penghasil enzim extended-spectum beta-lactamase (ESBL) semakin meningkat. Identifikasi yang cepat dan pemberian antibiotik yang tepat, terutama untuk pasien intensive care unit (ICU), dibutuhkan untuk menurunkan lama rawat dan menurunkan angka mortalitas. Duke clinical score merupakan suatu instrumen stratifikasi risiko untuk memprediksi infeksi bakteri Enterobactericeae penghasil ESBL. Duke clinical score pernah diteliti untuk memprediksi infeksi yang didapat dari komunitas, namun belum pernah diteliti untuk pasien ICU. Metode: Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan design kohort prospektif. Subjek penelitian merupakan pasien ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang memenuhi kriteria inklusi selama bulan Januari-Maret 2022. Skrining dengan swab rektum untuk melihat adanya infeksi bakteri Enterobacteriaceae penghasil enzim ESBL dilakukan dalam 24 jam pertama perawatan pasien di ICU. Kultur klinis dilakukan sesuai indikasi. Duke clinical score diperiksa pada awal perawatan pasien di ICU. Pasien yang tidak terinfeksi bakteri Enterobacteriaceae penghasil enzim ESBL di awal perawatan di ICU akan diobservasi dan diambil kembali swab rektum pada akhir perawatan di ICU. Penelitian akan menilai sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value (PPV, NPV), area under curve (AUC) receiver operating characteristic (ROC) Duke clinical score. Hasil: Dari 105 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, 55% pasien memiliki swab rektum atau kultur klinis yang positif dengan bakteri Enterobacteriaceae penghasil enzim ESBL dalam 24 jam perawatan pertama di ICU sehingga dieksklusi. Total subjek penelitian 47 pasien yang tidak terinfeksi bakteri Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada awal perawatan di ICU. Pada nilai cut-off ≥ 8.5, Duke clinical score memiliki sensitivitas 32%, spesifisitas 89%, PPV 67%, NPV 66%. AUC ROC 0.652. Kesimpulan: Duke clinical score tidak valid sebagai prediktor infeksi bakteri Enterobacteriaceae penghasil enzim ESBL pada pasien ICU RSCM. ...... Background: The prevalence of infections caused by multidrugs resistant microorganisms, especially extended-spectrum-beta-lactamase (ESBL)-producing Enterobacteriaceae, is increasing. Rapid identification and proper administration of antibiotics, especially for intensive care unit (ICU) patients, are needed to reduce length of stay and lower mortality rates. Duke clinical score is a risk stratification instrument for predicting infection caused by ESBL-producing Enterobactericeae. Duke clinical scores have been studied to predict community-acquired infections, but have never been studied for ICU patients. Methods: This study was a diagnostic test with a prospective cohort design. The subjects were patients of ICU Cipto Mangunkusumo general teaching hospital (RSCM) during January-March 2022 who met the inclusion criterias. Screening with a rectal swab to see the presence of infection with the ESBL-producing Enterobacteriaceae was carried out within the first 24 hours of admission in ICU. Clinical culture was carried out according to indications. Duke clinical score was examined at the beginning of the patient's treatment in the ICU. Patients who were not infected with the ESBL-producing Enterobacteriaceae at the beginning of treatment in the ICU would be observed and rectal swab would be taken at the end of treatment in the ICU. The study would assess the sensitivity, specificity, positive and negative predictive value (PPV, NPV), area under curve (AUC) receiver operating characteristic (ROC) Duke clinical score. Results: Of the 105 patients who met the inclusion criteria, 55% of them had a positive rectal swab and/or clinical cultures with ESBL-producing Enterobacteriaceae within the first 24 hours of treatment in the ICU. A total of 47 subjects were identified as patients who were not infected with ESBL-producing Enterobacteriaceae at the beginning of treatment in the ICU. At a cut-off value ≥ 8.5, Duke clinical score have sensitivity 32%, specificity of 89%, PPV of 67%, NPV of 66%. AUC ROC 0.652. Conclusions: Duke clinical score is invalid as a predictor of ESBL-producing Enterobacteriaceae infection in ICU RSCM patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arky Kurniati Alexandra
Abstrak :
Latar Belakang: Meningkatnya populasi geriatrik, menyebabkan tindakan pembedahan dan anestesia pada kelompok usia ini bertambah. Status fungsional geriatrik yang dapat dinilai menggunakan Indeks Barthel (IB) menjadi salah satu metode efektif penilaian kondisi mereka sebelum pembedahan. Respon stress yang dialami selama pembedahan menyebabkan penurunan kualitas status fungsional geriatrik pascabedah. Penelitian ini menganalisa perubahan Indeks Barthel pasien geriatrik yang menjalani anestesia umum pada jenis anestesia umum (intravena dan inhalasi), pembedahan (mayor dan minor) dan lama pembedahan (>120 menit dan <120 menit). Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif terhadap 61 subjek penelitian selama Januari-Maret 2022. Subjek penelitian ini adalah pasien geriatrik yang berusia 60 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan dalam anestesia umum tanpa anestesia regional. Kriteria penolakan adalah pasien dengan ASA > 4, penilaian IB prabedah ≤ 8, rencana pembedahan emergensi, rencana amputasi anggota gerak, prosedur kardiotorasik. Penilaian IB dilakukan dalam 3 waktu, yaitu 1 hari prabedah, 3 hari pascabedah dan 30 hari pascabedah. Hasil: Terdapat perubahan nilai IB pada tiga periode penilaian dengan nilai p<0,005 dengan Mean rank 1 hari prabedah 1,92, menurun pada 3 hari pascabedah (1,7) serta meningkat kembali saat 30 hari pascabedah (2,38). Perubahan IB yang signifikan didapatkan saat membandingkan jenis anestesia (intravena dan inhalasi) pada saat menilai perubahan nilai IB prabedah dengan 3 hari pascabedah (p=0,019). Pada saat membandingkan jenis pembedahan yang dilakukan, perubahan IB yang signifikan didapatkan pada data perubahan IB 1 hari prabedah dan 3 hari pascabedah (p=0,010), serta perubahan IB 3 hari pascabedah dan 30 hari pascabedah (p=0,035). Hasil yang serupa didapatkan saat menilai lama pembedahan terhadapa perubahan IB dengan p=0,004 dan p=0,011. Simpulan: Terdapat perubahan IB pada pasien geriatrik yang menjalani anestesia umum intravena ataupun inhalasi, pembedahan mayor ataupun minor serta lama pembedahan kurang dan lebih dari 120 menit. ......Background: A rise in number of geriatric populations, causing an increase of surgical and anesthesia procedure among them. Barthel Index (BI), as one of the methods of function status assessment, has becoming an effective tool to assess geriatric condition prior to surgery. Stress response that occur during operation may lower the functional status outcome after surgery. This study analyzed the changes of BI point in geriatric patients who undergo general anesthesia in comparison with its type (inhalational, intravenous, or both), surgery type (mayor and minor) and procedure length (less and more than 120 minutes). Method: This was an observational cohort study in 61 subjects within January-March 2022. Research subjects were geriatric patients age 60 or older undergoing surgery with general anesthesia without regional anesthesia. Exclusión critertia were patients with ASA >4, BI preoperative ≤ 8, undergoing emergency or cardiothoracic procedure and having limb amputation. BI was assessed in three periods of time; 1 day preoperative, 3 dan 30 day postoperative. Result: There was a change in BI value of three periods of time with p<0.005 with meank rank of 1.92, 1.7 and 2.38 respectively. A significant BI difference shown when comparing type of anesthesia (inhalational and intravenous) with BI 1-day preop and 3 day postop (p=0.019). The result also shown a significant difference in surgery type during 1-day preop and 3 day postop (p=0.010), along with 3-day postop dan 30 day postop (p=0.035). Similar results shown in length of surgery group, with p=0.004 and p=0.011. Summary: There are changes found in BI of geriatric patients who undergo intravenous or inhalation general anesthesia, mayor or minor type of surgery and surgery duration less and more than 120 minutes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
Abstrak :
Latar Belakang: Prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal berhubungan dengan nyeri hebat pascabedah dan menghasilkan respon stress pembedahan. Blok ESP dan blok TLIP efektif sebagai analgesia perioperatif pada prosedur pembedahan tulang belakang. Penatalaksanaan nyeri pascabedah yang adekuat dapat mengurangi respon stres yang timbul akibat pembedahan. Tujuan: Membandingkan efektifitas antara blok ESP dan Blok TLIP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal terhadap skala nyeri, konsumsi total opioid, kestabilan kardiovaskular, kadar IL-6 dan IL-10 perioperatif. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 subjek yang menjalani pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok ESP (n=20) dan kelompok blok TLIP (n=20). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc setiap sisi. Data yang diolah berupa skala nyeri NRS (Numerical rating scale) pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, waktu pemberian morfin pertama pascabedah, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif. Analisis data menggunakan Uji t berpasangan dan Mann-Whitney. Hasil: NRS pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif tidak berbeda bermakna antra blok TLIP dan blok ESP (p>0,05). Waktu pemberian morfin pertama blok TLIP lebih lama bermakna daripada blok ESP (p=0,002). Simpulan: Keefektifan blok TLIP tidak berbeda dengan blok ESP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal. ......Background: Posterior lumbar decompression and stabilization procedures are related with severe postoperative pain and produce a surgical stress response. ESP block and TLIP block are as effective as perioperative analgesia in spinal surgery procedures. Adequate postoperative pain management can reduce stress response caused by surgery. Objective: To compare the effectiveness of ESP block and TLIP block as perioperative analgesia in posterior lumbar decompression and stabilization procedures and associated pain scale, total opioid consumption, cardiovascular stability, perioperative IL-6 and IL-10 consentrations. Methods: This study was an experimental, double-blind, randomized controlled trial of 40 subjects who underwent decompression surgery and posterior lumbar stabilization at the Central Surgical Unit of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta and RSUD Dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjects were randomized into two groups: the ESP block group (n=20) and the TLIP block group (n=20). Both groups received 0.25% bupivacaine with a total volume of 20 cc each side. The data were processed in the form of NRS pain scale (Numerical rating scale) at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, time of first postoperative morphine administration, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations. Data analysis used paired t test and Mann-Whitney. Results: NRS at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations were not significantly different between TLIP block and ESP block (p>0.05). The time of administering the first morphine on TLIP block was significantly longer than ESP block (p=0.002). Conclusion: The effectiveness of the TLIP block is no different from the ESP block as perioperative analgesia in decompression and posterior lumbar stabilization procedures.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
Abstrak :
Latar Belakang: Prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal berhubungan dengan nyeri hebat pascabedah dan menghasilkan respon stress pembedahan. Blok ESP dan blok TLIP efektif sebagai analgesia perioperatif pada prosedur pembedahan tulang belakang. Penatalaksanaan nyeri pascabedah yang adekuat dapat mengurangi respon stres yang timbul akibat pembedahan. Tujuan: Membandingkan efektifitas antara blok ESP dan Blok TLIP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal terhadap skala nyeri, konsumsi total opioid, kestabilan kardiovaskular, kadar IL-6 dan IL-10 perioperatif. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 subjek yang menjalani pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok ESP (n=20) dan kelompok blok TLIP (n=20). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc setiap sisi. Data yang diolah berupa skala nyeri NRS (Numerical rating scale) pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, waktu pemberian morfin pertama pascabedah, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif. Analisis data menggunakan Uji t berpasangan dan Mann-Whitney. Hasil: NRS pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif tidak berbeda bermakna antra blok TLIP dan blok ESP (p>0,05). Waktu pemberian morfin pertama blok TLIP lebih lama bermakna daripada blok ESP (p=0,002). Simpulan: Keefektifan blok TLIP tidak berbeda dengan blok ESP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal. ...... Background: Posterior lumbar decompression and stabilization procedures are related with severe postoperative pain and produce a surgical stress response. ESP block and TLIP block are as effective as perioperative analgesia in spinal surgery procedures. Adequate postoperative pain management can reduce stress response caused by surgery. Objective: To compare the effectiveness of ESP block and TLIP block as perioperative analgesia in posterior lumbar decompression and stabilization procedures and associated pain scale, total opioid consumption, cardiovascular stability, perioperative IL-6 and IL-10 consentrations. Methods: This study was an experimental, double-blind, randomized controlled trial of 40 subjects who underwent decompression surgery and posterior lumbar stabilization at the Central Surgical Unit of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta and RSUD Dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjects were randomized into two groups: the ESP block group (n=20) and the TLIP block group (n=20). Both groups received 0.25% bupivacaine with a total volume of 20 cc each side. The data were processed in the form of NRS pain scale (Numerical rating scale) at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, time of first postoperative morphine administration, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations. Data analysis used paired t test and Mann-Whitney. Results: NRS at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations were not significantly different between TLIP block and ESP block (p>0.05). The time of administering the first morphine on TLIP block was significantly longer than ESP block (p=0.002). Conclusion: The effectiveness of the TLIP block is no different from the ESP block as perioperative analgesia in decompression and posterior lumbar stabilization procedures.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library