Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Sari Rachmawati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mmenganalisis faktor yang mempengaruhi penerimaan pengguna konten peraturan perundang-undangan website Biro Hukum dan Organisasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan model penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model). Hasil penelitian ini menunjukkan, (1) Penerimaan pengguna konten peraturan perundang-undangan website Biro Hukum dan Organisasi dengan menggunakan faktor penerimaan, yaitu persepsi kegunaan konten website, persepsi kemudahaan konten website, sikap penggunaan konten website dan minat perilaku penggunaan konten website secara simultan adalah diterima dengan positif, (2) Faktor yang mempengaruhi penerimaan pengguna konten peraturan perundang-undangan website Biro Hukum dan Organisasi adalah persepsi kegunaan konten website, (3) Faktor yang tidak memberi pengaruh terhadap penerimaan pengguna konten peraturan perundang-undangan website Biro Hukum dan Organisasi adalah persepsi kemudahaan konten website, sikap penggunaan konten website, dan minat perilaku penggunaan konten website, (4) Faktor Persepsi kegunaan konten website dapat digunakan dalam pengembangan peningkatan pengguna potensial, dengan dimungkinkannya membangun kembali konten peraturan perundang-undangan website Biro Hukum dan Organisasi dengan pertimbangan kebutuhan pengguna, pengalaman pengguna dan skema peraturan perundang-undangan bidang kesehatan berdasarkan muatan yang diatur. ......This study aims to analyze the factors that influence user acceptance of the content of the Regulations of the Laws and Organizations Bureaus websites. The research is quantitative study using TAM (Technology Acceptance Model). The results of this study indicate, (1) Acceptance of content users in the website of the Laws and Organizations Bureaus using acceptance factors, namely perceived of usefulness of website content, perceived ease of use of website content, the attitude of using website content and interest in the behavior of using website content simultaneously are accepted positively, (2) Factors that influence user acceptance of content of regulations on Laws and Organizations Bureaus websites are perceived usefulness of the website content, (3) Factors that do not influence user acceptance of the content of regulations on Laws and Organizations Bureau websites are the perceived ease of use of website content, the attitude of using website content, and the behavior interest in using website content, (4) Perceptions of usefulness factors website content can be used in the development of an increase in potential users, with the possibility of rebuilding the content of the regulations on the website of the Laws and Organization Bureau with consideration of user needs, user experience, and health legislation schemes based on regulated content.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Bayu Handayani
Abstrak :
ABSTRAK Skrining maupun diagnostik mamografi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan dalam mendeteksi kanker payudara sehingga dapat menurunkan angka mortalitas kanker payudara. Kekurangan mamografi adalah pada payudara dengan densitas tinggi yang banyak ditemui pada perempuan Indonesia. Pemeriksaan kombinasi mamografi dan USG dapat meningkatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas deteksi lesi, namun tidak efisien dan efektif dalam segi pembiayaan dan waktu. Mengetahui hasil mamografi berdasarkan densitas payudara dan rasio volume lesi dan volume payudara berguna dalam optimalisasi penggunaan ultrasonografi dalam mendeteksi lesi.

Tujuan : Mengetahui penggunaan modalitas mamografi dan ultrasonografi dalam upaya mendeteksi lesi dan pengukuran rasio volume lesi pada pemeriksaan diagnostik payudara untuk efisiensi waktu dan biaya.

Metode : Menggunakan dua jenis disain penelitian yang saling terkait. Penilaian tingkat kesesuaian hasil temuan lesi berdasarkan pemeriksaan mamografi dengan ultrasonografi, dan mamografi saja dengan kombinasi mamogafi dan ultrasonografi dilakukan disain studi asosiasi. Untuk pengukuran rerata rasio volume lesi dan volume payudara menurut tingkat densitas payudara dilakukan dengan disain survei deskriptif. Kesimpulan : Deteksi lesi menggunakan mamografi pada payudara densitas a dan b dikombinasikan dengan ultrasonografi hanya dilakukan hanya bila perlu saja, namun pada payudara densitas c dan d dilakukan kombinasi dengan ultrasonografi. Volume lesi dan volume payudara dapat dicantumkan sebagai salah satu pertimbangan informasi tata laksana.


ABSTRACT Mammography is recommended tool for breast cancer screening and diagnostic to decrease mortality. Lack of mammography in detecting lesions related with high breast density, which founded in Indonesian women. The use of diagnostic ultrasonography combined with mammography able to improve the specificity and sensitivity on lesions detection, but it has an issue with cost and time effective. Knowing the result of mammography based on breast density and the ratio of volume lesions and breast volume is useful in optimizing the use of ultrasonography in lesions detection. Purpose : To determine the ability of mammography and ultrasonography on lesion detection and assess the volume lesion ratio and breast volume with the purpose of cost and time efficient. Method : Using two related research design. Assessment of breast lesion findings based on mammography and ultrasonography and the combination findings were carried out with association study design, and the assessment of lesion volume ratio and breast volume was carried out with descriptive study design. Conclusion : The use of ultrasonography combined with mammography for lesions detection is carried out for breast density c and d. The implementation for this combination method for breast density a and b is only for necessary purpose. Lesions volume and breast volume can be included in the report as a consideration for therapy.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philip Waruna
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Kanker payudara merupakan kanker yang menempati urutan pertama dari keseluruhan kanker pada perempuan di Indonesia dan menurut data dari Indonesia Journal of Cancer 2012 menyebabkan kematian sebesar 458.000 perempuan. Kepadatan payudara merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker payudara yang dipicu oleh adanya estrogen yang menjadi prekursor jaringan fibrogladular menjadi padat. Pada perempuan dengan kanker payudara dan densitas payudara yang tinggi ditemui juga adanya perlemakan hati yang tinggi. Hubungan antara pasien dengan kanker payudara dengan densitas payudara yang tinggi dan perlemakan hati masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kepadatan jaringan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat hubungannya dengan estrogen reseptor yang diperiksa dengan immunohistokimia. Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder ultrasonografi abdomen dan mammografi dari sistem PACS RS Kanker Dharmais. Penilaian yang dilakukan dengan melihat derajat kepadatan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan derajat perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat status estrogen reseptor dari immunohistokimia pada pasien kanker payudara tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengelompokan kepadatan payudara sampai 50 % dan kelompok lain dengan kepadatan lebih dari 50% dan membandingkan dengan perlemakan hati ringan dan berat. Hasil: Pengelompokan pasien dengan kepadatan payudara sampai 50% menunjukkan terdapat banyak perlemakan hati berat, demikian juga pada kepadatan payudara yang lebih besar dari 50% menunjukkan terdapat lebih banyak lagi perlemakan hati derajat berat namun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan Nilai Odds Ratio (OR) = 0.60 dengan 95% Interval Kepercayaan 0.12 – 3.01. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan antara kepadatan jaringan payudara yang tinggi dengan perlemakan hati yang juga tinggi walaupun secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
ABSTRACT
Background and Objectives: Breast cancer are the most common cancer and the first in all cancer that affected women in Indonesia and the data from Indonesian Journal of Cancer 2012 said, it cause death for about 458.000 women. Breast density are one of the risk factor that cause breast cancer and estrogen are the precursor for high density of the fibroglandular tissue. Women with breast cancer and high breast density are found to have a high degree of fatty liver. The relationship between breast cancer with high breast density and high fatty liver was unknown. The aim of these research wants to evaluation the breast density on mammography and fatty liver on ultrasound and the relationship with estrogen reseptor which was examined with immunohistochemistry. Method: A cross sectional research is perform using mammography and ultrasound from PACS system. These research wants to evaluation the high breast density with mammograms and fatty liver with ultrasound and their relationship with estrogen receptor by immunohistochemistry. Data was merged in to two groups, one group with breast density until 50% and the other group was breast density more than 50% and compared it with mild and severe fatty liver. Result: Patient with breast density until 50% showed more severe fatty liver as well as patient with breast density more than 50% had more severe fatty liver, although statistically had no significant relationship with Odds Ratio (OR) = 0,60 and confidence interval 0,12-3.01. Conclusion: There are tendency relationship between higher breast density and higher fatty liver although statistically showed no significant relationship.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonya Anasrul
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Menentukan korelasi nilai Ejection Fraction (EF) ventrikel kiri pada echo 2D dan DSCT jantung pada pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) stabil di RSUPN Cipto Mangunkusumo, sehingga nilai EF ventrikel kiri DSCT jantung dapat dijadikan acuan untuk evaluasi, penatalaksanaan dan prognosis pada PJK stabil yang mempunyai indikasi dilakukan CT jantung. Metode: Analisa retrospektif dari 30 pasien PJK stabil yang menjalani pemeriksaan echo 2D dan DSCT jantung dengan jarak waktu ≤ 3 bulan, meliputi penilaian EF ventrikel kiri. Berdasarkan nomor rekam medis yang ada, dilakukan pengambilan data EF ventrikel kiri echo 2D serta data tambahan lainnya. Nilai EF ventrikel kiri secara DSCT di evaluasi kembali pada cardiac workstation (Siemens, Leonardo), kemudian ditentukan bagaimana korelasinya dengan nilai EF ventrikel kiri secara echo 2D. Analisis statistik penelitian ini menggunakan uji Spearman Hasil: Terdapat perbedaan nilai EF ventrikel kiri sebanyak 4% antara echo 2D dengan DSCT jantung. Perbedaan sebanyak 4% ini tidak bermakna signifikan secara klinis namun bermakna secara statistik. Nilai R Spearman yang didapat adalah 0,17 sementara nilai p 0,364 (p > 0,005), artinya tidak terdapat korelasi antara nilai EF ventrikel kiri secara echo 2D dengan DSCT jantung pada pasien PJK stabil yang menjalani pemeriksaan echo 2D dan DSCT jantung dengan jarak ≤ 3 bulan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kesimpulan: Walaupun pada penelitian ini secara statistik tidak berkorelasi, namun pada keadaan hasil echo yang borderlineatau pada pasien PJK stabil yang mempunyai indikasi dilakukan CT jantung, nilai EF ventrikel kiri pada CT dapat menjadi acuan untuk penatalaksanaan selanjutnya.
ABSTRACT
Background and Objectives: to determine the correlation left ventricle Ejection Fraction (EF) between echo 2D and cardiac DSCT in Coronary Heart Disease (CHD) patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, so that the value of the left ventricular EF cardiac DSCT can be used as a reference for the evaluation, treatment and prognosis in stable CHD who have an indication of cardiac CT. Methods: A retrospective analysis of 30 patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with interval ≤ 3 months, include assessment of left ventricular EF. Based on the existing medical record number, performed data collection left ventricular EF 2D echo and other additional data. Value of left ventricular EF in DSCT in return on cardiac evaluation workstation (Siemens, Leonardo), then determined how its correlation with left ventricular EF values in 2D echo. Statistical analysis of this study using the Spearman test. Result: There are differences in left ventricular EF value by 4% between 2D echo with cardiac DSCT. The difference of 4% is not clinically significant, but statistically significant. Spearman R value obtained was 0.17 while the p-value 0.364 (p> 0.005), meaning that there is no correlation between the value of the left ventricular EF in 2D echo and cardiac DSCT in patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with distance ≤ 3 month in Cipto Mangunkusumo hospital. Conclusion: Although this study was not statistically correlated, but the results echo borderline or in stable CHD patients who had cardiac CT indications, left ventricular EF values on CT can be a reference for further management.;Background and Objectives: to determine the correlation left ventricle Ejection Fraction (EF) between echo 2D and cardiac DSCT in Coronary Heart Disease (CHD) patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, so that the value of the left ventricular EF cardiac DSCT can be used as a reference for the evaluation, treatment and prognosis in stable CHD who have an indication of cardiac CT. Methods: A retrospective analysis of 30 patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with interval ≤ 3 months, include assessment of left ventricular EF. Based on the existing medical record number, performed data collection left ventricular EF 2D echo and other additional data. Value of left ventricular EF in DSCT in return on cardiac evaluation workstation (Siemens, Leonardo), then determined how its correlation with left ventricular EF values in 2D echo. Statistical analysis of this study using the Spearman test. Result: There are differences in left ventricular EF value by 4% between 2D echo with cardiac DSCT. The difference of 4% is not clinically significant, but statistically significant. Spearman R value obtained was 0.17 while the p-value 0.364 (p> 0.005), meaning that there is no correlation between the value of the left ventricular EF in 2D echo and cardiac DSCT in patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with distance ≤ 3 month in Cipto Mangunkusumo hospital. Conclusion: Although this study was not statistically correlated, but the results echo borderline or in stable CHD patients who had cardiac CT indications, left ventricular EF values on CT can be a reference for further management., Background and Objectives: to determine the correlation left ventricle Ejection Fraction (EF) between echo 2D and cardiac DSCT in Coronary Heart Disease (CHD) patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, so that the value of the left ventricular EF cardiac DSCT can be used as a reference for the evaluation, treatment and prognosis in stable CHD who have an indication of cardiac CT. Methods: A retrospective analysis of 30 patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with interval ≤ 3 months, include assessment of left ventricular EF. Based on the existing medical record number, performed data collection left ventricular EF 2D echo and other additional data. Value of left ventricular EF in DSCT in return on cardiac evaluation workstation (Siemens, Leonardo), then determined how its correlation with left ventricular EF values in 2D echo. Statistical analysis of this study using the Spearman test. Result: There are differences in left ventricular EF value by 4% between 2D echo with cardiac DSCT. The difference of 4% is not clinically significant, but statistically significant. Spearman R value obtained was 0.17 while the p-value 0.364 (p> 0.005), meaning that there is no correlation between the value of the left ventricular EF in 2D echo and cardiac DSCT in patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with distance ≤ 3 month in Cipto Mangunkusumo hospital. Conclusion: Although this study was not statistically correlated, but the results echo borderline or in stable CHD patients who had cardiac CT indications, left ventricular EF values on CT can be a reference for further management.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verawati
Abstrak :
Latar belakang : CT jantung merupakan modalitas screening pada pasien resiko tinggi penyakit kardiovaskular. Fungsi diastolik ventrikel kiri kurang umum dinilai dibandingkan fungsi kontraksi sistolik ventrikel kiri (ejection fraction, EF). Pasien gagal jantung menunjukkan nilai EF yang baik meskipun pada kondisi stenosis arteri koronaria berat. Mortalitas gagal jantung sama besarnya pada pasien dengan nilai EF normal dan EF menurun, sehingga penilaian dini disfungsi diastolik menjadi hal penting untuk strategi pengobatan yang tepat. Lemak perikardial merupakan faktor prediktor bebas disfungsi diastolik. Penilaian volume lemak perikardial mudah dilakukan, tidak memberikan radiasi dan biaya tambahan, namun tidak rutin dilakukan pada pemeriksaan CT toraks. Penelitian ini melihat hubungan volume lemak perikardial dengan derajat disfungsi diastolik melalui pemeriksaan CT jantung. Tujuan : Meningkatkan manfaat CT toraks dalam menilai volume lemak perikardial sebagai faktor prediktor disfungsi diastolik. Metode : Comparative cross-sectional dengan menggunakan data sekunder dari 82 pasien penyakit jantung koroner yang menjalani pemeriksaan DSCT jantung. Hasil : Terdapat hubungan positif antara volume lemak perikardial dengan disfungsi diastolik derajat sedang pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani DSCT jantung. Titik potong volume lemak perikardial pada disfungsi diastolik derajat berat adalah 220.26cm3, dengan nilai sensitivitas 81.8% dan spesifisitas 74,1%. Kesimpulan: Volume lemak perikardial dapat digunakan untuk menentukan disfungsi diastolik derajat sedang, dan dapat dipakai sebagai suatu acuan deteksi dini. ...... Background: Cardiac CT is a modality used for screening patients with high risk of cardiovascular disease by assessing left ventricular systolic contraction function (ejection fraction, EF). It’s still uncommon to assess left ventricular diastolic function. Patients with heart failure showed good EF value despite the severity of coronary artery stenosis. Early assessment of diastolic dysfunction become essential for treatment strategies since there’s equal mortality rate in heart failure patients with normal or decrease EF. Pericardial fat is an independent predictor factor of diastolic dysfunction. Eventhough pericardial fat volume easily assessed and there’s no additional radiation and cost, it still not routinely done in thoracic CT examination. This study looked at the relationship of pericardial fat volume with a degree of diastolic dysfunction through cardiac CT examination. Purpose: Increase the benefits of thoracic CT to assess pericardial fat volume as a predictor factor of diastolic dysfunction. Method : Comparativecross-sectional study using secondary data from 82 patients with coronary artery disease who underwent cardiac DSCT. Result : There is a positive relationship between pericardial fat volume with moderate degree of diastolic dysfunction in patients with coronary artery disease who underwent cardiac DSCT. A cut off value of220.26cm3, determined a sensitivity 81.8% and specivicity 74,1% to detect moderate diastolic dysfunction. Conclusion: Pericardial fat volume can be used to determine moderate diastolic dysfunction and can be used as a reference for the early detection.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestianing Herdiani
Abstrak :
Hemoptisis dapat diartikan sebagai batuk darah yang disebabkan perdarahan saluran pernapasan. Penyebab hemoptisis sangat bervariasi di beberapa tempat, tergantung dari area geografis. TB pulmonal masih merupakan penyebab utama hernoptisis pada beberapa negara, sedangkan pada beberapa negara berkernbang, bronkiektasis, kanker paru serta bronkitis rnerupakan penyebab tersering hemoptisis .. Foto toraks dan CT Scan Toraks rnerupakan modaIitas radiologi yang dapat digunakan untuk skrining penyebab hernoptisis. Tujuan penelitian ini adalah untuk.menillai garnbaran CT Scan toraks dan toto toraks dalam rnengevaluasi kelainan paru pada penderita hemoptisis, pada 55 pasien dewasa yang datang ke Instalasi Radiologi yang dikirirn oleh poli paru maupun IGD Paru RS Persahabatan. Pasien dengan batuk darah dilakukan perneriksaan toto toraks dan dilakukan evaluasi. Kemudian pada pasien yang sarna, dilakukan pemeriksaan CT Scan toraks, dengan jeda waktu yang tidak lebih dari 1 bulan dari pemeriksaan toto toraks. Penilaian gambaran toto toraks dan CT Scan toraks dilakukan oleh peneliti ~ang dikonfirmasi kepada satu orang spesialis radiologi konsultan toraks. Statistik deskriptif ptong Iintang yang didapatkan dengan internal comparison untuk mengetahui penyebab hemoptisis terbanyak dengan menggunakan CT Scan toraks dan foto toraks. Didapatkan hasil bahwa penyebab hemoptisis terbanyak dengan menggunakan toto toraks yaitu TB paru ( 40%), tumor pam (18,1 %), bronkiektasis (3,6%), sedangkan dengan CT Scan toraks didapatkan hasil TB pam (60%), bronkiektasis (52,7%) dan tumor paru (32,7%). CT Scan toraks bermakna secara statistic unutk menentukan penyebab hemoptisis dibandingkan toto toraks, sehingga CT Scan toraks sebaiknya dirnasukan dalam penataIaksanaan pasien hemoptisis. ......Hemoptysis can be interpreted as coughing blood due to respiratory tract bleeding. The cause of hemoptysis vary widely in some places, depending on the geographical area. Pulmonary TB is still a major cause of hemoptysis in some countries, while in some developing countries, bronchiectasis, lung cancer and bronchitis is a common cause hemoptisis. Chest radiograph and thoracic CT scan is a radiology modality that can be used for screening the cause of hemoptysis. The purpose of this research is an overview to evaluate thoracic CT scan and chest radiograph to evaluate lung abnormalities in patients with hemoptysis. We performed a prospective cross sectional study of 55 adult patients with hemoptysis who were attending outpatient Persahabatan Hospital, from February until April 2014, that come to the Radiology sent by lung and pulmonary policlinic or emergency room. The patient's was done the chest x-ray examination and evaluation. Later in the same patients, thoracic CT scan performed, with a time lag of no more than I month of chest X-ray. Assessment overview chest radiograph and thoracic CT scan performed by a researcher who was confirmed to the consultant thoracic radiology specialists. This research are showed that most caused of hemoptysis us10g the chest radiograph are pulmonary tuberculosis (40%), lung tumors (18.1%), bronchiectasis (3 .6%), whereas the thoracic CT scan showed pulmonary tuberculosis (60%), bronchiectasis (52.7%) and lung tumors (32.7%). Bronchiectasis seen five times more on thoracic CT scans beside chest radiography. Thoracic CT scan are statistically significant to determine the cause of hemoptysis compared chest radiograph, chest so CT scan should be included in the management of patients hemoptysis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Santoso Sugandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat. Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya. Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%. Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.
ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment. Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity. Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syari Maisyarah Rahman
Abstrak :
Latar Belakang : Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di dunia. Penyakit jantung koroner sebagai akibat aterosklerosis merupakan penyebab kematian utama penyakit kardiovaskuler baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Penting untuk melakukan segala upaya deteksi dini hal-hal terkait peningkatan risiko demi mencegah penyakit ini. CT scan kardiak mampu menilai proses aterosklerosis melalui evaluasi remodelling pada lumen pembuluh darah koroner sebagai informasi untuk tata laksana pasien penyakit jantung koroner. Tujuan : Mendapatkan arah hubungan risiko kardiovaskuler tinggi berdasarkan skor kalsium arteri koroner terhadap indeks remodelling pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani CT scan kardiak. Metode : penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 63 pasien penyakit jantung koroner yang telah menjalani pemeriksaan CT scan kardiak di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Juli 2013 hingga Februari 2019. Penelitian dilakukan sejak Desember 2018 hingga April 2019. Penilaian total skor kalsium arteri koroner dan penilaian indeks remodelling dilakukan oleh peneliti dan dilakukan pengecekan kembali oleh pembimbing Radiologi. Hasil : Dilakukan Uji Mann-Whitney U, pada total indeks remodelling positif didapatkan nilai median 134,6 dengan range 3,2 sampai 3862,4 dan pada total indeks remodelling negatif didapatkan nilai median 7 dengan range 1,4 sampai 356,5. Terdapat perbedaan signifikan diantara keduanya (p<0,05). Dilakukan penentuan titik potong total skor kalsium arteri koroner sebesar 54,8 dengan nilai sensitivitas 76 % dan spesifisitas 76,9 %. Kesimpulan : Terdapat hubungan positif antara total skor kalsium arteri koroner dengan indeks remodelling arteri koroner melalui CT scan kardiak pada pasien penyakit jantung koroner. ......Background : Cardiovascular disease is the leading cause of death in the world. Coronary heart disease as a result of atherosclerosis is the leading cause of death for cardiovascular disease both in the United States and in Indonesia. It is important to make every effort to detect things related to increasing risk to prevent this disease. Cardiac CT scan is able to assess the process of atherosclerosis through evaluation of remodeling of the lumen of the coronary arteries as information for the management of patients with coronary heart disease. Purpose : Obtain direction of the relationship of high cardiovascular risk based on coronary artery calcium score to index remodeling in coronary heart disease patients undergoing cardiac CT scans. Method : this study uses cross-sectional design with consecutive sampling method. The study sample consisted of 63 coronary heart disease patients who had undergone cardiac CT scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo Hospital in the period July 2013 to February 2019. The study was conducted from December 2018 to April 2019. Evaluation of total coronary artery calcium scores and remodeling index assessment was carried out by researchers and is checked again by the Radiology supervisor. Results : The Mann-Whitney U Test was carried out, on the total positive remodeling index obtained a median 134.6 with a range of 3.2 to 3862.4 and the total negative remodeling index obtained a median 7 with a range of 1.4 to 356.5. There were significant differences between the two (p <0.001). Determination of the total coronary artery calcium score cut was 54.8 with a sensitivity 76% and a specificity of 76.9% Conclusion : There is a positive relationship between the total coronary artery calcium score and the index of coronary artery remodeling through cardiac CT scan in coronary heart disease patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Floryanti
Abstrak :
Latar belakang: Kanker payudara merupakan kanker dengan insiden tertinggi dan penyebab kematian utama akibat kanker pada perempuan di dunia. Penggunaan implan payudara pasca mastektomi maupun tujuan kosmetik juga ikut meningkat. Ultrasonografi, mamografi dan MRI adalah modalitas pencitraan utama dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara. Peranan USG dalam hal tersebut masih kontroversi; sensitivitas mamografi dilaporkan menurun sementara MRI terbatas penggunaanya akibat kendala ketersediaan dan biaya pemeriksaan tinggi. Telaah sistematis ini dibuat untuk menilai akurasi diagnostik USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara. Metode: Pencarian sistematis dilakukan pada Januari 2022 untuk mengidentifikasi studi yang menilai akurasi diagnostik USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara dengan referensi baku pemeriksaan patologi anatomi dengan menggunakan data dasar Scopus, PubMed, jurnal dan riset nasional, hand searching serta grey literature. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pada masing-masing uji indeks diekstraksi. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan menggunakan QUADAS-2. Hasil: Tiga belas studi diidentifikasi. Nilai sensitivitas USG terendah 62%, tertinggi 95%, spesifitas 93%. Nilai sensitivitas mamografi terendah 22%, tertinggi 80%, spesifitas 100%. Sementara itu, nilai sensitivitas MRI terendah 86%, tertinggi 100% dengan spesifisitas terendah 17%, tertinggi 75%. Sepuluh studi menunjukkan risiko bias tinggi pada salah satu domain, tiga studi di antaranya menunjukkan risiko bias tinggi pada domain yang lain. Kesimpulan: Akurasi diagnostik modalitas USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara sangat bervariasi. ......Background: Breast cancer is cancer with the highest incidence and leading cause of cancer death among women worldwide. Breast implant use for post mastectomy patients and for cosmetic purposes is also increasing. Ultrasonography, mammography and MRI are imaging modalities mostly used to detect breast lesions in patients with breast implants. Ultrasound role is still unclear; mammography has been reported to have lower sensitivity while MRI availibility is still limited and highly cost. This systematic review is written to analyze diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI in detecting breast cancer in patients with breast implants. Methods: Studies contained diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI in detecting breast cancer lesions with pathological examination as reference standard were identified. Scopus, PubMed, national journals and research, hand searching and grey literatures were systematically searched through January 2022. Sensitivity and specificity value of each index tests from eligible studies is extracted. Methodological quality was assessed using QUADAS-2. Results: Thirteen studies were identified. The lowest and the highest sensitivity value are 62% and 95 % for ultrasound, 22% and 80 % for mammography, 86% and 100% for MRI while specificity value are 93% for ultrasound, 100% for mammography, the lowest and the highest of MRI 17% and 75%, respectively. Ten studies demonstrated high risks of bias in one domain with three of them also have high risk of bias in another domain. Conclusion: Diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI to detect breast cancer in patients with breast implants is varied.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmasari Chumairah
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021. Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>