ABSTRAK
Selama ini, teknologi merupakan sebuah bahasan minor dalam diskusi ilmu hubungan internasional. Padahal, teknologi selalu menjadi salah satu pemicu bagi dinamika antar aktor hubungan internasional, seperti pada Revolusi Industri pertama, atau pada space race antara Rusia dan Amerika Serikat dalam perang dingin yang menjadi pemicu ditemukannya internet. Tulisan ini secara spesifik membahas mengenai bagaimana Teknologi Informasi (TI), atau teknologi informasi digital (non-analog seperti radio / telepon) yang terkomputerisasi. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau bagaimana diskusi-diskusi hubungan internasional mengenai teknologi informasi berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Penulis membagi tulisan ini ke dalam tiga periode yang ditandai dengan tiga milestone. Periode pertama dimulai sejak ditemukannya transistor digital pada tahun 1947 dan berakhir pada 1990, dimana tulisan-tulisan yang muncul dalam periode ini bersifat prediktif terhadap dampak TI terhadap HI. Periode kedua (1991-2012) dimulai dengan milestone dipublikasikannya internet secara massal kepada masyarakat global, sehingga diskusi yang berkembang terpusat dengan bagaimana internet mengubah dinamika HI. Periode ketiga (2013 sampai sekarang) ditandai dengan sebuah milestone, yaitu terungkapnya tiga fenomena kontroversial yang telah mengubah narasi yang berkembang mengenai TI dalam HI, yaitu: (1) Terungkapnya pengawasan massal global yang dilakukan oleh National Security Agency (NSA) Amerika Serikat oleh Edward Snowden (2) Perbudakan buruh yang dilakukan Apple-Foxcon (3) Manipulasi politik tim kampanye Donald Trump melalui Facebook-Cambridge Analytica. Tinjauan pustaka ini berupaya untuk menemukan konsensus dan perdebatan dalam sepanjang evolusi diskusi TI dalam HI dari periode ke periode. Tinjauan pustaka ini menemukan beberapa tren dalam topik ini: (1) Diskusi-diskusi TI dalam HI bersifat optimis sampai periode kedua, dan mulai mengarah pada pesimisme di periode tiga. (2) Aktor bisnis menjadi aktor yang paling mendominansi diskusi TI dalam HI, baik itu dibahas dalam sudut pandang positif ataupun negatif (3) Paradigma liberal mendominansi diskusi pada periode kedua, sementara paradigma Marxisme mendominansi diskusi pada periode tiga. (4) Prediksi Fouccoult mengenai panopticonisme menjadi yang paling akurat dalam diskusi TI dalam HI di era saat ini. (5) Teknologi informasi merupakan sebuah source of power baru dalam HI. Di bagian akhir, Tinjauan Pustaka ini memberikan rekomendasi bagi Indonesia yang sedang dalam proses transformasi digital, serta menekankan penelitian lanjutan pada tulisan ini.
Kata kunci: Teknologi Informasi, Digital, Hubungan Internasional dan Teknologi Informasi
ABSTRACT
Technology has been a minor discussion in International Relations (IR). From Industrial Revolution to the space race in the cold war, technology has always become a trigger of change in its actor dynamics. This literature review would like to take focus only on the Information Technology (IT), or the computed-digital and non-analog technology (that excludes telephone, radio, etc.). This writing is aimed to review how the discussion of IR about IT evolves and develops throughout the years. This literature review will be divided into three time periods, marked by three great milestones. The first period started after the invention of the digital transistor at 1947 and ended in 1990, in which the discussion inside this periods mostly predicts the effects of IT in IR in years to come. The second period (1991-2012) is marked by the global publication of the internet, that which discussions in this period focuses on how internet impacts IR. Lastly the third period (2013 until now) is marked by three controversial phenomenon that later would change the direction of the discussion about IT in IR, those are: (1) The global mass surveillance of National Security Agency of USA leaked by Edward Snowden (2) The modern slavery of digital labor by Apple-Foxcon (3) The Trump’s campaign team political manipulation through Facebook-Cambridge Analytica. This literature review tried to see the debates and consensus throughout the evolutions of discussion of IT in IR. This literature review has also identified following trends regarding this topic, which are: (1) The discussion of IT in IR has been positive and affirmative in the second period, and it changes into being skeptical and critical in the third period of time (2) The business actors has always dominated, be it’s in the positive or negative framing (3) The liberal paradigm dominated the discussion in the second period, while the Marxist dominated in the third one (4) Fouccoult’s prediction regarding panopticonism has been the most accurate to picture nowadays IT era (5) Information Technology has become a new source of power in International Relations. This literature review also gives several recommendation to Indonesia which in the middle of the process of digital transformation.
Key words: Information Technology, Digital, International Relations and Information Technology
Nama : Megan Anglingsari Raritra Intanti
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Judul : Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa
Pembimbing : Dr. phil. Yandry Kurniawan
Kajian Analisis Kebijakan Luar Negeri atau FPA telah menjadi bidang studi independen dalam ilmu hubungan internasional sejak tahun 1950an. Fokus FPA terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dianggap telah berhasil menjawab permasalahan studi HI yang cenderung menciptakan jarak antara politik domestik dan internasional. Menariknya, klaim bahwa FPA telah inklusif menuai kritik diantara cendekia Eropa, khususnya dalam pembahasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana literatur menempatkan kebijakan luar negeri Uni Eropa diantara kajian FPA. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, penulis menyusun 96 total temuan literatur dengan akreditasi internasional dalam empat kategori tema, yaitu: (1) konsep kebijakan luar negeri Uni Eropa; (2) institusionalisasi kebijakan luar negeri Uni Eropa; (3) Uni Eropa sebagai aktor; dan (4) lingkup kawasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Upaya tinjauan literatur menghasilkan beberapa temuan seperti konsensus, perdebatan, dan kesenjangan terkait topik ini. Selain itu, tulisan ini juga menelusuri tren tema literatur, persebaran penulis, serta tren persebaran paradigmatik. Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini berhasil menyingkap fakta bahwa FPA belum menjadi perspektif yang umum digunakan dalam mengkaji kebijakan luar negeri Uni Eropa. Meskipun begitu, tulisan ini tidak menemukan literatur yang menolak keberadaan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Tulisan ini akan ditutup dengan penjabaran sejumlah rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang meliputi perluasan paradigmatik khususnya FPA dan pendekatan kritis, serta topik-topik yang belum banyak terbahas tetapi cukup relevan dengan kondisi empirik kebijakan luar negeri Uni Eropa.
Kata kunci:
Analisis Kebijakan Luar Negeri, Uni Eropa, kebijakan luar negeri Uni Eropa, European Foreign Policy, hubungan eksternal Uni Eropa, EPC, CFSP
Name : Megan Anglingsari Raritra Intanti
Study Program : International Relations
Title : European Union’s Foreign Policy
Counsellor : Dr. phil. Yandry Kurniawan
Foreign Policy Analysis or FPA has been developed as an independent field of international relations (IR) studies since the 1950s. FPA’s primary focus on foreign policy decision making processes is considered to have successfully answered IR studies problem which tends to create a gap between domestic and international politics. Interestingly, the claim that FPA has been inclusive drawn criticism among European scholars, particularly in the discussion of the EU's foreign policy. Therefore, this paper aims to explain how literature interpret EU’s foreign policy among FPA studies. In order to achieve this goal, the authors compiled 96 total international accreditation literature within four categories of themes, namely: (1) the concept of EU’s foreign policy; (2) institutionalization of EU’s foreign policy; (3) European Union as an actor; and (4) regional scope of the EU’s foreign policy. This literature review has resulted in several findings such as consensus, debates, and gaps related to this topic. In addition, this paper also traces the literature trend, distribution of authors’ origin, as well as the paradigmatic trend. Based on these conditions, this paper was successfully revealed the fact that FPA is not a mainstream perspective in studying EU’s foreign policy. Even so, this paper didn’t identify scholar that rejects the idea of EU’s foreign policy. This paper will conclude with some recommendations for further research including paradigmatic diversification, especially FPA and a critical approach, as well as topics that rarely discussed but are quite relevant to the empirical conditions of EU’s foreign policy.
Keywords:
Foreign Policy Analysis, European Union, European Foreign Policy, EU Foreign Policy, EU External Relations, EPC, CFSP
Tulisan ini menganalisis pengambilan kebijakan militer dalam menanggulangi isu Irregular Maritime Arrival (IMA) di Australia dalam Pemilu Australia tahun 2013. Beberapa kajian terdahulu yang membahas topik ini memberikan gambaran dari sudut pandang sekuritisasi, bahwa telah terjadi proses sekuritisasi isu IMA sehingga penanganan terhadap ancaman IMA membutuhkan intervensi angkatan perang Australia melalui operasi militer di perbatasan. Namun, dalam konteks Pemilu Australia 2013, kajian-kajian terdahulu tersebut belum menjelaskan mengapa isu ini disekuritisasi oleh Koalisi Partai Liberal-Nasional sehingga menghasilkan kebijakan yang koersif dalam penanganan IMA. Dengan menggunakan strands of securitization, tulisan ini menganalisis tujuan apa saja yang ingin dicapai oleh aktor sekuritisasi dari sekuritisasi isu IMA di Australia. Temuan tulisan ini menunjukan bahwa sekuritisasi yang dilakukan sejak masa kampanye hingga periode Pemerintahan Tony Abbot ditujukan untuk mengangkat isu IMA dalam agenda keamanan nasional karena kedaruratan isu ini dan legitimasi atas diambilnya tindakan luar biasa melalui Operation Sovereign Borders (OSB) untuk mengeliminir ancaman dari kedatangan imigran ilegal ke Australia. Melalui OSB, pemerintah juga berharap dapat memunculkan efek penggentaran kepada para pencari suaka yang berpotensi datang secara ilegal ke Australia melalui laut.
This article analyzes military policy making made by Australian Governmentto tackle the issue of Irregular Maritime Arrival (IMA) in Australia during the Australian Federal Election in 2013. Some of existing studies on the topic illustrate from the point of view of securitization, that IMA issue has been securitized and requires the intervention of the Australian army through millitary operation in the Australian border. However, in the context of the 2013 Australian Federal Elections, these earlier studies have not explained the objectives of securitization resulting in an assertive policy towards IMA. By employing the strands of securitization concept, this paper analyzes what objectives the securitizing actor wants to achieve from the securitization of IMA in Australia. The findings of this paper indicate that the securitization was aimed at raising the issue of illegal immigrants on the national security agenda due to the emergence of this issue and to gain legitimacy of extraordinary measures to eliminate the threat possesed by IMA. This securitization also aimed to create deterrence effect towards the asylum seekers who are planning to go to Australia by boat illegally.