Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadilla Safira
"Hubungan antara negara dan bisnis menjadi basis institusional dari proses industrialisasi di Korea Selatan. Hubungan ini bersifat dinamis dalam menghadapi tantangan domestik dan internasional. Walaupun telah melewati reformasi ekonomi neoliberal pasca Krisis Finansial Asia, hubungan yang terbentuk di bawah model developmental state ini, ternyata berlanjut hingga ke era globalisasi kontemporer. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan bagaimana evolusi kronologis dari hubungan negara dan bisnis dalam proses industrialisasi di Korea Selatan? Berdasarkan analisis struktural dari tiga periode industrialisasi di Korea Selatan: tahun 1961-1979, tahun 1980-1998, hingga pasca tahun 1998, ditemukan evolusi peran dan karakter dari hubungan negara dan bisnis. Pertama, hubungan negara dan bisnis diwarnai dengan karakter negara kuat, bisnis lemah yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi pesat di Korea Selatan. Kedua, evolusi terjadi yang melihat pergeseran karakter hubungan negara dan bisnis menjadi negara melemah, bisnis menguat yang berperan dalam menyebabkan krisis berimbas bagi Korea Selatan. Terakhir, evolusi kembali terjadi dengan penetapan hubungan negara dan bisnis yang karakternya adaptif serta berperan dalam menghasilkan upaya-upaya adaptasi terhadap tantangan neoliberalisme global.

State-business relations become the institutional basis for South Korea's industrialization process. This type of state-business relations is dynamic in facing domestic and international challenges. Even though it has gone through neoliberal reforms after the Asian Financial Crisis, the relationship formed under developmental state model have continued into the contemporary era of globalization. This paper will answer the question of how the chronological evolution of state and business relations in the industrialization process in South Korea? Based on the structural analysis of the three periods of industrialization in South Korea: from 1961-1979, 1980-1998, until after 1998, the evolution of the roles and characters of the South Korean state and business relations was found. First, the relationship between the state and business is characterized by the character of strong state, weak business that plays a role in rapid economic growth in South Korea. Second, evolution occurs which sees the character of the relationship shifted into a weakening state, stronger business and has a role in causing the financial crisis in South Korea. Finally, re-evolution occurs by establishing an adaptive state-business relations in character and this relation plays a role in generating adaptation measures to the challenges of global neoliberalism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yustina Dinar Moneta
"Skripsi ini menganalisis alasan pemerintah Jepang meliberalisasi sektor agrikulturnya pada European Union-Japan Economic Partnership Agreement (EU-JEPA) padahal sebelumnya, seringkali mendapatkan penolakan dari aktor-aktor domestiknya. Metodologi yang digunakan studi ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara. Melalui teori two-level games, skripsi ini menjelaskan proses negosiasi dan alasan Jepang meliberalisasi sektor agrikulturnya melalui tiga determinan dan satu faktor pendukung dalam penelitian ini yang dirangkum dari proses negosiasi di Level I dan Level II. Pada Level I, terdapat kompromi antara Jepang dan UE terhadap tarif produk sektor agrikultur yang menguntungkan kedua belah pihak dan adanya kebijakan Abenomics dengan salah satu pilar reformasi agrikultur. Pada Level II determinan I, terdapat pengurangan dominasi aktor-aktor domestik yang tidak pro liberalisasi sektor agrikultur dan adanya kepentingan Shinzo Abe untuk melakukan kerja sama ekonomi. Pada Level II determinan II, semakin besarnya peran lembaga eksekutif Jepang (perdana menteri dan Kantei) di bawah Shinzo Abe yang intervensionis dan suara partai oposisi yang terpecah belah dan lemah. Adapun faktor pendukung yang ditemukan dalam studi ini adalah keberhasilan liberalisasi sektor agrikultur Jepang di Trans-Pacific Partnership (TPP). Berdasarkan temuan tersebut, studi ini melihat bahwa sikap proteksionis Jepang terhadap sektor agrikulturnya mengalami adaptasi seiring dengan desakan liberalisasi.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vallisa Aulia Rahmi
"ABSTRAK
Persoalan ketiadaan status kewarganegaraan etnis Rohingya yang tidak kunjung berakhir merupakan salah satu isu global yang tengah marak dibahas. Ketiadaan status kewarganegaraan etnis Rohingya merupakan hal kompleks yang mencakup permasalahan mengenai perbedaan interpretasi historis, permasalahan identitas agama, kepentingan politik, serta diskriminasi dan pelanggaran HAM. Permasalahan ini kemudian menyebabkan arus perpindahan etnis Rohingya ke negara-negara di sekitar Myanmar. Dengan menggabungkan metode organisasi literatur secara kronologi dan taksonomi, tinjauan pustaka ini melihat perkembangan literatur berdasarkan fenomena yang terjadi kepada etnis Rohingya, baik di Myanmar maupun di luar Myanmar, dalam rentang waktu sekitar tahun diterbitkannya literatur. Tinjauan pustaka ini memperlihatkan bahwa perkembangan literatur mengenai ketiadaan status kewarganegaraan etnis Rohingya telah berkembang cukup pesat, khususnya setelah proses demokratisasi Myanmar. Hal ini terlihat melalui frekuensi kemunculan literatur yang berkembang pesat setelah kerusuhan tahun 2012 di Myanmar. Tinjauan literatur ini juga memperlihatkan perkembangan permasalahan ketiadaan status kewarganegaraan etnis Rohingya yang sebelumnya merupakan isu domestik menjadi isu regional. Pendekatan keamanan yang banyak digunakan dalam literatur yang dikaji memperlihatkan bagaimana sebelumnya Rohingya merupakan ancaman domestik bagi masyarakat Myanmar, namun telah berkembang menjadi ancaman bagi regional. Dengan menggunakan banyaknya literatur yang ditulis oleh berbagai penulis dari berbagai kalangan, tinjauan literatur ini memperlihatkan adanya bias kewarganegaraan penulis dalam membahas permasalahan Rohingya. Hal ini menunjukkan pembahasan yang bervariasi sesuai dengan nilai serta kepentingan dari negara asal kewarganegaraan penulis. Studi ini kemudian berkontribusi untuk menunjukkan pentingnya status kewarganegaraan bagi setiap individu untuk mendapatkan hak-hak fundamentalnya sebagai manusia.

ABSTRACT
The unresolved case of statelessness in Rohingya remains one of the most complex global issues. The complexity of this case stems from multiple interpretation of history, religious identity, political interests, discrimination and human rights violations. It has also created the influx of Rohingya refugees to Myanmar rsquo s neighboring countries. Using chronological and taxonomy method, this literature review sees the development of issue based on the situation that happened to inside and outside of Myanmar. This liteature review found that the literature about the statelessness of Rohingya has developed rapidly, especially after Myanmar rsquo s democratization process. This is seen through the frequency of literature publication which developed after 2012 riots in Myanmar. This literature review also shows that the development of statelessness of Rohingya which was previously a domestic issue has become a regional issue. Security approach which is used in the literature shows how Rohingya used to be the domestic threat only for Myanmar, but now has developed into a regional threat. Using literatures written by various authors, this literature review shows that every author has their own bias based on where they come from. This indicates that the discussion varies according to the value and interest of the country of origin of the author. This study then contributes to show the importance of citizenship status for each individual to claim their fundamental human rights."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nafla Sasqia Putri
"

ABSTRAK

 

Selama ini, teknologi merupakan sebuah bahasan minor dalam diskusi ilmu hubungan internasional. Padahal, teknologi selalu menjadi salah satu pemicu bagi dinamika antar aktor hubungan internasional, seperti pada Revolusi Industri pertama, atau pada space race antara Rusia dan Amerika Serikat dalam perang dingin yang menjadi pemicu ditemukannya internet. Tulisan ini secara spesifik membahas mengenai bagaimana Teknologi Informasi (TI), atau teknologi informasi digital (non-analog seperti radio / telepon) yang terkomputerisasi. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau bagaimana diskusi-diskusi hubungan internasional mengenai teknologi informasi berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Penulis membagi tulisan ini ke dalam tiga periode yang ditandai dengan tiga milestone. Periode pertama dimulai sejak ditemukannya transistor digital pada tahun 1947 dan berakhir pada 1990, dimana tulisan-tulisan yang muncul dalam periode ini bersifat prediktif terhadap dampak TI terhadap HI. Periode kedua (1991-2012) dimulai dengan milestone dipublikasikannya internet secara massal kepada masyarakat global, sehingga diskusi yang berkembang terpusat dengan bagaimana internet mengubah dinamika HI. Periode ketiga (2013 sampai sekarang) ditandai dengan sebuah milestone, yaitu terungkapnya tiga fenomena kontroversial yang telah mengubah narasi yang berkembang mengenai TI dalam HI, yaitu: (1) Terungkapnya pengawasan massal global yang dilakukan oleh National Security Agency (NSA) Amerika Serikat oleh Edward Snowden (2) Perbudakan buruh yang dilakukan Apple-Foxcon (3) Manipulasi politik tim kampanye Donald Trump melalui Facebook-Cambridge Analytica. Tinjauan pustaka ini berupaya untuk menemukan konsensus dan perdebatan dalam sepanjang evolusi diskusi TI dalam HI dari periode ke periode. Tinjauan pustaka ini menemukan beberapa tren dalam topik ini: (1) Diskusi-diskusi TI dalam HI bersifat optimis sampai periode kedua, dan mulai mengarah pada pesimisme di periode tiga. (2) Aktor bisnis menjadi aktor yang paling mendominansi diskusi TI dalam HI, baik itu dibahas dalam sudut pandang positif ataupun negatif (3) Paradigma liberal mendominansi diskusi pada periode kedua, sementara paradigma Marxisme mendominansi diskusi pada periode tiga. (4) Prediksi Fouccoult mengenai panopticonisme menjadi yang paling akurat dalam diskusi TI dalam HI di era saat ini. (5) Teknologi informasi merupakan sebuah source of power baru dalam HI. Di bagian akhir, Tinjauan Pustaka ini memberikan rekomendasi bagi Indonesia yang sedang dalam proses transformasi digital, serta menekankan penelitian lanjutan pada tulisan ini.

 

Kata kunci: Teknologi Informasi, Digital, Hubungan Internasional dan Teknologi Informasi


 

ABSTRACT

 

Technology has been a minor discussion in International Relations (IR). From Industrial Revolution to the space race in the cold war, technology has always become a trigger of change in its actor dynamics. This literature review would like to take focus only on the Information Technology (IT), or the computed-digital and non-analog technology (that excludes telephone, radio, etc.). This writing is aimed to review how the discussion of IR about IT evolves and develops throughout the years. This literature review will be divided into three time periods, marked by three great milestones. The first period started after the invention of the digital transistor at 1947 and ended in 1990, in which the discussion inside this periods mostly predicts the effects of IT in IR in years to come. The second period (1991-2012) is marked by the global publication of the internet, that which discussions in this period focuses on how internet impacts IR. Lastly the third period (2013 until now) is marked by three controversial phenomenon that later would change the direction of the discussion about IT in IR, those are: (1) The global mass surveillance of National Security Agency of USA leaked by Edward Snowden (2) The modern slavery of digital labor by Apple-Foxcon (3) The Trump’s campaign team political manipulation through Facebook-Cambridge Analytica. This literature review tried to see the debates and consensus throughout the evolutions of discussion of IT in IR. This literature review has also identified following trends regarding this topic, which are: (1) The discussion of IT in IR has been positive and affirmative in the second period, and it changes into being skeptical and critical in the third period of time (2) The business actors has always dominated, be it’s in the positive or negative framing (3) The liberal paradigm dominated the discussion in the second period, while the Marxist dominated in the third one (4) Fouccoult’s prediction regarding panopticonism has been the most accurate to picture nowadays IT era (5) Information Technology has become a new source of power in International Relations. This literature review also gives several recommendation to Indonesia which in the middle of the process of digital transformation.

 

Key words: Information Technology, Digital, International Relations and Information Technology

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Megan Anglingsari Raritra Intanti
"

Nama                         : Megan Anglingsari Raritra Intanti

Program Studi             : Ilmu Hubungan Internasional

Judul                          : Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa

Pembimbing                : Dr. phil. Yandry Kurniawan

 

Kajian Analisis Kebijakan Luar Negeri atau FPA telah menjadi bidang studi independen dalam ilmu hubungan internasional sejak tahun 1950an. Fokus FPA terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dianggap telah berhasil menjawab permasalahan studi HI yang cenderung menciptakan jarak antara politik domestik dan internasional. Menariknya, klaim bahwa FPA telah inklusif menuai kritik diantara cendekia Eropa, khususnya dalam pembahasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana literatur menempatkan kebijakan luar negeri Uni Eropa diantara kajian FPA. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, penulis menyusun 96 total temuan literatur dengan akreditasi internasional dalam empat kategori tema, yaitu: (1) konsep kebijakan luar negeri Uni Eropa; (2) institusionalisasi kebijakan luar negeri Uni Eropa; (3) Uni Eropa sebagai aktor; dan (4) lingkup kawasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Upaya tinjauan literatur menghasilkan beberapa temuan seperti konsensus, perdebatan, dan kesenjangan terkait topik ini. Selain itu, tulisan ini juga menelusuri tren tema literatur, persebaran penulis, serta tren persebaran paradigmatik. Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini berhasil menyingkap fakta bahwa FPA belum menjadi perspektif yang umum digunakan dalam mengkaji kebijakan luar negeri Uni Eropa. Meskipun begitu, tulisan ini tidak menemukan literatur yang menolak keberadaan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Tulisan ini akan ditutup dengan penjabaran sejumlah rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang meliputi perluasan paradigmatik khususnya FPA dan pendekatan kritis, serta topik-topik yang belum banyak terbahas tetapi cukup relevan dengan kondisi empirik kebijakan luar negeri Uni Eropa.

 

 

 

Kata kunci:

Analisis Kebijakan Luar Negeri, Uni Eropa, kebijakan luar negeri Uni Eropa, European Foreign Policy, hubungan eksternal Uni Eropa, EPC, CFSP

 


Name                        : Megan Anglingsari Raritra Intanti

Study Program           : International Relations

Title                          : European Union’s Foreign Policy

Counsellor                 : Dr. phil. Yandry Kurniawan

 

Foreign Policy Analysis or FPA has been developed as an independent field of international relations (IR) studies since the 1950s. FPA’s primary focus on foreign policy decision making processes is considered to have successfully answered IR studies problem which tends to create a gap between domestic and international politics. Interestingly, the claim that FPA has been inclusive drawn criticism among European scholars, particularly in the discussion of the EU's foreign policy. Therefore, this paper aims to explain how literature interpret EU’s foreign policy among FPA studies. In order to achieve this goal, the authors compiled 96 total international accreditation literature within four categories of themes, namely: (1) the concept of EU’s foreign policy; (2) institutionalization of EU’s foreign policy; (3) European Union as an actor; and (4) regional scope of the EU’s foreign policy. This literature review has resulted in several findings such as consensus, debates, and gaps related to this topic. In addition, this paper also traces the literature trend, distribution of authors’ origin, as well as the paradigmatic trend. Based on these conditions, this paper was successfully revealed the fact that FPA is not a mainstream perspective in studying EU’s foreign policy. Even so, this paper didn’t identify scholar that rejects the idea of EU’s foreign policy. This paper will conclude with some recommendations for further research including paradigmatic diversification, especially FPA and a critical approach, as well as topics that rarely discussed but are quite relevant to the empirical conditions of EU’s foreign policy.

 

 

 

Keywords:

Foreign Policy Analysis, European Union, European Foreign Policy, EU Foreign Policy, EU External Relations, EPC, CFSP

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Setto Lintang Agung Wahyudi
"Degrowth merupakan sebuah konsep ekonomi-politik-lingkungan yang mengadvokasikan penurunan aktivitas ekonomi secara menyeluruh—utamanya aktivitas produksi dan konsumsi masif—pada taraf global. Degrowth menggarisbawahi bagaimana ketimpangan struktur ekonomi politik internasional antara negara-negara Utara dengan negara-negara Selatan membawa implikasi bagi perlunya negara-negara Utara untuk menurunkan aktivitas ekonominya. Praktis, sebagai konsekuensinya, laju pertumbuhan ekonomi negara-negara Utara diekspektasikan akan turut menurun. Kendati demikian, pembahasan mengenai degrowth masih dibilang cukup minim dalam dimensi diskursus ekonomi politik internasional. Berangkat dari hal tersebut, penulis berupaya untuk mendudukkan pembahasan mengenai degrowth dalam konteks diskursus ekonomi politik internasional dengan menelaah perkembangan literatur akademik degrowth melalui metode komparatif-historis. Melalui penelusuran dan kemudian pengumpulan 18 literatur akademik mengenai degrowth oleh penulis, perkembangan literatur degrowth dapat dibagi menjadi tiga babak: 1) kemunculan awal diskursus degrowth, 2) diskursus degrowth dalam pusaran Krisis Finansial Global, dan 3) diskursus degrowth di era kontemporer. Setelah menguraikan dan memetakan masing-masing literatur tersebut sesuai dengan temanya, penulis kemudian menganalisis substansi sekaligus persebarannya dengan mengidentifikasi konsensus dan perdebatan, merumuskan temuan-temuan reflektif, serta menyusun sintesis. Berdasarkan tinjauan literatur yang telah dilakukan, tulisan ini melihat bagaimana sejumlah peristiwa internasional sepanjang tahun 2000-an hingga 2010-an telah mendongkrak popularitas degrowth dalam diskursus ekonomi politik internasional. Namun, uraian yang konkret pada taraf operasionalisasi dalam kajian ekonomi politik internasional sayangnya masih cukup minim ditemukan. Dengan minimnya pembahasan sekaligus maraknya pelibatan aspek lingkungan dan kesejahteraan sosial sebagai bagian penting dari perumusan kebijakan pada saat ini, penulis berkesimpulan bahwa degrowth dapat berpotensi untuk menjadi salah satu subjek bahasan yang signifikan dalam diskursus ekonomi politik internasional di masa mendatang.

Degrowth is a concept encompassing economy, politics, and environment which advocates reductions in economic activity generally, and massive production and consumption more specifically, on the global level. Degrowth emphasizes that the imbalances in the international political economy structure between the Global North and the Global South have brought the need for the Global North to reduce their economic activity As a consequence, the economic growth of Global North countries will also decline. However, the international political economy discourse is yet to develop a comprehensive discussion on degrowth Departing from this, the author tries to put the discussion on degrowth in the context of international political economy discourse by examining the development of degrowth academic literature using a historical-comparative method. Through the investigation of eighteen (18) academic literatures focusing on degrowth, this paper divides the discussions of degrowth into three phases: firstly, the early emergence of degrowth discourse; secondly, degrowth discourse amidst the Global Financial Crisis; and thirdly, degrowth discourse in the contemporary context. This paper will first describe and structure each of these literatures according to the aforementioned phases. Thus, it will analyze their substances, as well as their distributions, by identifying the following consensus and debates. This paper will then formulate reflective findings, and compile a synthesis. Based on the literature review, this paper argues that a number of international events throughout the 2000s to 2010s have boosted the popularity of degrowth in international political economy discourse. However, concrete degrowth operationalization proposals in the international political economy study are still minimum. With the discussion, or lack thereof, and the current widespread involvement of environmental and social welfare aspects as important parts of policy formulation, this paper concludes that degrowth holds the potential to be a significant subject in the discourse of the international political economy in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Krishna Prana Julian
"Pada tahun 2011, terjadi krisis kemanusiaan di Libya yang menyebabkan munculnya korban jiwa di kalangan penduduk sipil. Menyikapi kondisi ini, North Atlatic Treaty Organizatoin (NATO) memutuskan untuk melakukan misi intervensi kemanusiaan ke Libya pada 31 Maret 2011. Dalam melakukan upaya tersebut, NATO meminta Jerman untuk turut mengirimkan pasukan militernya guna membantu misi kolektif NATO di Libya. Terlepas dari adanya permintaan tersebut, Jerman menunjukkan perilaku defection dengan memutuskan untuk tidak melibatkan pasukan militernya ke dalam misi tersebut. Perilaku defection Jerman dalam menyikapi permintaan NATO tersebut menarik dikaji, sebab fenomena tersebut menunjukkan bahwa institusi keamanan tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk perilaku anggotanya pada kondisi-kondisi tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perilaku defection yang dilakukan Jerman terhadap permintaan NATO pada kasus Krisis Libya 2011 guna mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi peran institusi keamanan dalam membentuk perilaku anggotanya.
Untuk menjelaskan hal tersebut, penelitian ini menggunakan teori aliansi yang dikemukakan oleh Glenn H. Snyder. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku defection yang ditunjukkan Jerman dalam menyikapi permintaan NATO pada kasus Krisis Libya 2011 dipengaruhi oleh dua alasan. Pertama, Jerman tidak memiliki kepentingan yang signifikan untuk menyelesaiakan permasalahan krisis yang terjadi di Libya pada tahun 2011. Kedua, Jerman memiliki ketakutan terhadap risiko entrapment dalam menyikapi Krisis Libya 2011. Oleh karena itu, perilaku defection dilakukan guna mengurangi risiko entrapment tersebut.

In February 2011, Libya underwent a civil war that led to civilian casualties. In response to this situation, North Atlatic Treaty Organizatoin (NATO) decided to send its troops to Libya to protect Libyan civilian. While doing so, NATO requested Germany to contribute its military troop to NATOs collective forces in Libya. In spite of this request , Germany decided to shows a sign of defection behaviour by rejecting to send its military troop to Libya. German defection behaviour towards NATOs expectation in the wake of Libyan Crisis 2011 is intriguing to be studied, because it shows that security alliance does not always have significant influence on shaping the behaviour of its members. Therefore, this study examines the cause of German defection behaviour towards NATOs request in the Libyan Crisis 2011.
To explain this phenomenon, this study uses alliance theory to understand why NATO had no significant influence on shaping German behaviour in such case. The result of this study indicates that German defection behaviour towards NATOs request was driven by two factors. First, Germany does not have any significant interest on solving the undergoing crisis in Libya 2011. Second, Germany had fears of entrapment due to several reasons including its low direct and indirect dependece toward NATO, explicitness of alliance agreement, and NATOs supportive behaviour toward Germany in the past.  This fears leads to German defection behaviour toward NATOs expectation in Libyan Crisis 2011.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan Faisol
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Tania Aulia
"Feminisasi kemiskinan ialah suatu fenomena yang menggambarkan kemiskinan pada perempuan terkait dengan hak akses dan kesempatan ekonomi.. Konsep ini meliputi pembahasan mengenai dimensi jender dalam kemiskinan yang menciptakan kesenjangan. Studi ini memetakan faktor pendorong dilihat dari persamaan asumsi dasar masing-masing pemikiran permasalahan kemiskinan yang universal, khususnya di Negara Dunia Ketiga. Dalam melihat isu feminisasi kemiskinan, penulis mengangkat isu Buruh Migran Indonesia dan perdagangan manusia untuk melihat fenomena kemiskinan pada perempuan. Kemiskinan dibedakan menjadi dua, yaitu poverty as state dan poverty as process. Studi ini juga menganalisis strategi pembangunan dalam perspektif jender, yaitu Women in Development (WID), Woman and Development (WAD) dan Gender and Development (GAD). Studi ini menjelaskan perkembangan feminisasi kemiskinan dalam hubungan internasional dan bagaimana respons kebijakan dalam strategi pembangunan yang ada. Studi ini menggunakan metode taksonomi konseptual dalam pengelompokan literatur. Pembahasan dibagi menjadi tiga yaitu; (1) perkembangan literatur konsep feminisasi kemiskinan dan intersectionality, (2) perkembangan strategi pembangunan oleh PBB terkait dengan feminisasi kemiskinan dan (3) perdebatan, konsensus, dan kesenjangan literatur. Intersectionality merupakan konsep utama yang digunakan penulis untuk menjawab isu feminisasi kemiskinan. Bentuk penindasan yang didasari oleh jender, ras, dan etnis mengalami interseksi dan membentuk sebuah matrix of domination. Penulis
menyimpulkan bahwa matrix of domination adalah faktor pendorong feminisasi kemiskinan yang seharusnya menyertakan efektivitas kebijakan sebagai nilai fundamental dalam perubahan. Berdasarkan hal ini, diperlukan integrasi dalam analisis kesejahteraan perempuan melalui individu, lembaga di tingkat negara, dan dorongan sistem internasional seperti PBB.

Feminization of poverty is a phenomenon that illustrates poverty of women in terms of rights of access and economic opportunity. This concept includes a discussion of gender dimension in poverty that causes inequality. This study explains push factor(s) referring to basic assumptions causing global poverty of women, particularly in Third World Countries. The author raises international migrant worker and human trafficking issues to portray women poverty. Poverty is divided into two dimensions: poverty as a state and poverty as a process. The study will be analyzing development strategy in the gender perspective, which are Women in Development (WID), Women and Development (WAD) and Gender and Development (GAD). The study explains feminization poverty in international relations studies and how policy within developmental strategy respond. This study uses the conceptual taxonomic method in classifying literature. The discussion is divided into three; (1) evolution of poverty feminization, and intersectionality, (2) United Nation`s developmental strategy linking with feminization of poverty, and (3) debates, consent, and literature gaps. The author concludes that matrix of domination is an approach to understands intersectionality in terms of poverty pushing-factors as an effort for change. Based on this argument, the author supposed that poverty alleviation and gender equality should systemized under integrating approach supported by individual, government, and United Nations in international system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadette Aderi Puspaningrum; Bernadette Aderi Puspaningrum
"ABSTRAK
Sistem finansial global memiliki ketergantungan pada kebutuhan informasi yang simetris sehingga dapat berjalan dengan efisien. Credit Rating Agency (CRA) hadir memenuhi kondisi asimetri informasi dalam sistem finansial sejak 1900an hingga kini. Peran CRA dalam system financial global mutlak diperlukan bagi investor untuk dapat menanamkan modalnya dalam pasar modal dan ke negara lain. Informasi kredit yang dikeluarkan oleh CRA dalam sistem finansial terangkum secara sederhana dalam bentuk alphabet rating setelah melalui proses penilaian dengan methodologi kuantitatif maupun kualitatif. Oleh sebab itu, rating CRA secara cepat diterima dan digunakan secara global. Rating CRA diharapkan dapat menjadi ?gatekeeper? yang diharapkan mampu menjaga stabilitas sistem finansial. Namun dalam perkembangannya, instabilitas finansial yang terjadi seringkali menyoroti CRA yang dipandang lalai dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam kondisi tersebut, CRA masih tetap saja digunakan oleh pelaku pasar sehingga memunculkan pertanyaan mengenai pentingnya CRA sebagai non-state actor dalam sistem finansial global. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran CRA dalam sistem finansial. Hasil penelitian menunjukan bahwa CRA sebagai non-state actor internasional memiliki karakteristik yang khusus sehingga penggunaannya dalam sistem sulit untuk digantikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa CRA dapat dikategorikan sebagai aktor internasional berdasarkan indikator Ryo Oshiba, karena: 1) CRA memiliki independensi sebagai lembaga privat, 2) CRA mampu memobilisasi sumber daya dalam hal ini modal dalam sistem internasional, 3) CRA mampu mempengaruhi aktor lain baik aktor negara maupun non-negara terkait keputusannya untuk menempatkan modal dalam pasar modal domestik maupun internasional.

ABSTRAK
The global financial system depends on symmetrical information so that it can run efficiently. Credit Rating Agency presence met the conditions of information asymmetry in the financial system since the 1900s until now. The role of CRA in the global financial system is absolutely necessary for investors to be able to invest in the capital market and to other countries. Credit information issued by CRA in the financial system are summarized simply in the form of rating after alphabet through assessment with quantitative and qualitative methodologies. Therefore, CRA rating can quickly be accepted and used globally. With that ability CRA is expected to be a "gate keeper" which can maintain the stability of the financial system. But in its development, financial instability that occurs often highlights the CRA deemed negligent in doing its activities. In these conditions, the CRA is still used by market participants so raises questions about the importance of CRA as non-state actors in the global financial system. This study aims to look at the role of CRA in the financial system. The results showed that the CRA as an international non-state actors have special characteristics, so its use in the system difficult to replace. The results show that the CRA can be categorized as an international actor based on Ryo Oshiba's international actor indicator, because: 1) CRA has independence as private institutions, 2) CRA able to mobilize resources (capital) in the system of international, 3) CRA is able to influence other factors both state actors and non-state-related decision to place the capital in domestic and international capital markets."
2016
S63660
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>