Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Layli Pinaringaning Gusti
Abstrak :
Latar Belakang: Estimasi usia penting dilakukan sebagai pembuktian hukum dalam kasus criminal contohnya pemalsuan identitas, pernikahan, dan lain lain. Tooth Coronal Index Khoman (2015) merupakan metode estimasi usia yang sederhana dan dapat diterapkan pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar. Namun, metode ini perlu dibandingkan dengan metode Nolla yang telah teruji keakuratannya di dunia. Tujuan: Membandingkan hasil estimasi usia menggunakan metode TCI Khoman pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar dengan metode Nolla pada rentang usia 8-17 tahun. Metode: Perbandingan hasil estimasi usia menggunakan metode TCI Khoman dengan metode Nolla pada 83 sampel radiograf panoramik. Hasil: Rumus TCI Khoman dapat menggunakan radiograf periapikal maupun panoramik. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil estimasi usia pada laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil estimasi usia menggunakan TCI Khoman dengan metode Nolla pada gigi insisivus, premolar, dan molar namun terdapat perbedaan bermakna pada gigi kaninus. Kesimpulan: Metode: Tooth Coronal Index Khoman pada gigi insisivus, premolar, dan molar serta metode Nolla dapat digunakan untuk estimasi usia individu rentang usia 8-17 tahun. Sedangkan metode TCI Khoman pada gigi kaninus tidak dapat digunakan untuk estimasi usia individu rentang usia 8-17 tahun. ...... Background: Age estimation has become increasingly important in living people for a variety of reasons, including identifying criminal and legal responsibility, marriage, etc. Khoman Tooth Coronal Index method are simple, non-destructive, and can be applied to incisives, canines, premolars, and molars. However, this method needs to be proven its validity in Indonesia with Nolla method. Objective: To analyse the validity of Khoman Tooth Coronal Index formula on incisivus, canine, premolar, and molar compared to the Nolla method on the age of 8-17 year. Methods: Comparing the age estimation using Khoman TCI method and Nolla method of the 83 samples of panoramic radiograph. Result: Khoman TCI can be use on both periapical and panoramic radiograph. There was no significant difference between age estimation of Khoman TCI method using incisives, premolars, and molars and Nolla Method but there was a significant difference between TCI method using canines. Conclusion: Khoman TCI method using insisives, premolar, molar and Nolla method can be used for age estimation of the age of 8-17 years in Indonesia, except Khoman TCI method using canines.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bilqis Nurul Azizah
Abstrak :
Latar Belakang: Kasus bencana yang diakibatkan oleh alam dan manusia di Indonesia menimbulkan banyak korban jiwa. Terdapat usia kritis yang terkait dengan undang-undang yang berkaitan dengan usia. Dibutuhkan metode yang paling baik dalam uji estimasi usia, sehingga perlu dicari metode uji estimasi usia yang akurat untuk di Indonesia. TCI-Khoman baru dikemukakan pada tahun 2015, estimasi usia pada metode ini menggunakan gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar pada radiograf periapikal yang  hasilnya belum pernah dibandingkan dengan metode estimasi usia yang sudah ada. Metode atlas Blenkin-Taylor merupakan metode estimasi usia dengan menggunakan atlas tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi usia prenatal hingga 25 tahun  pada pria dan wanita, populasinya pada Australia Modern dengan menggunakan radiograf panoramik atau sefalometrik yang telah digunakan sebagai acuan tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi di dunia. Sehingga dibutuhkan penelitian untuk membandingkan antara hasil estimasi usia menggunakan metode TCI-Khoman yang baru ditemukan, dengan metode atlas Blenkin-Taylor yang sudah menjadi acuan di dunia. Tujuan: Menganalisis keakuratan metode estimasi usia menggunakan rumus TCI-Khoman dibandingkan dengan metode atlas Blenkin-Taylor pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar di Indonesia dalam rentang usia 8-25 tahun. Metode: Pengujian estimasi usia pada 123 sampel dengan menggunakan rumus TCI-Khoman kemudian dibandingkan dengan estimasi usia menggunakan metode atlas Blenkin-Taylor. Hasil: Metode TCI-Khoman dapat menggunakan radiograf periapikal maupun panoramik. Hasil perbandingan antara estimasi usia dengan menggunakan metode TCI-Khoman dan atlas Blenkin-Taylor tidak ditemukan perbedaan bermakna. Hasil perbandingan antara usia kronologis dengan masing-masing metode estimasi usia TCI-Khoman dan atlas Blenkin-Taylor tidak ditemukan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Uji estimasi usia menggunakan metode TCI-Khoman dengan metode atlas Blenkin-Taylor pada rentang usia 8-25 tahun sama-sama dapat digunakan di Indonesia dengan menggunakan radiograf panoramik. ......Background: Cases of human or natural disasters in Indonesia have caused many victims. There is a critical age associated with laws relating to age. The best method for age estimation is needed, so it is necessary to find an accurate age estimation for Indonesian people. TCI-Khoman discovered in 2015, the age estimation in this method uses incisor, canine, premolar, and molar teeth on periapical radiographs whose results have never been compared with existing age estimation methods. The Blenkin-Taylor Atlas method using atlas order of eruption between prenatal age to 25 years old in men and women with Modern Australian population uses panoramic or cephalometric radiographs that have been used as a reference for tooth development and eruption atlas in the world. So the research is needed to compare the results of age estimation using the newly discovered TCI-Khoman method, with the Blenkin-Taylor atlas method that has become a reference in the world. Objectives: To analyze the accuracy of the age estimation method using the TCI-Khoman formula in incisor, canine, premolar, and molar  teeth compared to the Blenkin-Taylor atlas method in Indonesia in the age range of 8-25 years. Methods: Testing age estimations in 123 samples using the TCI-Khoman formula then compared with age estimation using the Blenkin-Taylor atlas method. Results: The TCI-Khoman method can use in both periapical and panoramic radiographs. The results of the comparison between age estimations using the TCI-Khoman method and Blenkin-Taylor atlas did not show significant difference. The results of the comparison between actual age between each TCI-Khoman age estimation method and Blenkin-Taylor atlas did not show significant differences. Conclusion: Both age estimation methods, TCI-Khoman method and Blenkin-Taylor atlas method, in the age range of 8-25 years can be used in Indonesia using a panoramic radiograph.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinkan Priscilla Aguilera
Abstrak :
Latar Belakang: Karies yang menyerang anak-anak dibawah 71 bulan dikenal dengan Early childhood caries ECC . Salah satu bakteri yang mendominasi penyebab ECC adalah Streptococcus mutans dan sistem imun yang berperan dalam pencegahan karies adalah IgA. Tujuan: Menganalisis hubungan level IgA anti Streptococcus mutans serotype f dengan viskositas dan dmft pada stimulated saliva dan unstimulated saliva pasien ECC. Metode: Level IgA anti-S. mutans serotype f di ukur menggunakan metode ELISA. Hasil: Analisis stastistik dengan uji Spearman didapatkan korelasi negatif antara level IgA anti-S. mutans serotype f dan indeks dmft, pada stimulated saliva r= -0.471; p=0.286 dan pada unstimulated saliva r= -0.529; p=0.408 , hasil korelasi antara level IgA anti-S. mutans serotype f dan viskositas stimulated saliva adalah korelasi positif r=0,417; p=0.352 . Level IgA anti-S. mutans stimulated saliva lebih rendah daripada unstimulated saliva P=0.127. Kesimpulan: Terdapat hubungan negatif antara level IgA anti-S.mutans serotype f dengan indeks dmft pada stimulated saliva dan unstimulated saliva pasien ECC, serta terdapat korelasi positif antara level IgA anti-S.mutans serotype f dengan viskositas saliva pada stimulated saliva, tetap secara statisik tidak bermakna. Level IgA anti-S. mutans stimulated saliva lebih rendah daripada unstimulated saliva tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara level IgA anti-S. mutans serotype f stimulated saliva dan unstimulated saliva. ...... Background: Early childhood caries ECC is caries which affects in children aged 71 months or younger. One of the bacteria that dominates the formation of ECC is Streptococcus mutans. The immune system that plays a role in the formation of caries is IgA. Objective: To analyze the correlation between level of IgA anti Streptococcus mutans serotype f with viscosity and dmft in stimulated saliva and unstimulated saliva of ECC patients. Methods: Level of IgA anti S. mutans serotype f was measured using ELISA method. Results based on Spearman test, there was a negative correlation between level of IgA anti S. mutans serotype f and dmft index in stimulated saliva r 0.471 p 0.286 and unstimulated saliva r 0.529 p 0.408. Results: The result correlation levels of IgA anti S. mutans serotype f and viscosity of saliva was positive r 0.417 p 0.352 . Level of IgA anti S. mutans serotype f in stimulated saliva was lower than unstimulated saliva p 0.127. Conclusion: There was a negative correlation between the levels of IgA anti S. mutans serotype f and dmft index in saliva stimulated and unstimulated saliva of ECC patients and positive correlation between the levels of IgA anti S. mutans serotype f and viscosity of stimulated saliva. However, there were no significantly difference. The levels of IgA anti S. mutans serotype f stimulated was lower than unstimulated saliva, but not significantly difference.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofwan Ardiansyah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Temulawak Curcuma xanthorrhiza Roxb. merupakan tanaman obat asli Indonesia yang diketahui memiliki efek antijamur. Infeksi jamur yang paling umum terjadi di rongga mulut yaitu kandidiasis oral sering disebabkan oleh jamur Candida albicans. Salah satu faktor virulensi C. albicans yaitu kemampuannya untuk membentuk biofilm. Pada biofilm C. albicans fase menengah terjadi perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa muda dengan matriks ekstraseluler yang dapat meningkatkan resistensi agen antijamur. Tujuan: Menganalisis efek ekstrak etanol temulawak dalam menghambat pertumbuhan fase menengah biofilm C. albicans. Metode: Pemaparan ekstrak etanol temulawak pada biofilm C. albicans strain klinis dan ATCC 10231 usia 1.5 jam selama 24 jam untuk mencapai biofilm fase menengah. MTT assay digunakan untuk menguji viabilitas biofilm C. albicans. Hasil: Ekstrak etanol temulawak memiliki nilai Konsentrasi Hambat Biofilm Minimal KHBM50 untuk biofilm C. albicans strain klinis dan ATCC 10231 pada fase menengah berturut-turut sebesar 30 dan 35 . Kesimpulan: Ekstrak etanol temulawak berpotensi dalam menghambat pertumbuhan fase menengah biofilm C. albicans.
ABSTRACT
Background Javanese turmeric Curcuma xanthorrhiza Roxb. is an Indonesian rsquo s native medicinal plant which is known to have antifungal effect. The most common fungal infection occurs in the oral cavity is oral candidiasis caused by Candida albicans. One of the virulence factors of C. albicans is the ability to form biofilm. In intermediate phase of biofilm, C. albicans may change forms from yeast into hyphae with extracellular matrix which can inhibit the penetration of antifungal agent. Objective To invesitigate the inhibitory effect of Javanese turmeric ethanol extract againts C. albicans biofilm in intermediate phase. Method Javanese Turmeric ethanol extract was exposed to 1.5 hours aged of C. albicans clinical strain and C. albicans ATCC 10231 biofilm for 24 hours to achieve intermediate phase. MTT assay was used to asses the viability of C. albicans biofilm. Result The Minimum Biofilm Inhibitory Concentrations MBIC50 of Javanese turmeric ethanol extract for C. albicans clinical strain and ATCC 10231 in intermediate phase were 30 and 35 , respectively. Conclusion Javanese turmeric ethanol extract had potential to inhibit the the growth of Candida albicans biofilm in intermediate phase.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Meidisa Akhmad
Abstrak :
Latar Belakang: Kateter vena sentral merupakan alat yang rutin dipasang oleh anestesiologis pada pembedahan jantung terbuka. Namun, kedalaman pemasangan kateter vena sentral yang tidak tepat dapat menyebabkan komplikasi atau penggunaannya suboptimal. Penelitian Yoon, 2006 dilakukan pada anak dengan penyakit jantung bawaan di Asia dan menghasilkan rumus prediksi kedalaman kateter vena sentral. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah rumus Yoon dapat digunakan pada populasi anak dengan PJB di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional analitik dengan rancangan penelitian potong lintang dan melibatkan 38 pasien yang menjalani pembedahan jantung terbuka di RSCM. Kedalaman kateter vena sentral ditentukan menggunakan rumus Yoon. Konfirmasi ketepatan kedalaman kateter vena sentral dilakukan dengan menggunakan transesophageal echocardiography untuk melihat posisi ujung kateter terhadap pertemuan vena kava superior dan atrium kanan. Hasil: Rumus Yoon dapat secara tepat memprediksi kedalaman kateter vena sentral pada 63,16% pemasangan. Tidak ada komplikasi dari pemasangan kateter vena sentral yang terlalu dalam. Simpulan: Rumus Yoon kurang tepat digunakan sebagai pedoman dalam memprediksi kedalaman kateter vena sentral pada pasien anak dengan PJB di Indonesia, namun masih dapat diaplikasikan secara klinis. ......Introduction: Central venous catheter is a routinely-inserted tool by the anesthesiologists in open-heart surgery. However, incorrect depth of central venous catheter placement may lead to complications or suboptimal usage. Yoon’s research in 2006 was done in pediatrics with congenital heart disease in Asia and develop a prediction formula for the depth of central venous catheter. The purpose of this study is to prove if Yoon’s formula can be applied in pediatric patients with congenital heart disease in Indonesia. Methods: This is an analytic observational study with cross-sectional study design involving 38 patients who underwent open-heart surgery in RSCM. The depth of central venous catheter placement determined by Yoon’s formula. Confirmation of the accuracy of depth of central venous catheter was done by using transesophageal echocardiography to assess the position of the tip of central venous catheter from the cavoatrial junction. Results: Yoon’s formula is able to predict the optimal depth of the central vein catheter in 63,16% of the time. There was not any complication in too advance of central venous catheter placement. Conclusion: Yoon’s formula is not appropriately to be used as a guidance to predict the depth of central vein catheter inpediatric patients with congenital heart disease in Indonesia, but it can be still applied clinically.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Afriany
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Laparoskopi merupakan prosedur yang menguntungkan pada operasi transplantasi ginjal . Namun teknik ini dapat menyebabkan perubahan pada sistem pernafasan. Pengaturan volume tidal merupakan salah satu strategi proteksi untuk mencegah komplikasi paru pascaoperatif. Penelitian ini berusaha membandingkan efek volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb terhadap distribusi ventilasi pada pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani nefrektomi per laparoskopi menggunakan EIT. Metoda: Uji klinis ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo dan ruang operasi RSCM Kencana Jakarta terhadap 30 pasien donor transplantasi ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi. Subjek dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik intraoperatif dengan volume tidal 6 mL/kgbb dan 10 mL/kgbb. Hipotesis penelitian adalah distribusi ventilasi volume tidal 6 mL/kg lebih baik dibandingkan 10 mL/kg. Parameter yang dinilai adalah ?TIV, ?EELI global dan regional dan ?CR diambil dari monitor EIT PulmoVista 500 .Hasil: Nilai ?TIV paru dependen dan nondependen antara kedua kelompok berbeda bermakna secara statistik pada posisi supine pascadesuflasi p =0,008 , dimana volume tidal 6 mL/kgbb menunjukkan distribusi ventilasi tidak homogen. Nilai ?EELI global dan regional volume tidal 10 mL/kg lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada posisi lateral dekubitus sebelum insuflasi p
ABSTRACT
Background Laparoscopy is a procedure that is profitable on a kidney transplant operation. However, this technique may cause changes in the respiratory system. Tidal volume setting is one of protection strategies for preventing pulmonary complications postoperative. This study attempted to compare the effects of tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbb kgbw against distribution of ventilation in kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy using EIT.Method This randomized clinical trial conducted in the Surgical Center Installation RSUPN Cipto Mangunkusumo and operating room RSCM Kencana Jakarta against 30 kidney transplant donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy. Subjects were randomized into two intervention groups mechanical ventilation with intraoperative tidal volume 6 mL kgbw and 10 mL kgbw. The hypothesis is distribution of ventilation tidal volume 6 mL kgbw is better than 10 mL kgbw. Parameter TIV, EELI global and regional and CR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500 . Result The value of TIV between dependent and nondependent parts of lung statistically significant difference on postdesuflation supine position p 0,008 , where the tidal volume of6 mL kgbw indicates distribution of ventilation is not homogenous. The value of EELI global and regional tidal volume 10 mL kg is higher and meaningful statistically on lateral decubitus before insuflation p 0,005 . There is no meaningful difference in CR value the dependent and nondependent parts of lung .Conclusion Tidal volume 6 mL kgbw does not give a better distribution of ventilation compared with 10 mL kgbw in kidney donor patient undergoing laparoscopic nephrectomy based on the parameters of the EIT.Keywords Distribution of ventilation, EIT, kidney donor, laparoscopic nephrectomy, intraoperative volume tidal
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budiani Christina Natalia Metrana
Abstrak :
Latar Belakang: Kegunaan laringoskop video untuk intubasi endotrakeal telah terbukti bermanfaat pada tatalaksana jalan napas normal ataupun sulit. Namun harga laringoskop video seperti McGrath MAC® yang mahal menjadi hambatan. Sebagai alternatif, dapat digunakan kamera portabel yang dipasangkan pada bilah Macintosh, dihubungkan via wifi ke telepon genggam, untuk membantu visualisasi laring seperti halnya laringoskop video. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 62 subjek penelitian untuk membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok jantung derajat 2 atau 3, sindrom Guillain Barre, myasthenia gravis. Hasil: Median waktu intubasi A (waktu yang diukur saat laringoskop masuk melewati gigi sampai mendapatkan visualisasi glotis) menggunakan modifikasi Macintosh 18(6-65) detik dibandingkan McGrath MAC® 21(10-70) detik (p 0.652). Median waktu intubasi B (waktu yang diukur saat mendapatkan visualisasi glotis sampai ETT masuk ke dalam trakea) 39(20-101) detik dibandingkan 50(27-102) detik (p 0,003). Median waktu intubasi total 63 (27-114) detik dibandingkan 74 (40-133) detik (p 0,032). Selain itu juga dicatat angka keberhasilan intubasi pada upaya pertama menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh 90,3%, angka visualisasi glotis skor POGO 100 67,7% dan skor POGO 75 29%, komplikasi takikardia dan laserasi mukosa jalan napas berupa abrasi ringan pada daerah orofaring. Secara keseluruhan, para pengguna modifikasi laringoskop Macintosh menganggap alat ini baik untuk digunakan, baik dari segi kemudahan insersi alat, kemudahan penggunaan alat, dan visualisasi glotis. Simpulan: Intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan laringoskop video McGrath MAC® pada pasien dewasa. ......Background: The use of video laryngoscope has been proven to be beneficial for endotracheal intubation for normal and difficult airway management. But the problem with using a video laryngoscope is often the price of the tools. A widely used video laryngoscope, such as McGrath MAC® is expensive. As an alternative to help visualize the larynx like a video laryngoscope, we can use a portable camera placed in a Macintosh blade, then connected via wifi to a mobile phone. However, there is no available research that compares intubation time using modified Macintosh laryngoscope vs McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population. Methods: This study is a single-blinded randomized clinical trial of 62 subjects to measure the intubation time using modified Macintosh laryngoscope compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population. Exclusion criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, second or third-degree heart block, Guillain Barre syndrome, myasthenia gravis. Results: Median intubation time A (time taken since laryngoscope passes the teeth until glottic visualization) using modified Macintosh and McGrath MAC® were 18(6-65)s and 21(10-70)s (p 0.652), consecutively. Median intubation time B (time taken since glottic visualization until tube insertion into the trachea) was 39(20-101)s and 50(27-102)s (p 0,003). Median total intubation time was 63 (27-114)s using modified Macintosh, compared with 74 (40-133)s (p 0,032) using McGrath MAC®. Besides that, we also noted the first attempt success rate in modified Macintosh was 90,3%, glottic visualization with POGO score 100 was 67,7% and POGO score 75 was 29%. The complications found in this study were tachycardia and airway mucosal laceration such as mild oropharyngeal abrasion. In conclusion, modified Macintosh users decide that this equipment is convenient, in terms of insertion easiness, usefulness, and glottis visualization. Conclusion: Endotracheal intubation using modified Macintosh laryngoscope takes a shorter time compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Novianto Putro
Abstrak :
Latar belakang. Iskemia miokard sering terjadi karena efek klem silang aorta selama bedah jantung terbuka dengan pemakaian mesin pintas jantung paru. Kardioplegia sebagai metode kardioproteksi, dapat berupa kardioplegia darah maupun kristaloid. Telaah sistematik ini bertujuan mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah. Metodologi. Telaah sistematik dilakukan dengan melakukan pencarian literatur melalui database pada COCHRANE, PubMed, PMC, dan Google Scholar untuk mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah antara kardioplegia darah dan kristaloid pada seluruh prosedur operasi bedah jantung terbuka dewasa dengan mesin pintas jantung paru yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Artikel sekunder yang bukan merupakan jurnal dan research article akan dieksklusi. Cochrane Risk of Bias digunakan untuk menilai potensi bias. Hasil penelitian. Kami mengidentifikasi 6 uji acak yang dengan total 796 pasien yang menjalani bedah jantung terbuka (CABG, bedah katup, transplantasi), 431 mendapatkan perlakuan kardioplegia darah, 365 lain mendapat perlakuan kardioplegi kristaloid. Subyek berkisar antara 60 hingga 297 pasien. Mayoritas membahas perbandingan kardioplegia darah dan kristaloid pada bedah jantung revaskularisasi koroner (CABG). Keseluruhan studi memiliki risiko bias rendah. Kesimpulan. Kardioplegia darah menunjukkan luaran yang lebih baik dibandingkan kardioplegia kristaloid. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis dari hasil perlindungan miokard masing-masing larutan kardioplegia. ......Background. Myocardial ischemia is commonly occured due to aortic cross-clamping during open-heart surgery using a cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Cardioplegia, as cardioprotective method, can be divided into blood or crystalloid base. This systematic review aims to describe the effectiveness of two types of cardioplegic solutions in adult open-heart surgery procedures by focusing on their effects on cardiac enzyme, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, length of stay in ICU, and postoperative mortality Methodology. We searched on several databases, including COCHRANE, PubMed, PMC, and Google Scholar to identify all randomized controlled trials published in English that compared levels of myocardial injury, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, intensive care length of stay, and mortality postsurgery between adults underwent CPB who received blood cardiolegia and crystalloid cardioplegia. Secondary publications were excluded. Cochrane Risk of Bias tool was used to assess for potential biases. Outcome. We identified 6 randomized trials with a total of 796 patients underwent open heart surgery (CABG, valve surgery, transplantation), 431 receiving blood cardioplegia, another 365 receiving crystalloid cardioplegia. Subjects ranged from 60 to 297 patients. Most studies discussed the comparison of blood cardioplegia and crystalloids in CABG. The entire study had a low risk of bias. Conclusion. Blood cardioplegia provided better outcome compared to crystalloid cardioplegia. However, further analysis should be developed to facilitate the conduct of high quality trials. Keywords. Cardiac surgery, cardiac enzyme, blood cardioplegia, crystalloid cardioplegia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Pratidina Susilo
Abstrak :
Pendahuluan. Pengkajian nyeri kronik komprehensif tidak hanya berfokus pada aspek biologis nyeri, namun juga kondisi fungsional dan psikososial. Tenaga kesehatan, termasuk mahasiswa kedokteran, lebih berfokus pada aspek biomedis pasien. Mnemonic PQRST adalah alat bantu pengkajian nyeri yang berfokus pada aspek biomedis. Mnemonic ACT-UP dapat membantu melakukan pengkajian fungsional dan psikososial. Gabungan kedua mnemonic sebagai alat bantu pembelajaran belum pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat pengetahuan dan keterampilan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universtias Indonesia (FKUI) dalam pengkajian nyeri kronik setelah mendapatkan pelatihan dengan mnemonic PQRST dan ACT-UP dengan yang mendapatkan mnemonic PQRST saja. Metode. Penelitian ini adalah uji acak tersamar ganda dalam bentuk pelatihan pengkajian nyeri kronik berbasis simulasi yang diikuti 40 mahasiswa FKUI. Pengetahuan mahasiswa dinilai dengan pre-test dan post-test. Keterampilan mahasiswa dinilai dalam simulasi pengkajian nyeri. Hasil. Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan dan keterampilan antara kelompok uji dan kelompok kontrol. Nilai post-test 85,71 (71,43 -95,24) berbeda bermakna dari pre-test 61,90 (25,87 – 90,48) dengan p=0,000. Tingkat kepuasan mahasiswa atas pelatihan pengkajian nyeri kronik tinggi. Simpulan. Pelatihan dengan mnemonic PQRST dan ACT-UP tidak lebih baik daripada pelatihan dengan mnemonic PQRST saja dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengkajian nyeri kronik mahasiswa FKUI. Pelatihan pengkajian nyeri kronik bermanfaat untuk meningkatkan pembelajaran mahasiswa.
Introduction. Chronic pain assessment should be comprehensive, exploring the biomedical process and the functional and psychosocial condition. Health professionals, including medical student, put more attention on the biomedical aspect. PQRST mnemonic is used in chronic pain assessment focusing biomedical aspect. ACT-UP mnemonic can help perform a comprehensive assessment. The combination of both in education has not been studied. This study aimed to compare the knowledge and skills of medical student in the Faculty of Medicine Universitas Indonesia (FMUI) in the chronic pain assessment after being trained using PQRST and ACT-UP with ones using PQRST only. Methods. This is a double-blinded randomized controlled trial. 40 medical students joined a simulation-based chronic pain assessment workshop. Pre-test and post-test were used to assess knowledge. The skills were evaluated in a simulation by two independent raters. Results. There is no difference in the knowledge and skills between groups. There is a significant difference between the post-test 85,71 (71,43 - 95,24) and the pre-test 61,90 (25,87 – 90,48) with p=0,000. Students reported high satisfaction upon the workshop. Conclusion. Training with PQRST and ACT-UP mnemonic is not better than one with PQRST only to improve the knowledge and skills of chronic pain assessment of the students. Nevertheless, this workshop was beneficial for students’ learning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Irawan
Abstrak :
Latar belakang. Ukuran sungkup laring yang tidak sesuai menyebabkan ventilasi yang tidak efektif dan komplikasi seperti peradangan sampai kerusakan pada saraf sehingga diperlukan metode untuk menentukan ukuran yang sesuai. Metode. Penelitian merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan concealment dan 130 subjek dibagi menjadi 2 kelompok (berat badan dan lebar lidah). Lebar lidah dinilai dengan subjek menjulurkan lidah namun tidak ditegangkan lalu lebar lidah disesuaikan dengan penggaris papan segi empat yang dibuat sesuai dengan ukuran sungkup laring dengan inflasi minimal no. 2,5 sampai 5. Keefektifan pemasangan sungkup laring dinilai bila semua kriteria terpenuhi yaitu: 1) tekanan kebocoran orofaringeal/seal pressure ≥20 cmH2O, 2) tekanan maksimal inspirasi (Ppeakinsp) ≤20 cmH2O, 3) tidak terlihat sebagian kaf dalam rongga oral dan 4) perbedaan tidal volume inspirasi dan ekspirasi <5%  tercapai. Hasil. Secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara dua kelompok untuk masing-masing komponen penilaian keefektifan pemasangan sungkup laring kecuali untuk variabel OLP (p <0,05). Terdapat lebih banyak komplikasi berupa noda darah dan nyeri tenggorok pada kelompok BB dibanding kelompok LL dengan tingkat keberhasilan dan waktu lebih cepat pada pemasangan sungkup laring di kelompok BB dibandingkan kelompok LL. Simpulan. Penentuan ukuran sungkup laring pada ras Melayu menggunakan metode lebar lidah tidak lebih efektif dengan metode berat badan namun kejadian komplikasi lebih rendah.
Background. Unsuitable laryngeal mask size selection causes ineffective ventilation and complications such as inflammation until neuropraxia, thus method to determine optimal size selection is needed. Methods. This was a randomized single blinded clinical study with concealment and 130 subjects were divided into 2 groups (body weight and tongue width). Subjects were asked to open their mouth and protrude the tongue in the relaxed manner and corresponded to rulers that were made from the width of laryngeal mask minimally inflated from size 2,5 to 5. The effectiveness of laryngeal mask insertion if all of the four criteria were met ie.1) oropharyngeal leak pressure/seal pressure ≥20 cmH2O, 2) peak inspiratory pressure (Ppeakinsp) ≤20 cmH2O, 3) no presence of cuff in the mouth and 4) difference between inspiratory (VTi) and expiratory tidal volume (VTe) <5%. Results. All parameters were not statistically significant except the OLP (P <0,05). Meanwhile, subjects in BB group manifest more complications in the laryngeal mask than the LL group with faster speed and higher chance of <2x successful insertion than the LL group. Conclusion. Laryngeal mask insertion among Malay race using size selected based on tongue width was not more effective than based on body weight.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>