Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farah Diba Toya
"Produksi hidrogen dan degradasi 2,4,6-Triklorofenol secara simultan sudah dilakukan pada berbagai fotokatalis yaitu P25-TiO2, Titania Nanotube Arrays (TNTAs), dan variasi TNTAs-CdS selama 240 menit. VariasiTNTAs-CdS menggunakanperbandingan mol dari prekursor CdS yaitu CdCl2:CH3CSNH2dengan 0,2:0,12; 0,1:0,06; dan 0,05:0,03 mol/L. Hasil karakterisasi UV-Vis DRS menunjukkanenergy band gap berkisar antara 2,71- 2,89 eV.Fotokatalis terbaik didapat pada perbandingan 0,1:0,06 (TNTAs-CdS-2) karena menghasilkan hidrogen (3,17𝜇𝜇mol/g.s) dan degradasi 2,4,6-Triklorofenol (mencapai 80%) yang paling baik dibandingkan dengan katalis lainnya. Fotokatalis tersebut menghasilkan hidrogen 1,5 kali dibandingkan TNTAs dan 7 kali dibandingkan dengan P25-TiO2. Produksi hidrogen berjalan simultan dengan pendegradasian 2,4,6-Triklorofenol, dimana kinerja keduanya bergantung pada katalis yang digunakan. Disamping itu, pengaruh konsentrasi 2,4,6-Triklorofenol (10, 20, dan 40 ppm) dipelajari dengan menggunakan fotokatalis TNTAs-CdS-2 dan menghasilkan total produksi hidrogen berturut-turut 1,008; 1,061; dan 1,197𝜇𝜇mol/g.s. Semakin besar konsentrasi 2,4,6-Triklorofenol, semakin besar pula hidrogen yang dihasilkan.

Hydrogen production and 2,4,6-Trichlorophenoldegradationhave been investigated simultanously usingP25-TiO2, TNTAs, and variation of TNTAs-CdS for 240 minutes. TNTAs-CdS variations use mol ratio of CdS precursor that isCdCl2:CH3CSNH2 with ratio 0.2:0.12, 0.1:0.06, and 0.05:0.003.Rever to UVVis analysis, the TNTAs-CdS prepared have the band gap energy in the range of 2.71-2.89 eV. Among them, the optimum composition is0.1:0.06 (TNTAs-CdS- 2) which results in the highest total hydrogen production (3,17𝜇𝜇mol/g.s) and 2,4,6-Trichlorophenol degradation(achieve 80%) compared toothers. TNTAs- CdS-2 produces total hydrogen 1.5 and 7 times compared with TNTAs and P25- TiO2, respectively.Hydrogen production and 2,4,6-Trichlorophenol degradation could be perormed simultaneously and it depands on the catalyst employed. Furthermore, the effect of2,4,6-Trichlorophenol initial concentrations (10, 20, and 40 ppm) was also studied using TNTAs-CdS-2 and produced1.008,1.061, and1.197 𝜇𝜇 mol/g.s respectively.The higherthe 2,4,6-Trichlorofenol initial concentration, the more hydrogen produced."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Sudirman Parningotan
"Latar Belakang: Disfungsi skeletal yang terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK mengakibatkan menurunnya kemampuan fungsi tangan terutama dalam menggengam dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari AKS . Latihan tanpa tumpuan pada anggota gerak atas telah terbukti dapat memperbaiki disfungsi skeletal pada PPOK. Metode latihan yang dapat diberikan yaitu dengan metode Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF dan metode abduksi. Sampai saat ini belum terdapat bukti dalam menentukan metode yang terbaik dalam memperbaiki disfungsi skeletal pada PPOK. Pada penelitian ini akan membandingkan 2 bentuk metode latihan tanpa tumpuan pada anggota gerak atas antara metode PNF dan metode abduksi terhadap fungsi tangan pada program rehabilitasi paru.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental dengan consecutive sampling. Terdapat 32 subyek dengan PPOK derajat B,C dan D stabil secara medis yang datang ke RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi. Penilaian kekuatan genggaman tangan dengan Jamar handgrip dynamometer dan kemampuan dalam melakukan AKS dinilai dengan Uji Glittre yang dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Subyek dibagi dalam kelompok metode PNF dan metode abduksi. Kedua kelompok mendapatkan program rehabilitasi paru. Intervensi diberikan sebanyak 20 sesi latihan selama 8 minggu.
Hasil : Terdapat 21 subyek yang menyelesaikan program latihan sebanyak 20 sesi. Pada analisis kedua kelompok terdapat peningkatan yang bermakna secara statistik pada handgrip dynamometer, dan hanya pada kelompok metode PNF yang memberikan peningkatan bermakna secara statistik pada uji Glittre. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kelompok metode PNF dan metode abduksi terhadap peningkatan handgrip dynamometer dan uji Glittre, namun didapatkan perbedaan peningkatan yang bermakna secara klinis antara metode PNF dan metode abduksi terhadap uji Glittre.
Simpulan : Latihan tanpa tumpuan pada angggota gerak atas dengan metode PNF dapat memberikan peningkatan yang lebih baik secara klinis dibandingkan dengan latihan dengan metode abduksi pada program rehabilitasi paru untuk meningkatkan fungsi tangan dalam melakukan AKS.

Background: Skeletal dysfunction that occurs in Chronic Obstructive Pulmonary Disease COPD resulted in diminishing ability in hand function especially in hand grasp and activities of daily living ADL performance. Unsupported upper extremity exercise had proven to be useful in treating skeletal dysfunctions on COPD. The recommended exercise that can be prescribed is the Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF method and abduction method. Until the recent time, there has been no evidence in determining the best method to improve skeletal dysfunction in COPD. This study will attempt to compare the two methods Unsupported upper extremity exercise between PNF and abduction for the hand function in pulmonary rehabilitation program.
Methods: This is an experimental study with consecutive sampling. There were 32 subjects with COPD of grades B, C, and D all are medically stable who came to Persahabatan General Hospital, after fulfilling all inclusion and exclusion criteria. Hand grip strength was graded by using the Jamar handgrip dynamometer, while the grading of ADL performance were assessed with Glittre Test that was done before and after intervention. Subjects were divided to two groups, the PNF method and abduction method. Both groups were given pulmonary rehabilitation program. Interventions consist of 20 exercise sessions for 8 weeks.
Results: There were 21 subjects that successfully completed 20 exercise sessions. In the analysis of both groups, there were significant increase in handgrip dynamometer, and only PNF method significantly improved ADL performance in Glittre Test. There was no statistically significant difference in between both groups on the increase of handgrip dynamometer and Glittre test, however there was clinically significant increase PNF method and abduction method on the Glittre test.
Conclusions: Unsupported upper extremity exercise with PNF methods give better clinically significant improvement on hands function for ADL compare to abduction methods in pulmonary rehabilitation program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Taruli Loura
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal ginjal terminal dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh, termasuk sistem respirasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui kapasitas difusi paru terhadap karbon monoksida DLCO pada pasien hemodialisis kronik dan menghubungkannya dengan berbagai faktor demografis dan klinis serta spirometri. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada pasien hemodialisis kronik berusia ge;18 tahun, stabil dalam 4 minggu terakhir, tidak memiliki riwayat penyakit paru dan jantung sebelumnya. Spirometri dan pemeriksaan DLCO dilakukan dalam kurun waktu 24 jam setelah hemodialisis.Hasil: Terdapat 40 subjek yang sebagian besar adalah laki-laki 67,5 , median usia 51 tahun dan bukan perokok 55 . Rerata indeks massa tubuh IMT 22,6 3,9 kg/m2, Hb 9,5 1,3 g/dl, median dialysis adequacy 1,62 dan durasi hemodialisis 31,5 bulan. Penyebab terbanyak gagal ginjal terminal adalah hipertensi 62,5 . Sesak napas dialami oleh 20 subjek. Prevalens penurunan DLCO adalah 52,5 dengan derajat ringan-sedang. Sebanyak 47,5 subjek mengalami restriksi dan 5 mengalami obstruksi pada pemeriksaan spirometri. Terdapat hubungan antara riwayat merokok dan penurunan DLCO dengan odds ratio 4,52 95 IK 1,04 ndash; 19,6 serta antara gangguan restriksi dan penurunan DLCO dengan odds ratio 5,58 95 IK 1,29 ndash; 23,8 . Diperkirakan terdapat gangguan parenkim paru yang menyebabkan restriksi dan menghambat difusi.Kesimpulan: Penurunan kapasitas difusi paru pada pasien hemodialisis kronik cukup sering terjadi meskipun tidak selalu disertai keluhan sesak napas. Faktor risiko penurunan DLCO adalah riwayat merokok dan gangguan restriksi pada spirometri.Kata Kunci: DLCO, hemodialisis, kapasitas difusi paru

ABSTRACT
Background End stage renal disease affects all systems in human including respiratory system. This study aimed to discover the lung diffusion capacity of carbon monoxide DLCO in chronic hemodialysis patients and to discover its relation to several demographic and clinical factors, as well as spirometry parameters.Method This was a cross sectional study among chronic hemodialysis patients aged ge 18 years old, clinically stable in the last 4 weeks without prior history of lung and cardiac disorder. Spirometry and DLCO examination were performed in the span of 24 hours after hemodialysis.Results There were 40 subjects analyzed. Majority of them were male 67.5 , median age 51 years old and non smoker 55 . Mean Body Mass Index BMI 22.6 3.9 kg m2, Hb 9.5 1.3 g dl, median dialysis adequacy 1.62 and hemodialysis duration of 31.5 months. Hypertension was the most common underlying disease. Some 20 of subject had varying degrees of dyspnea. Prevalence of DLCO reduction was 52.5 with mild to moderate degree. Restrictive spirometry pattern was evident in 47.5 and obstructive pattern in 5 of subjects. There was a significant relation between DLCO reduction with smoking history OR 4.52 95 CI 1.04 ndash 19,6 , also with restrictive disorder OR 5.5 95 CI 1.29 ndash 23.8 . Reduction of DLCO in restrictive subjects was related to the diminished alveolar volume VA . This VA reduction was not compensated by the increase of KCO, therefore we suspect a lung parenchymal disorder that inhibit diffusion. There was no correlation between DLCO reduction with gender, age, BMI, dialysis adequacy, hemodialysis duration, underlying disease and MMRC score. Conclusion Reduction of lung diffusion capacity in chronic dialysis patients is common although not accompanied with dyspnea. Risk factors for DLCO reduction are smoking history and restrictive disorder in spirometry. "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Restiawati
"Latar belakang penelitian : Gejala klinis dan fungsi paru pada asma tidak sensitif dalam mencerminkan inflamasi saluran napas yang mendasarinya dan monitoring proses inflamasi pada asma yang terbaru telah tersedia saat ini. Kadar NO pada udara ekspirasi saat ini dikenali sebagai tanda peradangan eosinofil, merupakan pemeriksaan non invasif dan sangat mudah untuk dikerjakan akan tetapi masih sangat mahal.
Metode penelitian : Asma dibagi menjadi 2 kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol. Sembilan puluh enam subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dinilai kontrol asmanya dengan ACT kemudian dilakukan pengukuran kadar NO dan spirometri dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional comparative.
Hasil penelitian : Sembilan puluh enam subyek penelitian berhasil dikumpulkan. Lima puluh orang subyek merupakan kelompok asma terkontrol (41 orang asma terkontrol sebagian dan 8 orang asma terkontrol penuh) dan 47 orang merupakan kelompok asma tidak terkontrol. Semua pasien mendapatkan terapi asma sesuai dengan GINA 2011. Berdasarkan nilai spirometri VEP1/KVP untuk menilai derajat obstruksi 26 (53,3%) kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai normal, 14 (29,8%) dengan obstruksi ringan dan 7 (14,9%) dengan derajat obstruksi sedang. Sementara itu 25 (51%) kelompok asma terkontrol memiliki nilai normal, 21 (42,9%) dengan derajat obstruksi ringan dan 3 (6,1%) dengan derajat obstruksi sedang. Tidak ditemukan derajat obstruksi berat pada kedua kelompok asma. Nilai median NO pada kelompok asma terkontrol adalah 27 part per billion (ppb) xx (6;10), sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol 40 ppb (5;142) dengan nilai p 0,002.
Kesimpulan : Kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai NO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok asma terkontrol. Lebih dari 50% subyek penelitian ditemukan tidak memiliki obstruksi berdasarkan nilai VEP1/KVP.

Background: Clinical findings and lung function test results of asthmatic patient are happen to be less sensitive in reflecting the underlying airway inflammation. Such required monitoring of this process has only recently become available. Exhaled nitric oxide is recognized as reliable surrogate marker of eosinophilic airway inflammation and offers the advantage of being completely non-invasive, easy procedure.
Methods: This cross-sectional comparative study involves 96 asthmatic subjects whom fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects are then classified into two main categories of asthma which are controlled asthma and uncontrolled asthma based on ACT questionnaire. Nitric oxide level measurement and spirometry examination are then performed in both of controlled asthma and uncontrolled asthma.
Results: Ninety six subjects were included in this study. Fifty subjects had controlled asthma (41 partially controlled, 8 fully controlled) and 47 had uncontrolled asthma. All patients had been using asthma medication on regular basis. Based on FEV1/FVC 26 (55,3%) uncontrolled asthma patients had normal results, 14 (29,8%) had mild obstruction and 7 (14,9%) had moderate obstruction. Meanwhile, 25 (51%) controlled asthma patients had normal results, 21 (42,9%) had mild obstruction, and 3 (6,1%) had moderate obstruction. No patients had severe obstruction. Median of NO in controlled asthma patients was 27 part per billion (ppb), (6;110) while in uncontrolled asthma was 40 ppb (5;142) with pvalue 0,002.
Conclusion: Uncontrolled asthma patients had higher measured level of exhaled NO compared to controlled asthma patients. More than 50% subjects had no obstruction based on FEV1/FVC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Sri Hastuti
"Pendahuluan : PPOK eksaserbasi akut dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi. Sebuah studi prospektif menemukan bahwa skor CURB-65 berhubungan dengan kematian pada PPOK eksaerbasi akut. Komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada PPOK derajat sedang dan berat. Hipotesis kami modifikasi skor CURB-65 skor (CURB-65 ditambah komorbid kardiovaskular) dapat memprediksi risiko kematian pada PPOK eksaserbasi akut.
Metode : Kami melakukan analisis secara prospektif dalam 1 tahun untuk mortalitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi kematian pada pasien PPOK eksaserbasi akut antara Maret dan November 2012. Modifikasi skor CURB-65 dihitung dari penilaian awal saat pasien masuk ke IGD atau poli asma/PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta. Skor terdiri dari satu poin untuk variabel confusion, urea> 7 mmol / L, frekuensi napas ≥ 30/min, tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan darah diastolik <60 mmHg, usia ≥ 65 tahun dan penyakit kardiovaskular (dinilai dengan EKG dan ekokardiografi). Setelah 12 bulan evaluasi, dilakukan analisis hubungan antara modifikasi skor CURB-65 dan risiko kematian menggunakan uji Chi Square, uji Fisher dan Kolmogorov Smirnov.
Hasil : Terdapat 76 subjek penelitian. Angka kematian selama 30 hari adalah 9,2% dan dalam satu tahun adalah 27,6%. Prevalensi penyakit kardiovaskular adalah 63,2%. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, frekuensi napas dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 30 hari pasca eksaserbasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas dengan risiko mortalitas dalam 6 bulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas, komorbiditas kardiovaskuler dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan. Modifikasi skor CURB-65 ≥ 2 dapat digunakan sebagai titik potong untuk memprediksi mortalitas dalam 12 bulan pasca PPOK eksaserbasi akut.
Kesimpulan : Angka mortalitas dalam satu tahun pada PPOK pasca eksaserbasi cukup tinggi. Modifikasi skor CURB-65 dapat memprediksi mortalitas dalam dalam 1 tahun pada PPOK eksaserbasi. Skor ini mungkin berguna dalam memprediksi prognosis untuk pasien PPOK dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengobatan secara optimal.

Introduction : Acute exacerbation of COPD (AECOPD) is associated with a high risk of mortality. A prospective study found that CURB-65 score was associated with mortality in AECOPD. Comorbidity such as cardiovascular disease is major causes and, in mild-to-moderate COPD, are the leading causes of mortality. We hypothesized a risk-prediction model using modification of CURB-65 score (CURB-65 with cardiovascular disease) can predicted risk of death in AECOPD.
Methods: We investigated prospectively the 1-year mortality rate and potential determinants of mortality for all patients admitted to the hospital with an AECOPD between March and November 2011. The modification of CURB-65 Score were calculated from information obtained at initial hospital presentation. The modification of CURB-65 Score are one point each for Confusion, Urea > 7 mmol/L, Respiratory rate ≥30/min, Sistolic Blood pressure < 90 mmHg or diastolic blood pressure < 60 mmHg, age ≥ 65 years and present of cardiovascular disease (use echocardiography). After 12 months of evaluation, the relation between modification of CURB-65 score and risk of mortality will analyze using Chi Square test, Fisher?s test and Kolmogorov Smirnov.
Result: 76 patients have been collected. The mortality rate during 30 days was 9,2% and one-year mortality was 27,6%. The prevalence of cardiovascular disease was 63,2%. There was significant correlation between smoking status, respiratory rate and modification of CURB-65 score with 30 days risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate with 6 months risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate, cardiovascular comorbidity and modification of CURB-65 score with 12 months risk of mortality. Curb-65 Modifications score ≥ 2 can be used as a cut-off point for predicting mortality in 12 months in acute exacerbations of COPD.
Conclusion : 1-year mortality after AECOPD admission is high. The modification of CURB-65 score was effective in predicting mortality in our cohort of acute COPD exacerbations. This model may be useful in predicting prognosis for individuals and thus in guiding treatment decisions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Alfin Hanif
"PENDAHULUAN: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada penyakit ini. Hiperinflasi statik berimplikasi klinik penting pada pasien PPOK. Rasio kapasitas inspirasi/kapasitas paru total sebagai parameter hiperinflasi paru adalah predictor kematian pada pasien PPOK. Skor CURB-65 juga terbukti efektif untuk memprediksi kematian pasien PPOK dalam 30 hari pasca eksaserbasi namun tidak untuk 1 tahun. Kombinasi skor CURB-65 dan KI/KPT diharapkan dapat memprediksi kematian pada PPOK lebih tepat.
METODE: Kita mengumpulkan 71 subjek PPOK eksaserbasi akut di IGD atau poli rawat jalan dan menghitung skor CURB-65. Setelah stabil, kita ukur rasio KI/KPT subjek. Skor dibagi 2 menurut risiko, yaitu risiko rendah, yaitu < 2 dan risiko tinggi yaitu ≥ 2. Setelah pengamatan satu tahun, dilakukan uji statistik antara skor kombinasi CURB-65+KI/KPT dengan mortalitas subjek dalam satu tahun. Penelitian ini juga mencoba menghubungkan skor gabungan CURB-65+KI/KPT dengan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun. Terakhir peneliti juga mencari factor predictor hiperinflasi paru.
HASIL: Seluruh subjek dalam penelitian ini masih hidup setelah diikuti selama satu tahun. Subjek yang mengalami eksaserbasi 2 kali atau lebih dalam satu tahun adalah 53.5%. Tidak terdapat hubungan antara CURB-65+KI/KPT dengan frekuensi eksaserbasi (p = 0.196). Indeks massa tubuh atau IMT (p = 0.010, R = 0.304), VEP1 (p = 0.042, R = -0.243), VEP1% prediksi (p = 0.024, R = -0.268), dan frekuensi napas (p = 0.013, R = 0.293) berhubungan dengan frekuensi eksaserbasi. Kita juga menemukan bahwa IMT (p = 0.035, RR = 3.05) dan VEP1% prediksi (p = 0.025, RR = 3.26) adalah factor prediktor hiperinflasi paru.
KESIMPULAN: Tidak terdapat mortalitas pasien PPOK dalam satu tahun pengamatan. Tidak terdapat hubungan antara CURB-65+KI/KPT dengan frekuensi eksaserbasi. Indeks massa tubuh (IMT), VEP1, VEP1% prediksi dan frekuensi napas berhubungan dengan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun. Indeks massa tubuh dan VEP1% prediksi adalah factor prediktor hiperinflasi paru pada pasien PPOK.

ARATIONALE: Acute exacerbation of COPD was associated with higher mortality of this disease. Static lung hyperinflation has important clinical consequences in patients with COPD. The power of lung hyperinflation as measured by the inspiratory capacity–to-total lung capacity ratio (IC/TLC) was an independent risk factor for mortality in cohort study of patient with COPD. The CURB-65 score was proved as effective tool in predicting early mortality in acute COPD exacerbations, but not in one year. We hypothesized combination score of CURB-65 and IC/TLC in prospective study can predict mortality of COPD precisely.
METHODS: We recruited 71 COPD patients suffering acute exacerbation. We divided the subjects into 2 groups according to the score of combination of CURB-65 and IC/TLC. First group was low risk group with score less than 2 (< 2) and the second was high risk group with score 2 and more (≥ 2). IC/TLC was measured when the COPD patient in stable condition after exacerbation. After one year of evaluation, the association between combination score of CURB65 plus IC/TLC and the mortality in 1 year was analyzed using Chi Square test. We also tried to find relationship between combination score CURB-65 plus IC/TLC with frequency of COPD exacerbation in 1 year. At last, another aim of this study was finding the factors predicting lung hyperinflation.
RESULTS: All the subject were alive in 1 year follow up. Subject who suffered acute exacerbation 2 times or more in 1 year were 53.5%. There was no relationship between CURB-65+IC/TLC (p = 0.196) with frequency of exacerbation. Body mass index or BMI (p = 0.010, R = 0.304), FEV1 (p = 0.042, R = -0.243), FEV1% prediction (p = 0.024, R = -0.268), and respiratory rate (p = 0.013, R = 0.293) were correlated with frequency of exacerbation. We also found that BMI (p = 0.035, RR = 3.05) and FEV1% prediction (p = 0.025, RR = 3.26) were the prediction factors for lung hyperinflation.
CONCLUSIONS: there is no mortality of COPD patient in one year. There is no relationship between CURB-65+IC/TLC with the frequency of exacerbation. Body mass index (BMI), FEV1, FEV1% prediction, and respiratory rate are correlated with frequency of exacerbation. Body mass index (BMI) and FEV1% prediction can predict the lung hyperinflation.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnip, Helena
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbedaan latihan jentera dan sepeda statis terhadap perubahan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) kondisi stabil.
Metode: Metode penelitian eksperimental dengan jumlah sampel 44 orang, terdiri dari 22 orang dengan latihan sepeda statis dan 22 orang dengan latihan jentera yang datang ke poli Rehabilitasi Medik RS Persahabatan. Penilaian kapasitas fungsional menggunakan metode Uji Jalan 6 Menit (UJ6M) dilakukan minggu I, V dan IX. Penilaian kualitas hidup diukur menggunakan St. George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) dilakukan minggu I dan IX. Program latihan dilakukan selama 8 minggu.
Hasil: Latihan jentera dan sepeda statis menghasilkan perbaikan signifikan baik dalam hal hasil uji jalan 6 menit dan SGRQ sejak minggu I sampai IX. Namun dalam perbandingan latihan yang memberikan hasil terbaik, jentera meningkatkan jarak tempuh jalan 6 menit lebih baik dibandingkan sepeda statis secara konsisten pada minggu I–V, V-IX dan I-IX (p <0,001). Untuk nilai SGRQ, hasil kedua latihan tidak berbeda signifikan.
Kesimpulan: Kelompok latihan jentera memiliki peningkatan kapasitas fungsional yang lebih besar dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok latihan sepeda statis pada subjek PPOK stabil. Kelompok latihan jentera memiliki peningkatan kualitas hidup yang tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok latihan sepeda statis pada subjek PPOK stabil.

Objective: This study aimed to assess the differences between treadmill and ergocycle exercise on changes in functional capacity and quality of life in patients with stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Methods: This is an experimental research with a sample of 44 subjects, consisting of 22 subjects in the ergocycle exercise group and 22 subjects in the treadmill exercise group, at Persahabatan Hospital Medical Rehabilitation Clinic. Assessment of functional capacity using the 6 Minute Walking Test (6MWT) was performed on weeks I, V and IX. Assessment of quality of life was measured using the St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) performed on the week I and IX. Training program was conducted for 8 weeks.
Results: Treadmill and ergocycle exercise produce significant improvement in both the 6MWT results and SGRQ since week I to IX. But in comparison, treadmill exercise improves 6MWT distance better than ergocycle consistently at week I-V, V-IX and I-IX (p <0.001). For the SGRQ score, both exercises did not differ significantly.
Conclusion: The treadmill exercise group had a larger and significantly different improvement in functional capacity than the ergocycle exercise group in stable COPD subjects. Treadmill exercise group improvements on quality of life was not significantly different than the ergocycle exercise group in stable COPD subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Era Mahyuli
"Latar Belakang : Salah satu dampak sistemik dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yaitu modifikasi tipe otot skeletal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kelelahan kaki dengan menilai skala Borg lelah dan asam laktat perifer sebagai penanda kelelahan kaki
Metode : Desain penelitian ini adalah studi potong lintang, terdiri dari 34 subjek PPOK dan 25 subjek kontrol sehat yang seusia dengan usia subjek PPOK. Subjek dinilai skala Borg kelelahan kaki lelah dan asam laktat perifer sebelum dan sesudah uji jalan 6 menit (UJ6M).
Hasil : Terdapat peningkatan lebih tinggi median asam laktat yang tidak bermakna (p > 0,05) secara statistik antara subjek PPOK (0,5) dibandingkan kontrol (0,45). Terdapat peningkatan median skala Borg lelah yang bermakna (p < 0,001) antara subjek PPOK (5,0) dibandingkan subjek kontrol (1,0). Terdapat jarak tempuh yang lebih besar secara bermakna pada subjek kontrol dibandingkan subjek PPOK (p < 0,05).
Kesimpulan : Kelompok PPOK memiliki peningkatan asam laktat yang tidak bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok PPOK memiliki peningkatan skala Borg kaki lelah yang lebih besar dan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.

Background : One of systemic effects of COPD is a modification of skeletal muscle fiber types. The objective of this study is to determine the increase of leg fatigue by using Borg scale leg fatigue and lactic acid level.
Methods : This is a cross-sectional study design. The samples were 34 COPD patients and 25 healthy adults with the same age as COPD patients as the control. The lactic acid level and Borg leg fatigue scale were measured before and after six minute walking test (6MWT).
Results : There was an unsignificantly difference change of median of lactic acid level (p > 0,05) between COPD (0,5 mMol) compared to control (0,45 mMol). There was a statistically significant difference (p < 0,001) change of leg fatigue Borg scale between COPD (5,0) compared to control (1,0). There was a significantly (p < 0,05) higher mean of distance of 6MWT in control subjects (411,62 meters) compared to COPD (364 meters).
Conclusion : COPD patients had an unsignificantly increase of lactic acid level after the 6MWT compared to control subjects. COPD patients had a significantly higher leg fatigue Borg scale compared to control after the 6MWT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Rusli
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) selain mengalami gejala-gejala respirasi juga mengalami kelemahan otot rangka. Kelemahan ini diakibatkan penurunan massa otot (muscle wasting), gangguan nutrisi, inaktivitas fisik, inflamasi sistemik dan stress oksidatif. Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat pemberian modalitas stimulasi neuromuskular elektrik/neuromuscular electrical stimulation (NMES) pada otot kuadriseps femoris dan latihan fisik dibandingkan dengan hanya latihan fisik saja pada peningkatan kebugaran kardiorespirasi yang diukur menggunakan jarak tempuh uji jalan enam menit dan dinamometer hand held pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental dengan consecutive sampling dilakukan pada pada 17 subyek dengan PPOK derajat B,C dan D (stabil secara medis) yang datang ke RSUP Persahabatan. Pengukuran jarak tempuh uji jalan 6 menit dan kekuatan otot kuadriseps femoris (dengan dinamometer hand held) dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Subyek dibagi dalam kelompok perlakuan (9 subyek) dan kontrol (8 subyek). Kelompok perlakuan mendapat intervensi yaitu stimulasi NMES pada otot kuadriseps femoris dan latihan fisik, sementara kelompok kontrol hanya mendapat intervensi latihan fisik saja. Intervensi diberikan selama tiga kali setiap minggu selama 8 minggu berturut-turut.
Hasil : Pemberian stimulasi NMES pada kelompok perlakuan memberikan peningkatan pada peningkatan jarak tempuh uji jalan 6 menit dan kekuatan otot kuadriseps femoris dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun tidak bermakna secara statistik. Pada analisis tiap kelompok (perlakuan dan kontrol) terdapat peningkatan yang bermakna secara statistik yaitu peningkatan jarak tempuh uji jalan 6 menit, kekuatan otot kuadriseps femoris, dan kapasitas fungsional (pada subyek kelompok perlakuan dengan PPOK derajat C).
Kesimpulan : Pemberian stimulasi NMES pada pasien PPOK stabil yang mampu ambulasi tidak memberikan manfaat tambahan pada peningkatan kebugaran kardiorespirasi. Dibutuhkan jumlah sampel yang lebih besar untuk melihat manfaat stimulasi NMES pada pasien PPOK pada penelitian selanjutnya.

ABSTRACT
Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patient suffers not only respiratory symptoms but also skeletal muscle weakness. Weakness is caused by muscle wasting, nutritional disturbance, physical inactivity, systemic inflammation and oxidative stress. The purpose of this study is to find benefit of using neuromuscular electrical stimulation/NMES on quadriceps femoris muscle and physical exercise in improving cardiorespiratory endurance for COPD stable patient measured by six minutes walking test and hand held dynamometer.
Methods : Experimental study with consecutive sampling conducted on 17 subjects with grade B,C and D COPD (medically stable) who attended at Persahabatan General Hospital. Subjects divided into intervention and control group. Measure of distance coverage of six minutes walking test and muscle strength using hand held dynamometer is done before and after intervention. Intervention group had NMES stimulaton on their quadriceps muscles and physical exercise, while control group had only physical exercise. Intervention sessions are given three times weekly for 8 weeks periods.
Results : There is increment of distance coverage of six minutes walking test and quadriceps muscle strength of both groups but not statistically significant. Subgroup analysis reveals increment on distance coverage of six minutes walking test, quadriceps femoris muscle strength and functional capacity (in interventional group, subjects with grade C COPD).
Conclusion : Neuromuscular Electrical Stimulation for Stable COPD patient with good ambulation does not give any additional benefit for increasing cardiorespiratory endurance. Further study with larger number of subjects is needed for evaluating the effect of NMES for COPD patient."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiyanti Tentua
"Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit kronik yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif, yang dapat digunakan untuk menilai kadar sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien PPOK berdasarkan GOLD 2017.
Metode penelitian : studi potong lintang dengan melibatkan 77 subjek pasien
PPOK stabil yang tidak eksaserbasi dalam 4 minggu terakhir dan berobat di poli asma-PPOK serta menyetujui informed consent. Pasien ini dilakukan wawancara dengan skoring CAT dan mMRC dan dilakukan pemeriksaan fisis serta mengambil data foto toraks atau CT Scan toraks pasien kemudian data spirometri terakhir diambil untuk mendiagnosis pasien tersebut PPOK. Pasien lalu digolongkan derajat PPOK stabilnya berdasarkan kriteria GOLD 2017, dan diambil sampel uji kondensasi udara napas untuk diperiksakan kadar sitokin interleukin (IL) -6, 8, 13 dan tumor necrosis factor (TNF)-α di laboratorium IMERI dengan pemeriksaan ELISA untuk masing-masing sitokin.
Hasil: Interleukin 8 dapat terdeteksi pada 8 (10,4 %) pasien dari jumlah 77 pasien
dengan nilai rata-rata 2,4 pg/mL, sedangkan kadar IL-13 dan TNF-α hanya terdeteksi pada 1 (1,3 %) pasien dengan nilai IL-13 6,912 pg/mL dan TNF-α 8,766 pg/mL. Kadar IL-6 terdeteksi pada 71 (92,2 %) pasien PPOK stabil dengan nilai rata-rata 0,7 pg/mL. Tidak ada hubungan antara kadar IL-8, IL-6, IL-13 dan TNF- α dengan derajat PPOK (p > 0,05), meskipun kadar IL-8 dan IL-6 ditemukan mengalami peningkatan pada masing-masing kelompok PPOK. Hanya satu pasien ditemukan semua kadar sitokinnya terdeteksi yang setelah ditelusuri, pasien
tersebut memiliki jumlah eosinofil darah 1120 /ÅμL dan nilai CRP darah 5,8 mg/L.
Kadar TNF-α dan IL-13 pada penelitian ini memiliki hubungan bermakna dengan
status merokok pasien (p = 0,00).
Kesimpulan: Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif yang dapat digunakan pada pasien PPOK stabil untuk menilai kadar sitokin proinflamasi pada pasien PPOK stabil.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a chronic systemic inflammatory disease which is associated with high morbidity and mortality rates. The exhaled breath condensation (EBC) test is a non-invasive test method to assess pro-inflammatory cytokines levels in COPD patients based on GOLD 2017.
Methods: We performed a cross-sectional study involving 77 subjects with stable COPD who had not exacerbated in the past 4 weeks and treated at asthma-COPD outward clinic in Persahabatan National Respiratory Referral Hospital. Subjects were interviewed with CAT and mMRC scoring system and were examined for their radiographic imaging by chest x-ray or CT. Patients were classified as stable COPD levels based on the GOLD 2017, and EBC were examined for levels of interleukin (IL) -6, 8, 13, and tumor necrosis factor (TNF)-α using ELISA methods.
Results: Interleukin 8 was detected in 8 (10.4%) patients out of 77 patients with an average value of 2.4 pg/mL, whereas IL-13 and TNF-α levels were only detected in 1 (1.3%) patient at 6.912 pg/mL and TNF-α 8.766 pg/mL, respectively. IL-6 levels were detected in 71 (92.2%) with average value of 0.7 pg/mL. There were no relationship between IL-8, IL-6, IL-13 and TNF-α levels with COPD degrees (p> 0.05), although IL-8 and IL-6 levels were found to be increased in each COPD group. Only one patient presented with all cytokine detected whose had a blood
eosinophil count of 1120 /ÅμL and a blood CRP level of 5.8 mg/L. TNF-α and IL-
13 levels in this study were correlated with the subject's smoking status (p = 0.00).
Conclusion: The EBC test is a non-invasive method that can be used in stable COPD patients to assess pro-inflammatory cytokines levels in stable COPD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>