Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudi Astono
Abstrak :
Sikap kerja berdiri mempengaruhi kelelahan kerja. Hal ini diakibatkan oleh kontraksi statis otot penyangga tubuh yang terjadi bila tinggi meja kerja tidak sesuai dengan tinggi siku tenaga kerja. Telah dilakukan penelitian dengan hasil bahwa terdapat hubungan antara kesesuaian tinggi meja dengan terjadinya kelelahan pada tenaga kerja dengan sikap kerja berdiri di bagian assembling pada salah satu perusahaan accu di Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan "studi kros seksional" dan sampel penelitian diambil dari seluruh populasi yang ada yaitu sebanyak 115 orang, dimana sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 98 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesesuaian tinggi meja dan tinggi siku tenaga kerja dengan terjadinya kelelahan pada tenaga kerja dengan sikap kerja berdiri dan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelelahan kerja. Untuk mengetahui sesuai tidaknya tinggi meja kerja dengan tinggi siku tenaga kerja, dilakukan pengukuran tinggi meja dan tinggi siku tenaga kerja kemudian dibandingkan dengan nilai standar. Untuk mengukur adanya kelelahan dilakukan dengan metoda flicker fusion test dengan menggunakan alat digital flicker fusion apparatus. Kelelahan diukur setelah tenaga kerja bekerja selama 4 jam, sebelum tenaga kerja istirahat. Pada penelitian ini diperoleh bahwa dari 98 subyek yang diteliti, sebanyak 45.9 % tenaga kerja dengan sikap kerja berdiri mengalami kelelahan. Terdapat hubungan bahwa subyek penelitian yang tinggi meja kerjanya tidak sesuai dengan tinggi sikunya, lebih besar kemungkinan untuk mengalami kelelahan, dengan uji statistik yang bermakna p 0.00 OR 7.44; CI 2.52-8.29). Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pada sikap kerja berdiri adalah umur tenaga kerja, Hb darah, kebiasaan o1ah raga dan kebiasaan merokok.
The Appropriateness of Deskwork Height and Fatigue in Working on Standing PositionWorking on standing position influences work fatigue. It involves a great deal of static contraction of the body buffer of muscles that will occur if the deskwork height is not appropriated as worker's elbow height. In an assembling division of a battery company in Jakarta, It has been examined that there is a correlation with the appropriateness of the height of the deskwork and work fatigue. The study was done withCross Sectional Study and the sampel taken from the whole population is 115 people, but those who can comply the criteria are 98 people. The objectives of the study are to find out the correlation between the appropriteness of the deskwork height and the worker's elbow height with work fatigue on standing position and to find out other factors that influence work fatigue. Thus, the researcher measured and compared them with standard value. The fatigue measuring was carried out with Flicker function test method and used digital fusion apparatus. The fatigue have measured after 4 hours working before take a rest. From 98 subject, found 45.9 % workers with standing position get fatigue. There is significant correlation between the work fatigue and the appropriatness of deskwork height. The workers that have not the deskwork height appropriateness with elbow height, more probable to get work fatigue p O.00(OR 7.44; CI 2.52-8.29). The other factors that influence to work fatigue on standing position are worker's age, level of hemoglobin (Hb), physical exercise and smoking habit.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T12427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
July Ivone
Abstrak :
Ruang lingkup dan metodologi penelitian : Untuk mengetahui hubungan kelelahan mata dengan produktivitas kerja, telah dilakukan penelitian cross-sectional terhadap 93 orang tenaga kerja yang bekerja di bagian inspeksi Perusahaan Tekstil PT.X, Bandung. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamesa, pemeriksaan fisik, pengukuran kelelahan mata dengan amplitude akomodasi dan Near Point Convergence (NPC), pengukuran penerangan kerja dengan luksmeter, serta pengukuran produktivitas kerja. Hasil: Hasil penelitian mencatat prevalensi kelelahan mata setelah bekerja 4 jam adalah 88.2%. Secara statistik ditemukan hubungan berrnakna antara timbulnya kelelahan mata dengan umur, tetapi tidak mempunyai hubungan bermakna antara jenis kelamin, pendidikan, masa kerja dan kuat penerangan. Sebanyak 53.76% tenaga kerja mengalami penurunan produktivitas pada jam IV. Hasil uji statistik memperlihatkan penurunan bermakna antara produktivitas kerja jam I dan jam IV (p < 0.001). Produktivitas kerja mempunyai hubungan bermakna dengan pendidikan dan kuat penerangan, tetapi tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan jenis kelamin, umur, masa kerja dan kelelahan mata. Kesimpulan : Kelelahan mata tidak mempengaruhi standar produktivitas, tetapi pendidikan rendah dan kuat penerangan yang buruk menyebabkan penurunan produktivitas kerja.
The Relationship Between Asthenopia As Well As Working Productivity Of The Labour Working At Inspecting Department Of Textile Industry PT.X, Bandung. Scope and methodology : In order to find the relationship between asthenopia and working productivity, a cross-sectional study is conducted toward 93 worker who are working at inspecting department of Textile Industry PT.X, Bandung. The collection of data is carried out by anamnesa, physical examination, the measurement of asthenopia by amplitude or accommodation and Near Point Convergence (NPC), measurement the light intensity by using the luksmeter, and working productivity. Results : The study find out that the prevalence of asthenopia after working for 4 hours is 88.2%.The result of statistic shown that there are relationship between asthenopia and age, but no relationship between sex, education level, length of work and light intensity. About 53.76% workers had decrease productivity at the 4th hour. The result of statistic shown that there are significant decrease between working productivity at the 1st hour and 4th hour (p < 0.001). Working productivity has relationship with education level and light intensity, but no relationship between sex, age, length of work and asthenopia. Conclusion : Asthenopia not influential to standard productivity, but a low education and a poor light intensity can decrease working productivity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannes N.P.
Abstrak :
Ruang lingkup dan metodologi Pajanan panas merupakan salah satu faktor risiko yang terdapat pada pabrik pembuatan tabung LPG. Dampak yang ditimbulkan dari pajanan panas adalah tenaga kerja banyak mengeluarkan keringat sehingga mengalami kekurangan cairan bila tidak diimbangi dengan minum yang cukup. Keadaan ini bila berlangsung lama akan mengakibatkan supersaturasi urin dan memudahkan terjadinya kristal dalam urin antara lain adalah kristal kalsium oksalat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui manfaat pemberian air minum terhadap kristal kalsium oksalat urin tenaga kerja yang terpajan panas di pabrik LPG X Jakarta. Penelitian ini menggunakan disain studi intervensi dengan memberikan penyuluhan dan air minum kepada 16 orang tenaga kerja yang dipilih secara purposif. Dilakukan pengumpulan data panas lingkungan kerja menggunakan index suhu bola basah(ISBB), dan beberapa variabel subyek seperti umur, lama kerja, beban kerja, pendidikan, pengetahuan, dan kebiasaan minum yang didapatkan dari wawancara dan kuesioner. Pengukuran berat badan, keluhan subyektif, dan kristaI kalsium oksalat sebelum dan sesudah intervensi. Hasil dan kesimpulan: Panas lingkugan kerja berkisar antara 27.42 - 29.34°C ISBB, beban kerja fisik tenaga kerja katagori sedang. Didapatkan keluhan subyektif: rasa haus 100%, tidak nyaman 50%, cepat lelah 37.50%, tidak semangat 18.75%, pusing 12.50%, penurunan berat badan berkisar antara 0.1-0.6 kg, hasil pemeriksaan kristal kalsium oksalat urin tenaga kerja 56.25% meningkat menjadi 75% setelah terpajan panas. Terjadi perubahan bermakna (p<0.05) kristal kalsium oksalat urin tenaga kerja terpajan panas setelah dilakukan intervensi dengan penyuluhan dan pemberian air minum.
Heat exposure is one of the risk factors of manufacturing the LPG cylinder. The effect of heat exposure will make the workers get sweat profusely, which may let them be dehydrated if they do not drink enough water. If this condition happens for quite long time, it will make super-saturation urine, which may easily cause a crystallization of urine such as calcium oxalate crystal. The point of this study is to find out the benefit of giving drink water to the urinary calcium oxalate crystal of the worker who heat exposure at the factory of LPG X Jakarta. We use an intervention - Study design, by giving lectures and ask 16(sixteen) workers, who had chosen purposefully, to drink some water. We also collect some data, of the hot temperature of the field, by using WBGT, and some subject variable such as: ages, working period, working load, education, knowledge and drinking water attitude, which are collected from interviews and questioners. The weight, subject complaint and calcium oxalate crystal urine of the worker are also noted before and after the intervention. Result and conclusion Study finding showed that the temperature working area range, about 27.42-29.34°C WBGT. Subject complaint were thirsty 100%, discomfort 50%, fatigue 37.50%, headache 12.50%, loss body weight 0.1-0.6 kg, and crystallization of the worker urine is growth from 56.25% to 75% after heat exposure. There is significant result (p<0.05) of urinary calcium oxalate crystal of the worker after this intervention and lectures, and after giving them some drinking- waters.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T10343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renaldi MNF
Abstrak :
Pekerjaan pembuatan tabung gas beresiko terpajan oleh kebisingan Sedangkan program konservasi pendengaran yang dilakukan belum dilakukan dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya masalah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan pada tenaga kerja pabrik tabung EP serta melakukan upaya pencegahannya. Disain penelitian Studi intervensi. Jumlah subyek yang diteliti 59 orang dari total populasi 62 orang tenaga kerja tetap. Intervensi berupa anjuran pemakaian slat pelindung diri telinga bagi tenaga kerja serta penyuluhan bagi pimpinan dan part pengawas tentang pentingnya penerapan program konservasi pendengaran secara efektif dan efisien. Hasil dan kesimpulan. Terdapat 10 lokasi dengan tingkat kebisingan 92 dB di dalam pabrik Keluhan gangguan pendengaran pada tenaga kerja berupa kurang pendengaran 16,94 persen, tinitus - 11,86 persen atau kombinasi keduanya 3,38 persen. Prevalensi tali akibat bising (TAB) sebesar 11,86 persen Terdapat hubungan yang bermakna antara TAB dengan lama paparan dan intensitas bising (p kurang dari 0,05). Sedangkan huhungan antara TAB dengan usia, lama bekerja, pengetahuan, sikap dan perilaku tidak bermakna. Untuk kepatuhan memakai alat pelindung diri telinga terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi. Penyuluhan pada pimpinan dan para pengawas menghasilkan suatu komitmen dan dukungan pimpinan terhadap program konservasi pendengaran. ......Work in the gas cylinder production has a high exposure to noise hazard The implementation on hearing conservation program is essential for the prevention of hearing lass among workers. The objective of the study is to know the prevalence of Noise Induced Hearing Disturbance among workers in EP gas cylinder factory and the implementation of it's prevention program. The study design used was an intervention study. From the total population of 62 workers, 59 subject participated in this study. The intervention was education on NIHL and recommendation to use ear protection for workers and education to managers and supervisors on effective and efficient hearing conservation program. Result : In 10 location in the factory the noise level was above 92 dB . Complaints in hearing decrease was found in 16,94 percent, tinnitus in 11,80 percent and both complaints in 3,38 percent of the workers. The prevalence of NI HL was 11,86 percent.Statistical test showed a significant relation between exposure period and NIHL. There was no significant relationship between NIRL and age, work period and KAP. Intervention showed a significant increase in the use of ear protection among workers. Managers and supervisors committed to support the implementation of Hearing Conservation Program.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ismiati
Abstrak :
Penelitian dilakukan pada tenaga kerja yang terpajan debu hasil pembakaran sampah di bagian boiler pabrik sepatu olah raga. Pajanan debu dapat menimbulkan gejala pengawasan berupa batuk kronik, dahak kronik, sesak nafas, serta gejala bronkitis kronik yang dapat memberikan gambaran penurunan fungsi paru obstruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi paru pada tenaga kerja di bagian boiler, dengan cara meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam menggunakan alat pelindung diri (APD) saluran nafas. Disain penelitian menggunakan cara studi operasional yang dilakukan terhadap seluruh populasi tenaga kerja di bagian boiler (12 orang), selama 1 bulan. Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi ventilasi paru, serta pemeriksaan foto toraks. Selanjutnya dilakukan intervensi berupa penyuluhan serta monitoring dan pengawasan penggunaan APD saluran nafas. Hasil dari penelitian ini didapatkan keluhan batuk kronik 25 %, dahak kronik 33,3 %, sesak nafas 16,7 %, bronkitis kronik 25 %, serta gangguan fungsi paru obstruksi 25 %. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok umur, lama kerja, perilaku merokok dan perilaku menggunakan APD saluran naf as terhadap terjadinya bronkitis kronik maupun obstruksi (p>0,05). Risiko terjadi obstruksi 2,5 kali lebih besar pada tenaga kerja yang telah bekerja lebih dari. 5 tahun (OR=2,5). Risiko terjadi obstruksi 1,6 kali lebih besar pada tenaga kerja yang tidak menggunakan APD saluran nafas (OR=1,6). Intervensi yang dilakukan menunjukkan keberhasilan yang sangat bermakna yaitu terdapat peningkatan pengetahuan tentang APD saluran nafas sebesar 58,4 % (0,001
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mandu Chairani
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Metodologi Penelitian: PT. X adalah cabang dari perusahaan multinasional yang memproduksi sepatu basket, sepatu bola, sepatu multifungsi dan sepatu anak-anak. Pemakaian mesin alat kerja dan mekanisme dalam industri dapat menimbulkan kebisingan di tempat kerja. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui intensitas bising lingkungan tempat kerja, prevalensi dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan gangguan pendengaran akibat bising. Metoda penelitian berupa studi cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 180 tenaga kerja yang terpajan bising lebih dari 85 dB. Mereka telah bekerja kurang lebih 5 tahun dan berumur antara 21 - 40 tahun. Data penelitian didapat dari medical check up, kuesioner, wawancara dan observasi ke tempat kerja. Hasil Penelitian dan Kesimpulan: Intensitas bising lingkungan tempat kerja di atas 85 dB ditemukan di bagian sewing, assembling, outsole, power house, rubber, phylon, EVA, mesin penghancur, PU, 1P dan CPED. Kasus gangguan pendengaran akibat bising pada tenaga keija yang terpajan bising di atas 85 dB sebesar 11,7%. Faktor-faktor seperti umur, masa keija, pengetahuan, sikap, perilaku dan jenis ruangan tidak berhubungan dengan gangguan pendengaran akibat bising (p > 0,05). Sedangkan faktor-faktor seperti intensitas bising (p = 0,016) dan tempat tinggal (p = 0,039) berhubungan dengan gangguan pendengaran akibat bising. Secara statistik terbukti odd ratio intensitas bising sebesar 4,654, artinya risiko terjadinya gangguan pendengaran akibat bising pada intensitas bising yang tinggi (94 - 108 dB) adalah 4,654 kali lebih besar dibanding dengan intensitas bising yang lebih rendah (85 - 93 dB) dan odd ratio tempat tinggal sebesar 3,454, artinya risiko terjadinya gangguan pendengaran akibat bising di mess karyawan adalah 3,454 kali lebih besar dibanding dengan di luar mess.
Prevalence And Analysis The Factors That Related With Noise Induced Hearing Loss Among The Workers That Noise Exposured Louder Than 85 Db In X Shoes Factory, Banten, 2003Scope and Methodology PT. X is a branch of multinational that produce basketball shoes, soccer shoes, multifunction shoes and baby shoes. Using work equipment and mechanism in industry cause noise exposure in workplace. This case study done with goal to know what areas and number of worker who exposed to the noise level louder than 85 dB in workplace, also the prevalence and the factors that related with noise induced hearing loss. The research method is a cross sectional study. Sample consist 180 workers who exposed to noise louder than 85 dB. They had been worked about 5 years and their ages varied from 21 to 40 years old. Data were collected from medical check up results, questioners, interview and observation of the working condition. Result and Conclusions: The noise level louder than 85 dB in workplace found at sewing, assembling, outsole, power house, rubber, phylon, EVA, smashed machine, PU, IP and CPED. Noise induced hearing loss case among worker with noise exposured louder than 85 dB is 11,7%. The factors such as age, time work, knowledge, attitude, manner and the kind of room were not related with noise induced hearing loss (p > 0,05). But some factors such as noise level (p = 0,016) and type of residence (p = 0,039) were related with noise induced hearing loss. Statistically proven that odd ratio of noise level is 4,654, it means the likelyhood of risk noise induced hearing loss for exposure to higher noise level (94 - 108 dB) is 4,654 compared to low noise level (85 - 93 dB) and odd ratio of type of residence is 3,454, it means the likelyhood of risk noise induced hearing loss in boarding house is 3,454 compared to beside boarding house.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imron Khazim
Abstrak :
Ruang lingkup dan metodologi: Dislipidemia merupakan faktor risiko utama penyakit jantung koroner, sebagai penyebab kematian utama di Indonesia. Penelitian bertujuan menilai hubungan profil lipid dengan umur. tingkat kerja fisik, asupan nutrisi, kebiasaan olahraga dan merokok, indeks massa tubuh (IMT) dan Rasio lingkar perut - lingkar panggul (LPe-LPa). Studi kros-seksional ini mengikutsertakan seluruh tenaga kerja PTE Plumpang. Jakarta Utara sebagai subyek. Data yang dikumpulkan meliputi sosiodemografi, tingkat kerja fisik, tingkat pengetahuan dan sikap tentang pola makan gizi seimbang, kebiasaan makan, kebiasaan olahraga dan merokok, kualitas pola makan, asupan nutrisi metode tanya ulang 3 X 24 jam, IMT, Rasio LPe-LPa, dan kadar fraksi lipid serum. Hasil: Rata-rata kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, dan rasio kolesterol total/HDL serum masing-masing adalah 148.3+23.8 mg/dl, 77.2+24.2 mg/dl, 43.2+9.0 mg/dl, 143.3+97.8 mg/dl dan 3.6+0.96. Dijumpai prevalensi hipertrigliseridemia (>200 mg/dl) 12.6 % dan hipokolesteroleinia HDL (<35 mg/dl) 17.7 %. Rata-rata asupan energi dan protein perhari subyek adalah 1841 (1092.3-4060.0) kkal dan 60.9 (30.4-109.0) g. Sedangkan rata-rata proporsi energi yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, asam lemak tak jenuh tunggal (ALTJM), asam lemak tak jenuh majemuk (ALTJM), dan asam lemak jenuh (AU) serta PS ratio masing-masing adalah 63.3+4.9 %, 13.31.9 %. 23.8+4 2 %. 5.2+1.6 % 3.4+0.8 %, 13.6+2.7 %, dan 0.25+0.06. Subyek memiliki rata-rata IMT dan Rasio LPe-LPa 23.97+2.7 dan 0.89+0.05. Dijumpai prevalensi kegemukan (IMT 25.1-27.0) dan obes (IMT > 27) masing-masing 16.5 % dan Rasio LPe-LPa > 0.90 sebesar 51.9 %. Dijumpai korelasi positif bermakna antara IMT dan Rasio LPe-LPa (p<0.01 dan r = 0.632) dan korelasi negatif bennakna antara Rasio LPe-LPa dengan kadar kolesterol HDL (p<0.01 dan r = - 0.336). Berdasarkan analisis regresi logistik berganda binary, Rasio LPe-LPa dan kebiasaan inerokok mempunyai kontribusi sebagai prediktor kadar kolesterol HDL berdasarkan persamaan regresi kadar kolesterol HDL = 0.775 (kebiasaan merokok) + 1.348 (Rasio LPe-LPa) - 4.263. Kesimpulan: Asupan energi subyek masih di bawah AKG. Proporsi energi yang berasal dari karbohidrat dan ALJ melebihi proporsi yang dianjurkan diet tahap 1 dan 2 NCEP. Terdapat korelasi positif bermakna antara IMT dengan Rasio LPe-LPa dan korelasi negatif bermakna antara Rasio LPe-LPa dengan kadar kolesterol HDL serum. Rasio LPe-LPa dan kebiasaan merokok mempunyai kontribusi sebagai prediktor kadar kolesterol HDL serum.
Scope and method: Dislipidemia is the main risk factors of coronary heart disease that major cause of death in Indonesia. The objective of study to detennaine the relationships between lipid profiles and age, physical work nutrient intakes, sports and smoking habits, body mass index (BMI), and abdominal to hip circumference ratio (AHR). The subject of this cross-sectional study was all PTE Plumpang workers, North Jakarta. Data collected were socio-demography, physical work, knowledges and attitudes of balance nutrition, sports dan smoking habits, nutrient intakes with 3 X 24 hour daily recalls method, BM1, AHR, and the concentration of serum lipid. Results: The Mean concentration of serum total cholesterol, LDL cholesterol, HDL cholesterol,. triglycerides, and total cholesterolWHDL cholesterol ratio were : 148.3+23.8 mg/dl, 77.2+24.2 mg/dl, 43.2+9.0 mg/dl, 143.33+97.8 mg/dl dan 3.6. +0.96, respectively. The prevalence of hipertriglyceridemia (>200 mg/dl) and hipo-HDL-cholesterolemia (<35 mg/di) were 17.7 and 12.6 %. The median of energy and protein intakes of the subjects werel 841 (1092.3-4060.0) kcal and 60.9 (30.4-109.0) g. The composition of intakes were : 63.3+4.9 %, 13.3+1.9 %, 23.8+4.2 %, 5.2+1.6 %, 3.4+0.8 %, 13.6+2.7 %, and 0.25+0.06 for carbohydrate, protein, fat, MUFA, PUPA, SFA, and PS ratio, respectively. The Mean of BMI and AHR were 23.97+2.7 and 0.89+0.05. The prevalence of overweight (BMI 25.0-27.0) and obesity (BMI > 27.0) were 16.5 % respectively. The prevalence of AHR > 0.90 was 51.9 %. There were significant positive correlations between BM1 and AHR (p<0.01 and r = 0.632) and significant negative correlations between AHR and serum HDL cholesterol concentration (p<0.01 and r = -0.336). Using binary multiple regression model analysis, the prediction formula for serum HDL cholesterol concentration was : 0,775 (smoking habits) + 1.348 (AHR) - 4.263. Conclution: Energy intakes of subjects were low compared to the RDA. The composition of carbohydrate and SFA of intake were high compared to stage I and II of the NCEP diet recommendation. There were significant positive correlations between BMI and AHR and siginficant negative correlation between AHR and serum HDL cholesterol concentration. AHR and smoking habit were predictor factor of serum HDL cholesterol concentration.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T3694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zilfa Yenny
Abstrak :
Ruang lingkup dan metodologi : Telah banyak bukti yang menggambarkan dampak buruk dari debu kayu terhadap kesehatan. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa debu kayu mungkin berhubungan dengan timbulnya asma kerja di Mangan pekerja mebel sektor informal. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan melibatkan total populasi pekerja di tempat penelitian. Peserta penelitian adalah 135 dari 274 (49.27%) orang pekerja dengan rentang usia 18 - 60 tahun. Data didapatkan dari wawancara, pemeriksaan fisik serta pengukuran fungsi paru, dalam kurun waktu Juli sampai Augustus 2004. Dan selain itu, dilakukan juga pemeriksaan debu lingkungan kerja baik total maupun respirabel. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan timbulnya asma kerja. Hasil dan Kesimpulan : Dan populasi penelitian, 24 orang (17.8%) adalah penderita asma, dengan asma kerja 11,11% dan asma yang diperburuk oleh kerja sebesar 6.67%. Setelah dilakukan analisis multivariat, diketahui faktor risiko maupun yang berpengaruh terhadap timbulnya asma kerja, yaitu indeks masa tubuh (OR : 26.625, 95% CI : 4.198-168.846, dan p < 0.001), riwayat atopi (DR : 14.250, 95% CI : 2.685-75.620, dan p < 0.002), keluhan hidung (OR : 5.714, 95% CI : 1.779-18.356, dan p = 0.003) serta lokasi kerja dengan debu tinggi (OR : 4.295, 95% CI : 1.195-15.439 dan p = 0.026). Dapat disimpulkan bahwa indek masa tubuh, riwayat alergi serta pajanan debu tinggi memainkan peranan penting dalam terjadinya asma akibat kerja.
Scope and methodology : Evidence was accumulated concerning the adverse effects of wood-dust. Studies have suggested that wood-dust may be associated with work related asthma among furniture workers at informal sector. This study was population-based and retrospective. The selected participants were 135 from 274 (49.27%) workers who ranged in age from 18 to 60 years. Data used were derived from interview, physical examinations, and lung function test during July up till Augustus 2004. Beside that, measuring if dust at working environtment had been conducted, either against total dust or respirable. Bivariate analysis was used to examine the association among all risk factors and work-related asthma. Results and Conclusion : Study found that 24 workers (17.8 %) were suffering from asthma, were divided into occupational asthma 11.11% and work-aggravated asthma 6.67%. After conducting multivariate analyses - logistic regression, risk factors which related to work-related asthma, were body mass index (OR : 26.625, 95% CI : 4.198 - 168.846, with p < 0.001), atopic historical (OR : 14.250, 95% CI : 2.685 - 75.620, with p < 0.002), nose problem (OR : 5.714, 95% CI : 1.779 -18.356, with p = 0.003) and high dust-exposure (OR : 4.295, 95% CI : 1.195 - 15.439 with p = 0.026). The study concluded that body mass index, allergic historical and high dust-exposure might play significant role, in work-related asthma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoy, Eddy
Abstrak :
Ruang lingkup dan Cara penelitian: Jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta menunjukkan peningkatan, hal ini bisa dilihat dari data Polda Metro Jaya serta sering terjadi kemacetan lalu lintas yang mengakibatkan peningkatan jumlah gas buang kendaraan bermotor dimana ini diduga dapat mempengaruhi kesehatan khususnya paru. Penelitian dilakukan secara 'Cross Sectional' yang bertujuan untuk mengamati pengaruh gas buang dan debu terhadap fungsi paru pada karyawan Perum PPD. Awak bis dianggap mengalami pajanan tinggi sedangkan staf mengalami pajanan rendah. Untuk membuktikan pajanan tinggi dan rendah dilakukan pengukuran udara ruang kerja melalui 4 parameter bahan iritan paru yaitu SO2, NO2, ozon dan partikulat. Sedangkan untuk melihat pengaruh terhadap paru dilakukan penelitian terhadap 145 responder dengan menggunakan kuesioner, pengukuran fungsi paru dengan alat ukur spirometer serta foto toraks. Hasil dan kesimpulan : Hasil menunjukkan perbedaan sangat bermakna nilai rata-rata kadar S021 NO2, ozon dan partikulat selama 4 hari pengukuran dalam ruang kerja di dalam bis kota yang sedang aktif mengangkut penumpang dan di dalam ruang kerja kantor (P<0,01). Hasil pengukuran fungsi paru berupa FVC, % Pred FVC, FEV1, FEV1 %, PEFR serta interpretasi spirometri menunjukkan perbedaan bermakna (P<0,05) antara mereka yang mengalami pajanan tinggi (awak bis) dan pajanan rendah (staf), demikian juga dengan kejadian bronkitis kronis dan kelainan yang didapat dari pemeriksaan foto toraks.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Sri Wiryaningsih
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Pada tahun 2004 telah dilakukan penelitian oleh peneliti terdahulu tentang dampak buruk dari debu kayu terhadap kesehatan dan telah dilakukan intervensi terhadap dampak tersebut. Dalarn penelitian ini dilakukan penelitian kros-seksional dengan anaiisis perbedaan proporsi serta populasi yang sama yang pen-nah dilakukan Lahun 2004 yaitu sebanyak 135 orang pekelja dengan rentang usia 18-60 ormg. Data didapatkan dari wawancara, pemeriksaan fisik serta pengukuran fungsi paru pada Januari 2008, juga dilakukan pemeriksaan debu lingkzmgan kemja baik total rnaupun respirabel. Analisa bivaxiat digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan timbulnya asma kerja. Hasil dan Kesimpulan: Dari Populasi penelitian, prcvalensi asma 21 orang (15.5%) yang terdiri dari asma kerja I3 orang (9.6%) dan 8 orang (5.9%) asma memburuk akibat kcrja. Setelah dilakukan analisa multivaxiat, dikctahui faktor risiko maupun yang berpenganih terhadap terjadinya asma kezja yaitu riwayat atopi (P = 0.170, OR suaian 3.044 dan CI 95% 0.622-14.91 I), riwayat asma (P = 0188, OR suaian 2.570 dan CI 95% 0.631-10.469), bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2004, terlihat adanya pcnurunan prevalensi asma. Dengan dcmikian dapat disimpulkan bahwa intervensi yang dianjurkan oleh peneliti terdahulu telah dilaksanakan dengan baik.
Scope and methodology: At 2004 had done the Activation by the formelybacurate, about bad effect of the Wood dust to healthy and had done intervention for that effect in this acuration done the cross sectional with proportionally acuration with the same population which done at 2004 namely as much as 135 person workers between I8 up to 60 years old. The data gets from interview, Physical examinations, and lung function test during at January 2008,the circumference work had done checked too,measuring if dust at working environment had been conducted, either against total dust or respirable. Bivariate analysis was used to examine the association among all risk factors and work-related asthma. Result and conclusion: From the actuation of population, prevalensi asthma 21 person(l5.5%). Were divided into occupational asthma 13 person (9.6%), and work aggravated asthma 8 person (5.9%).After conducting multivariate analyses- logistic regression,1isk factors which related to work-related asthma, were atopic historical (P = 0.i70, OR 3.044 and CI 95% 0.622-14.91 I), and asthma historical (P = 0.I88, OR 2.570 and CI 95% 0.631-l0.469). If compared with the acuration result at 2004, was view the asthma prevalence subtractions. Therefore, be concluding that intervention as formerly acuter protrude had done well.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29204
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library