Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisa Jonatan
"Latar Belakang Pemenuhan nutrisi pada remaja sangat krusial. Gizi yang seimbang mampu memelihara tumbuh dan berkembang secara optimal serta index masa tubuh yang normal. Kesadaran akan diet sehat saat usia muda akan membangun kebiasaan baik yang dapat merubah gaya hidup hingga dewasa nanti.
Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang melalui pemberian kuesioner kepada murid di beberapa sekolah di Jakarta. Kuesioner diambil dari Survey Global Kesehatan Berbasis Sekolah tahun 2015. Ditujukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan persepsi remaja Jakarta terhadap diet sehat. Seluruh data terkumpul dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil Dari 390 responden, 79.3% responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang diet sehat. 47.9% dari responden dengan pengetahuan baik memiliki BMI normal, 37.9% underweight, dan sisanya overweight. Persepsi tentang membawa makanan ke sekolah, membeli jajanan dari pedagang pinggir jalan, dan konsumsi buah dan sayuran memiliki hubungan statistic (p=<0.05).
Kesimpulan Tingkat pengetahuan remaja tentang diet sehat adalah baik (73.9%). Sebagian besar remaja memiliki persepsi yang baik tentang diet sehat, dilihat melalui perilaku makan. Terdapat hubungan antara pengetahuan dan BMI (p=0.0016) dan persepsi dan BMI (p=<0.05). Tingkat pengetahuan dan persepsi mungkin dipengaruhi oleh factor-faktor demografis, lingkungan, dan kebiasaan.

Background Proper nutrition intake during adolescence is crucial. Balanced diet could ensure ideal growth and development along with normal BMI. Awareness refinement toward a healthy diet during adolescence could build better habits and consequently, positive lifestyle changes.
Method This research is done by cross-sectional method through questionnaire distribution to selected schools in Jakarta. Questionnaire is adapted from Global School-based Student Health Survey 2015. It aims to assess knowledge level and perception toward healthy diet among adolescents and its relation to BMI. All the data collected is being analysed using SPSS.
Result From a total of 390 respondents, 79.3% respondents have overall good knowledge about healthy diet. From respondents who have good knowledge, 49.7% of respondents obtain normal BMI, 37.9% are underweight, and the remaining fall into the overweight category. Perceptions about bringing lunch to school, buying food from street vendors, and consumption of food and vegetables are statically relevant in explaining BMI (p=<0.05).
Conclusion Adolescence’ knowledge level about healthy diet is generally well perceived. Majority of the respondents have a good perception about a healthy diet that is being analysed through eating behaviour. There are statistically positive relations between knowledge and BMI (p=0.016), and perception and BMI (p=<0.05). Knowledge level and perception are influenced by several factors (demographic, media, environment, etc).
"
2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Apriestha
"Latar Belakang: Obesitas dapat menganggu kesehatan dan mempengaruhi penerbang dalam menjalankan tugasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif pada penerbang sipil yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data yang dikumpulkan meliputi faktor demografi, pekerjaan, sosial, genetik, pengetahuan, sikap dan perilaku. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pengukuran antropometri. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Dari 690 penerbang, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 259 penerbang terdiri dari 184 obesitas dan 75 subjek dengan berat badan normal. Dibandingkan subjek dengan kebiasaan hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4 kali per minggu berisiko obesitas 6,3 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa)=6,28; 95% interval kepercayaan (CI)=1,55-25,46; p=0,010], sedangkan pada subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak hampir setiap hari berisiko obesitas 6 kali lipat (RRa=6,04; CI=1,43-25,54; p=0,014). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan subjek yang memiliki 16-1499 jam terbang total, subjek yang memiliki 1500-4999 jam terbang total berisiko 18% lebih tinggi obesitas (RRa=1,18; 95% CI=1,01-1,39; p=0,038) dan subjek yang memiliki 5000-28000 jam terbang total berisiko 39% lebih tinggi obesitas (RRa=1,39; 95% CI=0,99-1,93; p=0,052).
Simpulan: Kebiasaan makan makanan berlemak 3 kali atau lebih per minggu dan jam terbang total 1500 jam atau lebih meningkatkan risiko obesitas pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: Obesity can interfere and affect the health of pilots in performing their duties. The purpose of this study was to identify factors associated with the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study was done with purposive sampling among civilian pilots undergoing periodic medical examinations at Civil Aviation Medical Center on May 18-29th, 2015. Data collected were demographic, occupation, social, genetic, knowledge, attitudes and behavior factors. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Data analysis used Cox regression with constant time.
Results: There were 690 pilots eligible for this study, 428 subjects were willing to become respondents. The subject chosen for analysis amounted to 259 pilots, with 184 pilots were obese and 75 had normal BMI. Compared with pilots who rarely consumed fatty foods, pilots who ate fatty foods 3-4 times/week had 6.3-fold risk of obesity [adjusted relative risk (RRa)=6.28; 95% confidence interval (CI)=1.55-25.46; p=0.010], whereas the pilots who ate fatty foods almost everyday had 6-fold risk of obesity (RRa=6.04; CI=1.43-25.54; p=0.014). Furthermore, when compared to pilots with 16-1499 total flight hours, pilots with 1500-4999 total flight hours had 18% higher risk of obesity (RRa=1.18; 95% CI=1.01-1.39; p=0.038) and pilots with 5000-28000 total flight hours had 39% higher risk of obesity (RRa=1.39; 95% CI=0.99-1.93; p=0.052).
Conclusions: Eating fatty foods habit 3 times/week or more and 1500 or more of total flight hours increased the risk of obesity among civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Pratama
"Latar belakang: Kelebihan berat badan pada penerbang dapat berkaitan dengan jam terbang total dan faktor risiko lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko tersebut.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif diantara penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari 27 April-13 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan antropometri. Data terdiri dari karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT) berdasarkan standar WHO Asia Pasifik. Analisis dengan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Diantara 690 penerbang yang berusia 19-65 tahun, diperoleh 428 penerbang yang beresdia mengikuti penelitian ini. Penerbang yang sesuai dengan kriteria berjumlah 220 orang (145 kelebihan berat badan dan 75 normal). Faktor dominan berkaitan dengan kelebihan berat badan adalah jam terbang total dan kebiasaan makan makanan berlemak. Dibandingkan penerbang dengan jam terbang total 40-2000, subjek dengan jam terbang total 2001-15000 dan 15001-30000 masing-masing mempunyai 58% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan.[masing-masing risiko relatif suaian (RRa)=1,58 ; p=0,000] Dibandingkan subjek yang hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempunyai 48% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan (RRa=1,48; 95% CI=1,24-1,76; p=0,000).
Kesimpulan: Jam terbang total lebih dari 2000 jam dan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempertinggi risiko kelebihan berat badan di antara penerbang sipil Indonesia.

Background: Overweight at risk on pilots can be related to the total flying hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to overweight at risk in Indonesian civil pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling was conducted among pilots undergoing periodic medical check up on April 27th-May 13th 2015 at Aviation Medical Centre (Balai Kesehatan Penerbangan) The collected data were demographic and characteristics, eating and exercise habits. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Subjects were classified normal and overweight at risk according to WHO Asia Pacific. Analysis was using Cox regression with constant time.
Results: A number of 690 pilots who conducted medical examinations, 428 subjects agreed to join the study. A number of 220 subjects were available for this study, which consisted of 145 overweight at risk pilots and 75 normal. Pilots who had 2001-15000 and 15001-30000 total flight hours, compared to pilots who had 40?2000 total flight hours had 58% increased risk to be overweight [adjusted relative risk (RRa)= 1.58; p = 0.000]. Pilots who had eating fatty food habit 3-4 times a week had 48% increased risk to be overweight at risk (RRa = 1.48; 95% CI= 1.24 to 1.76; p = 0.000).
Conclusion: Flying hours total 2000 or more and eating fatty foods habit increase the risk of overweight at risk civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listiana Aziza
"ABSTRAK
Latar belakang: Pilot dapat mengalami dehidrasi ringan yang akan mempengaruhi performa kognitif dan keselamatan penerbangan, sehingga pilot perlu mengonsumsi air putih yang cukup. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan konsumsi air putih pada pilot sipil.
Metode: Studi potong lintang menggunakan data sekunder Survei Kebiasaan Hidup Sehat Pada Pilot Sipil di Indonesia Tahun 2016. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi, pekerjaan, pengetahuan, kebiasaan konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik dan indeks massa tubuh (IMT). Aktifitas fisik dikategorikan aktif (frekuensi latihan fisik ≥ 3 kali/minggu) dan kurang aktif (frekuensi latihan fisik < 3 hari/minggu). Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Dari data 644 pilot, terdapat 528 data yang memenuhi kriteria. Sebanyak 59,3% pilot sipil memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1910 ± 600 ml/hari. Aktifitas fisik, jenis penerbangan, pengetahuan tentang hidrasi dan indeks massa tubuh merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan kebiasaan konsumsi air putih. Pilot dengan aktifitas fisik aktif memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 34% lebih tinggi dibandingkan kurang aktif [RRa= 1,34; IK95% 1,16-1,54; p= 0,000]. Pilot sipil dengan jenis penerbangan jarak menengah memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 16% lebih tinggi dibandingkan dengan jenis penerbangan jarak dekat [RRa= 1,16; IK95% 1,00-1,35;p= 0,045]. Pilot yang memiliki pengetahuan baik tentang hidrasi memiliki kebiasaan konsumsi air putih cukup 20% lebih tinggi dibandingkan dengan pilot pengetahuan kurang [RRa= 1,20; IK95% 1,05-1,38; p= 0,006]. Dibandingkan pilot dengan IMT <18,5kg/m2, pilot dengan IMT 18,5-23 kg/m2 memiliki 4,14 kali lipat [RRa= 4,15; IK95% 1,15-14,88 ; p= 0,029] dan IMT > 23 kg/m2 [RRa= 4,33; IK95% 1,20-15,59; p= 0,025] memiliki 4,33 kali lipat lebih terbiasa mengonsumsi air putih yang cukup.
Simpulan: Pilot dengan aktivitas fisik aktif, penerbangan jarak menengah, pengetahuan baik tentang hidrasi dan indeks massa tubuh ≥ 18,5 kg/m2 akan lebih memiliki kebiasaan konsumsi air putih yang cukup.

ABSTRACT
Background: Pilots could risk mild dehydration that would affect cognitive performance and flight safety, so they should have adequate plain water consumption. The purpose of this study was to determine the dominant factor associated with plain water consumption habit among civilian pilots.
Methods: A cross-sectional study using secondary data of Healthy Habit Survey on a civilian pilot in Indonesia 2016. The data collected were demographic, job characteristics, knowledge, fruit and vegetable consumption habit, physical activity and body mass index (BMI). Plain water consumption habit was categorized adequate (water consumption ≥ 8 glasses / day, @ glass = 250 ml) and inadequate (<8 glasses / day). Physical activity was categorized active (frequency physical exercise ≥ 3 day/week) and sedentary (frequency physical exercise <3 day/week). Data was analyzed using Cox regression with constant time.
Results: Out of 644 data, 528 met inclusion criteria. 59.3% pilots had adequate plain water consumption with mean consumption was 1910 ± 600 ml/hari. Physical activity, type of flights, knowledge about hydration and body mass index were dominant factors associated with plain water consumption habit. Compared to sedentary, active pilots were 34% higher to consume adequate plain water [RRa= 1,34; IK95% 1,16-1,54; p= 0,000]. Compared to short haul flight, pilots with medium haul flight were 16 % more consume adequate plain water, [RRa = 1.16; p = 0.045]. Compared to poor knowledge, pilots with good knowledge were 20% higher to consume adequate plain water [RRa = 1.2; p = 0.006]. Compared to pilots whose BMI <18,5kg/m2, pilots with BMI 18,5-23 kg/m2 and BMI > 23 kg/m2 were respectively 4,14 times [RRa= 4,15; IK95% 1,15-14,88 ; p= 0,029] and 4,33 times [RRa= 4,33; IK95% 1,20-15,59; p= 0,025] higher to have adequate plain water consumption habit.
Conclusion: Civilian pilots with active physical activity, operate in medium haul flight, good knowledge about hydration and BMI ≥ 18.5 kg/m2 had more adequate plain water consumption habit."
2016
T46638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fazlin Khuzaima
"Latar Belakang: Nyeri Punggung Bawah (NPB) adalah masalah global yang umum. Beberapa kelompok pekerja lebih berisiko mengalami NPB salah satunya profesi pilot helikopter. Penyebab NPB pada pilot helikopter umumnya diakibatkan oleh paparan faktor risiko di lingkungan pekerjaan dan faktor individu pilot tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya mencatat angka kejadian NPB pada pilot helikopter militer berkisar antara 40-80%, namun belum ada data penelitian NPB pada pilot helikopter militer di negara Indonesia. Peneliti ingin mengetahui kejadian NPB pada pilot helikopter militer di Indonesia serta menganalisis lebih lanjut hubungan antara jam terbang dan faktor-faktor individu (usia, tinggi badan, IMT, kebiasaan olahraga dan kebiasaan merokok) terhadap NPB pada pilot helikopter militer di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Dilakukan total sampling pada 124 pilot helikopter militer TNI AD dan TNI AU yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Juli-Agustus 2022. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengisian data diri, anamnesa, pengisian Numeric Rating Scale (NRS), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis. Data diolah menggunakan SPSS 26.
Hasil: Penelitian melibatkan 124 orang, terdiri dari 37,9% pilot dan 62,1% kopilot dengan jam terbang total rata-rata 450 jam, usia 30 tahun, tinggi 172,66 cm, kebiasaan olahraga intensitas rendah 61,3% dan perokok sebanyak 45,2%. Sejumlah 57 orang (46%) pilot helikopter militer mengalami NPB. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jam terbang total memiliki hubungan terhadap NPB (p = 0,035) dimana setiap peningkatan 1 unit jam terbang total memiliki peluang 1,02 kali lebih besar mengalami NPB pada pada pilot helikopter militer. Sementara faktor individu lain tidak memiliki hubungan secara signifikan, seperti usia (p = 0,466), tinggi badan (p = 0,104), IMT (p = 0,96), kebiasaan olahraga (p = 1,03) dan kebiasaan merokok (p =1,3).
Kesimpulan: Kejadian NPB pada pilot helikopter militer di Indonesia sebesar 46%, jam terbang total diketahui memiliki hubungan terhadap kejadian NPB, namun faktor-faktor individu lain tidak berhubungan signifikan terhadap NPB pada pilot helikopter militer.

Background: Low back pain (LBP), is a common global problem. Some groups of workers are at high risk of experiencing LBP, one of them is helicopter pilots. The causes of LPB in helicopter pilots are generally caused by exposure to risk factors in the work environment and individual factors of the pilot. Several previous studies recorded the incidence of NPB in military helicopter pilots ranging from 40-80%, but there is no research data on NPB in military helicopter pilots in Indonesia. Researchers want to know the incidence of LBP in military helicopter pilots in Indonesia and further, analyze the relationship between total flight hours and individual factors (age, height, BMI, exercise habits, and smoking habits) on LBP in military helicopter pilots in Indonesia.
Methods: This study used a cross sectional method. Total sampling was carried out on 124 military helicopter pilots of the Indonesian Army and Indonesian Air Force who met the inclusion criteria in July-August 2022. Data collection was carried out by filling in personal data, history taking, filling in the Numeric Rating Scale (NRS), physical examination, and neurological examination. The data were processed using SPSS 26.
Results: The study involved 124 people, consisting of 37.9% pilot and 62.1% copilot with an average total flight hour of 450 hours, age 30 years, height 172.66 cm, low intensity exercise habits 61.3% and smokers. as much as 45.2%. A total of 57 people (46%) of military hhelicopterpilots experienced LBP. The results of statistical analysis showed that total flight hours had a relationship with LBP (p = 0.035) where every 1 unit increase in total flight hours had a 1.02 times greater chance of experiencing LBP in military helicopter pilots. While other individual factors did not have a significant relationship, such as age (p = 0.466), height (p = 0.104), BMI (p = 0.96), exercise habits (p = 1.03), and smoking habits (p = 0.96). 1,3).
Conclusion: The incidence of LBP in military helicopter pilots in Indonesia is 46%, total flight hours are known to have a relationship with the incidence of LBP, but other individual factors are not significantly related to LPB in military helicopter pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Fariha
"Pendahuluan: Pramugari/a  merupakan salah satu profesi dengan beban kerja cukup besar karena jam kerja yang tidak beraturan, waktu kerja yang panjang serta lingkungan kerja yang tidak biasa. Kondisi pandemi COVID-19 meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental emosional pada banyak sektor terutama sektor penerbangan. Meskipun telah memasuki masa transisi pandemi COVID-19, kondisi pekerjaan pramugari/a belum kembali seperti sebelum pandemi terjadi.

Objektif: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi serta hubungan antara faktor individu serta pekerjaan di masa transisi pandemi COVID-19 dengan risiko terjadinya gangguan mental emosional pada pramugari/a penerbangan komersial di Indonesia.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari tanggal 9 September – 3 Oktober 2022. Pengumpulan data menggunakan kuesioner mandiri, Fear of COVID-19 Scale, dan Self Reporting Questionnaire-20 kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 25.

Hasil: Penelitian diikuti oleh 163 responden, terdiri dari 89,6% pramugari dan 10,4% pramugara. Diantara faktor individu dan pekerjaan, ada beberapa yang memiliki hubungan signifikan dengan risiko gangguan mental emosional seperti usia muda p <0,001, tidak memiliki anak p 0,047, kebiasaan olahraga yang kurang (95% CI 0,97-9,18); p 0,048, masa kerja < 5 tahun (95% CI 1,35-8,78); p 0,007 serta persepsi ketidakamanan pekerjaan (95% CI 1,47-8,55); p 0,003. Berdasarkan hasil analisis multivariat, masa kerja dan persepsi ketidakamanan pekerjaan merupakan faktor paling dominan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental emosional sebesar 3,66 (95% CI 1,39 – 9,66); p 0,009 dan 3,31 (95% CI 1,30 – 8,43); p 0,012 kali.

Kesimpulan: Prevalensi risiko gangguan mental emosional pada pramugari penerbangan sipil Indonesia di masa transisi pandemi COVID-19 cukup tinggi. Dari semua faktor yang dianalisis pada penelitian ini, terlihat masa kerja dan persepsi ketidakamanan pekerjaan dominan meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental emosional. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai faktor-faktor risiko lainnya yang dapat berkontribusi dengan terjadinya gangguan mental emosional.


Background: Flight attendant is a profession with a heavy workload due to irregular working hours, long working hours and an working mostly at high altitude. The condition of the COVID-19 pandemic increases the risk of mental emotional disorders in many sectors especially the aviation sector, one of which is due to job insecurity. Even though we have entered the transition period of the COVID-19 pandemic, the stability of flight attendants has not returned to what it was before the pandemic outbreak.

Objective: To determine the prevalence of mental emotional disorders among Indonesian commercial flight attendants during the transition period of the COVID-19 pandemic and its relationship with job insecurity.

Methods: This cross-sectional study was conducted at the Directorate General of Civil Aviation Medical Jakarta from September 9th to October 3rd 2022. The data was collected using independent questionnaire such as Fear of COVID-19 Scale and Self Reporting Questionnaire-20, which was then analyzed using SPSS version 25.

Results: The subjects were 163 people in total, consisting of 89,6% female flight attendants and 10,4% male flight attendants The prevalence of mental emotional disorders in Indonesian commercial flight attendants during the transition period of COVID-19 pandemic was found to be 15.3%. The trends showed that there is a significant relationship between perceptions of job insecurity and mental-emotional disorders p=0.036, and there are other characteristics that are significantly related to mental-emotional disorders such as young age p=<0.001, not having children p=0.047, and working period <5 years (95% CI 1.35-8.78); p=0.007.

Conclusion: The prevalence risk of mental emotional disorders in Indonesian commercial flight attendants during the transition period of COVID-19 pandemic is quite high. The existence of job insecurity is one of the dominant factors associated with the occurrence of mental emotional disorders during the transition period of COVID-19 pandemic and also young age seems to be a contributing factor. However, further research is still needed to assess other risk factors that can contribute to the occurrence of mental emotional disorders."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Melania Muda
"Latar belakang: Pramugari merupakan salah satu pekerjaan yang sering terpapar stresor ergonomik sehingga sangat rentan terkena gejala gangguan muskuloskeletal. Salah satu cara untuk mengatasi keluhan muskuloskeletal adalah dengan peregangan otot. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat prevalensi gangguan muskuloskeletal dan pengaruh program latihan peregangan selama 2 mingggu menggunakan video peregangan Kemenkes RI terhadap perubahan intensitas nyeri gangguan muskuloskeletal pada pramugari pesawat komersil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakanre -post study dengan instrumen Nordic Musculoskeletal Questionnaire dan Visual Analog Scale<.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 92 %  pramugari (n = 75) mengalami gangguan muskuloskeletal pada setidaknya 1 area tubuh dalam 12 bulan terakhir. 34 responden dijadikan sebagai subjek penelitian. Skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh sebelum intervensi sebesar median 34 (29-84) dengan intensitas nyeri sebesar median 6 (2-9) masing-masing menjadi median 32 (28 - 67) dan  median 3 (0-9) setelah intervensi.
Kesimpulan: Didapatkan adanya perubahan yang bermakna pada skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh yang bermakna pada skor tingkat keluhan pada 28 area tubuh (p < 0,001) serta intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi latihan peregangan (p < 0,001).

Background: Flight attendant (FA) is a job that often exposed to ergonomic stressors so they are very susceptible to symptoms of musculoskeletal disorders. One of the ways to overcome musculoskeletal complaints is to stretching. The aim of this study was to examine the prevalence of musculoskeletal disorders and the effect of a 2-week stretching exercise program using the Indonesian Ministry of Health's stretching video on changes in the intensity of musculoskeletal pain in FA on commercial aircraft in Indonesia.
Methods: This is a pre-post study with Nordic Musculoskeletal Questionnaire and Visual Analog Scale as instruments.
Results: The results showed that 92% of the FA (n=75) had musculoskeletal disorders in at least 1 area of the body in the last 12 months. 34 respondents were used as subjects. The complaint level score in 28 body areas before the intervention was a median of 34 (29-84) with pain intensity of a median of 6 (2-9) became a median of 32 (28-67) and a median of 3 (0-9) after the intervention, respectively.
Conclusion: The stretching exercise program showed significant changes in the complaint level scores in 28 body areas (p<0.001) and pain intensity before and after the stretching exercise intervention (p<0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"Pendahuluan Bagi seorang pilot, OSA dapat berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Salah satu faktor predisposisi utama terjadinya OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia.
Metode Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner STOP-BANG untuk menilai risiko OSA, kuesioner Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur Excessive Daytime Sleepiness, kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation untuk mengukur obstruksi di hidung, dan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire untuk mengukur aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa body mass index dan lingkar leher.
Hasil Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko tinggi OSA sebesar 35,8%. Kemudian, obesitas dan lingkar leher ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Untuk faktor lainnya, ditemukan juga bahwa usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Untuk faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05).
Kesimpulan Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA. Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA.

Introduction In pilots, OSA can impact flight safety as it can cause fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving skills, and multitasking. Increased body weight can predispose to OSA, and occupational factors may influence risk development. This study aims to determine the relationship between obesity and other factors on the risk of OSA in civilian pilots in Indonesia.
Methods This study used a cross-sectional design and was conducted at the Aviation Health Center. Respondents were asked to fill out the STOP-BANG questionnaire to assess OSA risk, the ESS questionnaire to measure EDS, the NOSE questionnaire to measure nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire to measure physical activity. Then anthropometric measurements were taken in the form of BMI and neck circumference.
Results From 176 respondents, 35,8% had a high risk of OSA. Obesity and neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk (p>0.05). The factors most associated with OSA risk were neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction (p<0.05).
Conclusion There is a significant relationship between anthropometric factors such as BMI and neck circumference; demographic factors such as age; comorbid factors such as blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity; and habit factors such as smoking with the risk of OSA. There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"OSA berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Faktor predisposisi utama OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia. Penelitian menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden mengisi kuesioner STOP-BANG untuk risiko OSA, kuesioner ESS untuk EDS, kuesioner NOSE untuk obstruksi di hidung, dan kuesioner GPAQ untuk aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa BMI dan lingkar leher. Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko OSA 35,8%. Kemudian, obesitas, lingkar leher, usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05). Terdapat hubungan bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA.

OSA can impact flight safety by causing fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving, and multitasking abilities. Increased body weight can predispose to OSA, and the risk development is affected by occupational factors. A cross-sectional study to determine the association between obesity and other factors on the risk of OSA in Indonesian civilian pilots was conducted at the Aviation Health Center. The respondents filled out the STOP-BANG questionnaire for OSA risk, the ESS questionnaire for EDS, the NOSE questionnaire for nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire for physical activity. Anthropometric measurements (BMI and neck circumference) were measured. Of the 176 respondents, the prevalence of OSA risk was 35.8%. Obesity, neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There was no significant association between occupational factors and OSA risk (p>0.05). Neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction were the factors most associated with OSA risk (p<0.05). There was a significant association between anthropometric factors (BMI and neck circumference), demographic factors (age), comorbid factors (blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity), and also smoking habits with the risk of OSA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta
"Latar belakang: Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kondisi heterogen dengan gejala yang bervariasi disebabkan berbagai etiologi, dan komorbiditas yang berdampak pada defisit komunikasi sosial, gangguan perilaku berulang dan minat terbatas. Sudah banyak penelitian yang mengaitkan ASD dengan variasi gambaran pemanjangan masa laten gelombang dan antar gelombang pada Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Beberapa penelitian menghubungkan BERA dengan derajat keparahan ASD berdasarkan The Childhood Autism Rating Scale (CARS), namun masih kontroversi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan derajat keparahan ASD berdasarkan skoring CARS anak usia 3-8 tahun dengan pendengaran normal. Metode: Studi potong lintang ini terdiri dari 26 subjek ASD yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penilaian derajat keparahan subjek dilakukan menggunakan skoring CARS dan pemeriksaan BERA. Pengolahan data dilakukan dengan analisis uji korelasi masa laten absolut dan masa laten antar gelombang BERA dan CARS. Hasil: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara masa laten absolut gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan CARS (r<0,3 dan p>0,05). Namun berdasarkan analisis deskriptif, terdapat pemanjangan masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang I-III pada anak ASD dengan pendengaran perifer normal. Kesimpulan: Anak ASD dengan pendengaran perifer normal menunjukkan karakteristik BERA abnormal. Hal ini menunjukkan potensi BERA sebagai alat objektif untuk mengevaluasi perkembangan ASD di masa depan namun diperlukan penelitian lebih lanjut.

Background: Autism Spectrum Disorder (ASD) is a heterogeneous condition with variable symptoms due to various etiologies, and comorbidities that result in social communication deficits, repetitive behavioral disorders and restricted interests. Many studies have linked ASD to variations in the latent wave and inter-wave lengthening images on Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Some studies have linked BERA to ASD severity based on The Childhood Autism Rating Scale (CARS), but it is still controversial. Aim: This study aims to determine whether there is a correlation between latencies of waves III and V, as well as interpeak latencies of waves III-V BERA Click and ASD severity based on CARS scoring in children aged 3-8 years with normal hearing. Methods: This cross-sectional study consisted of 26 subjects with ASD met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were assessed for severity using CARS scoring and BERA examination. Data processing was done by correlation test analysis between latencies of waves III and V BERA and CARS waves. Results: There was no significant relationship between the latencies of waves III and V and interpeak latencies of waves III-V and interpeak latencies of waves III-V BERA Click with CARS (r < 0.3 and p>0.05). However, based on descriptive analysis, there was a lengthening of the latency of waves III and V and interpeak latency of waves I-III in ASD children with normal peripheral hearing. Conclusion Children with ASD display abnormal ABR characteristics. This shows the potential of BERA as an objective tool to evaluate ASD development in the future but further research is needed"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library