Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusrina Iman
"Dermatitis Seboroik DS merupakan kelainan inflamatorik kronik pada kulit dengan karakteristik plak eritematosa dan skuama kekuningan berminyak pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea, termasuk kulit kepala. DS umum terjadi pada 1-5 populasi dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup. Sekresi sebum, yang merupakan salah satu faktor DS, memiliki laju yang bervariasi sesuai dengan usia seseorang di mana mencapai puncak pada tiga bulan pertama kehidupan, masa pubertas, dan usia dewasa 30-60 tahun.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui korelasi usia dan skor keparahan DS. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan mendapatkan sampel dengan metode consecutive sampling sebanyak 87 pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Usia diukur berdasarkan tanggal lahir pada kartu identitas dan skor keparahan DS diukur menggunakan seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Berdasarkan uji normalitas data dan uji korelasi Spearmann yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa korelasi usia dan skor keparahan DS tidak signifikan p=0,495 ; r=0,074. Rerata usia dalam median yaitu 29,25 12,67-69,75 tahun, sedangkan rerata skor keparahan DS dalam median yaitu 2,25 0,25-21.

Seborrhoeic Dermatitis DS is a chronic inflammatory disorder on skin characterized by erythematous plaque and oily yellowish scales in areas of body with high sebaceous glands, including the scalp. DS occurs in 1-5 of the population and causes negative impact to quality of life. Sebum secretion, one of DS factors, has varrying rates according to age of a person, where the peak incidence is in first three months of life, puberty, and adult age 30 60 years.
Purpose of this study was to know the correlation between age and DS severity score. In this cross sectional study, consecutive sampling method was used and total subjects were 87 patients of Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Age was obtained based on date of birth on identity card and DS severity score was measured by seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Based on normality test and Spearmann test which had been done, the result showed that there was no significant correlation between age and DS severity score p=0.495 ; r=0.074. Age in median was 29.25 12.67-69.75 years, while the mean DS severity score in the median was 2.25 0.25-21.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Hardjodipuro
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan penyebab kebotakan rambut yang paling sering ditemui dan mengganggu kualitas hidup. Meskipun AAG tidak mengancam nyawa, namun berbagai studi menunjukkan bahwa AAG tidak hanya dianggap sebagai penyakit kulit/estetik semata namun berkaitan dengan kondisi-kondisi sistemik, salah satunya adalah sindrom metabolik (SM). Beberapa studi menunjukkan juga bahwa pola kebotakan pada AAG memiliki risiko yang berbeda terhadap penyakit tertentu. Penelitian ini bertujuan hubungan antara pola kebotakan AAG tipe verteks dan tipe frontal terhadap SM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang yang dilakukan terhadap 24 laki-laki dengan AAG tipe verteks dan 24 laki-laki dengan AAG tipe frontal. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis AAG berdasarkan skala Norwood-Hamilton, serta dilakukan pengambilan foto, pemeriksaan trikoskopi, TrichoScan® pada masing-masing subjek penelitian. Sindrom metabolik ditegakkan berdasarkan kriteria National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium darah vena.
Hasil: Prevalensi SM pada kelompok AAG tipe verteks adalah sebesar 37,5%, sedangkan pada tipe frontal sebesar 20,8%. Tidak didapatkan hubungan antara SM dengan AAG tipe verteks ataupun tipe frontal (p = 0,341). Pada kelompok AAG tipe verteks didapatkan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok AAG tipe frontal (p = 0,043). Tidak ada perbedaan bermakna gambaran trikoskopi ataupun TrichoScan® antara AAG tipe verteks dan tipe frontal.
Kesimpulan: Prevalensi SM pada kelompok AAG tipe verteks lebih besar dibandingkan pada kelompok AAG tipe frontal. Tidak ada hubungan bermakna antara pola kebotakan AAG dengan SM. Tidak ada hubungan bermakna gambaran trikoskopi dan TrichoScan® antara kelompok AAG tipe verteks dengan tipe frontal.

Background: Androgenetic alopecia (AAG) is the most common cause of hair loss, impacting quality of life. Although AAG is not life-threatening, various studies indicate that it is not merely a cosmetic skin condition but is associated with specific systemic conditions, including metabolic syndrome (MS). Some studies also suggest that the pattern of baldness in AAG poses varying risks for specific diseases. This research aims to explore the relationship between AAG vertex and frontal patterns of baldness and metabolic syndrome.
Methods: This study adopts a cross-sectional design involving 24 males with vertex AAG and 24 males with frontal AAG. Anamnesis and physical examinations were conducted to diagnose AAG using the Norwood-Hamilton scale. Each subject underwent photography, trichoscopy, and TrichoScan®, examination. Metabolic syndrome diagnosis followed the National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) criteria through physical examination and venous blood laboratory tests.
Results: The prevalence of metabolic syndrome in the AAG vertex group is 37.5%, whereas in the frontal group, it is 20.8%. No significant relationship was found between metabolic syndrome and AAG vertex or frontal types (p = 0.341). The AAG vertex group showed a significantly higher prevalence of hypertension than the frontal group (p = 0.043). There were no significant differences in trichoscopy or TrichoScan®¸ findings between AAG vertex and frontal types.
Conclusion: The prevalence of metabolic syndrome is higher in the AAG vertex group compared to the AAG frontal group. There is no significant association between metabolic syndrome and the pattern of AAG baldness. Additionally, there is no significant difference in trichoscopy and TrichoScan®¸ findings between AAG vertex and frontal groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Oktarina
"Peningkatan frekuensi penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan dengan sabun disinyalir menyebabkan peningkatan insidens dermatitis pada tangan. Tenaga nonmedis yang bekerja di rumah sakit juga mengimplementasikan hand hygiene secara rutin sehingga ikut mengalami peningkatan kejadian dermatitis pada tangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis dermatitis pada tangan tenaga nonmedis, derajat keparahannya, serta penggunaan hand sanitizer terhadap transepidermal water loss (TEWL) dan skin capacitance. Penelitian observasional dengan desain potong lintang ini dilakukan pada bulan Juli hingga September 2022 di ruang penelitian kelompok staf medis (KSM) Dermatologi dan Venereologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Subjek dipilih berdasarkan kriteria penelitian dengan metode cluster random sampling. Identitas, data penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan, stigmata atopi, dan durasi dermatitis pada tangan didapatkan melalui anamnesis. Penilaian keparahan dermatitis pada tangan dilakukan dengan hand eczema severity index (HECSI). Pemeriksaan TEWL dan skin capacitance dilakukan dengan Tewameter® TM 300 dan Corneometer® CM 825. Analisis data dilakukan dengan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0. Terdapat masing-masing 24 subjek yang direkrut pada kelompok dengan dan tanpa dermatitis pada tangan. Berdasarkan karakteristik sosiodemografik dan klinis, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok kecuali frekuensi mencuci tangan dengan air dan sabun. Subjek dengan dermatitis lebih sering mencuci tangan dengan air dan sabun dibandingkan dengan subjek tanpa dermatitis (6 vs 4,5 kali/hari; p = 0,005). Proporsi kejadian dermatitis pada tangan pada tenaga nonmedis pengguna hand sanitizer adalah 10% dengan median durasi penyakit 22 minggu dan rerata nilai HECSI 9,25 ± 6,33. Tidak terdapat perbedaan TEWL dan skin capacitance yang bermakna kedua kelompok (p > 0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara TEWL dan skin capacitance dengan skor HECSI (p > 0,05). Mayoritas tenaga nonmedis yang mengalami dermatitis pada tangan memiliki derajat keparahan ringan. Kerusakan sawar kulit kemungkinan sudah terjadi akibat peningkatan praktik hand hygiene walaupun belum tampak gejala secara klinis sehingga tidak terdapat perbedaan fungsi sawar dan hidrasi kulit yang bermakna antara kelompok dermatitis dan kelompok tanpa dermatitis.

Increased frequency of hand sanitizer use and washing hands with soap allegedly caused the increasing incidence of hand eczema (HE). Nonmedical personnel who work in the hospital also implement hand hygiene practices routinely so they also experience increased incidence of HE. This study aims to analyze the HE in nonmedical personnel, its severity, and the effect of hand sanitizer use on transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance. This observational cross-sectional study was conducted from July to September 2022 at the Department of Dermatology and Venerology, Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta. Subjects were recruited based on the study criteria with cluster random sampling method. Subject’s identity, data related to hand sanitizer use and hand washing, atopic stigmata, and duration of HE were documented through history taking. The severity of HE was assessed with hand eczema severity index (HECSI). TEWL and skin capacitance were measured with Tewameter® TM 300 and Corneometer® CM 825. Data were analyzed with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 21.0. Both HE and control groups consisted of twenty-four subjects, respectively. Based on sociodemographic and clinical characteristics, there was no significant difference between both groups, except for the frequency of hand washing. Subjects with HE washed hands more frequently compared to normal subjects (6 vs 4.5 times/day; p = 0.005). The proportion of HE incidence in nonmedical personnel using hand sanitizer was 10% with median duration of disease of 22 weeks and mean HECSI score of 9.25 ± 6.33. There was no significant difference of TEWL and skin capacitance between both groups (p > 0.05). There was no significant correlation between TEWL and skin capacitance with HECSI scores (p > 0.05). Majority of nonmedical personnel suffering from HE had mild severity. The disruption of skin barrier might have already occurred due to increased of hand hygiene practice although clinical symptoms had not become visible, leading to no significant difference of barrier function and skin hydration in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Kamila
"Berbagai molekul bioaktif yang terdapat dalam sekretom mayoritas merupakan molekul dengan ukuran >20 kDa sehingga sulit untuk melewati epidermis dan menimbulkan efek farmakologis. Metode aplikasi sekretom diduga memiliki peranan terhadap efektivitas sekretom sehingga perlu dilakukan suatu uji klinis untuk membandingkan efektivitas aplikasi sekretom terhadap fungsi sawar kulit yang didahului dengan metode microneedling dan laser fraksional CO2. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal dengan metode split-face yang dilakukan pada wanita berusia 35-59 tahun di Poliklinik Madya, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Pada minggu ke-0 dan ke-2 semua subjek dilakukan microneedling dan laser fraksional CO2 yang diikuti dengan aplikasi konsentrat sekretom. Sebanyak 12 SP mengikuti penelitian ini dengan rerata usia 46,2 ± 6,45 tahun. Terdapat penurunan kadar TEWL yang bermakna pada kelompok laser fraksional CO2 (p-value 0,002) dan microneedling (p-value 0,002). Pada analisis lebih lanjut penurunan TEWL bermakna terdapat pada minggu ke-4. Tidak terdapat perubahan kadar TEWL yang signifikan pada kelompok laser fraksional CO2 dibandingkan dengan microneedling. Terdapat peningkatan kadar SCap pada kelompok laser fraksional CO2 dan microneedling namun tidak bermakna secara statistik. Tidak terdapat perbedaan perubahan nilai SCap yang signifikan pada sisi laser fraksional CO2 dibandingkan dengan microneedling. Prosedur laser fraksional CO2 dan microneedling sebelum pemberian konsentrat sekretom memiliki efektivitas yang serupa dalam memperbaiki fungsi sawar kulit. 

Most of the various bioactive molecules present in the secretome are molecules with a size of >20 kDa, making it difficult to pass through the epidermis and cause pharmacological effects. Secretome application method is thought to have an important role in the effectiveness of the secretome, so a clinical trial is needed to compare the effectiveness of the secretome application on the skin barrier function which is preceded by the microneedling method and fractional CO2 laser. A single-blind, randomized split-face was conducted on women aged 35-59 years at Madya Clinic, dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance (SCap) assessments were carried out at weeks 0, 2, and 4. At weeks 0 and 2 all subjects underwent microneedling and fractional CO2 laser followed by application of secretome concentrate. Twelve participants took part in this study with an average age of 46.2 ± 6.45 years. There was a significant decrease in TEWL levels in the fractional CO2laser (p-value 0,002) and microneedling (p-value 0,002) groups. Significant decreases in TEWL were found at week 4. There was no significant change in TEWL levels in fractional CO2 laser group compared to microneedling. There was an increase in SCap levels in fractional CO2 laser and microneedling groups but it was not statistically significant. There was no significant difference in SCap value changes on the CO2 fractional laser side compared to microneedling. Fractional CO2 laser and microneedling procedures prior to administration of secretome concentrate have similar effectiveness in improving skin barrier function"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods:
This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library