Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Galuh Chandra Kirana Sugianto
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu jenis keganasan tersering penyebab kematian di dunia. Penelitian faktor-faktor prognostik pada Non-Small Cell Lung Carcinoma sangatlah penting karena berpotensi membawa kita kepada tatalaksana pasien yang lebih baik. CYFRA 21-1 dan CEA merupakan penanda tumor yang diketahui memiliki spesifisitas tinggi terhadap NSCLC dan dapat digunakan dalam memperkirakan prognosis. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan CYFRA 21-1 dan CEA terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di Indonesia dan saat ini belum ada nilai titik potong CYFRA 21-1 dan CEA yang terstandarisasi sebagai faktor prognostik.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar CEA dan CYFRA 21-1 awal dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM dan menentukan titik potong CEA dan CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik.
Metodologi: Desain studi ini adalah kohort retrospektif terhadap 111 subjek penelitian dengan NSCLC stadium lanjut berusia >18 tahun yang terdiagnosa dari Januari 2012 hingga Mei 2018 dan telah diperiksakan CEA dan CYFRA 21-1 saat awal terdiagnosis. Karakteristik nilai CEA dan CYFRA 21-1 awal, status performa, jenis histologi, terapi dan stadium didokumentasikan secara lengkap dan diambil dari data Unit Rekam Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Studi ini menggunakan analisis kesintasan, cox proportional hazards dan log-rank test.
Hasil: Area under the curve (AUC) CEA didapatkan kurang dari 50% (AUC = 0,446) dan tidak bermakna, sebaliknya AUC CYFRA 21-1 cukup bermakna dalam analisis kesintasan ini dengan nilai AUC = 0,741 (0,636-0,847) dan p<0,001. Nilai titik potong CEA didapatkan sebesar >21,285 ng/mL, dengan sensitivitas 48,8% dan spesifisitas 48,3%. Sedangkan nilai titik potong CYFRA 21-1 didapatkan sebesar > 10,9 ng/mL dengan sensitivitas 69,5% dan spesifisitas 65,5%. Variabel-variabel yang memenuhi asumsi proportional hazard pada analisis ini adalah CYFRA 21-1, PS, jenis histologi kanker dan terapi. Nilai p>0,05 didapatkan baik pada kurva analisis CEA maupun stadium sehingga hasil tersebut tidak bermakna pada penelitian ini. CYFRA 21-1 >10,9 ng/mL memiliki HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028). PS dengan ECOG 3-4 memiliki HR 2,434 (HR=2,434;
p=0,026), NSCLC jenis non-adenokarsinoma memiliki HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), dan kelompok yang tidak dikemoterapi memiliki HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Kesimpulan: Nilai CEA awal yang tinggi tidak terbukti berhubungan dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut, sebaliknya nilai CYFRA 21-1 awal yang tinggi terbukti dapat menjadi faktor prognostik yang signifikan terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM. Nilai titik potong CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik adalah sebesar >10,9 ng/mL.

Background: Lung cancer is one of the most common types of malignancy that causes death in the world. Research of prognostic factors in Non-Small Cell Lung Carcinoma is very important because it has the potential to lead us to better patient management going forward. CYFRA 21-1 and CEA are tumor markers that are known to have high specificity to NSCLC and can be used in estimating prognosis. However, there have been no studies looking for the association of CYFRA 21-1 and CEA with one-year survival of advanced stage NSCLC in Indonesia, and there is currently no cut-off value for CYFRA 21-1 and CEA as standardized prognostic factors.
Objective: This study aims to determine the association of initial CEA and CYFRA 21-1 levels with one-year survival NSCLC advanced stage in RSCM and determine the cut-off value of CEA and CYFRA 21-1 as a prognostic factor.
Methodology: The study design was a retrospective cohort of 111 subjects with advanced stage of NSCLC aged > 18 years who were diagnosed from January 2012 to May 2018 and had initial CEA and CYFRA 21-1 value before being treated. Characteristics of the initial CEA and CYFRA 21-1 values, performance status, type of histology, stage of the disease and therapy were fully documented and taken from the Medical Record Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used survival analysis, cox proportional hazards and log-rank tests.
Results: The CEA’s area under the curve (AUC) was found to be less than 50% (AUC = 0.446) and not significant, whereas AUC of CYFRA 21-1 was quite significant in this survival analysis with AUC = 0.741 (0.636-0.847) and p <0.001. CEA cut-off point were obtained > 21,285 ng / mL, with a sensitivity of 48.8% and specificity of 48.3%. While the CYFRA 21-1 cut point was > 10.9 ng / mL with a sensitivity of 69.5% and a specificity of 65.5%. The variables that meet the proportional hazard assumption in this analysis are CYFRA 21-1, PS, the cancer histology and therapy. A p value > 0.05 was obtained both on the CEA and the stage analysis curve so that the results were not significant in this study. CYFRA 21-1 > 10.9 ng / mL has HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028), PS with ECOG 3-4
had HR 2,434 (HR=2,434; p=0,026), NSCLC non-adenocarcinoma type had HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), and non-chemotherapy group had HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Conclusion: A high initial CEA value was not proven to be associated with one-year survival of advanced stage NSCLC, whereas conversely a high initial CYFRA 21-1 value was shown to be a significant prognostic factor for one-year survival of advanced stage NSCLC in RSCM. The cut-off point of CYFRA 21-1 as a prognostic factor is > 10.9 ng
/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzul Husna
"Hati merupakan organ yang berperan penting dalam metabolisme zat terutama obat-obatan sehingga organ ini rentan terhadap kerusakan. Salah satu obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati adalah doksorubisin. Hal ini disebabkan karena struktur kimia dan proses metabolisme doksorubisin dapat membentuk sejumlah metabolit yang bersifat radikal bebas. Radikal bebas yang diproduksi doksorubisin menyebabkan berkurangnya antioksidan endogen, mengganggu keseimbangan besi intraselular sehingga mencetuskan kerusakan oksidatif. Berdasarkan hal tersebut, kerusakan oksidatif yang dipicu oleh doksorubisin dapat dicegah dengan pemberian antioksidan eksogen. Salah satu bahan bioaktif yang terbukti memiliki efek antioksidan adalah mangiferin. Efek antioksidannya berhubungan dengan sifat scavenging radikal bebas dan sifat kelator besinya. Pemberian senyawa ini diasumsikan dapat melindungi atau mencegah kerusakan oksidatif sel.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek protektif mangiferin terhadap kerusakan hati pada tikus yang diberikan doksorubisin. Pada penelitian ini, tikus dibagi menjadi lima kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor tikus. Tikus pada kelompok perlakuan diberikan injeksi doksorubisin intraperitoneal (dosis kumulatif 15 mg/kgBB) dan kelompok kontrol diberikan minyak jagung oral. Mangiferin (dosis 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB) dan silymarin diberikan secara oral selama lima minggu. Setelah lima minggu, tikus dimatikan, darah dan jaringan hati dikumpulkan untuk analisis histopatologi dan penentuan SGOT, SGPT, MDA, SOD dan GSH.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian doksorubisin dengan dosis kumulatif 15 mg/kgBB selama dua minggu dapat menyebabkan kerusakan sel hati, meningkatkan kadar MDA, dan menurunkan pertahanan antioksidan endogen di hati. Pemberian mangiferin 50 dan 100 mg/kgBB selama lima minggu dapat mengurangi kerusakan sel hati yang ditandai dengan penurunan aktivitas SGPT dan SGOT, penurunan kadar MDA, dan peningkatan aktivitas SOD dan kadar GSH sel hati (p < 0.05). Perbaikan pada parameter-parameter ini mengindikasikan bahwa mangiferin memiliki efek proteksi terhadap kerusakan hati pada tikus yang diberikan doksorubisin.

Liver is an organ that plays an important role in the metabolism of xenobiotics. However, since it is actively involved in drug metabolism, it is also subject to damage caused by toxic drugs or metabolites. One of the drugs that caused liver damage is doxorubicin. The liver damaging effect of doxorubicin is determined to its chemical structure and toxic metabolites which can produce free radical molecules. The free radicals produced by doxorubicin cause depletion of antioxidant in the body, disrupt the balance of intracellular iron and lead to oxidative stress. Based on this consideration, the oxidative stress induced by doxorubicin should be diminished by means of exogenous antioxidant administration. One of the bioactive ingredient that has been shown to have antioxidant effects is mangiferin; its antioxidant properties relate to free radical scavenging and iron chelating effect. This compound is expected to protect against or prevent oxidative damage caused by doxorubicin to cells.
This study aims to investigate the protective effect of mangiferin against liver damage-induced doxorubicin. There were five groups of rats, consisting five each group. The animals in the study groups were treated with intraperitoneal doxorubicin (cumulative dose 15 mg/kgBW for two weeks) and control group was given oral corn oil. Mangiferin (dose 50 mg/kgBW and 100 mg/kgBW) and silymarin were given daily by oral administration for five weeks. After sacrifice, blood and liver tissue samples were collected for histopathological analysis and determination of SGOT, SGPT, MDA, SOD, and GSH.
The results showed that administration of cumulative doses of doxorubicin to 15 mg/kgBW for two weeks caused liver cell damage, increased MDA level and decreased activities of SOD and GSH level in liver. The supplementation of mangiferin 50 and 100 mg/kgBW for five weeks reduced liver cell damage as shown by decreased activities of SGPT and SGOT, decreased MDA level, and increased activities of liver SOD and GSH levels. (p <0.05). These results showed that mangiferin has a protective effect against liver damage induced by doxorubicin in the rat.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Ramadhan Apriyanto
"Latar Belakang: Hepatitic C merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis C (HCV) dan dapat mengakibatkan peradangan hati, biasanya bersifat asimtomatik, bahkan kronik yang ditandai dengan sirosis, kanker hati, kelainan fungsi hati yang dapat menyebabkan kematian. Pengobatan standar dengan PEGinterferon-a dan ribavirin memiliki efek samping yang berat, sehingga diperlukan pengobatan alternatif sebagai anti-HCV. Dimocarpus longan merupakan tanaman yang memiliki khasiat sebagai antijamur, antivirus, antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antikanker. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek dan mekanisme kerja ekstrak metanol daun D. longan terhadap virus Hepatitis C.
Metode: Cell line derivate Human hepatocarcinoma (Huh 7it-1) diinfeksikan dengan HCV strain JFH1 dari genotipe 2a yang diinduksikan ekstrak metanol daun D. longan selama dua hari, kemudian diukur virus yang terbentuk ekstraseluler dan intraseluler. Pemeriksaan virus ekstraseluler dengan cara focus forming assay sedangkan intraseluler dengan qRT-PCR, western blot dan relative fluorescence assay. Pengujian sitotoksisitas terhadap Huh 7it-1 dengan metode MTT assay. Ekstrak metanol daun D. longan diuji adanya kandungan saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, tanin, dan glikosida.
Hasil: Konsentrasi hambatan 50% (IC50) ekstrak terhadap HCVsebesar 13,2 ± 0,52 μg/ml dan toksik 50% (CC50) terhadap sel Huh 7it-1 sebesar 681,9 ± 13,2 μg/ml dengan nilai indek selektivitas (SI) sebesar 51,2. Efek virusidal ekstrak metanol daun D. longan secara langsung terhadap HCV berupa pengurangan titer virus sebesar 99%. Analisis RNA dan protein NS3 HCV intraseluler memperlihatkan adanya hambatan sebesar 20%. Kandungan fitokimia yang terdapat pada ekstrak metanol daun D. longan di antaranya saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, alkaloid, tanin, dan glikosida.
Kesimpulan: Mekanisme anti-HCV dari ekstrak metanol daun D. longan diduga melalui adanya hambatan pada entry dan post-entry yang bekerja dengan menghambat pada penempelan virus, membunuh virus dengan interaksi langsung, menghambat ekspresi NS3, dan menghambat replikasi. Kandungan fitokimia yang terkandung seperti saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, tanin, dan glikosida.

Background: Hepatitic C is a disease caused by the hepatitis C virus (HCV). HCV infection can lead to inflammation of liver tend to be asymptomatic, and chronic characterized by cirrhosis, liver cancer, abnormal liver function can cause mortality. Standard HCV treatment with PEG-interferon-a and ribavirin have severe side effects, necessitating alternative treatments as anti-HCV. Dimocarpus longan is a plant that previously reported has antifungal, antiviral, anti-inflammatory, antioxidant, antibacterial, and anticancer activity. The purpose of this study is determine the effects and mechanism of action of the methanol extract of leaves of D. longan against hepatitis C virus.
Methods: A derivate of Human hepatocarcinoma Cell line (Huh 7it-1) was infected with HCV of genotype 2a JFH1 strain which is inducted with methanol extracts of D. longan for two days and then number of virus produced outside of the cell (extracellular) and inside of the cell (intracellular) were measured by focus forming assay, while intracellular virus was measured by qRT-PCR, western blot and relative fluorescence assay. Cytotoxicity against Huh 7it-1 was tested by MTT assay. Examination of phytochemical content D. longan showed the presence of saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, alkaloids, tannins, and glycosides.
Result: D. longan concentration of inhibition 50% (IC50) and Toxic effects of concentration of cytotoxicity 50% (CC50) againts cells Huh 7it-1were obtained 13,2 ± 0.52 ug/ml and 681.9 ± 13.2 ug/ml, respectively and with selectivity index (SI) 51.2. Result of direct virucidal effect was shown inhibition of titer virus 99%. RNA and NS3 protein analysis of HCV were shown inhibition 20%. Phytochemical contains of methanol extracts of Dimocarpus longan Lour. Leaves are saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, tannins, and glycosides.
Conclusion: Anti-HCV mechanisms of methanol extracts of Dimocarpus longan Lour. Leaves are inhibition at entry and post-entry with action at attachment, direct killing, inhibition of expression NS3, and replication. Phytochemical content in the methanol extract of leaves of D. longan were saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, tannins, and glycosides."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Dian Permana
"Latar Belakang. Hanya sepertiga pasien DM tipe 2 yang mencapai target HbA1c yang diharapkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa health coaching terbukti mampu menurunkan kadar HbA1c secara bermakna, namun belum banyak diketahui pengaruh health coaching dalam jangka panjang setelah coaching dihentikan.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi dan health coaching dalam perbaikan kendali glikemik jangka panjang pada pasien DM tipe 2 rawat jalan di pusat kesehatan nasional tersier.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional lanjutan dari 6 bulan RCT yang dilaksanakan di dua pusat kesehatan nasional tersier untuk membandingkan kombinasi edukasi dan health coaching dengan edukasi saja
pada pasien DM tipe 2 dengan diabetes yang tidak terkontrol. Subjek penelitian diikuti pada bulan ke-6 dan ke-18 dari RCT awal. Keluaran primer adalah beda rerata HbA1c antar kedua kelompok, dan keluaran sekunder adalah beda proporsi subjek yang mengalami penurunan HbA1c ≥1% dari baseline dan beda proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7%. Analisis data menggunakan uji-T independen dan uji Chi-square.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 42 dari 60 subjek (70%) yang mengikuti penelitian hingga bulan ke-18. Tidak ada perbedaan yang bermakna rerata HbA1c antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (8,70
[±2,00] vs 9,02 [±1,71], p=0,334); dengan rerata HbA1c yang meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan rerata HbA1c bulan ke-6 (8,70 [±2,00] vs 7,83 [±1,80], p=0,016). Keluaran sekunder didapatkan perbedaan yang bermakna
proporsi subjek yang mengalami penurunan kadar HbA1c ≥1% antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (41,4% [n=12] vs 10,3% [n=3], p=0,015); serta tidak ada perbedaan yang bermakna proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7% (13,8% [n=4] vs 6,9% [n=2], p=0,670).
Kesimpulan. Health coaching tidak mampu mempertahankan perbaikan kendali glikemik pada pasien DM tipe 2 untuk jangka panjang jika coaching dihentikan, diperlukan pemberian coaching ulang agar perbaikan kendali glikemik dapat menetap.

Background. Only one-third of type 2 DM patients achieved the expected HbA1c
target. Several studies have shown that health coaching has been shown to be able
to significantly reduce HbA1c levels, but it is not widely known the effects of
long-term health coaching after coaching is stopped.
Aim. This study was to determine the effect of education and health coaching in
improving long-term glycemic control in outpatients with type 2 diabetes at a
tertiary national health center.
Method. This study is a follow-up observational study of 6 months RCT
conducted in two tertiary national health centers to compare the combination of
education and health coaching with education alone in type 2 diabetes mellitus
patients with uncontrolled diabetes. Study subjects were followed at 6 and 18
months of baseline RCT. The primary outcome was the difference in the mean
HbA1c between the two groups, and the secondary outcome was the difference in
the proportion of subjects who experienced a decrease in HbA1c ≥1% from
baseline and the difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c
target <7%. Data analysis used independent T-test and Chi-square test.
Result. This study managed to collect 42 out of 60 subjects (70%) who attended
the study until the 18th month. There was no significant difference in the mean
HbA1c between the intervention group and the control group (8.70 [± 2.00] vs
9.02 [± 1.71], p = 0.334); with the mean HbA1c which increased significantly
when compared with the mean HbA1c at 6 months (8.70 [± 2.00] vs 7.83 [± 1.80],
p = 0.016). Secondary outcomes showed a significant difference in the proportion
of subjects who experienced a decrease in HbA1c levels ≥1% between the
intervention group and the control group (41.4% [n = 12] vs 10.3% [n = 3], p =
0.015); and there was no significant difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c target <7% (13.8% [n = 4] vs 6.9% [n = 2], p = 0.670).
Conclusion. Health coaching is unable to maintain improved glycemic control in type 2 DM patients for the long term when coaching is stopped, re-coaching is needed so that improved glycemic control can persist.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juferdy Kurniawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna merupakan hal penting untuk membantu membuat perencanaan optimal dalam melakukan pendekatan terapi yang tepat untuk masing-masing etiologi dan faktor terkait guna membantu meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mendapatkan kesintasan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna di RSCM.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dan prospektif dilakukan dengan data sekunder pasien ikterus obstruktif yang dirawat di ruang perawatan RSCM antara Januari 2010 ? Desember 2013. Faktor-faktor yang dinilai meliputi umur, jenis kelamin, sepsis, hipoalbumin, tingkat bilirubin serum, tingkat CA 19-9 serum, drainase bilier, keganasan non ca ampula Vater, dan komorbid dengan hasil keluaran berupa mortalitas pasien. Kesintasan kumulatif terjadinya mortalitas dalam 3 bulan setelah diagnosis dinyatakan dengan kurva Kaplan Meier. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan Cox Proportional Hazards Regression Model untuk mendapatkan Hazard Ratio (HR) dari setiap faktor prognosis. Skor prognosis dari setiap faktor bermakna ditentukan berdasarkan model akhir regresi.
Hasil: Sebanyak 181 dari 402 pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna memenuhi kriteria penelitian dengan proporsi laki-laki sebesar 58,6 % dengan pasien berumur ≥ 50 tahun sebesar 57,5 %. Sepsis (HR 2.462 ; IK 95% 1.552 ? 3.906), drainase bilier tidak berhasil/tidak ada (HR 1.604 ; IK 95% 0.988 ? 2.603), serta skor indeks komorbid Charlson ≥ 4 (HR 2.476 ; IK 95% 1.562 ? 3.923) merupakan faktor prognosis yang bermakna terhadap mortalitas pasien. Median kesintasan pasien dengan faktor prognosis bermakna 14 hari; IK 95% 9.66 ? 18.34 sedangkan median kesintasan keseluruhan 26 hari; IK 95% 20.82 ? 31.19 (p < 0.01). Ambang skor prognostik terbaik didapatkan pada skor ≥ 2 dengan sensitifitas 68% dan spesifisitas 75%. AUC pada kurva ROC 0.769.
Kesimpulan: Kesintasan pasien dengan faktor prognosis sepsis, drainase bilier tidak berhasil/tidak ada, dan skor indeks komorbid Charlson ≥ 4 lebih pendek dibandingkan kesintasan keseluruhan pasien. Skor prognostik ≥ 2 termasuk dalam risiko tinggi kematian dan kemampuan prediksi mortalitas dari faktor prognosis bermakna sebesar 76.9%.

ABSTRACT
Background: Understanding any related factors affecting mortality in patients with malignant obstructive jaundice will better guide to an approriate and optimal planning in making theurapetic approach for each etiological and relating factors thus improving survival and patients? quality of life.
Aim: To obtain survival rate and mortality-related factors of malignant obsructive jaundice patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: Retrospective-prospective cohort study was conducted with medical records of obstructive jaundice inpatient from January 2010 to December 2013 were reviewed. Suggested mortality-related factors include age, gender, sepsis, hypoalbumin, serum bilirubin level, serum CA 19-9 level, billiary drainage, non-ampulla Vateri carcinoma, and comorbid were analyzed. Three-month cumulative overall survival was calculated by Kaplan-Meier curve. Bivariat and multivariat analysis was done with Cox Proportional Hazards Regression Model to obtain Hazard Ration (HR) of each prognostic factor. Prognosis score from each mortality-related factor was calculated based on the last regression model.
Results: 181 from 402 patients were enrolled in this study with male proportion was 58.6% and patients aged 50 years or above was 57.5%. Sepsis (HR 2.462 ; CI 95% 1.552 ? 3.906), unsuccessful / no prior billiary drainage (HR 1.604 ; CI 95% 0.988 ? 2.603), and Charlson comorbid score ≥ 4 (HR 2.476 ; CI 95% 1.562 ? 3.923) were mortality-related factors with significant difference. Patients with significant prognostic factors had median survival 14 days; 95% CI: 9.66 ? 18.34 compared with overall median survival 26 days; 95% CI: 20.82 ? 31.19 (p < 0.01). Score ≥ 2 identified as the highest prognostic score threshold with sensitivity 68%, specificity 75%, and AUC on ROC curve 0.769.
Conclusion: Patients with significant prognostic factors which were sepsis, unsuccessful / no prior billiary drainage, and Charlson comorbid score ≥ 4 had shorter survival than overall survival. Prognostic threshold ≥ 2 quite good to classify malignant obstructive jaundice inpatient into high risk mortality population. Mortality of patients with those significant prognostic factors can be predicted in 76,9%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hepatocyte Progenitor Cell(HPC) merupakan stem cell dari hati yang akan muncul bila terjadi kerusakan hati yang kronis hingga sirosis hati seperti pada penderita hepatitis B kronik. Aktifnya HPC sebagai usaha untuk meregenerasi sel hati akan diikuti oleh migrasi dari Haematopoietic Stem Cell(HSC) ke sel hati dengan tujuan membantu proses regenerasi sel hati
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah korelasi antara HPC dan HSC pada derajat Metavir baik nekroinflamasi ataupun fibrosis sebagai dasar untuk melakukan terapi stem cell pada penderita hepatitis B kronik dengan menggunakan HPC dan HSC.
Metode : Penderita hepatitis B kronik yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani biopsi hati diperiksa parafin bloknya kemudian dibagi berdasarkan derajat metavirnya yaitu ringan-sedang dan berat. Kemudian dilakukan pewarnaan immunohistokimia untuk HPC dengan CK-19 dan HSC dengan CD34+. setelah itu dihitung jumlah HPC dan HSC dan kemudian dianalisis datanya.
Hasil : Didapatkan 17 penderita dengan fibrosis ringan-sedang dan 13 dengan fibrosis berat, serta 21 dengan nekroinflamasi ringan-sedang dan 9 dengan nekroinflamasi berat. Pada fibrosis ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dgn p=0.003 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.001. Pada nekroinflamasi ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dengan p=0.014 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.012. Hanya korelasi antara HPC dan HSC pada fibrosis ringan-sedang yang signifikan dengan p=0.003
Kesimpulan : Rerata HPC dan HSC pada nekroinflamasi berat lebih tinggi dibandingkan pada nekroinflamasi ringan-sedang. Rerata HPC dan HSC pada fibrosis berat lebih tinggi dibandingkan pada fibrosis ringan-sedang Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada nekroinflamasi ringan- sedang dan berat. Terdapat korelasi antara HPC dengan HSC pada derajat fibrosis ringan-sedang. Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada derajat fibrosis berat.

ABSTRACT
Background :
Hepatocyte progenitor Cell (HPC) is a stem cell from the liver that will arise in the event of chronic liver damage such as chronic hepatitis B to cirrhosis of the liver. HPC as an active attempt to regenerate liver cells followed by migration of Haematopoietic Stem Cell (HSC) to liver cells with the goal of helping the regeneration of liver cells.
Aims :
This study aims to determine the correlation between HPC and HSC as the basis for the conduct of stem cell therapy in patients with chronic hepatitis B by using the HPC and HSC.
Methods:
Patients with chronic hepatitis B who meet the inclusion criteria which had undergone liver biopsies examined paraffin blocks which divided by degrees of metavir as mild and severe. Then performed immunohistochemical staining for HPC with CK-19 and HSC with CD34+ .After the calculated amount of HPC and HSC and then analyzed the data.
Results:
There were 17 patients with mild-moderate fibrosis and 13 with severe fibrosis, and 21 with mild-moderate nekroinflamasi and 9 with severe nekroinflamasi. In mild- moderate and severe fibrosis obtained mean significant HPC with p = 0.003 and mean significant HSC with p = 0.001. In nekroinflamasi obtained mean mild- moderate and severe HPC significant with p = 0.014 and the mean HSC significant with p = 0.012. There is a statistically significant correlation between HPC and HSC on mild-moderate fibrosis with p = 0.003.
Conclusions:
Average of HPC and HSC in severe nekroinflamasi is higher than in mild - moderate nekroinflamasi . Average of HPC and HSC in severe fibrosis is higher than in mild - moderate fibrosis There were no correlation between HPC and HSC on nekroinflamasi mild- moderate and severe . There is a correlation between HSC and HPC in the mild - moderate fibrosis . There were no correlation between HPC and HSC on the degree of severe fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardianto Setiawan
"Latar Belakang: Pemeriksaan impedans intraluminal multikanal dan pemantauan pH (MII-pH) baru diperkenalkan untuk mengevaluasi karakteristik refluksat pada pasien gastroesophageal reflux disease (GERD). Penggunaan MII-pH untuk prediksi hasil terapi empiris proton-pump inhibitor (PPI) belum dievaluasi.
Tujuan: Mengevaluasi pola refluksat menggunakan MII-pH untuk memprediksi respons terapi empiris dengan PPI pasien GERD.
Metode: Penelitianini merupakan studi prospektif dengan desain before-and-after treatment. Pasien direkrut dari Poliklinik Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo antara Desember 2015 dan Februari 2016. Diagnosis GERD ditegakkan menggunakan kuesioner GERD (GerdQ). Endoskopi saluran cerna atas dilakukan untuk membedakan erosive (ERD) dannon-erosive reflux disease (NERD). Semua pasien menjalani pemeriksaan MII-pH evaluasi yang terdiri dari bentuk refluksat (cair, gas atau campuran); jenis refluksat (asam atau non-asam); dan persentase acid exposure time (AET). Kemudian pasien mendapat terapi PPI oral, dua kali sehari selama 14 hari. Respons terapi dievaluasi dengan GerdQ. Prediktor respons terapi dianalisis menggunakan analisis multivariat.
Hasil: Sejumlah 75 pasien dilibatkan dalam studi; 39 (52%) di antaranya adalah perempuan. Rerata usia adalah 40,4+10,20 tahun. Rerata skor GerdQ awal adalah 14 dan turun sampai 8 setelah terapi PPI empiris (p<0,001; uji t berpasangan). Sebanyak 41 (54,7%) pasien responsif terhadap terapi PPI. Respons terapi berhubungan dengan jenis GERD (OR: 3,763; IK95%: 1,381-10,253; p=0,008);jenis refluksat (OR: 10,636; IK95%: 2,179-51,926; p=0,001);dan AET (OR: 5,357; IK95%: 1,974-14,541; p=0,001). Analisis multivariat mendapatkan dua prediktor independen terhadap terapi PPI, yaitu jenis refluksat (ORadj:6,273; IK95%: 1,207-32,609; p=0,029) dan AET (ORadj: 3,363; IK95%: 1,134-9,974; p=0,029).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan respons terapi empiris PPI dimana ERD lebih responsif dari NERD, refluks asam lebih responsif dari non asam dan AET tinggi lebih responsif dari pada AET normal. Keberhasilan terapi empiris PPI dapat diprediksi dari jenis refluksat dan nilai AET.

Background: Combinedmulti-channel intraluminal impedance and pH monitoring (MII-pH) has been recently introduced to characterize patients with gastroesophageal reflux disease (GERD). The use of MII-pH to predict initial treatment response with proton-pump inhibitor (PPI) has not been evaluated.
Objective: To evaluate refluxate patterns using MII-pH to predict initial treatment response using PPI for GERD patients.
Method: This was a prospective study using before-and-after treatment design. Patients were enrolled in the Gastroenterology Polyclinic, Department of Internal Medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital between December 2015 and February 2016. Diagnosis of GERD was established using GERD questionnaires (GerdQ).Upper endoscopy was done to distinguish erosive (ERD) and non-erosive reflux disease (NERD). All patients underwent MII-pH evaluation consisting of physical characteristics of the refluxate (liquid, gas or mixed); type of refluxate (acid or non-acid); and percent acid exposure time (AET). Then patients were given oral PPI treatment, twice a day, for 14 days. Treatment response was evaluated using GerdQ. Predictor of treatment response was analyzed using multivariate analysis.
Results: A total of 75 patients was enrolled; 39 (52%) of them were women. Mean age was 40.4+10.20 years. Initial mean GerdQ score was 14 and reduced to 8 after empirical PPI therapy (p<0.001; paired t test).Forty-one (54.7%) patients responded to PPI therapy.Treatment response was associated with type of GERD (OR: 3.763; 95%CI: 1.381-10.253; p=0,008;) type of refluxate (OR: 10.636; 95%CI: 2.179-51.926; p=0.001); and AET (OR: 5.357; 95%CI: 1.974-14.541; p=0.001). Multivariat analyses found two independent predictors of treatment response to PPI therapy, i.e. the type of refluxate(ORadj:6.273; 95%CI: 1.207-32.609; p=0.029) and AET (ORadj: 3.363; 95%CI: 1.134-9.974; p=0.029).
Conclusion: There are differences in response to empiric PPI therapy where ERD is more responsive than NERD, acid reflux is more responsive than non- acid and high AET is more responsive than a normal AET . PPI empirical therapy success can be predicted from the type and value refluksat AET.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mahriani Sylvawani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita Diabetes Melitus (DM) mengalami peningkatan resiko fraktur akibat penurunan kualitas dan kekuatan tulang. Bone Mineral Densitometry tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada pasien DM tipe 2 (DMT2) karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat penurunan penanda formasi tulang (P1NP) pada perempuan pramenopause dengan DMT2 dibandingkan dengan bukan DM. IGF-1 dan sclerostin adalah faktor yang mempengaruhi diferensiasi dan maturasi osteoblast dalam formasi tulang dan saat ini belum diketahui profilnya pada perempuan pramenopause dengan DM. Tujuan: Untuk mengetahui dan membandingkan kadar IGF-1 serum dan sclerostin serum perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM. Metode: Studi potong lintang, dilakukan pada Agustus 2018 dan melibatkan 80 perempuan pramenopause yang terdiri dari 40 subjek DMT2 dan 40 bukan DM. Pemeriksaan IGF-1 serum dan Sclerostin serum dilakukan dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian: Median (rentang interkuartal) kadar IGF-1 serum pada pasien DMT2 lebih rendah tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok bukan DM (40,6 (11-110) ng/ml vs 42,75 (10-65) ng/ml, p=0.900). Rerata kadar sclerostin serum pada kelompok DMT2 lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok bukan DM (132.05 (SB 41.54) ng/ml vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66) (p<0.001). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 serum antara perempuan pramenopause DMT2 dan bukan DM. Terdapat perbedaan bermakna sclerostin serum antara perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM.

ABSTRACT
Background: Diabetes mellitus (DM) patients are at increased risk for fracture due to the decrease in bone quality and strength. Bone Mineral Densitometry (BMD) measurement in T2DM cannot depict bone fragility (T2DM) because they are shown to be normal or increased results. Previous studies have shown a decrease in markers of bone formation (P1NP) in premenopausal women with T2DM compered non-DM. IGF-1 and sclerostin are factors that influence the differentiation and maturation of osteoblasts in bone formation and their profiles are not currently known in patients with premenopausal women with diabetes. Objective: To determine and compare serum IGF-1 and serum sclerostin levels between premenopausal women T2DM and non-DM. Method: A cross-sectional study was conducted in August 2018 and involved 80 premenopausal women consisting of 40 DMT2 and 40 non-DM subjects. Serum IGF-1 and serum sclerostin were examined using an enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. Results: Median (interquarter range) serum IGF-1 in T2DM is 40.6 ng/ml (11-110 ng/ml) vs. 42.75 ng/ml (10-65 ng/ml) in non-DM (p=0.900). Mean serum sclerostin level in T2DM is 132.05 ng/ml (SB 41.54 ng/ml) vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66 ng/ml) in not DM (p<0.001). Conclusion: There was no difference in serum IGF-1 levels between premenopausal women with T2DM and non-DM. There were significant differences in serum sclerostin between premenopausal women with T2DM and non-DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Novandra
"Latar Belakang.
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan 463 juta jiwa di dunia menderita diabetes mellitus (DM) pada tahun 2019 dan akan bertambah menjadi 628 juta pada tahun 2045. Polineuropati distal simetrik merupakan manifestasi terbanyak neuropati diabetik perifer. Gangguan ini berasosiasi dengan neuropati otonom dan ganguan pada mikrovaskular lainnya sehingga dapat menjadi pintu untuk mencari komplikasi diabetes lain. Pada pasien dengan penyakit kronik seperti polineuropati distal simetrik, kualitas hidup perlu diperhatikan untuk merancang, memantau dan mengevaluasi efektivitas intervensi pengobatan.
Tujuan.
Mengetahui proporsi polineuropati distal simetrik dan hubungannya terhadap kualitas hidup pada penyandang diabetes melitus di Puskesmas di Jakarta.
Metode.
Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien DM di Puskesmas di Jakarta dari September 2022-Januari 2023. Analisis data digunakan untuk mendapatkan proporsi polineuropati distal simetrik dan hubungannya terhadap kualitas hidup pada pasien diabetes melitus di Puskesmas di Jakarta.
Hasil.
Selama periode penelitian didapatkan 183 subjek dengan rerata umur 53+8,6 tahun, rerata lama menderita diabetes 5+4,8 tahun, rerata tekanan darah sistolik 141+19,4mmHg dan diastolik 90+9 mmHg. Sebanyak 140 subjek (77,3%) obesitas, 123 (67,2%) subjek dengan kadar HbA1C yang belum terkontrol dengan rerata kadar HbA1C 8,1+2%. Sebanyak 177 subjek (96,7%) menderita dislipidemia dengan rerata kadar kolesterol total 207 (43,4) mg/dL, kadar LDL 136 (39,3) mg/dL, dan HDL 48 (10,9) mg/dL. Proporsi rasa sakit pada subjek dengan polineuropati distal simetrik lebih besar bermakna dibandingkan dengan subjek tanpa polineuropati distal simetrik dengan OR 2,777 (1,384-5,572) dan p-value 0,005.
Kesimpulan.
Proporsi polineuropati distal simetrik pada penelitian ini sebesar 74,9%. Polineuropati distal simetrik pada pasien DM tidak memiliki hubungan terhadap kualitas hidup, namun didapatkan hubungan yang bermakna pada komponen dimensi rasa nyeri bila dibandingkan dengan tanpa polineuropati distal simetrik.

Background.
International Diabetes Federation (IDF) estimates that 463 million people worldwide suffer from diabetes mellitus (DM) in 2019 and will increase to 628 million in 2045. Distal symmetric polyneuropathy is the most common manifestation of peripheral diabetic neuropathy. This disorder is associated with autonomic neuropathy and other microvascular disorders, so it can be a gateway to look for other diabetes complications. In patients with chronic diseases such as symmetric distal polyneuropathy, quality of life needs to be considered in designing, monitoring and evaluating the effectiveness of treatment interventions.
Objective.
Knowing the proportion of distal symmetric polyneuropathy and its relationship to quality of life in people with diabetes mellitus in Jakarta Health Center.
Methods.
Cross-sectional study with an affordable population of diabetes mellitus patients at the Jakarta Health Center from September 2022-January 2023. Data analysis was used to obtain the proportion of distal symmetrical polyneuropathy and its relationship to quality of life in diabetes mellitus patients at the Jakarta Health Center.
Results.
During the study period, 183 subjects were found with an average age of 53+8.6 years, an average duration of diabetes 5+4.8 years, an average systolic blood pressure of 141+19.4 mmHg and a diastolic of 90+9 mmHg. A total of 140 subjects
(77.3%) were obese, 123 (67.2%) subjects had uncontrolled HbA1C levels with an average HbA1C level of 8.1+2%. A total of 177 subjects (96.7%) suffered from dyslipidemia with an average total cholesterol level of 207 (43.4) mg/dL, LDL level
of 136 (39.3) mg/dL, and HDL level of 48 (10.9) mg/dL. Proportion of pain in subjects with distal symmetric polyneuropathy was significantly greater than in subjects without distal symmetric polyneuropathy with OR 2.777 (1.384-5.572) and p-value 0.005.
Conclusion.
The proportion of distal symmetric polyneuropathy in this study was 74.9%. Patients with distal symmetric polyneuropathy did not have a lower quality of life,
but found significant relationship in the pain component when compared to those without distal symmetric polyneuropathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Koncoro
"Latar Belakang: Sarkopenia mempengaruhi prognosis karsinoma sel hati (KSH). Dalam penilaian klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) terkandung penilaian status performa Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG). Status performa ECOG merupakan penilaian aktivitas fisik terkait sarkopenia. Pemeriksaan baku emas sarkopenia pada KSH mahal dan membutuhkan banyak waktu. Pemeriksaan tebal otot paha dapat digunakan sebagai modalitas yang baru. Studi ini bertujuan untuk menilai hubungan antara status performa ECOG dengan sarkopenia pada KSH, mengetahui perbedaan rerata antara tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah dengan status performa ECOG tinggi pada KSH, dan mengetahui perbedaan rerata antara tebal otot paha pasien sarkopenia dengan non sarkopenia pada KSH.
Metode: Studi ini dilakukan di RS tersier selama Januari – Oktober 2021. Analisis statistik dilakukan untuk memperoleh hubungan antara status performa ECOG, tebal otot paha, dan status sarkopenik pasien KSH.
Hasil: Delapan puluh lima subjek pasien KSH (usia median, 52 tahun) dilakukan analisis. Sarkopenia diamati pada 30,6% pasien KSH. Setelah melalui analisis multivariat, status performa ECOG buruk berhubungan dengan sarkopenia pada KSH (adjusted OR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Terdapat perbedaan signifikan rerata tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah dengan status performa ECOG tinggi pada KSH (p < 0,001). Terdapat juga perbedaan signifikan rerata tebal otot paha pasien sarkopenia dan non sarkopenia (p < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status performa ECOG tinggi dengan sarkopenia pada KSH (aOR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Rerata tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah lebih besar dibanding dengan status performa ECOG tinggi pada karsinoma sel hati. Rerata tebal otot paha pasien non sarkopenia lebih besar dibanding dengan sarkopenia pada karsinoma sel hati.

Background: Sarcopenia affects hepatocellular carcinoma (HCC) prognosis. HCC staging consists of Eastern Cooperative Oncology Group performance status (ECOG-PS). ECOG-PS is an assessment of physical activity related to sarcopenia. Gold standard examinations for sarcopenia in HCC are expensive and time-consuming. Thigh muscle thickness can be used as a new modality. This study was aimed to explore the association between ECOG-PS with sarcopenia, to seek thigh muscle thickness difference between poor and good performance status, and to know thigh muscle thickness difference between sarcopenic and non-sarcopenic patients with HCC.
Methods: The study was conducted in a tertiary hospital during January – October 2021. Statistical analysis was performed to obtain an association between ECOG-PS, thigh muscle thickness, and sarcopenic status of HCC patients.
Results: Eighty-five HCC patients (median age, 52 years) were analyzed. Sarcopenia was observed in 30,6% of HCC patients. On multivariate binary regression analysis, a poor ECOG-PS remained independently associated with sarcopenia in HCC (adjusted OR = 6,35, 95% CI 2,06-19,6, p < 0,001). There was a significant difference in thigh muscle thickness between good and poor performance status (p < 0,001). There was also a significant difference in thigh muscle thickness between sarcopenic and non-sarcopenic patients (p < 0,001).
Conclusion: There were association between ECOG-PS and sarcopenia in HCC (aOR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Mean thigh muscle thickness was larger in HCC patients with good ECOG-PS than poor ECOG-PS. Mean thigh muscle thickness was larger in non-sarcopenic HCC patients than sarcopenic ones.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>