Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dita Nadya Rizkita
"Vitamin A diketahui dapat memodulasi sel T regulator (Treg) sehingga IL-10 mengalami penurunan Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh pemberian vitamin A dosis rendah dalam meregulasi respons imun sitokin anti-inflamasi (IL-10) pada ibu hamil sehingga terjadi penurunan jumlah telur per gram tinja (TPG) infeksi A.lumbricoides.
Penelitian ini menggunakan data sekunder ibu hamil yang terinfeksi A. lumbricoides di Kalibaru, Jakarta Utara. Terdapat dua kelompok data, vitamin A (18 ibu hamil) dan plasebo (21 ibu hamil). Semua pemeriksaan tinja dan IL-10 dalam serum dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Diagnosis askariasis dengan pemeriksaan tinja menggunakan metode Kato-Katz, dan pemeriksaan IL-10 dalam serum dengan metode ELISA. Sebelum intervensi, rerata konsentrasi IL-10 pada kelompok vitamin A 48,1± 34,2 pg/mL dan plasebo 37,6 ± 26,1 pg/mL.
Setelah intervensi, terdapat perbedaan bermakna (p=0.006) antara rerata perubahan konsentrasi IL-10 pada kelompok vitamin A (-2,5±38,88 pg/mL) dengan plasebo (-1,7±27,18 pg/mL). Selain itu, perubahan rerata perubahan TPG pada kelompok vitamin A berbeda bermakna (p=0,000) dengan kelompok plasebo. Perubahan IL-10 tersebut berdampak terjadi perubahan TPG A. lumbricoides pada kelompok vitamin A. Untuk mengurangi intensitas infeksi A. lumbricoides pada ibu hamil diperlukan vitamin A untuk menurunkan IL-10.

Vitamin A has been known for modulating T regulator cells so that it may decrease interleukin 10 (IL-10). The aim of this study was to know the effect of low doses vitamin A supplementation on regulating immune responses of antiinflamation cytokines (IL-10) in pregnant women to decrease Ascaris lumbricoides egg in each gram of stool (EPG).
This study used secondary data from pregnant women infected by A.lumbricoides in Kalibaru, North Jakarta. There were 2 groups, one given vitamin A supplementation (18 pregnant women) and the other one with placebo (21 pregnant women). All of the stool and IL-10 serum samples were examined at before and after intervention. Diagnosis of ascariasis was established by stool sample examination using Kato-Katz method and levels of IL-10 by ELISA. Before intervention, mean of IL-10 level in vitamin A group was 48.1± 34.2 pg/mL and placebo 37.6 ± 26.1 pg/mL.
After intervention, there was significant differentiation (p=0.006) between alteraion of mean IL-10 level in vitamin A (2.5±38.88 pg/mL) and placebo (1.7±27.18 pg/mL). In addition, alteration mean of EPG was significant differentiation (p=0.000). Alteration of mean IL-10 level affected on alteration A. lumbricoides EPG especially in vitamin A group. This study showed that IL-10 may play a role of decreasing A. lumbricoides egg per gram of stool in pregnant women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Varalisa Rahmawati
"

Pendahuluan: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan masih menjadi perhatian di Indonesia. Sampai saat ini, pengendalian vektor menjadi upaya pencegahan utama karena belum adanya vaksin DBD di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada penelitian terkait aktivitas insektisida deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histologi midgut Ae.aegypti. Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas larvisidal deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histopatologi midgut larva Ae.aegypti. Metode: Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Sampel penelitian ini berupa larva instar III-IV Ae. aegypti. Aktivitas larvasidal deltametrin dan malation diketahui dengan bioassay sesuai protocol WHO selama 24 jam pada lima konsentrasi berbeda dari tiap insektisida dan lima kali ulangan. Larva yang mati akan diamati dengan mikroskop diseksi untuk mengetahui morfologinya. Selain itu, larva yang mati akan dibuat potongan sediaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Data mortalitas larva selanjutnya akan diolah dengan SPSS untuk menganalisis korelasi konsentrasi dengan mortalitas larva serta menentukan konsentrasi letal insektisida (LC50 dan LC99). Hasil: Larva pada kontrol tidak ada yang mati dan tidak ditemukan adanya perubahan morfologi maupun histologi. Persentase mortalitas larva Ae.aegypti setelah paparan deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan, 15,2-100% dan 4,8-100%. LC50 dan LC99 deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan adalah 0,007 ppm (95% Cl=0,006-0,009) dan 0,312 ppm (95% Cl=0,203-0,529); serta 0,053 ppm (95% Cl=0,045-0,062) dan 0,915 ppm (95% Cl=0,652-1,398). Deltametrin menyebabkan terjadinya kerusakan di toraks, abdomen, sifon, dan insang anal, serta terlepasnya setae, dan penipisan kutikula.   Sedangkan, malation menyebabkan terjadinya kerusakan di kepala, toraks, abdomen, sifon, insang anal, dan kutikula serta terlepasnya setae. Nekrosis sel epitel gastrointestinal adalah perubahan histopatologis midgut utama yang ditemukan pada larva Ae.aegypti baik setelah paparan deltametrin maupun malation. Kesimpulan: Deltametrin dan malation efektif membunuh larva Ae.aegypti dengan efektivitas deltametrin yang lebih tinggi dibandingkan malation. Aktivitas larvisidal deltametrin dan malation menyebabkan perubahan morfologi dan histopatologi midgut larva melalui mekanisme yang berbeda. Sasaran kerja deltametrin dan malation untuk kerusakan morfologis meliputi kutikula, setae, segmen anal, saluran pencernaan dan pernapasan. Malation juga menyebabkan kerusakan di kepala larva. Sedangkan sasaran kerusakan histopatologisnya pada struktur midgut oleh deltametrin dan malation adalah lapisan epitel gastrointestinalnya, sel epitel, dan mikrovili.

 


Introduction: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a vector-borne disease that is still a concern in Indonesia. Until now, vector control has become the main prevention effort because there is no dengue vaccine in Indonesia. However, there are no studies that discuss the insecticidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histology of Ae.aegypti midgut. Objective: This study aims to determine the larvicidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histopathology of midgut larvae of Ae.aegypti. Method: The design used in this study is experimental. The sample of this research is larvae instar III-IV Ae. aegypti. The larvicidal activity of deltamethrin and malathion was determined by the bioassay technique according to WHO protocol for 24 hours at five different concentrations of each insecticide and five replications. The dead larvae was observed under a dissecting microscope to find out their morphology. Also, the dead larvae was made into pieces of anatomical pathology with hematoxylin-eosin staining. The larval mortality data was processed with SPSS to analyze the correlation between concentration and larval mortality and to determine the lethal concentration of insecticides (LC50 and LC99). Results: None of the larvae in the control died and no morphological or histological changes were found. The mortality percentage of Ae.aegypti larvae after 24 hours of deltamethrin and malathion exposure was 15.2-100% and 4.8-100%. LC50 and LC99 deltamethrin and malathion for 24 hours, respectively 0.007 ppm (95% Cl = 0.006-0.009) and 0.312 ppm (95% Cl = 0.203-0.529); and 0.053 ppm (95% Cl = 0.045-0.062) and 0.915 ppm (95% Cl = 0.652-1.398). Deltamethrin causes damage to the thorax, abdomen, siphons, and anal gills, as well as detachment of setae, and thinning of the cuticles. Meanwhile, malathion causes damage to the head, thorax, abdomen, siphons, anal gills, and cuticles as well as detachment of the setae. Gastrointestinal epithelial cell necrosis is the main midgut histopathological change found in Ae.aegypti larvae either after exposure to deltamethrin or malathion. Conclusion: Deltamethrin and malathion were effective in killing Ae.aegypti larvae with higher effectiveness of deltamethrin than malathion. The larvicidal activities of deltamethrin and malathion cause morphological and histopathological effects in the midgut larvae through different mechanisms. The targets of action of deltamethrin and malathion for morphological damage include cuticles, setae, anal segment, gastrointestinal and respiratory tract. Malathion also causes damage to the head of the larva. Meanwhile, the targets of histopathological damage to the midgut structure by deltamethrin and malathion are the gastrointestinal epithelial layer, epithelial cells, and microvilli.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinah Rahma Sari
"Latar belakang: Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk yang berperan dalam penyebaran berbagai penyakit, seperti filariasis, Japanese encephalitis, St. Louis encephalitis, dan West Nile Fever. Indonesia sebagai salah satu negara endemis filariasis memiliki program eliminasi filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor filariasis menggunakan insektisida. Seiring dengan semakin seringnya digunakan insektisida untuk mengendalikan vektor nyamuk lainnya, dikhawatirkan terjadi resistensi pada Cx. quenquefasciatus terutama terhadap insektisida yang sering digunakan. Resistensi metabolik dan modifikasi situs target dapat diamati dengan adanya peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase karena enzim asetilkolinesterase merupakan target kerja dari insektisida golongan organofosfat, seperti malation.7 Di Jakarta, belum dilakukan penelitian mengenai tingkat resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap malation dan deltametrin beserta aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Tujuan: Menganalisis efektivitas malation dan deltametrin pada larva Cx. quinquefasciatus.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel penelitian merupakan larva tahap III-IV Cx. quinquefasciatus yang diambil menggunakan teknik random sampling. Sampel akan dipaparkan dengan insektisida deltametrin dan malation dengan lima konsentrasi yang berbeda selama 24 jam. Kelompok larva mati dan hidup selanjutnya akan digunakan untuk uji biokimia enzim asetilkolinesterase menggunakan spektofotometri.
Hasil: Mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,25 ppm) kelompok perlakuan deltametrin adalah 96,8%. Sedangkan mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,5 ppm) kelompok perlakuan malation adalah 100%. LC50 dan LC90 pada deltametrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus secara berurutan adalah 0,015 ppm dan 0,106 ppm. Sedangkan LC50 dan LC90 malation secara berurutan adalah 0,052 ppm dan 0,173 ppm. Absorbansi pada uji aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi deltametrin secara berurutan adalah 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. Sedangkan absorbansi pada uji biokimia aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi malation secara berurutan adalah 0,405 ± 0,009 dan 0,237 ± 0,003.
Kesimpulan: Deltametrin dan malation memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap larva Cx.quinquefasciatus. Berdasarkan nilai LC50 dan LC90 menyimpulkan deltametrin lebih efektif dibandingkan dengan malation. Malation menghambat aktivitas asetilkolinesterase pada larva Cx. quinquefasciatus, sedangkan deltametrin tidak menghambat aktivitas asetilkolinesterase tersebut.

Background: Culex sp. plays an important role as a vector in spreading various diseases such as filariasis, Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, and West Nile Fever. Indonesia as one of the countries endemic in filariasis, has a program in eliminating filariasis, with one of the program done by controlling vector using insecticide. Insecticides used in eliminating vector of filariasis, Cx. quinquefasciatus, are used concurrently in order to eliminate another vector such as Anopheles sp. and Aedes sp. The escalation of insecticide utilization leads to the concern of Cx. quinquefasciatus being resistance against insecticides, especially insecticides that are often used. Metabolic resistance and target site modification in Cx. quinquefasciatus as the proposed mechanisms in insecticide resistance can be seen by observing the activity of acetylcholinesterase due to its role as a target site for organophosphat such as malathion. Currently in Jakarta, there’s no research established regarding Cx. quinquefasciatus resistance against malathion and deltamethrin along with their acetylcholinesterase activity.
Objective: Analyzing effectivity of malathion and delamethrin in Cx. quinquefasciatus.
Method: The design study used in this research was experimental. Larva Instar stage III-IV Cx. quinquefasciatus was used as samples and chosen with random sampling technique. Samples was exposed to deltamethrin and malathion with 5 different concentrations for 24 hours. Both samples, alive and dead, after the exposure, were assessed for their acetylcholinesterase activity using spectophotometry.
Result: Mortality from the highest concentration in deltametrhin-induced group was 96,8%. Meanwhile, mortality from the highest concentration in malathioninduced group was 100%. LC50 and LC90 of deltamethrin was 0,015 ppm and 0,106 ppm while LC50 and LC90 of malathion was higher (0,052 ppm and 0,173 ppm). Absorbance in acetylcholine esterase activity assay in the group of alive and dead larva induced by deltametrhin was 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. While the absorbance in malathion-induced group was lower with the result of 0,405 ± 0,009 in the group of alive larva and 0,237 ± 0,003 in the group of dead larva.
Conclusion: Deltamethrin dan malathion both showed larvacidal activity in Cx. quinquefasciatus. According to LC50 and LC90 we can conclude that deltamethrine was more effective than malathion.From the acetylcholinesterase activity assay, we can see that there was inhibition from malathion against acetylcholinesterase while we see no effect against acetylcholinesterase activity from deltamethrin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Irvin Rembrant Holleritz
"Latar Belakang: Infeksi Soil-transmitted helminths merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Faktor risiko infeksi STH adalah jumlah anggota keluarga dan kepadatan keluarga di daerah endemis STH. Penelitian ini diadakan untuk mengetahui hubungan jumlah anggota keluarga, luas rumah, dan kepadatan keluarga terhadap prevalensi STH pada keluarga anak Sekolah Dasar.
Metode: Penelitian menggunakan desain potong-lintang dengan kuesioner untuk memperoleh data demografi, dan pemeriksaan tinja untuk menilai infeksi STH di Kalibaru dan Batu Ampar pada tahun 2012 hingga 2014.
Hasil: Prevalensi STH keluarga di Kalibaru dan Batu Ampar secara berurutan sebesar 64,8% dan 10,4%. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dengan infeksi STH pada keluarga (p = 0,767), namun di Kalibaru, jumlah anggota keluarga sedikit merupakan faktor proteksi terhadap infeksi STH di keluarga (OR = 0,899, 95% CI = 0,445-1,817). Uji statistik menunjukkan hubungan bermakna antara luas rumah dengan infeksi STH pada keluarga (p = 0,038). Selain itu, kepadatan keluarga memiliki hubungan bermakna dengan infeksi STH pada keluarga (p = 0,003). Keluarga yang padat meningkatkan risiko terjadinya infeksi STH dalam keluarga (OR = 2,326, 95% CI = 1,332-4,062).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan infeksi STH di keluarga. Terdapat hubungan antara luas rumah dan kepadatan keluarga dengan infeksi STH di keluarga.

Background: Soil-transmitted helminths (STH) infection is a national health problem. The risk factors are number of family members and family density in endemic areas. This research was conducted to find the association between number of family members, house's area, and family density towards STH prevalence in school-age children?s families.
Methods: Cross-sectional method was used, with questionnaire to collect demographic data and fecal examination to gain STH infection status in Kalibaru and Batu Ampar from 2012 to 2014.
Results: Family?s STH prevalence in Kalibaru and Batu Ampar were 64.8% and 10.4%, respectively. There was no significant relation between the number of family members and STH infection in family (p = 0.767). However, in Kalibaru, lesser family member was protective against STH infection (OR = 0.899, 95% CI = 0.445-1.817). Statistics showed significant relationship between house?s area and STH infection in family (p = 0.038). There was significant relationship between family density and STH infection in family (p = 0.003). Dense family increases family?s STH infection risk (OR = 2.326, 95% CI = 1.332-4.062).
Conclussion: It is concluded that there is no relationship between the number of family members and STH infection within family. House's area and family density is associated with STH infection in family.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Istri Intan Yuniari
"Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) masih tinggi pada anak sekolah dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang penting untuk penularan STH dan hubungan perilaku kesehatan dengan STH. Penelitian ini dilakukan di SDN 07 Kalibaru (Jakarta Utara) sebagai daerah kumuh dan MI Al-amin Batu Ampar (Jakarta Timur) sebagai daerah tak kumuh pada Juni hingga September 2012 dengan desain cross-sectional. Data demografi responden diperoleh dengan kuesioner. Infeksi STH dideteksi dengan teknik Kato-Kaz. Sebanyak 182 responden (Daerah kumuh=138 sampel dan Daerah tidak kumuh=44) didapatkan prevalensi STH di daerah kumuh sebesar 59,4% dan di daerah tidak kumuh sebesar 4,5%. Ketersediaan toilet di daerah kumuh memperoleh nilai OR = 0,80 (95% CI 0,31-2,10). Ketersediaan sumber air minum yang berasal bukan dari sumur di daerah kumuh kemungkinan sebesar 2,08 kali (95% CI 0,21-20,6) ditemukan infeksi STH dibandingkan dengan sumur, sedangkan di daerah tak kumuh kemungkinan sebesar 1,09 kali (95% CI 0,96-1,24) ditemukan infeksi STH dibandingkan dengan sumur. Secara statistik, tidak terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, dan makan lalapan dengan infeksi STH. Infeksi STH lebih tinggi pada daerah kumuh, ketersediaan sumber air minum yang berasal bukan dari sumur berisiko terinfeksi STH, dan kebiasaan tidak memiliki hubungan bermakna dengan infeksi STH.

The infection of Soil Transmitted Helminths (STH) was high in elementary school students. The aim of this research was to know the risk factors of STH and the association between hygiene with STH. This research happened in SDN 07 Kalibaru (North Jakarta) as slums area and MI Al-amin Batu Ampar (East Jakarta) as non-slums area from June until September 2012 using cross sectional method. Demographic profile was collected by filling the questionnaire. The infection of STH was detected by Kato-Kaz method. This research includes 182 participants (slums area=138 samples, and non-slums area=44) found prevalence of STH in slums area was 59,4% and non-slums area was 4,5%. Household latrine in slums area got OR=0.80 (95% CI 0.31-2.10). Drinking water in slums area had risk 2.08 (95% CI 0.21-20.6) to find STH, meanwhile in non-slums area had risk 1.09 (95% CI 0.96-1.24) to find STH. Statistically, there was no significance association between washing hand, hygiene of nail, and eating fresh vegetables with STH infection. Infection of STH in slums area higher than in non-slums area, drinking water had risk factor for STH infection, and the hygiene among elementary school students had no significance association with STH infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maringga, Fredy Rodeardo
"Latar Belakang: Di Indonesia, angka prevalensi infeksi Soil-transmitted helminths masih cukup tinggi, terutama di populasi siswa sekolah dasar dan yang menjadi faktor risiko utama terjadinya infeksi adalah faktor sosioekonomi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dan tingkat pendidikan orangtua terhadap infeksi STH di keluarga siswa Sekolah Dasar.
Metode: Penelitian ini dilakukan menggunakan desain potong-lintang (cross-sectional). Data pekerjaan dan pendidikan orangtua diperoleh melalui kuesioner. Status infeksi tinja diperoleh melalui pemeriksaan sampel tinja yang dikumpulkan oleh siswa SD Kalibaru (Jakarta Utara) dan MI Al Amin Batuampar (Jakarta Timur), serta keluarganya. Pemeriksaan sampel tinja menggunakan metode Kato-katz.
Hasil: Dari 207 keluarga yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan prevalensi STH pada keluarga siswa sekolah dasar di Kalibaru adalah sebesar 64,8% dan pada siwa sekolah dasar di Batuampar adalah sebesar 10,4%. Tidak didapatkan hubungan antara pekerjaan bapak dengan infeksi STH di keluarga (p=0,052; p>0,05) dengan OR=2,46, 95% CI = 0,97-6,20. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan infeksi STH di keluarga (p=0,512; p>0,05) dengan OR=1,041, 95% CI = 0,511-2,12. Tingkat pendidikan bapak yang rendah menjadi faktor risiko infeksi STH di keluarga (p=0,001; p<0,05) dengan OR=2,52, 95% CI = 1,42-4,44. Demikian juga dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah juga menjadi faktor risiko infeksi STH di keluarga (p=0,008; p<0,05) dengan OR=2,25, 95% CI = 1,234-4,105.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan bapak dan ibu dengan infeksi STH di keluarga. Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan bapak dan ibu dengan infeksi STH di keluarga.

Background: High prevalence of soil-transmitted helminthes in Indonesia, especially in elementary school students is mainly affected by the socioeconomic factors. This research was aimed to find out the relationship between parental occupation and education level towards the prevalence of STH in elementary school student?s families.
Method: This research was conducted using cross-sectional design. Parental occupation and education level was obtained from the questionnaire. The STH infection status was obtained from the examination of fecal sample collected by the students of Kalibaru Primary School and Madrasah Ibtidaiyah Al Amin Batuampar and their families. The fecal sample examination was conducted using Kato-katz method.
Result: From 207 families which fulfilled the inclusion criterias, the prevalence of STH is 64.8% in Kalibaru Primary School and 10.4% in Madrasah Ibtidaiyah Al Amin. There was no direct effect from father?s occupation toward the prevalence of STH among families (p=0.052; p>0.05) with OR=2.46, 95% CI = 0.97-6.20. There was no significant relation between the mother?s occupation and the prevalence of STH among families (p=0.008; p<0.05) with OR=2.25, 95% CI=1.234-4.105. Low father?s educational level is risk factor for STH infection in families (p=0.001; p<0,05) with OR=2.52, 95% CI = 1.42-4.44. Low mother?s educational level is also a risk factor for STH infection in families (p=0.008; p<0.05) with OR=2.25, 95% CI = 1.234-4.105.
Conclusion: There is no relationship between parental occupation and prevalence of STH among families. There is significant relationship between both of mother's and father's level of education with prevalence of STH among families.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Ferizal
"Suhu dan kelembapan udara yang optimal dapat mendukung Tungau Debu Rumah (TDR) untuk hidup dan berkembang biak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan suhu dan kelembapan udara terhadap keberadaan TDR. Dengan menggunakan desain cohort, penelitian ini dilakukan di Pamulang, Tangerang Selatan dan Pasar Rebo, Jakarta pada November 2013 sampai Februari 2014. Data demografi penduduk diperoleh melalui kuesioner. Sampel debu rumah diambil dari rumah dengan suhu antara 28 - 37°C dan kelembapan udara antara 50 ? 70%. Deteksi spesies TDR pada debu tersebut dilakukan dengan teknik langsung menggunakan mikroskop. Dari 96 responden (Pamulang = 52 orang, Pasar Rebo = 44 orang), didapatkan rumah positif TDR sebanyak 49 rumah (94,2%) di Pamulang dan 28 rumah (63,6%) di Jakarta. Secara statistik, tidak terdapat hubungan bermakna antara suhu dengan keberadaan TDR meskipun suhu menjadi faktor risiko (p<0,05; OR>1). Terdapat hubungan bermakna antara kelembapan udara terhadap keberadaan TDR (p<0,05; OR>1). Dapat disimpulkan bawa suhu dan kelembapan udara merupakan faktor risiko keberadaan tungau debu rumah.

The optimal temperature and humidity can support house dust mites to live and breead. This study aims to determine the relationship of temperature and humidity and the existence of house dust mites. By using cohort design, the study was conducted in Pamulang and Pasar Rebo, Jakarta in November 2013 to February 2014. The population?s demgraphic data was obtained through a questionnaire. Samples of house dust mite were taken from homes with temperatures between 28 - 37°C and the humidity between 50 ? 70%. House dust mites detection was done by using direct method using microscope. Of the 96 respondents (Pamulang = 52, Pasar Rebo = 44), it showed home with positive house dust mites as many as 49 homes (94.2%) in Pamulang and 28 homes (63.6%) in Jakarta. Statistically, there is no significant relationshipn between the existence of house dust mites and temperature despite the temperature to be risk factors (p <0.05; OR> 1). There is a significant relationship between the humidity of the existence of house dust mites (p <0.05; OR> 1).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Irma Malyana Artha
"Salah satu anggota keluarga terinfeksi soil-transmitted helminthes (STH) merupakan faktor risiko infeksi STH terutama di daerah endemis. Penelitian pola infeksi STH pada keluarga belum banyak diteliti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola infeksi STH pada keluarga di Kalibaru, Jakarta Utara dan Batu Ampar, Jakarta Timur. Penelitian ini berdesain cross-sectional yang dilakukan di SD 07 Pagi Kalibaru dan SDI Al-Amin Batu Ampar pada Juni 2012- September 2014. Sampel penelitian sebanyak 118 keluarga (84 keluarga di Kalibaru dan 34 keluarga di Batu Ampar). Diagnosis STH dengan metode Kato-Katz. Data sosio-ekonomi keluarga diperoleh dengan kuesioner. Prevalensi A. lumbricoides pada siswa SD, ayah, dan ibu di Kalibaru berturut-turut 34,8%, 25,8%, dan 28,4%. Prevalensi T. trichiura berturut-turut 47%, 12,1%, dan 10,2%. Berbeda dengan di Batu Ampar, prevalensi A. lumbricoides berturut-turut 6,8%, 0%, dan 5,7%. Tidak ada infeksi T. trichiura di Batu Ampar. Intensitas infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura di Kalibaru tergolong ringan dan sedang. Intensitas infeksi A. lumbricoides di Batu Ampar tergolong ringan. Pola infeksi STH pada keluarga di Kalibaru lebih bervariasi dibandingkan di Batu Ampar. Secara statistik, terdapat perbedaan bermakna pola infeksi A. lumbricoides di Kalibaru dan Batu Ampar (p<0,05) dengan nilai OR 4,62 (95% CI 1,192-17,878). Lokasi penelitian merupakan faktor proteksi infeksi STH (OR = 0,75; 95% CI 0,582-0,966). Penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu anggota keluarga terinfeksi A. lumbricoides merupakan faktor risiko penularan A. lumbricoides di daerah endemis (Kalibaru).

An infected household is risk factor in STH infection, especially in endemic area. The research of STH infection in household has not been studied. The aim of research was to know STH infection pattern of household in Kalibaru, Jakarta Utara and Batu Ampar, Jakarta Timur. This cross-sectional study held in SD 07 Pagi Kalibaru and SDI Al-Amin Batu Ampar on Juny 2012- September 2014. This research includes 118 families (84 families from Kalibaru and 34 families from Batu Ampar). STH infection was diagnosed through Kato Katz method. Socio-economic data of family was collected through questionnaire. In Kalibaru, the prevalence of A.lumbricoides in students, father, and mother in order are 34.8%, 25.8%, 28.4%. The prevalence of T.trichiura in order are 47%, 12.1%, and 10.2%. In Batu Ampar, the prevalence of A.lumbricoides in order are 6.8%, 0%, and 5.7%. There is no T.trichiura infection in Batu Ampar. Intensity of infection of A.lumbricoides and T.trichiura in Kalibaru is mild and moderate. Intensity of infection of A.lumbricoides in Batu Ampar is mild. STH infection pattern in Kalibaru is more varies than in Batu Ampar. Statistically, there is significance result of STH infection pattern in Kalibaru and Batu Ampar (p<0.05) with OR=4.62 (95% CI 1.192-17.878). The location of this research is a protection factor of STH infection (OR=0.75; 95% CI 0.582-0.966). This research supports that A.lumbricoides infection in one of household member become risk factor of A.lumbricoides transmission in endemic area (Kalibaru)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Ricky Riady
"Latar belakang. Tungau debu rumah (TDR) adalah salah satu penghasil alergen pada debu yang dapat memicu asma. Makanan utama TDR adalah serpihan kulit manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara jumlah anggota keluarga terhadap prevalensi dan intensitas dari TDR spesies Dermatophagoides pteronyssinus.
Metode. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dari bulan Novermber 2013- Februari 2014. Lokasi penelitian berada di Pasar Rebo (Jakarta Timur ) dan Pamulang (Tangerang Selatan). Sampel penelitian ini adalah debu rumah penduduk. Diagnosis Dp pada debu rumah ditegakkan dengan pemeriksaan debu secara langsung dibawah mikroskop cahaya.
Hasil. Total 96 rumah responden terdiri 44 di Jakarta Utara dan 52 Tangerang Selatan. Prevalensi Dp sebesar 77,1% (74/96) dengan intensitas rata-rata 65.4± 105.9 Dp/g debu. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara jumlah anggota keluarga ≤ 4 dan > 4 orang terhadap prevalensi dan intensitas Dp di Jakarta Timur dan Tangerang Selatan.
Kesimpulan. Penelitian ini menunjukan bahwa prevalensi dan kepadatan Dp tidak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga.

Intoduction. House dust mites (HDM) was a major source of allergen in dust that could trigger asthma. HDM eat keratin from human skin shed. The purpose of this research was to know whether household member has correlation with prevalence and intensity of HDM species Dermatophagoides pteronyssinus(Dp).
Method. This research was held between November 2013 - February 2014. Design used in this research was cross-sectional. Sample was dust collected from house in Pasar Rebo(East Jakarta) and Pamulang(South Tangerang). HDM was diagnosed by direct examination of dust using light microscope.
Result. Total 96 house of responden was used in this reserach, 44 from East Jakarta and 52 from South Tangerang. Prevalence of Dp was 77.1%(74/96) and Dp intensity mean was 65.4± 105.9 Dp/g dust.
Conclusion. There wasn't any correlation(p>0.05) between household member with prevalence and intensity of HDM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutauruk, Pavita Musi Sartika
"ABSTRAK
Dalam usaha untuk mencegah perburukan angka kejadian dan angka kematian akibat demam berdarah dengue DBD dilakukan pengontrolan terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pengontrolan vektor yang telah dilakukan selama ini berfokus utama pada penggunaan insektisida sintetis berbahan kimia, sehingga telah muncul resistensi terhadap insektisida tersebut. Euphorbiaceae tirucalli, merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi resistensi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas larvasida dari ekstrak batang muda E. tirucalli dengan pelarut etil asetat terhadap larva Ae. aegypti instar III dan IV. Larva dipaparkan dengan 6 konsentrasi ekstrak berbeda 0,01 -0,08 , selama 24 jam. Setelah 24 jam, terdapat perbedaan bermakna kematian larva pada konsentrasi 0,01 dan 0,02 p.

ABSTRACT
In order to prevent the increasing number of incidence and death caused by dengue hemorrhagic fever DHF , there is a need to control Aedes aegypti. Previously, vector control has been done with the use of synthetic insecticide from chemicals thus causing resistance from the larval. Euphorbiaceae tirucalli, is an alternative which can be used to reduce the resistance. This study aims to evaluate the larvacide effectivity of dewy stem of Euphorbiaceae tirucalli extract with ethyl acetate against III IV larval instars of Aedes aegypti. Larva was exposed with 6 different concentration ranged 0,01 0,08 for 24 hours. After 24 hours, a significant difference of larval death number found in 0,01 and 0,02 p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>