Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 2 Document(s) match with the query
cover
Aisha Salwa Savitri
"Mata merupakan indera manusia yang paling dominan dalam beraktivitas. Sekitar 90% aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dikendalikan oleh sistem penglihatan sehingga penglihatan yang terganggu akan berpengaruh terhadap berbagi domain fungsional. Kelelahan mata merupakan salah satu gangguan yang paling sering ditemui pada pekerja dan dapat terjadi di berbagai jenis pekerjaan, termasuk pada pekerja fabrikasi yang aktivitas pekerjaannya sangat mengandalkan mata serta membutuhkan konsentrasi visual yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan mata pada pekerja fabrikasi di PT XYZ tahun 2025. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional yang dilakukan pada 76 pekerja fabrikasi di PT XYZ. Variabel penelitian meliputi kelelahan mata, intensitas pencahayaan di tempat kerja, kelainan refraksi, usia, masa kerja, durasi kerja, jenis pekerjaan, dan penggunaan APD. Variabel intensitas pencahayaan diukur dengan lux meter, variabel kelelahan diukur dengan Visual Fatigue Questionnaire, dan variabel lain diukur dengan kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti. Data yang dikumpulkan dianalisis secara univariat dan bivariat, yaitu dengan uji chi-square dan mann-whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 67,1% pekerja fabrikasi di PT XYZ mengalami kelelahan mata. Tiga gejala terbanyak yang pernah dialami adalah mata terasa lelah (65,8%), penglihatan kabur atau buram (56,6%), dan iritasi mata (47,4%). Hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kelainan refraksi (p=0,006), usia (p=0,034), dan masa kerja (p=0,004) dengan kelelahan mata. Rata-rata skor kelelahan mata juga berbeda secara signifikan berdasarkan intensitas pencahayaan (p=0,049) dan durasi kerja (p=0,007). Oleh sebab itu, untuk meminimalisir risiko kelelahan mata, perlu dilakukan perbaikan yang mencakup faktor-faktor risiko tersebut.

The eyes are the most dominant human sensory organ in daily activities. Approximately, 90% of everyday tasks rely on the visual system; therefore, impaired vision can affect various functional domains. Eye fatigue is one of the most common visual complaints among workers and can occur in various types of jobs, including fabrication work, which heavily depends on visual concentration. This study aims to analyze the factors associated with eye fatigue among fabrication workers at PT XYZ in 2025. A quantitative research design with a cross-sectional approach was employed, involving 76 fabrication workers. The variables examined included eye fatigue, lighting intensity in the workplace, refractive errors, age, years of service, working hours, job type, and the use of personal protective equipment (PPE). Lighting intensity was measured using a lux meter, eye fatigue was assessed using the Visual Fatigue Questionnaire, and other variables were measured through a self-developed questionnaire. Data were analyzed using univariate and bivariate methods, specifically chi-square and Mann-Whitney tests. The results showed that 67.1% of workers experienced eye fatigue. The three most commonly reported symptoms were tired eyes (65.8%), blurred vision (56.6%), and eye irritation (47.4%). Significant associations were found between eye fatigue and refractive errors (p=0.006), age (p=0.034), and years of service (p=0.004). Significant differences in average eye fatigue scores were also observed based on lighting intensity (p=0.049) and working hours (p=0.007). Therefore, to minimize the risk of eye fatigue, improvements targeting these risk factors are necessary."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Rakhshanda Putri
"Bising merupakan salah satu bahaya yang memajan pekerja di aktivitas pekerjaan. Salah satu dampak dari pajanan bising yang melebihi standar (> 85 dBA) di tempat kerja adalah dampak yang tidak berhubungan dengan fungsi pendengaran (non-auditori). Tiga sub-gangguan non-auditori, seperti gangguan fisiologi, psikologi, dan komunikasi berpengaruh terhadap kinerja dan ketidaknyamanan pekerja dalam bekerja. Berbeda dengan gangguan auditori, gangguan non-auditori dapat diobservasi meskipun tingkat bising di area kerja berada di bawah 85 dBA. Batas pajanan bising di dalam ruangan adalah 55 hingga 65 dBA menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016. PT X sebagai perusahaan manufaktur yang bergerak di sektor agroindustri berisiko terpajan bising, termasuk pekerja di ruang kendali. Hasil pengukuran bising di ruang kendali Pabrik NPK Granulasi dan Phonska PT X berada pada rentang 58,8 hingga 71,5 dBA. Tingkat bising tersebut berisiko menimbulkan gangguan non-auditori pada pekerja di ruangan, yakni operator. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui gangguan non-auditori dan faktor yang mempengaruhinya pada operator di ruang kendali. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional pada 66 operator yang bekerja di ruang kendali Pabrik NPK Granulasi dan Phonska PT X pada bulan April hingga Mei 2025. Variabel dependen dan independen yang diteliti adalah gangguan non-auditori, faktor tingkat pajanan bising (tingkat bising dan durasi pajanan), faktor individu (usia, masa kerja, perilaku merokok, dan riwayat penyakit), serta faktor perilaku (penggunaan APT dan pajanan bising di luar pekerjaan). Hasil penelitian menunjukkan 92,4% responden mengalami gangguan non-auditori dengan rincian 45,5% mengalami gangguan fisiologi, 86,4% psikologi, dan 83,3% komunikasi. Hasil analisis dengan metode Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis memperlihatkan perbedaan yang signifikan terhadap skor gangguan non-auditori berdasarkan kelompok masa kerja (p = 0,047) dan riwayat penyakit (p = 0,009); skor gangguan fisiologi berdasarkan kelompok usia (p = 0,031), masa kerja (p =  0,012), dan riwayat penyakit (p = 0,014); skor gangguan psikologi berdasarkan kelompok masa kerja (p = 0,024), riwayat penyakit (p = 0,021), dan pajanan bising di luar aktivitas pekerjaan (p = 0,047); serta skor gangguan komunikasi berdasarkan kelompok riwayat penyakit (p = 0,011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana gangguan non-auditori tetap dapat dialami oleh responden meski bising di bawah 85 dBA. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian, seperti memastikan tingkat pajanan bising di ruang kendali memenuhi persyaratan perundangan dan menambah bahan peredam bising di dalam desain ruang kendali.

Noise is recognized as one of the occupational hazards to which workers are frequently exposed. When noise exposure goes above the standard limit (>85 dBA), it can lead to effects that are not related to hearing, known as non-auditory effects. These effects are usually divided into three types: physiological, psychological, and communication-related. Non-auditory effects can impair work performance and contribute to discomfort in the workplace. Unlike auditory effects, non-auditory effects can be observed even when the noise level in the work area is below the health threshold. According to Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016, the indoor noise exposure limit ranges from 55 to 65 dBA. PT X is a manufacturing company in the agroindustry sector which is at risk of noise exposure. Its workers, including those in the control rooms, are potentially exposed to indoor noise. The noise levels in the control room of the NPK Granulation and Phonska Plant at PT X are in the range from 58,8 to 71,5 dBA. Control room operators may be at risk of non-auditory effects due to indoor noise exposure that exceeds the standard. Therefore, this study aimed to examine the non-auditory effects, noise exposure levels, individual factors, and behavioral factors among control room operators at the NPK Granulation and Phonska Plant of PT X in 2025. This study was conducted using a cross-sectional method on 66 operators working in the control room of NPK Granulation and Phonska Plant at PT X from April to May 2025. Data collection was conducted from April to May 2025. The dependent and independent variables studied were non-auditory effects, noise-exposure levels (noise intensity and duration), individual factors (age, length of employment, smoking habits, medical history), and behavioral factors (use of HPD and noise exposure outside work). The results showed 92,4% of respodents experienced non-auditory effects, with 45,5% reporting physiological effects, 86,4% psychological effects, and 83,3% communication effects. The Mann-Whitney and Kruskal-Wallis tests showed significant differences in non-auditory effect scores based on length of employment (p = 0,047) and medical history (p = 0,009); in physiology effect scores based on age (p = 0,031), length of employment (p =  0,012), and medical history (p = 0,014); in psychological effect scores based on length of employment (p = 0,024), medical history (p = 0,021), and noise exposure outside of work (p = 0,047); in communication effect scores based on medical history (p = 0,011). Therefore, it is necessary to implement control measures, such as ensuring that the level of noise exposure in the control room within the regulatory limits and incorporating both sound-absorbing as well as sound-insulating materials into the control room design. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library