Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Samosir, Michael Bonardo Josua
Abstrak :
Data pribadi adalah konsep yang berasal dari kata ‘privasi’ dan kata ‘data’. Data pribadi berasal dari konsep tersebut karena adanya kemungkinan untuk mengidentifikasi seorang individu atau beberapa individu dengan beberapa data yang sudah didapatkan atau melalui riset mengenai orang tertentu yang dapat diidentifikasi nanti dengan hasil riset tersebut. Walaupun semua orang mempunyai definisi mereka sendiri tentang bagaimana konsep ‘privasi’ berlaku, kemampuan identifikasi dari data pribadi tersebut adalah alasan mengapa hukum Perlindungan Data Pribadi direncanakan dan disahkan. Namun, radius hukum Perlindungan Data Pribadi terbatas karena hukum tersebut mempunyai prinsip “Cross Border Data Transfer”, sebuah pantulan dari prinsip hukum “ekstrateritorial” yang berlaku kepada data juga. Keterbatasan hukum tersebut dapat juga dilihat dari bagaimana hukum tersebut mengenal subjek hukum yang mengerucut kepada subjek yang mengenal nilai data pribadi. Yaitu individu yang mampu secara hukum, badan publik yang berada di Indonesia, dan organisasi international yang beroperasi menggunakan data subjek hukum Indonesia. Bagaimanapun juga, ada situs web yang tidak dibangun oleh warga Indonesia, bukan bagian dari suatu badan publik di Indonesia, ataupun bagian dari organisasi internasional. Situs web itu adalah “haveibeenpwned”. Situs web ini adalah domain online “terbuka” dimana siapapun terlepas dari apakah mereka adalah pemilik data pribadi yang sah atau tidak, dapat menyelidiki status keamanan data pribadi mereka. ......Personal data is a concept that was derived from the word ‘privacy’ and the data. Personal data is called as such because of the capacity to either identify a person or persons with the sets of data at hand or through thorough research on the person-of-interest to be identified later with the research result. Although everyone has their own interpretation on how the concept ‘privacy’ applies to their person, the identifying power personal data has on a person is the motivator as to why the Personal Data Protection Act was drafted and legalized. However, the scope of Personal Data Protection Act is limited since the regulation has a “Cross Border Data Transfer” principle, a reflection to the “Extraterritorial Principle” data has, as well. Its limits can be seen from how few legal subjects can be recognized by the Personal Data Protection Act. Legally capable persons, public bodies in Indonesia, and international organizations that works with Indonesian-bound data can be recognized by the Act. However, there is an online platform that is not developed by an Indonesian, a part of an Indonesian public body, nor is it sponsored by an international company, that has the technical capacity to process several types of personal data. That online platform is “haveibeenpwned”. This website is an “open” online domain where anyone, regardless of whether or not they are the legitimate owners of personal data, can investigate the security status of their personal data.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azka Raihan Baladika
Abstrak :
Pedulilindungi sebagai aplikasi untuk membantu menghentikan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dikabarkan mengalami kebocoran data pada sekitar pertengahan hingga akhir tahun 2021. Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi, turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terganggunnya ketertiban umum, dsb, sehingga berpotensi menjadi isu keamanan nasional. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berupa tinjauan atas keamanan penyelenggaraan sistem elektronik di Indonesia, kewajiban hukum Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Pedulilindungi dalam menangani insiden siber, dan pertanggungjawaban para pihak PSE Pedulilindungi dalam merespon kebocoran data. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan bahan hukum utamanya fokus pada ketentuan yang terkait penyelenggaraan sistem elektronik seperti Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE), dsb. Adapun selain peraturan perundang-undangan, juga dipakai prinsip keamanan dalam Pasal 15 ayat (1) UU ITE, dan teori pertanggungjawaban administrasi negara untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa vendor (pembuat aplikasi) dan operator selaku PSE aplikasi Pedulilindungi tidak menjalankan salah satu kewajiban dalam ketentuan terkait. Apabila dilihat dari pertanggungjawaban administrasi negara, maka organ/badan yang bertanggung jawab atas insiden dalam kedua organisasi tersebut dapat dikenakan sanksi administratif. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan sistem elektronik agar setiap PSE dapat memaksimalkan pengamanan sistem informasi dan mematuhi hukum terkait untuk terhindar dari insiden. ......Pedulilindungi as an application to help stop the spread of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) is reported to have a data leak incident around mid to late 2021. This matter can cause economic losses, a decrease in public trust to the government, disruption of public order, etc., so that it has the potential to become a national security issue. The problems raised in this study are in the form of review of the implementation of electronic systems in view of security principle in Indonesia, the legal obligations of Electronic System Administrator (PSE) of the Pedulilindungi in handling cyber incidents, and the liability of PSE of the Pedulilindungi parties in responding to data leaks. This study uses a normative juridical method with the main legal material focusing on provisions related to the implementation of electronic systems such as Law No. 11 of 2008 regarding Electronic Information and Transactions as amended by Law No. 19 of 2016 (ITE Law), Government Regulation No. 71 of 2019 regarding Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE), etc. In addition to laws and regulations, the security principle in Article 15 paragraph (1) of the ITE Law, and the theory of state administrative liability are also used to answer the problems that have been raised. The result of this study concludes that the vendor (application maker) and operator that are part of Electronic System Administrator (PSE) of the Pedulilindungi application did not carry out one of the obligations in the relevant provisions. When viewed from state administrative liability, the organ/body responsible for the incident in both organizations can be subject to administrative sanctions. Therefore, in the implementation of electronic systems, each PSE should maximize their security on information system and comply with related laws to avoid incidents.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Zahra Afifah
Abstrak :
Mega-Konstelasi Satelit di Low Earth Orbit (MegaLEO) merupakan fenomena eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa baru yang didorong oleh kemajuan teknologi. Peluncuran MegaLEO berpotensi menghasilkan space debris yang mengancam lingkungan ruang angkasa. Karakteristik teknis MegaLEO membuat potensi timbulnya space debris yang berada di Orbit Bumi, terutama LEO, menjadi semakin tinggi. Berdasarkan hukum internasional, negara-negara memiliki kewajiban internasional untuk tidak mencemari lingkungan ruang angkasa. Mitigasi space debris merupakan hal penting yang dapat dilakukan untuk menjamin setiap negara bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan ruang angkasa dari harmful contamination. Beragam organisasi internasional telah mengeluarkan instrumen-instrumen pedoman mitigasi space debris seperti UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines dan IADC Space Debris Mitigation Guidelines dan telah diinkorporasikan di tingkat nasional oleh negara-negara, utamanya spacefaring nations. Penelitian ini bertujuan ini melihat bagaimana mitigasi space debris yang berpotensi dihasilkan oleh MegaLEO diatur dalam hukum internasional. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian tersebut adalah yuridis normatif atau doktrinal. Penelitian ini menemukan bahwa upaya mitigasi space debris yang ada saat ini belum cukup untuk menekan pertumbuhan space debris dan belum dapat secara efektif mengatasi masalah space debris yang disebabkan oleh MegaLEO. Hal ini didasari pada peningkatan keberadaan space debris di orbit bumi sejak MegaLEO diluncurkan. Dengan demikian, perlu dilakukannya pengkajian ulang atas guidelines mitigasi space debris yang dan perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait penerapan upaya penanggulangan space debris lainnya seperti upaya remediasi berupa Active Debris Removal. ......Mega-Constellation of Satellites in Low Earth Orbit (MegaLEO) is a new phenomenon of space exploration and utilization driven by technological advances. The launch of MegaLEO has the potential to produce space debris that threatens the space environment. The technical characteristics of MegaLEO make the potential creation of space debris in Earth orbit, especially LEO, even higher. Under international law, states have an international obligation not to pollute the space environment. Space debris mitigation is an important thing that can be done to ensure that every country is responsible for protecting the space environment from harmful contamination. Various international organizations have issued space debris mitigation guidance instruments such as the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines and IADC Space Debris Mitigation Guidelines and have been incorporated at the national level by countries, especially by spacefaring nations. The aim of this research is to look at how mitigation of space debris that could potentially be generated by MegaLEO is regulated in international law. The research method used to answer the research objectives is normative juridical or doctrinal. This research found that existing space debris mitigation efforts are not sufficient to suppress the growth of space debris and cannot effectively overcome the space debris problem caused by MegaLEO. This is based on the increase in the presence of space debris in Earth's orbit since MegaLEO was launched. Thus, it is necessary to review the existing space debris mitigation guidelines and further research needs to be carried out regarding the implementation of other space debris management efforts, such as remediation efforts in the form of Active Debris Removal.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Michael Eklesia
Abstrak :
Hanya dengan suatu bentuk organisasi publik antar negara dapat tercapai suatu sistem keamanan kolektif yang dapat melindungi masyarakat internasional dari bencana perang. Perserikatan Bangsa Bangsa merupakan organisasi internasional yang dirasa perlu dalam melaksanakan sistem keamanan kolektif untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dalam menjalankan tugas tersebut kemudian dibentuklah DK-PBB sebagai organ PBB yang secara khusus bertugas untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia. DK-PBB dalam hal memelihara perdamaian dan keamanan dunia dari ancaman, pelanggaran maupun agresi dapat memberikan sanksi terhadap suatu negara maupun terhadap aktor nonnegara. Pada praktiknya tidak sedikit negara melanggar ketentuanr esolusi sanksi yang diberikan oleh DK-PBB. Salah satu negara yang secara konsisten melanggar ketentuan Resolusi DK-PBB adalah Korea Utara. Korea Utara sudah diberikan sejumlah sebelas resolusi di mana tujuan diberikannya rezim sanksi tersebut untuk menghentikan praktik uji coba nuklir Korea Utara. Uji coba nuklir Korea Utara tersebut melanggar ketentuan yang terdapat di dalam NPT. Korea Utara sendiri awalnya merupakan negara pihak dalam NPT yang kemudian mengundurkan diri pada tahun 2003 diikuti dengan menyatakan kepemilikannya atas senjata nuklir dan dilaksanakannya uji coba senjata nuklir. Penelitian ini kemudian menilai bentuk implementasi dan kepatuhan terhadap resolusi sanksi yang diberikan oleh DK-PBB. Penelitian ini kemudian menyarankan tindakan yang dapat dilaksanakan agar sanksi yang diberikan oleh DK-PBB dapat terimplementasikan dan tujuan diberikannya sanksi dapat tercapai khususnya dalam kasus rezim sanksi DK-PBB atas uji coba nuklir Korea Utara. ......Only with a form of public organization between countries can a collective security system be achieved that can protect the international community from the disaster of war. The United Nations is an international organization that is deemed necessary in implementing a collective security system to maintain international peace and security. In carrying out this task, the UN Security Council was formed as a UN organ specifically tasked with maintaining world security and peace. The UN Security Council in terms of maintaining world peace and security from threats, violations and aggression can impose sanctions on a country as well as against non-state actors. In practice, not a few countries violate the provisions on the resolution of sanctions provided by the UN Security Council. One of the countries that consistently violates the provisions of the UNSC Resolution is North Korea. North Korea has been given a number of eleven resolutions in which the aim of the sanctions regime is to stop North Korea's nuclear test practices. The North Korean nuclear test violated the provisions contained in the NPT. North Korea itself was originally a party to the NPT which later withdrew in 2003 followed by declaring its ownership of nuclear weapons and carrying out nuclear weapons tests. This study then assesses the form of implementation and compliance with the sanctions resolution given by the UN Security Council. This study then suggests actions that can be taken so that the sanctions imposed by the UN Security Council can be implemented and the objectives of the sanctions can be achieved, especially in the case of the UN Security Council sanctions regime for North Korea's nuclear tests.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glenn Ludwig
Abstrak :
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence Deepfake, menimbulkan ancaman terhadap sistem peradilan pidana, khususnya dalam pembuktian. Kemampuan Deepfake memanipulasi gambar atau video dapat mengelabui kemampuan manusia untuk mengenali bentuk yang asli ataupun yang telah dimanipulasi. Meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengalami perubahan kedua pada tahun 2024, regulasi ini belum secara spesifik mengatur tentang Deepfake. Di lain sisi European Union telah membentuk regulasi terkait Artificial Intelligence dan pencegahan penyalahgunaan Deepfake dalam Artificial Intelligence Act. Penelitian ini menganalisis (1) perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan Deepfake di Indonesia menurut UU ITE, dan (2) ancaman penyalahgunaan Deepfake dalam proses pembuktian di sistem peradilan pidana Indonesia. Penelitian ini membandingkan UU ITE dan AIA untuk menemukan bentuk perlindungan yang efektif terhadap ancaman tersebut. Melalui penelitian doktrinal dan pendekatan kualitatif, ditemukan bahwa: Pertama, UU ITE memberikan perlindungan hukum secara represif terhadap penyalahgunaan Deepfake. Kedua, diperlukan perlindungan hukum preventif seperti yang diatur dalam AIA. Ketiga, ketidakjelasan definisi Deepfake menyebabkan ketidakpastian hukum sehingga manipulasi Deepfake masih dapat dianggap sebagai alat bukti elektronik yang sah menurut UU ITE. Keempat, ancaman penyalahgunaan Deepfake dalam pembuktian mencakup perlunya validasi otentisitas bukti digital dan penanganan tuduhan bukti palsu di pengadilan. ......The development of Artificial Intelligence Deepfake technology poses a threat to the criminal justice system, particularly in the area of evidence. Deepfake's ability to manipulate images or videos can deceive humans into believing altered content is genuine. Although the Electronic Information and Transactions Law (UU ITE) was amended for the second time in 2024, it does not specifically address Deepfake technology. In contrast, the European Union has established regulations on Artificial Intelligence and the prevention of Deepfake misuse in the Artificial Intelligence Act (AIA). This study analyzes (1) the legal protection against Deepfake misuse in Indonesia according to UU ITE, and (2) the threat of Deepfake misuse in the evidence process within the Indonesian criminal justice system. This study compares UU ITE and AIA to identify effective protective measures against these threats. Through doctrinal research and a qualitative approach, the findings are as follows: First, UU ITE provides repressive legal protection against Deepfake misuse. Second, preventive legal protection, as outlined in the AIA, is necessary. Third, the lack of a clear definition of Deepfake results in legal uncertainty, allowing Deepfake manipulations to be considered valid electronic evidence under UU ITE. Fourth, the threat of Deepfake misuse in evidence includes the need for authenticity validation of digital evidence and handling allegations of falsified digital evidence in court.
Depok: 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fajar
Abstrak :
Aplikasi drone di dalam konflik bersenjata merupakan hasil dari perkembangan teknologi militer modern, sekaligus perwujudan dari keinginan untuk menghindari korban jiwa kombatan maupun penduduk sipil. Secara fungsinya, drone tampil sebagai platform pengintaian dan platform serang. Legalitas dari penggunaan drone di medan pertempuran tersebut dapat ditelaah menggunakan Teori Perang Adil dan prinsip-prinsip dalam hukum humaniter internasional, baik dari keputusan untuk menggunakan drone sebagai alat militer maupun dari unsur-unsur yang ada pada diri drone. Aspek hukum drone juga dibahas dari sudut pandang praktik negara Amerika Serikat sebagai pihak utama yang mengembangkan teknologi drone militer dan mengoperasikan drone di dalam konflik bersenjata modern. Salah satu aplikasi drone di medan pertempuran dilakukan dalam bentuk operasi targeted killing, dimana drone secara aktif dioperasikan untuk memburu dan membunuh individu tertentu di medan pertempuran. Setidaknya sejak tahun 2002 Amerika Serikat, baik melalui angkatan bersenjata maupun lembaga intelijen CIA, telah mempraktikkan targeted killing dalam operasi kontraterorisme dalam kerangka "Perang Melawan Teror" di berbagai wilayah negara asing di Timur Tengah terhadap sejumlah aktor bukan negara seperti al-Qaeda, Taliban, dan ISIS. Israel juga diketahui telah mempraktikkan targeted killing dalam konteks kontraterorisme di wilayah Palestina terhadap teroris Hamas, utamanya di wilayah Jalur Gaza. Kedua negara menghadapi sejumlah persoalan hukum dalam menangani penggunaan drone dalam operasi targeted killing, baik hukum internasional maupun hukum domestik masing-masing.
The application of drones in armed conflict are the result of the advancement of modern military technology, as well as manifestation of the need to avoid casualties of both combatants as well as civilians on the battlefield. Function-wise, drones are used as intelligence, surveillance, and reconnaissance platform and as a more offensive-oriented, weapon platform. The lawfulness of drones on the battlefield can be studied through Just War Theory and the principles of international humanitarian law. State practice also play a role in deciding their lawfulness, for American practice in developing military drone technology and applying them in the battlefield. One of their application involved targeted killing, in which particular individuals were to be hunted down and killed. At least since 2002, American armed forces as well as the Central Intelligence Agency engaged in targeted killing operation against non-state actors in various states in the Middle East, i.e. al-Qaeda, Taliban, and ISIS. Meanwhile, Israeli forces are also known to use targeted killing as counterterrorism method against Hamas and other Palestinian terrorists in Palestinian territory. Both states faced legal issues regarding the decision to employ drone in targeted killing operation, both in international law as well as their respective domestic law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Siliwangi Surtiwa
Abstrak :

Fungsi advisory adalah salah satu fungsi yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional sebagai organ utama PBB. Terdapat perkembangan untuk membahas pertanyaan hukum yang terkait sengketa berjalan melalui fungsi advisory meski memiliki karakteristik contentious. Perbedaan antara dua fungsi ini adalah signfikansi dari prinsip state consent sebagai landasan. Terdapat dua pandangan bertentangan terkait kedudukan prinsip state consent dalam advisory opinion terkait sengketa berjalan. Pandangan pro state consent menekankan pada kaitannya dengan prinsip international obligation, compliance, dan prinsip yudisial dengan karakteristik serupa yakni res judicata dan lis pendens. Di sisi lain, pandangan yang mengesampingkan state consent menegaskan pada urgensi pada isu tertentu yang berkaitan dengan tujuan PBB sebagai organisasi, salah satunya mengenai isu dekolonialisasi dan pendapat Mahkamah Internasional sebelumnya bahwa state consent tidak dibutuhkan dalam yurisdiksi advisory. Setelah melakukan penelitian dengan metode studi pustaka, dapat disimpulkan bahwa pembahasan suatu sengketa berjalan dalam advisory opinion harus dilihat secara kasus per kasus, dari perumusan pertanyaan hukum yang diajukan, ada tidaknya isu terkait perdamaian dan keamanan dunia, serta keanggotaan dari negara pihak dalam PBB, untuk dapat menentukan dicederainya prinsip state consent. Dalam Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, terdapat isu dekolonialisasi yang belum terselesaikan karena terdapat pemisahan paksa antara Kepulauan Chagos dengan Mauritius. Selain itu, Mauritius dan Inggris Raya merupakan anggota PBB, yang mana artinya telah memberikan state consent fondasional terhadap yurisdiksi Mahkamah Internasional. Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya ketentuan lebih mendetail bagi pelaksanaan fungsi advisory opinion, terutama dalam hal pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan sengketa berjalan.

 


The advisory function is one of the functions upheld by the International Court of Justice (ICJ) as one of the principle organs of the United Nations (UN). There is a trend to discuss legal questions related to pending disputes through the advisory function despite having contentious characteristics, where the two functions share different significance of the principle of state consent. The pro state consent view emphasizes its relation to the principles of international obligation, compliance, and judicial principles such as res judicata and lis pendens. The opposing view refers to the mandate of UN to maintain international peace and a previous ICJ opinion which points out that state consent is not required in the advisory jurisdiction. It can be concluded that advisory opinion on pending disputes must be seen on a case-by-case basis; from the formulation of the questions, its relation to international peace, as well as the state membership to the UN, to determine the role of state consent. In the Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, there is an unresolved issue of decolonialism due to the forced separation between the Chagos Islands and Mauritius. In addition, Mauritius and the United Kingdom are members of the UN, which means they have given their foundational state consent to the jurisdiction of the ICJ. The recommendation that can be given is the need for more detailed provisions for the implementation of the advisory opinion function, especially related to a pending dispute.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yodha Adipradana
Abstrak :
Resolusi Uniting for Peace diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1950. Tujuannya adalah untuk memungkinkan Majelis Umum menanggapi suatu permasalahan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia apabila Dewan Keamanan sedang buntu karena penggunaan hak veto oleh salah satu negara anggota tetapnya. Skripsi ini melihat bagaimana penggunaan Resolusi Uniting for Peace oleh Majelis Umum. Hal tersebut dilakukan dengan melihat kepada sejarah resolusi tersebut dan juga perkembangan penggunaan Resolusi Uniting for Peace. Pembahasan dalam skripsi ini juga akan melihat kepada praktik penggunaan Resolusi Uniting for Peace dalam dua kasus yaitu Krisis Suez pada tahun 1956 dan konflik Israel-Palestina dalam emergency special session ke-7. Untuk melaksanakan pembahasan tersebut, penelitian yang dilakukan akan menggunakan tipe penelitian normatif, yaitu dengan melihat kepada perihal seperti asas-asas hukum dan sejarah hukum. Analisis yang dilakukan akan melihat penggunaan Resolusi Uniting for Peace dalam konteks Piagam PBB dan sejarah PBB. Dari penelitian dan pembahasan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa Resolusi Uniting for Peace diadopsi sebagai suatu upaya untuk memperkuat sistem collective security di Piagam PBB dan membantu PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keamannan internasional. Tetapi perkembangannya menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin sudah terlupakan, hal ini bisa terlihat dalam penggunaannya pada emergency special session ke-7.
The Uniting for Peace Resolution was adopted by the United Nations General Assembly in 1950. Its purpose was to allow the General Assembly to respond to a problem threatening international peace and security if the Security Council was frozen in place because of the use of the veto by a permanent member. This thesis looks into how the Uniting for Peace Resolution was used by the General Assembly. This is done by reviewing the history of the resolution and the development of its usage. This thesis also looks at how the Uniting for Peace Resolution is used in the Suez Crises of 1956 and in the Israeli-Palestinian Conflict, specifically during the 7th emergency special session. To conduct this discussion, the research will be carried out using the normative method where I will discuss it based on points such as the principles of law and the history of law. This analysis will be conducted by viewing the Uniting for Peace Resolution in the context of the UN Charter and the History of the UN. From that research and discussion, I have arrived at the conclusion that the Uniting for Peace Resolution was adopted as a means to strengthen the collective security system of the UN Charter and to aide the UN in realizing international peace and security. But its development shows me that that purpose might have been forgotten, this can be seen in its usage during the 7th emergency special session.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Fila Rais
Abstrak :
Salah satu bentuk kejahatan seksual yang diatur Hukum Internasional adalah kejahatan penghamilan paksa. Kejahatan penghamilan paksa merupakan kejahatan dimana seorang perempuan dikurung dengan cara melanggar hukum dalam suatu tempat tertentu sehingga dirinya dapat dibuat hamil dengan tujuan bahwa tindakan tersebut dilakukan agar komposisi suatu etnis tertentu dapat terpengaruh atau dilakukan untuk melakukan pelanggaran berat yang diantaranya merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana pengaturan dalam perjanjian internasional dilakukan untuk mengatur mengenai kejahatan penghamilan paksa dalam konflik bersenjata, diantaranya dalam konvensi internasional dan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain itu, penelitian ini juga membahas penerapan peradilan internasional terhadap bagaimana kejahatan penghamilan paksa diadili melalui kasus-kasus peradilan internasional yang telah terjadi sebelumnya. Penelitian dilakukan melalui metode yuridis normatif yang menitikberatkan penelitian pada studi Pustaka terkait kejahatan penghamilan paksa dalam hukum internasional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan perjanjian internasional mengenai kejahatan penghamilan paksa baru diatur dalam Rome Statute of the International Criminal Court, sehingga kasus-kasus kejahatan penghamilan paksa yang terjadi sebelum pengaturan ini ada menggunakan ketentuan-ketentuan kejahatan lainnya pada saat diadili, diantaranya dalam konflik yang terjadi di Bekas Yugoslavia dan Rwanda.
One of the crimes of sexual violence enacted in international law is the crime of forced pregnancy. Crime of forced pregnancy is an act of unlawful confinement of women who are forcibly made pregnant, with the intention of affecting the composition of an ethnic group or to carry out grave violations of the international law. This research is conducted to identify how treaties, such as international conventions and United Nations Security Council Resolutions, stipulate laws regarding crime of forced pregnancy. Moreover, this research also discusses the implementation of international tribunals on resolving cases regarding crime of forced pregnancy, which have been concluded before. This research uses normative method, which focuses on literature study. This research concludes that Rome Statute of the International Criminal Court becomes the first treaty which stipulates crime of forced pregnancy. However, prior to the treaty, crimes of forced pregnancy which occurred during several armed conflicts, such as the ones in the Former Yugoslavia and Rwanda, were sentenced using other crimes enacted on the existing treaties.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davindra Fadhlurrahman Widardjo
Abstrak :

Dalam hubungan antarnegara sebagai sebuah komunitas internasional yang hidup dalam perdamaian, negara-negara diwajibkan untuk menahan diri dari ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata. Tanggung jawab utama atas pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional diberikan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Dewan Keamanan. Dalam menjalankan mandat tersebut, Dewan Keamanan memiliki kewenangan yang spesifik untuk mengambil tindakan kolektif yang efektif, sebagaimana dipertegas dalam Bab VII Piagam PBB, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata dari negara-negara anggota. Dewan Keamanan telah mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata pada berbagai kasus, seperti pada Perang Teluk, operasi negara-negara di Afrika, dan intervensi militer di Mali terhadap teroris. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk menguraikan kewenangan Dewan Keamanan untuk mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara-negara melalui resolusi yang diadopsi, kemudian mengamati praktik Dewan Keamanan pada kasus-kasus terdahulu, dan pada akhirnya menganalisis penggunaan kekuatan bersenjata pada kasus perang melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak dan Suriah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 2249 (2015). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan tidak mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata terhadap ISIS di Irak dan Suriah, namun memberikan perkembangan mengenai teori hak bela diri terhadap aktor non-negara apabila negara teritorial tidak mampu atau tidak mau mengatasi ancaman tersebut. Penelitian ini menyarankan bahwa hendaknya otorisasi Dewan Keamanan tidak serta merta dianggap sebagai cap persetujuan atas operasi militer di negara lain dimana negosiasi dan pembahasan yang panjang akan selalu diperlukan, dan respon militer atas dasar bela diri tetap harus sesuai dengan pembatasan dalam hukum internasional.


In the relationship between states as an international community living in peace, states must refrain from the threat or use of force. The primary responsibility for the maintenance of international peace and security is conferred by the members of the United Nations (UN) on the Security Council. In carrying out its mandate, the Security Council has specific powers to take effective collective measures, emphasized in Chapter VII of the UN Charter, including the use of force of member states. The Security Council has authorized the use of force in many cases, such as in the Gulf War, the state operations in Africa, and the military intervention in Mali against terrorists. By using juridicial-normative method and secondary data, this study attempts to elaborate the power of the Security Council to authorize the use of force by states through adopted resolutions, then examines the practice of the Security Council in the previous cases, and eventually analyses the use of force in the case of war against Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) in Iraq and Syria based on Security Council Resolution 2249 (2015). This study concludes that the Security Council did not authorize the use of force against ISIS in Iraq and Syria, but it provides a development on self-defence theory against non-state actors if the territorial state is unable or unwilling to suppress the threat. This study advises that the Security Council authorization should not be considered as approval stamp for military operation in other state, where long negotiations and discussions will always be needed, and that military response as self-defence must be in accordance with the limitations in international law.

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>