Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Etty Utju R. Koesoemahatmadja
"ABSTRAK
Disertasi ini mengemukakan perihal penyalahgunaan kekuasaan (ekonomi dan politik) oleh korporasi, yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korban tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut antara lain, negara, pemerintah, masyarakat, dan warga negara. Pihak-pihak ini merupakan suatu kelompok korban dari tindak pidana korporasi. Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok korban dilatarbelakangi oleh masih kurangnya perlindungan hukum dari pihak pemerintah dalam hal penegakan hukum pada proses peradilan pidana.
Adanya perlindungan hukum tidak terlepas pada peranan penegak hukum, yang berfungsi sebagai alat dalam menegakkan hukum untuk mencapai ketertiban dan keadilan pada proses peradilan dan untuk melindungi korban individual maupun kelompok akibat tindak pidana korporasi. Korban tindak pidana korporasi membutuhkan pemulihan kembali bempa kompensasi maupun hukuman kepada pelaku tindak pidana sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban dari pelaku yang melakukan tindak pidana.
Bentuk atau jenis tanggung jawab pelaku tindak pidana (korporasi) dalam proses peradilan pidana (bqmpa putusan pengadilan), masih berorientasi pada kepentingan atau hak individu dad pelaku tindak pidana. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korporasi dalam proses peradilan di Indonesia, khususnya pada putusan sidang pengadilan berlandaskan konsep ? asas retributif? yaitu suatu asas yang menitikberatkan kepada kepentingan dan melindungi hak-hak pelaku tindak pidana. Seyogyanya putusan pengadilan dalam menanggulangi masalah tindak pidana korporasi berdasarkan pada konsep ?rasa keadilan masyarakat" yang berasaskan ?keadilan restoratif" tanpa meninggalkan asas ?keadilan retributif? bagi pelaku tindak pidana.

Abstract
This desertation issues the misuse of power (economicalty and politicalty) by corporation, which violates the social and economic rights of the people. Crime victims caused by those corporation are the state, government, society, and citizens itself. The problem faced by these victims are back grounded by the lack of law protection by the government in law enforcement for judicial crime process.
The existence of law protection cannot be separated from the role of law enforcers, functioning as a tool uphold the law to achieve justice in the judicial process and to protect individual and group victims as the result of corporate crime. Corporate crime victims need some medicine for their trauma in the form compensation, and punishment of the party which committed the crime.
Forms and types of responsibility of the party which committed the (corporate) crime in the judicial crime process (in the form of court devision) still circles on the interest and individual rights of the party which commited the crime. This shows that the law enforcement againts corporate crimes in the judicial process in indonesia, especially on the court decision, is based on the retributive concept, a concept which concentrates on protecting the best interest and the rights of the party which committed the crime.
The court decision in handling a case of corporate crime should be based on the people?s justice concept whith a touch of restorative justice concept without leaving behind the retributive justice concept for the party. Which committed the crime.
ABSTRAK
"
2003
D1134
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
"Kesalahan dan Penanggungiawaban Pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktek hukum belum terdapat kesamaan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain, kerapkali terdapat perbedaan dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Hal ini dapat saja bersumber dari adanya kecenderungan melihat penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana semata-mata sebagai bagian dari tugas hakim daiam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kecederungan demikian, juga terlihat dari minimnya ketentuan peraturan pemndang-undangan pidana mengenai hal itu. Undang-undang pidana umumnya hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana beserta ancaman pidana bagi pembuatnya. Pada sisi tain, hai ini membuka kemungkinan para akademisi memberi kontribusi teoretis mengenai hal ini.
Pada tahun 1955 Prof. Moejatno, SH mengemukakan pandangannya mengenai tindak pidana dan pertanggungiawaban pidana. Dalam lirteratur teori ini dikena! dengan ajaran dualistis, yang dalam disertasi ini disebut dengan Teori Pemisanan Undak Pidana dan Peftanggungjawaban Pidana.
Teori ini menempatkan masalah pertanggungjawaban pidana terpisah dari masalah tindak pidana, sehingga dapat dipandang sebagai koreksi atas ajaran monistis yang memandang kesalahan semata-mata sebagai unsur subyektif tindak pidana. Selain itu, teori ini telah menjadi fundamen dasar penyusunan Rancangan KUHP, sehingga sangat bemilai strategis dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan teori ini umumnya tidak diterapkan, sekalipun harus diakui terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dipandang sejalan dengan teori tersebut. Hal ini menyebabkan elaborasi Iebih iauh tentang pola penentuan kesalahan dan penanggung-jawaban pidana berdasar pada teori dualistis, sangat diperlukan guna menunjang praktek peradilan ketika KUHP baru diberlakukan.
Berdasarkan teori ini kesalahan dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam praktek. Misalnya, atas dasar apa penentuan kesalahan terdakwa, jika Penuntut Umum hanya berkewajiban membuktikan rumusan tindak pidana yang didalamnya tidak memuat unsur kesalahan. Apabila tidak mendapat pengaturan lebih Ianjut, balk dalam hukum pidana materil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), maka penentuan kesaiahan dan pertanggungjawaban pidana cenderung ke arah feit materiel. Hal ini terakhlr ini merupakan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang telah ditinggalkan sejak Water en Melk Arrest Hoge-Raad 1916. Dengan kata lain, hal ini akan membuat pertanggungjawaban pidana cenderung dilakukan secara strict liability, yang oleh sementara kalangan dipandang sebagai pertanggungjawaban tanpa -kesalahan (liabiiity without fault). Dalam disertasi ini dikemukakan konsepsi tentang 'penentuan kesalahan dan pertangungjawaban pidana berdasar teori dualistis, tgnpa terjebak pada kecendengan menerapkannya sebagai fait material atau strict Bability.
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungiawaban Pidana yang menjadi fundamen penyusunan Rancangan' KUHP belum sepenuhnya terimplementasi dalam berbagai ketenluanhya. Sejauh mengenal perumusan tindak pidana hal ini hanya mempengaruhi dikeluarkannya kesengajaan dari rumusan tindak pidana. Sementara kealpaan tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. Hal ini pun akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Tldak terbuktinya kealpaan yang menjadi bagian rumusan tindak pidana menyebabkan terdakwa dibabaskan. Sebaliknya, jika dipandang tidak terdapat kesengajaan ketika melakukan tindak pidana, maka terdakwa akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baik kesengajaan maupun kealpaan keduanya bentuk-bentuk kesalahan, sehingga kurang tepat jika tidak terdapatnya hal ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Disertasi ini mengemukakan konsepsi yang clengan itu perbedaan sebagaimana tersebut di atas dapat dihindari.

Fault and criminal liability still leaving some problems. For example, in practical law there is no similarity pattern of deciding the criminal fault and criminal liability yet. We often find that a verdict of a court is different with another court even they handled the same cases, it is usually often causes by the diherences in determined the defendant fault and criminal liability. lt could be caused by the inclination of some opinions said that the determination of the fault and criminal liability is part of the judges job in diagnose, judging and deciding a case. We can also say that the inclination caused bythe minimum regulations of the crime legislations. In generai the criminal legislations are only deciding the crime that is Stated as a crimutal act and the punishment for the doer. ln the other hand it opens the possibility for the academician to contribute their theoretical knowledge for this case.
In 1955, Prof. Moejatno, SH made an opinion about criminal act and criminal liability. ln a literature, this theory is known as the dualistic theory and it is called as the separation theory of criminal act and criminal liabihty in this dissertation. This theory placed the criminal liability problem (mens rea) separate from the criminal act problem (actus reus), so that we can see it as the correction of the monistrc theory that say that fault is part of the physiological element of criminal act. Beside that, this theory has become the basic concept of the Bill of Criminal Code for it would become strategic value in the Indonesian law development. However; result of the research this dissertation shows that this theory isn't always used, even though there are some court decisions used it. lt causes a further elaboration ofthe pattern of criminal act and criminal liability based on the dualistic theory that is very important to support the practical law when it is issued to the public.
Based on this theory, fault is not a part of criminal act. And it can causes problems in the law practice. For example, there will be a question about the basic determination of defendants fault, if the General Prosecutor only has an obligation to proof an criminal act concept that isn't consist of fault. lf there isn't any further regulation, neither in the substantive criminal law (Criminal Code) or procedure criminal law (Criminal Code Procedure), then the determination between fault and criminal liability will disposed to the feit materiel doctrine. And this is the pattern of the determination of fault and criminal liability that had been left since Water en Melk Arrest Hoge Read 1916. ln the other word, it can be said that the pattern can make the criminal liability disposed done by strict liability. The last one by some authors as a pattem the determination of criminal liability without fault. This dissertation tells a conception ofthe determination of fault and criminal liability based on dualistic theory without trapped on the leaning on using it as feit materiel doctrine or strict liability.
The separation theory of criminal act and criminal liability that is used as the basic concept Bill of Criminal Code isn't fully implemented on some stipulations. As far as we know, this theoiyis only affected to the issued of the intention out a part of criminal act concept. In the mean time, faults still become a part ofthe criminal-ect concept, and it is become a- problem in the real practice. The unproven of intention that is a part of criminal act will release (ontslaag van -alle rechtvenrolging) 'the defendant. On the other hand, if a defendant seems to be had negligence in done the cnrninal act the law will let him free (vrijspraak). Both of intention and negligence are faults, so that it wouldn?t be appropriate if the unexcitable of them make different consequences. This dissertation tells about a conception that will show us if we can avoid the differences mentioned.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudzakkir
"Korban kejahatan, setelah menjadi korban kejahatan, harus menghadapi suatu problem hukum yang krusiai yang menyebabkan dirinya mengalami viktlmlsasi sekunder (secondary victimization) karena adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. Sebagal pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana yang sedang diperiksa, korban kejahatan tidak dillbatkan dalam proses peradilan pidana (atau out sidet), keouali hanya sebagai saksi, dan semua reaksi terhadap pelanggar dimonopoli oleh negara (polisi dan jaksa). Hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan pelanggar hukum pidana dan negara (polisi dan jaksa) di lain pihak tidak diatur secara jelas. Masalah posisi hukum korban ini menjadi problem hukum yang mendasar karena menyangkut keberadaannya dalam hukum pidana secara menyeluruh.
Disertasi ini mengkaji tentang posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana yang diatur dalam hukum positif (ius constitum) dan pengaturannya di masa datang (ius constituendum) melalui kajian peraturan perundang-undangan, yurisprudensi MARI, dan telaah pustaka serta dilengkapi dengan kajian hukum pidana Belanda sebagai contoh atau bahan analisis pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
Nilai keadilan yang menjadi pangkal tolak pengaturan korban kejahatan dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah keadilan retributif (retributive Justice) dan keadilan restoratif (restorative Justice). Kedua konsep Ini memiliki sejumlah perbedaan dalam memahami konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana dan posisi hukum korban. Sebagai elemen fiiosofis dari suatu sistem hukum (pidana) perbedaan ini adalah mendasar — atau perbedaan paradigmatik — yang mempengaruhi elemen substantif lainnya. Perkembangan pemikiran hukum pidana hingga sekarang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari retributive Justice kepada restorative Justice. Pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana melalui pembaruan hukum pidana Tahun 1981 (UU. No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP) secara umum telah mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukum sebagai landasan filosofis peraturan hukum dari undang-undang sebelumnya (HIR), tetapi sejauh mengenai pengaturan korban kejahatan perubahan tersebut tidak sampai mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukumnya. Masuknya 'hak-hak korban kejahatan' dalam KUHAP tidak diperkuat oleh landasan filosofis dan teori hukum yang mengakibatkan korban kejahatan tetap tidak diakui eksistensi dan posisi hukumnya sebagai korban dari pelanggaran hukum pidana yang menjadi baglan dari hukum pidana. Kelemahan aspek pengaturan korban ini berlanjut dalam praktek hukum yakni tidak dikembangkannya metode penemuan hukum yang inovatif untuk mendukung keadilan bagi korban kejahatan. Yurisprudensi MARI cenderung mempersempit (restriksi) dalam melakukan penafsiran hukum tentang penegakan hak-hak korban. Sesuai dengan dasar falsafah Pancasila dan konsep hukum pengayoman, kebijakan pembaruan hukum pidana yang beroiientasi kepada korban kejahatan (victim oriented) yang bertitik-tolak pada keadilan restoratif (restorative justice) diperlukan sebagai kebljakan penyeimbang (balance) pembaruan hukum sebelumnya yang berorlentasi kepada peianggar (offender oriented), atau sebagai kebijakan yang parity bukan priority, dikuatkan oleh kenyataan praktek hukum sehari-hari (aspek empirik), perkembangan teori hukum pidana (aspek teoretik), ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pokok serta kecenderungan masyarakat Internasional atau PBB (aspek yuridik/normatif). Keadilan restoratif (restorative Justice) dijadlkan kerangka dasar pengaturan korban kejahatan menuntut adanya perubahan pemahaman mengenal beberapa konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yaitu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah utamanya melanggar hak korban kejahatan, di samping melanggar kepentingan masyarakat dan negara; pengakuan eksistensi dan posisi hukum korban kejahatan; sistem peradilan pidana sebagai sistem penyelesalan konflik; dan restitusi dan kompensasi sebagai baglan dari hukum pidana dan pemidanaan. Strategi kebijakan terhadap korban kejahatan dilakukan; pertama, memberi perspektif baru (restorative Justice) dalam penyelenggaraan peradilan pidana tanpa campur tangan legislatif dan, kedua, kemudian mengubah peraturan hukum. Dalam penataan sistem peradllan pidana, pertama, mendampingkan penyelesaian perkara pidana menurut konsep restorative Justice dengan sistem peradilan yang berlaku sekarang sebagai sarana penyaring masuknya perkara ke pengadilan dan mencangkokkan restorative Justice ke dalam sistem peradllan pidana sekarang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1783
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kolopaking, Anita D.A.
"Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang setiap orang ingin dimllikinya. Untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa diperlukan pengaturan kepemilikan hak atas tanah bagi bangsa Indonesia, dengan mempertimbangkan juga peruntukan bagi WNA dan Badan Hukum. Oleh karena itu Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan wajib mengatur kekayaan nasional untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan mendorong investasi. Sejalan dengan program pembangunan nasional dipedukan suatu sistem pertanahan nasional yang dapat memberikan sarana dalam mengatur sumber daya alam tersebut.
Metodologi penelitian adalah deskriptif analitis dengan metode yuridis normatif, yang ditengkapi dengan studi historis dan komparatif, meliputi kajian secara akademik peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem hukum yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah bagi WNA dan Badan Hukum. Peneiitian ini bertujuan menemukan kepastian terhadap kepemilikan hak atas tanah yang merumuskan konsep kepemilikan hak atas tanah bagi WNA dan Badan Hukum yang sejalan dengan sistem pertanahan Indonesia dalam rangka pembangunan hukum.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam kepemilikan hak atas tanah bagi WNA dan Badan Hukum, sehingga menlmbulkan terjadinya penyelundupan hukum dalam memperoleh kepemilikan hak atas tanah dengan memakali nama WNI ataupun Direksi pada Badan Hukum melalui perjanjian Nominee yang didasari atas perjanjian Trustee untuk memperoleh kepemilikan tanah jenis HM. Agar hal ini tidak terjadl, maka diperlukan pembaharuan hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah dalam pembangunan hukum tanah di Indonesia yang dapat menarik investasi oleh WNA dan Badan Hukum yakni memberikan jangka waktu kepemilikan secara Iangsung, tanpa perpanjangan ataupun pembaharuan sebagaimana jangka waktu yang telah ditentukan oleh undang- undang, sehingga memberikan kepastian hukum dalam kepemilikan haknya. Kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki sistem hukum pertanahan nasional Indonesia dengan demikian menjadi hanya 2 (dua) bentuk hak, yakni HM dan HP. Dalam kepemilikan HM tetap melekat asas Nasionalitas larangan terhadap WNA dan asas Individualitas larangan terhadap Badan Hukum, sedangkan HP mempunyai beberapa kriteria kepemilikan sebagaimana peruntukan yang terjadi untuk HGB, HGU, HP dan HS.

Land is desirable human needs to be owned by everyone. Accordingly, for the maximum benefit of nation welfare it would require regulations on ownership of the land right for Indonesia citizen, which also consider the interest of foreign citizen and legal entity for business undertaking. As the authoritys holder; the Government shall control. the national asset for the nation welfare and promoting investment. Given the national development program, it would require national system on land matters which could support the management of natural resources.
The methodology of the research is descriptive analysis of normative law, which is complemented by historical and comparative study covering the academic review of laws and regulations concerning the legal system related to the ownership of the land right for the foreign citizen and legal entity. The research has an objective of achieving certainty on the ownership of land right which formulates the concept of land right for foreign citizen and legal entity, consistent with the Indonesia system on land matters in the framework of law reform.
The result of the research showed that there is a difference in the treatment of iand right for foreign citizen and legal entity resulted in fraudulent Action when acquiring the land right by means through nominee agreement with Indonesia citizen or companys Director under the trustee agreement of land acquisition. To prevent such a practice, it would require reform of the law concerning the ownership of land right that capable promoting the foreign investment by foreign citizen and legal entity, namely by providing direct ownership of the right without any extension or renewal beyond the time limitation as stipulated in the law, it will thereby provide certainty with respect to its right. Subsequently, the land right under the national law dealing with land matters would only take two forms, namely Free Hold and Lease Hold. The ownership of land with free hold will still be attached to the principle of natlonaiity and the principle of individuality, while the Right to Use may have some criteria as practiced in issuing Right to Build (HGB), Right of Cultivate (HGU), Right to Use/Lease Hold (HP) and Right to Rent (HS)."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D1152
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library