Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Hot Saroha
"BAB I PENDAHULUAN
A, Latar Belakang Penelitian
Ekstraksi vakum merupakan persalinan dengan tindakan yang terbanyak (23,557.) setelah seksio sesaria di RSCM (Dardiri dan Prakosa, 1996).
Hudono (1970) selama 6 tahun (1964-1969) melakukan penelitian mengenai bayi lahir dengan tindakan EV dan hasilnya:
frekwensi asfiksia (19,3%,) dan gangguan serebral/neuralogik (5,5%) lebih tinggi dari partus spontan (7,5% dan 3,3%); keadaan ibu sebelum partus dan kelainan ibu ikut menentukan morbiditas anak; angka kematian perinatal EV (4,5%) lebih tinggi dari partus spontan (1,1%).
Sejak tahun 1980 sistem RG telah dilaksanakan di RSCM (Jakarta), yaitu hanya untuk bayi lahir spontan, berat lahir 2500-4010 gram, masa gestasi 38-42 minggu, letak kepala, tanpa asfiksia, tanpa KPD, tidak ada kelainan kongenital, refleks isap baik dan keadaan ibu baik.
Suradi (1983) meneliti selama periode 1 Januari 1981 sampai dengan 31 Desember 1982, dari 2729 bayi yang memenuhi kriteria tersebut, hanya 1971 bayi saja yang dapat dirawat di fasilitas rawat gabung dan 758 bayi terpaksa dirawat pisah oleh karena terbatasnya tempat.
Dengan membandingkan kedua kelampok ini ternyata angka mortalitas, morbiditas dan lama perawatan berbeda bermakna, Lebih rendah pada bayi yang di rawat gabung (0,47%; 0,05%; 17,9%; 2,13%; 4,7 ± 2,6; 2,5 ± 1,5 hari).
Melihat kenyataan tersebut di atas maka pada tahun 1983 kapasitas rawat gabung ditambah menjadi 40 tempat tidur dan kriteria rawat gabung diperlonggar. Bayi dengan berat lahir rendah antara '2000-2500 gram dan masa gestasi antara 36-38 minggu dapat di rawat di fasilitas rawat gabung bila refleks isap baik. Demikian juga pada bayi lahir letak bokong, seksio sesaria dan EV setelah di observasi ketat di ruang transisi seiama 6-24 jam dan memenuhi syarat yang telah ditentukan, dapat dirawat gabung (Rustina dan Wiknjosastro,1984;Sami1,1986).
Pada tahun itu juga dilakukan observasi o1eh Rustina dan Wiknjosastro (1984) pada bayi yang lahir dengan tindakan (termasuk EV) yang di RG, ternyata sebagian besar (84,7X) tidak mengalami kesulitan dan ditemukan morbiditas antara lain hiperbilirubinemia (8,37..), diare (2,0%), hipoglikemi (2,0%), funikulitis (1,0'%) dan lain--lain (2,0%).
Sejak saat itu terjadi peningkatan jumlah bayi EV yang dirawat gabung (gambar L). Evaluasi rawat gabung pada bayi lahir melalui.seksia sesaria sudah dilakukan oleh Idris (1985) di RSCM dengan kesimpulan bahwa bayi yang lahir dengan tindakan seksio sesaria dapat dirawat gabung, dan rawat gabung mempengaruhi kecepatan pengeluaran ASI serta-menurunkan angka morbiditas .
Sampai saat ini belum adayang me1aporkan secara khusus bayi yang lahir dengan cara ekstraksi vakum yang dirawat gabung di RSCM?
"
Lengkap +
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Rochima Puspita
"Beberapa penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh memandikan bayi baru lahir terhadap kejadian hipotermia dan faktor risiko hipotermia telah banyak dilakukan, namun data tentang angka kejadiannya masih kurang terutama di Indonesia. Penelitian tentang hipotermia pada bayi akibat dimandikan setelah lahir umumnya dilakukan di rumah sakit dengan penanganan bayi baru lahir secara khusus yaitu dengan membuat lingkungan sekitar bayi secara optimal. Penanganan bayi baru lahir di rumah sakit yang dimandikan segera setelah iahir dilakukan secara khusus yang terdiri dari penggunaan radiant warmer setelah lahir maupun setelah mandi, penggunaan air mandi yang hangat (35-38°C) dan suhu ruangan mandi yang hangat (lebih dari 28°C). WHO menyarankan bayi baru iahir cukup bulan dimandikan dengan air hangat dan ruangan yang hangat, namun tidak menyatakan derajat suhu air hangat maupun ruang mandi yang aman untuk bayi. Pada prakteknya penanganan bayi setelah iahir maupun penanganan bayi setelah mandi di beberapa puskesmas dan rumah bersaiin swasta di Jakarta tidak dilakukan di bawah radiant warmer, melainkan hanya di bawah lampu pijar. Selain itu pada saat mandi, petugas kesehatan tidak melakukan pengukuran suhu air mandi maupun suhu ruangan.
Data mengenai insidens hipotermia dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipotermia yang disebabkan prosedur memandikan bayi baru iahir di puskesmas atau di rumah bersalin dengan keterbatasan alat sampai saat ini belum ada. Hasil pengamatan awal yang dilakukan di sebuah puskesmas di Jakarta Selatan dan rumah bersalin swasta di Jakarta Timur didapatkan sebesar 50% dari 20 bayi baru lahir mengalami hipotermia setelah dimandikan Iebih dari 6 jam sesudah iahir. Peneliti kemudian memberikan penyuluhan tentang hipotermia dan persiapan mandi yang lebih balk diantaranya meliputi suhu segera sebelum mandi, usia saat mandi, air mandi yang hangat, ruang mandi dan suhu lingkungan bayi yang hangat, serta penghangatan sebelum maupun sesudah mandi yang memadai. Insidens hipotermia pada bayi baru iahir yang dimandikan Iebih dari 6 jam sesudah iahir dengan persiapan yang Iebih balk setelah mendapatkan penyuluhan tentang hipotermia diharapkan Iebih rendah. OIeh karena itu dipandang perlu dilakukan penelitian tentang insidens dan faktor-faktor risiko hipotermia akibat memandikan bayi baru iahir cukup bulan setelah mendapatkan penyuluhan tentang hipotermia.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan risiko hipotermia pada kelompok yang telah melakukan persiapan mandi yang Iebih balk dengan yang tidak melakukan persiapan dengan balk setelah mendapatkan penyuluhan ?
2. Ingin mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya hipotermia pada bayi baru lahir cukup bulan yang dimandikan lebih dari 6 jam sesudah iahir."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinna Wamilakusumayanti Sundariningrum
"Angka kematian pada tahun pertama sebagian besar disebabkan oleh bayi berat lahir rendah (BBLR). Perkembangan teknologi berhasil menurunkan angka kematian BBLR, tetapi sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup BBLR, ditemukan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang semakin meningkat pula. Makin kecil masa gestasi, makin besar risiko timbulnya kelainan tumbuh kembang. Kelompok BBLR termasuk dalam kelompok bayi risiko tinggi yang memerlukan pemantauan tumbuh kembang secara berkala dan terus menerus.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai pertumbuhan fisik bayi-bayi dengan riwayat BBLR (PJT dan prematur). Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan studi kohort retrospektif. Data dikumpulkan melalui penelusuran rekam medik dan kunjungan rumah subyek penelitian.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Rosalina Paulina
"[Latar belakang. Infeksi terkait perawatan di rumah sakit, dalam hal ini Infeksi
Aliran Darah (IAD), merupakan masalah serius yang masih sering di jumpai.
Salah satu pengendalian infeksi terkait aliran darah, seperti tehnik antiseptik untuk
prosedur invasif dan perawatan pada konektor memerlukan antiseptik. Pemilihan
jenis antiseptik pada perawatan konektor telah banyak diketahui, penelitian ini
membandingkan jenis antiseptik yang dipergunakan pada konektor infus.
Tujuan. Mengetahui perbedaan efektifitas CHG 2% IPA (AC swab) dan alkohol
70% (BD alcohol swab) pada konektor dalam menurunkan jumlah kolonisasi
bakteri .
Metoda. Penelitian cross sectional pada bayi yang dirawat juni 2015 sampai juli
2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo unit Neonatal Jakarta. Subyek dipilih
secara simple random sampling.
Hasil. Dari 60 subyek didapatkan 30 CHG 2% IPA dan 30 alkohol 70%,
dilakukan scrub konektor pada kedua kelompok didapatkan hasil persentase
penurunan jumlah kolonisasi bakteri yang berbeda bermakna (t test, p = 0,038),
uji kolonisasi bakteri sesudah 20 detik scrub antiseptik antara kedua kelompok
antiseptik dengan p-value= 0,49 (uji Fisher?s Exact) serta uji kolonisasi bakteri 30
detik dan 6 Jam setelah scrub antiseptik CHG 2% IPA (t test, p = 0,28) hasil
kedua uji teraebut tidak berbeda bermakna
Simpulan. CHG 2% IPA lebih efektif dalam menurunkan jumlah koloni bakteri pada konektor infus dibandingkan dengan alkohol 70%.;Background. Blood stream infection (BSI), is a serious problem that is often
encountered. One of the BSI control is such as antiseptic techniques for invasive
procedures and treatments on the connector requires the type of antiseptic.
Selection of types of antiseptics in the treatment of connectors have a lot we
know, this study compared the kind of antiseptic used in connector infusion.
Objectives. To compare the effectiveness CHG 2 % IPA (AC swab) and 70%
alcohol (BD alcohol swab) as antiseptic for reducing the number of bacterial for
the hub.
Methods. A cross sectional study from of infants who had hospitalized from Juni
2015 until Juli 2015 in Neonatal Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Subjects was selected by simple random sampling.
Results. There were 60 subjects obtained 30 CHG2 % IPA and 30 alcohol 70 %,
after the scrub connectors in both groups showed a percentage decrease in the
number of bacterial colonization are significantly different (t test, p = 0.038), p=
0,49 (Fisher?s Exact test) after scrub 20 second antiseptic for both groups and 30
seconds and 6 hours 2 % CHG IPA after antiseptic scrub t test, p = 0.28 both test
results are not significantly different.
Conclusions. 2 % CHG IPA is more effective in reducing the number of colonies bacterial compared with 70% alcohol., Background. Blood stream infection (BSI), is a serious problem that is often
encountered. One of the BSI control is such as antiseptic techniques for invasive
procedures and treatments on the connector requires the type of antiseptic.
Selection of types of antiseptics in the treatment of connectors have a lot we
know, this study compared the kind of antiseptic used in connector infusion.
Objectives. To compare the effectiveness CHG 2 % IPA (AC swab) and 70%
alcohol (BD alcohol swab) as antiseptic for reducing the number of bacterial for
the hub.
Methods. A cross sectional study from of infants who had hospitalized from Juni
2015 until Juli 2015 in Neonatal Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Subjects was selected by simple random sampling.
Results. There were 60 subjects obtained 30 CHG2 % IPA and 30 alcohol 70 %,
after the scrub connectors in both groups showed a percentage decrease in the
number of bacterial colonization are significantly different (t test, p = 0.038), p=
0,49 (Fisher’s Exact test) after scrub 20 second antiseptic for both groups and 30
seconds and 6 hours 2 % CHG IPA after antiseptic scrub t test, p = 0.28 both test
results are not significantly different.
Conclusions. 2 % CHG IPA is more effective in reducing the number of colonies bacterial compared with 70% alcohol.]"
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys Rasidy
"Penelitian bertujuan mengetahui manfaat antiseptik terhadap jumlah bakteri di tangan dan pengaruh perilaku kebersihan tangan pada perawat di ruang rawat Divisi Perinatologi, Neonatal Intensive Care Unit (NICU), dan Intensive Care Unit (ICU) Departemen IKA RSCM.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan penurunan jumlah bakteri sesudah menggosok tangan dengan antiseptik kombinasi alkohol-chlorhexidine gluconate- emolien dan mencuci tangan dengan chlorhexidine gIuconate.
2. Berapa persen perawat yang melakukan cuci tangan/ menggosoka tangan sesuai prosedur
3. Apakah efek samping cuci tangan dengan chlorhexidine gluconate lebih kecil dibandingkan menggosok tangan dengan alkohol-chlorhexidine gluconateemolien
4. Apakah air yang digunakan untuk cuci tangan memenuhi syarat air bersih sesuai dengan PerMenKes RI. No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifan Fauzie
"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, jumlah pekerja di Indonesia mencapai 100.316.007 jiwa, dengan komposisi 64,63% adalah pekerja laki-laki dan sebanyak 35,37% wanita yang bekerja. Permasalahan yang timbul adalah perlakuan yang sama dalam segi kesehatan bagi wanita yang bekerja sedangkan mereka memiliki perbedaan sesuai kodratnya. Diantaranya adalah wanita yang bekerja akan mengalami haid, kehamilan, melahirkan dan menyusui bayinya. Kenyataan yang ada saat ini adanya suatu kontradiksi antara keadaan tersebut dengan program pemberian ASI secara eksklusif pada bayi Indonesia seperti yang telah ditetapkan melalui Kepmenkes RI No. 450/MENKFS/IV/2004. Pihak wanita yang bekerja di Indonesia saat ini hanya mendapatkan cuti resmi berdasarkan peraturan pemerintah yaitu 6 rninggu sebelum melahirkan dan 6 minggu setelah melahirkan. Dengan masa cuti itu sulit untuk mencapai cakupan ASI eksklusif seperti yang telah ditargetkan.
Keberhasilan menyusui secara eksklusif pada wanita yang bekerja (ibu pekerja) relatif lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja di luar rumah. Meskipun pada beberapa tahun terakhir didapatkan adanya kecenderungan peningkatan angka caku pan wanita yang menyusui bavinva segera setelah melahirkan, namun angka cakupan ASI eksklusif itu sendiri masih rendah. Faktor cuti melahirkan, dukungan dari pihak keluarga maupun tempat kerja, tingkat pemahaman tentang keunggulan ASI, dan persepsi yang salah tentang menyusui dapat merupakan faktor yang mempengaruhi rendahnya angka cakupan ASI eksklusif pada wanita yang bekerja. Faktor lain adalah pengaruh media rnassa dan lama waktu meninggalkan rumah.
Hingga saat ini belum didapatkan data-data yang pasti mengenai pola menyusui dan cakupan ASI eksklusif pada wanita yang bekerja (ibu pekerja) di Indonesia serta faktor-faktor yang cenderung dapat mempengaruhinya sehingga diperlukan suatu pengkajian lebih lanjut.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa masalah pada pelaksanaan program pemberian ASI eksklusif pada ibu pekerja, yaitu :
1. Berapa besar proporsi ibu pekerja di beberapa tempat di Jakarta yang menyusui sendiri bayinya ?
2. Faktor-faktor apa yang memiliki kecenderungan untuk dapat mempengaruhi pemberian AS1 eksklusif pada ibu bekerja di Jakarta?
3. Bagaimana pengetahuan ibu pekerja mengenai fisiologi laktasi ?"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah kelainan metabolisme bawaan pada sel darah merah akibat defisiensi enzim yang paling sering ditemui. Defisiensi enzim ini diperkirakan mengenai kurang Iebih 400 juta orang di dunia dengan prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika, Timur Tengah, daerah tropis dan subtropis Asia, beberapa daerah di Mediteranea dan Papua Nugini. Insiden defisiensi G-6-PD berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tertinggi pada bangsa Yahudi yaitu 70%, diikuti daerah Afrika 26%, China 1,9-16% dan Italia 0-7%.2.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada defisiensi enzim G-6-PD berupa anemia hemolitik akut dan ikterus yang menetap pada neonatus. Terdapatnya anemia ringan, morfologi sel darah merah yang abnormal dan peningkatan kadar retikulosit sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolitik yang dapat terjadi balk pada bayi prematur atau cukup bulan dengan defisiensi enzim G-6-PD. Antara bulan September 1975 sampai dengan bulan Oktober 1976, Suradi telah memeriksa adanya defisiensi enzim G-6-PD, menggunakan uji tapis dengan metode Bernstein pada 3200 neonatus yang lahir di RSCM. Pada penelitian ini didapatkan 85 neonatus (2,66%) menderita defisiensi enzim tersebut dan 35 neonatus diantaranya menjadi ikterus. Pada beberapa kasus, ikterus neonatorum dapat sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan otak permanent bahkan sampai meninggal. Munculnya manifestasi klinik pada anemia hemolitik dapat dicetuskan oleh obat-obatan, infeksi atau favism.
Ikterus neonatorum yang disebabkan oleh defisiensi G-6-PD mempunyai banyak variasi pada berbagai populasi baik mengenai frekuensi maupun beratnya penyakit. Secara biokimia ditemukan kurang lebih 400 varian yang berbeda. Pada daerah Afrika Banat dan Asia Tenggara, defisiensi enzim G-6-PD ditemukan pada 30% ikterus neonatorum. Penyebab variasi ini tidak sepenuhnya diketahui, yang jelas berperan adalah faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik yang mendasari variasi ini diduga karena terdapat mutasi pada gen G-6-PD. Analisis molekular untuk melihat adanya mutasi ini telah dilakukan dan didapatkan kurang lebih 122 varian. WHO membagi varian-varian ini menjadi 5 kelas dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Di Indonesia defisiensi enzim G-6-PD secara biokimia pertama kali diteliti oleh Kirkman dan Lie Injo pada tahun 1969, kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain. Secara analisis molekuler juga telah dilakukan penelitian pada orang dewasa normal dengan hasil mutasi terbanyak terdapat pada ekson 5,6,11 dan 12. Sumantri dkk pada tahun 1995 melakukan penelitian defisiensi enzim G-6-PD dengan subyek orang dewasa normal dan melaporkan bahwa varian G-6-PD Mahidol (ekson 5), Taipe Hakka (ekson 5), Mediteranean (ekson 6), dan Kaiping (ekson 12) terdapat pada suku Jawa. Iwai dkk pada tahun 2001 melakukan skrining pemeriksaan enzim G-6-PD pada berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan subyek laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis anemia hemolitik akut. Pada penelitian ini ditemukan varian Vanua Lava (ekson 5) terdapat pada suku Ambon, dan varian Coimbran (ekson 6) pada suku Jawa."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Sukmawati
"ABSTRAK
Latar belakang: Intoleransi minum merupakan masalah yang sering dihadapi bayi kurang bulan. Eritromisin merupakan salah satu prokinetik yang sering digunakan, namun pemberiannya masih merupakan kontroversi.
Tujuan: Mengetahui efikasi eritromisin oral dalam meningkatkan toleransi minum pada bayi kurang bulan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar yang dilakukan pada bayi kurang bulan di RSUP. Sanglah Denpasar dari bulan Juni 2015 hingga Januari 2016. Sampel dilakukan randomisasi menjadi dua kelompok, kelompok perlakuan mendapatkan eritromisin 12,5 mg/kg setiap 8 jam sedangkan kelompok kontrol mendapat plasebo. Luaran primer yang dicari adalah waktu untuk mencapai nutrisi enteral penuh. Luaran sekunder adalah berat badan saat mencapai nutrisi enteral penuh dan lama rawat rumah sakit.
Hasil: Selama penelitian didapat 62 sampel, dimana 3 sampel di drop-out. Tiga puluh sampel didapat pada kelompok eritromisin dan 29 sampel pada kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan data dasar pada kedua kelompok. Rerata usia gestasi adalah 31,4+1,7 minggu pada kelompok perlakuan dan 32,4+2,2 minggu pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam mencapai nutrisi enteral penuh yakni 10+5,3 hari pada kelompok eritromisin dibandingkan 8+6,5 hari pada kelompok kontrol (p=0,345). Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam berat badan saat mencapai nutrisi enteral penuh dan lama perawatan di rumah sakit.
Simpulan: Eritromisin dosis oral 12,5 mg/kgBB setiap 8 jam secara rutin tidak mempercepat waktu nutrisi enteral penuh pada bayi kurang bulan. Tidak ada perbedaan berat badan saat mencapai nutrisi enteral penuh dan lama perawatan pada kedua kelompok.

ABSTRACT
Backgrounds: Feeding intolerance is a common condition that affects premature infants. Erythromycin is one of the prokinetic agents to treat feeding intolerance, but the use of this agent is still controversy.
Objectives: To evaluate the effectiveness of oral erythromycin to enhance feeding tolerance in premature infants.
Design: This study is a prospective randomized controlled trial on premature infants in Sanglah Hospital from June 2015 until January 2016. Eligible infants were randomized to receive 12.5 mg/kgBW/dose 8 hourly oral erythromycin or plasebo. The primary outcome was the time to establish full enteral feeding. The secondary outcomes were weight at full enteral feeding and duration of hospital stay.
Results: There were 62 samples during the study, 3 infants were dropped out. Thirty infants were given erythromycin and 29 infants were given placebo. The baseline of the two groups was similar, mean of gestational age was 31.4+1.7 weeks in erythromycin group and 32.4+2.2 weeks in placebo group. The time to reach full enteral feeding did not differ statistically between the 2 groups, 10+5.3 days in erythromycin group vs 8+6.5 days (p=0,345) in placebo group. There were no significant differences between the two groups regarding the body weight at full enteral feeding and duration of hospital stay.
Conclusion: Erythromycin 12.5 mg/kgBW/dose every 8 hours as prophylactic treatment does not enhance feeding tolerance in premature infants. There were no significant differences between the two groups regarding body weight at full enteral feeding and duration of hospital stay."
Lengkap +
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library