Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mokalu, Piter J.
"Pada awal masa reformasi yaitu tahun 1999 yang merupakan
tonggak awal mengembalikan citra demokrasi di Indonesia, maka
terhadap beberapa bagian dari UUD 1945 telah diubah oleh MPR
sebagai pelaku kedaulatan rakyat. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa di dalam negara demokrasi, apa, mengapa, dan
bagaimana konstitusinya sangat ditentukan oleh kehendak dan pikiran
rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara. Bagaimanakah
dengan eksistensi konstitusi di Indonesia yang juga adalah suatu
negara demokrasi; tulisan ini akan mencoba membahasnya.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui arti dan fungsi konstitusi dalam tatanan
kehidupan negara demokrasi.
2. Untuk mengetahui kaitan materi muatan UUD 1945 dengan
tatanan kehidupan negara demokrasi.
3. Untuk mengetahui eksistensi UUD 1945 dalam kaitannya dengan
dinamika kehidupan demokrasi di Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
atau normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data
sekunder belaka. Data sekunder yang dimaksud mencakup;
a. Data hukum primer terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar
yaitu Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar yaitu Batang
Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR.
b. Bahan hukum sekunder seperti hasil karya dari kalangan
hukum, hasil penelitian."
Universitas Indonesia, 2001
T10969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Phoebe Nathania
"Pandemi COVID-19 berdampak negatif pada tingkat wellbeing mahasiswa kedokteran. Perubahan gaya hidup dengan pembatasan aktivitas secara masif berpotensi berhubungan dengan tingkat wellbeing mahasiswa. Penelitian kohort retrospektif ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan aktivitas fisik dengan wellbeing pada mahasiswa kedokteran pada masa pandemi COVID-19. Penelitian menggunakan data sekunder melalui kuesioner PERMA (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning, and Accomplishment) dan logbook wellbeing. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari hingga September 2023. Kuesioner PERMA digunakan untuk mengevaluasi wellbeing mahasiswa, sedangkan logbook wellbeing untuk mengevaluasi aktivitas fisik yang dijalani. Kuesioner PERMA dalam versi bahasa Indonesia telah divalidasi dan dipublikasi pada populasi mahasiswa kedokteran di Indonesia oleh Mustika dkk. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui signifikansi data dan mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik dengan wellbeing mahasiswa kedokteran. Penelitian ini memperlihatkan kecenderungan peningkatan risiko wellbeing yang buruk pada responden yang tidak berolahraga. Uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik dan wellbeing, dengan korelasi positif dan tingkat korelasi yang rendah (r = 0.365; p <0.05). Jika seseorang melakukan aktivitas fisik, maka wellbeing akan terjaga dan cenderung mengalami tingkat wellbeing yang baik, meskipun terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat wellbeing. Oleh sebab itu, tingkat aktivitas fisik berkorelasi positif dengan tingkat wellbeing mahasiswa kedokteran, dengan tingkat korelasi rendah.

COVID-19 pandemic has been found to negatively affect the wellbeing of medical students. Lifestyle changes with massive physical activity restrictions have the potential to be related to the wellbeing of medical students. This retrospective cohort study aims to evaluate the correlation between physical activity and wellbeing of medical students during the pandemic. This study was performed with secondary data through the PERMA questionnaire (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning, and Accomplishment) and the wellbeing logbook. The study was conducted from January to September 2023. The PERMA questionnaire was used to evaluate students’ wellbeing, while the logbook was used to evaluate physical activity. The Indonesian version of PERMA questionnaire was validated and published in a population of medical students in Indonesia by Mustika et al. Spearman's correlation test was conducted to determine the significance of the data and evaluate the relationship between physical activity and wellbeing. This study reported a tendency of increased risk of low wellbeing in respondents with no exercise. The correlation test shows a significant relationship between physical activity levels and wellbeing, with a weak positive correlation (r = 0.365; p <0.05). If someone does physical activity, their wellbeing will be maintained and they tend to experience a good level of wellbeing, even though there are other factors that influence the level of wellbeing. Thus, physical activity levels were positively associated with medical students’ wellbeing, with a weak correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sang Ayu Made Tjerita
"Pembangunan Kesehatan diarahkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk memecahkan berbagai masalah khususnya masalah kesehatan di masa yang akan datang. Dalam rangka pencapaian ke arah tersebut berbagai upaya telah dilakukan mulai dari pencegahan sampai pada rehabilitasi. Salah satu bentuk upaya pencegahan yang dilakukan yaitu pelaksanaan BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah), karena pelaksanaan imunisasi rutin yang sudah dilaksanakan dirasakan belum memadai dan belum dapat mengeliminir penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi khususnya difteri dan tetanus toxoid. BIAS ini telah dilakukan oleh pemerintah di seluruh Indonesia sejak tahun 1998. Adapun tujuan BIAS adalah untuk memberikan dan meningkatkan kekebalan bagi seluruh siswa SD dan MI untuk melawan penyakit difteri dan tetanus toxoid. Dalam pelaksanaan BIAS ini tidak bisa berlangsung dengan lancar, hat ini tergambar dengan terjadinya beberapa kejadian yang diakibatkan pelaksanaan imunisasi (BIAS).
Kejadian ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) tertinggi dalam pelaksanaan BIAS tahun 1999 untuk Sawa Tengah terdapat di Kabupaten Grobogan yaitu sebanyak 34,4 %, sehingga perlu dilihat penyebabnya. Dari hasil penelitian diketahui salah satu penyebabnya adalah faktor kepatuhan petugas BIAS dalam menerapkan prosedur yang telah ditetapkan.
Penelitian tentang kepatuhan petugas dalam menerapkan SOP, dilakukan secara cross-sectional dengan sampel sebanyak 102 orang petugas yang diambit secara acak sederhana (simple random sampling) dari 270 orang petugas yang berasal dari 30 Puskesmas yang tersebar di Kabupaten Grobogan.
Untuk mengetahui kepatuhan petugas dalam menerapkan SOP, dilihat dari faktor internal dan eksternal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari faktor internal, terlihat variabel yang memiliki hubungan yang bermakna adalah pendidikan (p<0,05). Hubungan pendidikan dengan kepatuhan, terungkap bahwa petugas yang berpendidikan medis lebih patuh bila dibandingkan dengan petugas yang berpendidikan nonmedis. Selain itu faktor internal yang memiliki nilai p<0,25, menjadi kandidat model, hal tersebut terlihat pada variabel lama kerja, dimana lama kerja < 7 tahun lebih patuh (1,4 kali) bila dibandingkan dengan petugas yang memiliki masa kerja > 7 tahun. Demikian pula halnya dengan motivasi, petugas yang memiliki motivasi tinggi lebih patuh bila dibandingkan dengan petugas memiliki motivasi rendah. Selanjutnya untuk tingkat pengetahuan, petugas yang memiliki pengetahuan baik, lebih patuh (1,05 kali) bila dibandingkan dengan petugas yang memiliki pengetahuan rendah. Dalam pelaksanaan BIAS ini terlihat pula bahwa pelatihan petugas jarang dilakukan, pahal pelatihan sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas.
Kemudian faktor eksternal yang memiliki hubungan yang bermakna terhadap kepatuhan adalah jabatan petugas. Disini terlihat bahwa petugas yang memiliki jabatan paramedis lebih patuh (3 kali) bila dibandingkan dengan petugas yang memiliki jabatan non paramedis. Seperti halnya faktor internal, pada faktor eksternal terdapat juga variabel yang memiliki nilai p< 0,25 yaitu sumber daya yang menjadi kandidat dalam model.
Hasil menunjukkan bahwa dengan sumber daya yang cukup, petugas lebih patuh bila dibandingkan dengan sumber daya kurang. Selanjutnya dilihat dari kepatuhan petugas dalam menerapkan SOP, kepatuhan yang terbaik terjadi pada penanganan vaksin sedangkan kepatuhan yang paling rendah terjadi pada proses sterilisasi.
Melihat hasil di atas, pada pelaksanaan BIAS yang akan datang perlu ditinjau kembali adanya alokasi biaya untuk pelatihan petugas imunisasi khususnya agar pengetahuan dan keterampilannya meningkat serta didukung dengan tenaga medis untuk menghindari terjadinya KIPI.
Daftar bacaan : 32 (1979 --- 1999)

Factor related with Officer Obedient on Immunization Program Operational Standard (BIAS Implementation in Grobogan District, Central Java) Year 1999The health development are directed to improve human resources quality capable to dissolve many kind of problems specially in coming years. To fulfill those direction, step are taken from prevention to rehabilitation. One of the anticipation is BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah; School Children Immunization Month, 5C1'N), because of the routine immunization program is not quite proper to eliminate disease specially difteri and tetanus toxoid. SCIM are implemented all over Indonesia by the Indonesian government since 1998. The goals of SCIM is to give and improve immunity on School children to fight against difteri and tetanus toxoid. In implementation of SCIM there are some point where it didn't work well specially in immunization procedure implementation.
The highest Kejadian Ikutan Pasca imunisasi (KIPI; Post Immunization Succeed Event, PISE) in 1999 SCIM implementation on Central Java is Grobogan for 34.4 %, therefore we have to find the problem. From research , we found out that one of the motive is SCIM officer Obedient factor on implementing the standard procedure.
The research on officer obedient in implementing SOP, are held with cross-sectional and samples of 102 officer randomly pick (simple random sampling) from 270 officer of 30 Puskesmas (Public Health Center) scattered in Grobogan.
To find out Officer Obedient in SOP implementation, are divided into internal and external factor. The research shows that the significant related variable is education (p<0,5). Relation between Education and Obedient is that officers with medical education background are more obedient than those who didn't have any medical education background.
Beside that internal factor which own value of p<0.25, become model candidate, it shows on work experience variable, where experience <7 years are more obedient (1.4 more) if compared to officer with experience more than 7 years. Also in motivation, where officer with higher motivation are more obedient than those with lower motivation. Officer with good comprehension, are more obedient (1.05 times) if compared to those with lower comprehension. In SCIM showed that officer training are seldom although training is very important to improve officer comprehension and skill.
External factor that related to Obedient is Officer ranking. Officer with paramedical rank are more obedient (3 times) compared to officer with non paramedical rank. Like internal factor, external factor also have variable with value of p
The result of these research shows that to implement SCIM we have to allocate some cost to train officer specially comprehension and skill improvement with medical officer support to avoid PISE.
List of Literature : 32 (1979 -1999)"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Husna
"Latar belakang: Lingkungan pembelajaran berpengaruh terhadap kesuksesan peserta didik. Korelasi antara lingkungan pembelajaran terhadap kesiapan praktik peserta didik masih belum diketahui secara mendalam. Menilai korelasi antara kesiapan lulusan untuk praktik dan lingkungan pembelajaran dapat menjadi dasar dalam melakukan upaya perbaikan terhadap lingkungan pembelajaran untuk menunjang kesiapan lulusan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk korelasi antara lingkungan pembelajaran dan kesiapan praktik.
Metode: Penilitian ini menggunakan desain cross sectional pada lulusan dokter gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala (FKG USK). Penelitian ini menggunakan 101 lulusan mulai dari tahun 2022 sampai 2023. Data dikumpulkan dengan menggunakan survei yang didistribusikan secara online dengan menggunakan instrumen the Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM) untuk menilai persepsi terhadap lingkungan pembelajaran dan modifikasi instrumen Graduate Assessment Preparedness of Practice (GAPP) untuk menilai persepsi kesiapan praktik lulusan. Uji korelasi dengan uji Pearson digunakan untuk menentukan korelasi kedua aspek diatas serta menilai kekuatan korelasi dari setiap domain yang ada.
Hasil: Analisis data menunjukkan nilai rata-rata skor seluruh responden adalah 147.9/200 yang berarti lebih banyak sisi positif daripada negatif dan rata-rata skor GAPP 201.23/238 yang berarti responden memiliki tingkat kesiapan praktik yang tinggi. Terdapat hubungan bermakna antara persepsi terhadap lingkungan pembelajaran dengan kesiapan praktik dokter gigi. Persepsi terhadap pencapaian prestasi akademik merupakan domain lingkungan pembelajaran yang paling dominan pengaruhnya terhadap kesiapan praktik lulusan.
Kesimpulan: Lulusan menilai proses pembelajaran yang telah berjalan saat ini di FKG USK sudah baik. Lulusan FKG USK memiliki tingkat kesiapan praktik hampir di semua area baik dalam area klinis, komunikasi, profesionalisme dan manajemen serta kepemimpinan. Lulusan dokter gigi yang memandang lingkungan pendidikan secara positif ditemukan memiliki tingkat kesiapan praktik yang baik.

Background: Learning environment has been known to influence students' success. The correlation between perception of the learning environment and dental graduate’s preparedness for practice is still unknown. Assessing the correlation between perception of the learning environment and dental graduate’s preparedness for practice can be the basis for making efforts to improve the learning environment to support graduates' preparedness for practice.
Objective: This study aims to identify the correlation between learning environment and preparedness for practice.
Methods: This cross-sectional study was conducted at Faculty of Dentistry, Syiah Kuala University. This research involved 101 dental graduates from 2022 to 2023. Data were collected using the Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM) and a modified Graduate Assessment Preparedness of Practice (GAPP) instrument. Pearson's correlation test was used to determine the correlation between the two aspects and to assess the strength of correlation of each domain.
Results: Data analysis shows the average score of DREEM of all respondents is 147.9/200, which means more positive than negative learning environment available. The average GAPP score is 201.2/238, so respondents have a high-level perception of preparedness for practice. Dental graduates have high-level perception on preparedness for practice in almost all areas including in the clinical area, communication, professionalism, and management also in leadership. There is a significant relationship between perceptions of the learning environment and dental graduate's preparedness for practice. A positive learning environment plays a role in increasing student motivation and engagement in learning as well as student academic achievement.
Conclusion: Learning environment correlates with dental graduate's preparedness for practice.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilania Saraswati
"Latar Belakang: Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PPDS PA FKUI) menggunakan kurikulum berdasarkan kompetensi/outcome (competency-/outcome-based curriculum). Namun, PPDS PA FKUI selama ini belum pernah melaksanakan ujian formatif berdasarkan kerja (workplace-based Metode Penelitian: Penelitian ini bersifat kualitatif untuk mengekplorasi secara mendalam pemanfaatan ujian formatif Diskusi berdasarkan Kasus dalam proses pendidikan di PPDS Patologi Anatomik FKUI. Dilakukan wawancara dan focused group discussion terhadap pengelola program, staf pengajar dan peserta PPDS PA FKUI. Staf pengajar diminta melakukan intervensi berupa ujian formatif DbK terhadap PPDS PA FKUI sebanyak tiga kali menggunakan borang yang telah diterjemahkan. Setelah intervensi, kembali dilakukan wawancara dan focused group discussion terhadap staf pengajar dan peserta PPDS PA FKUI.

 

Hasil: Staf Pengajar dan peserta PPDS PA FKUI menunjukkan respons positif terhadap pelaksanaan ujian formatif DbK. Ujian formatif DbK dianggap memungkinkan proses diskusi mendalam antara staf pengajar dan peserta PPDS PA terkait proses penegakkan diagnosis dari suatu kasus. Staf pengajar dapat memantau kemajuan proses pembelajaran serta memberikan umpan balik yang spesifik terhadap peserta PPDS. Peserta PPDS dapat mempelajari suatu kasus dengan lebih komprehensif, memperoleh umpan balik yang spefisik, serta mendapatkan simulasi ujian sumatif.

Kesimpulan: Ujian DbK bermanfaat dalam proses pencapaian kompetensi dalam pendidikan yang menggunakan pendekatan competency- atau outcome-based curricula.

Postgraduate program for Anatomical Pathology Specialist in Faculty of Medicine Universitas Indonesia use competence-/outcome-based curriculum approach. However, until now, the program has not yet adopted formative workplace-based assessment, for example, case-based discussion.
This was a qualitative research to explore the use of formative assessment case-based discussion during educational process in postgraduate program for anatomical pathology specialist in FMUI. Interview and focused group discussion to the program manager, teaching staff and the residents were performed. Teaching staff was asked to perform three times case-based discussion (CbD) formative assessment toward the resident. Postintervention, interview and focused group discussion to the staf and resident were conducted.
The staffs and residents of Anatomical Pathology Specialist Program of FMUI showed positive response toward CbD formative assessment. CbD formative assessment enabled deeper discussion between the staffs and residents regarding establishing diagnosis. The staffs were able to monitor the residents learning process and giving specific feedback toward the residents. The residents were able to learn about a case in a more comprehensive way, acquiring specific feedback and summative assessment simulation.
Conclusion: CbD formative assessment is useful in the process of acquiring competence in diagnosis in a postgraduate education that uses competence- or outcome-based curricula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggia Murni
"Penyediaan air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia untuk hidup dan menjadi Faktor penentu dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan air minum, masyarakat lebih menyukai air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh industri besar dan melalui proses yang otomatis dan disertai pengujian Iaboratorium sebelum air tersebut diedarkan sehingga dianggap lebih praktis dan higienis. Namun AMDK semakin mahal dan masyarakat beralih pada air minum dari depot air minum yang harganya 1/3 dari AMDK.
Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan E.coIi dalam air produksi depot air minum terhadap kejadian diare pada balita dengan menggunakan desain potong lintang. Unit analisis adalah 30 depot air minum yang tersebar di Kecamatan Sungailiat dan masing-masing depot air minum dilakukan pengambilan sampel responden secara acak sederhana sebanyak 300 responden.
Hasil menunjukkan tidak ada hubungan antara E coli dalam air produksi depot air minum yang diminum balita dengan kejadian diare pada balita tersebut. Variabel kondisi jamban keluarga, kondisi sarana air bersih dan perilaku cuci tangan ibu/pengasuh balita menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian diare.Variabel proses pengolahan dan higiene sanitasi depot air minum berhubungan signifikan terhadap adanya E. coli dalam air produksi depot air minum.
Dalam penelitian ini adanya E.coli dalam air produksi depot air minum tidak berhubungan dengan kejadian diare pada balita namun demikian disarankan kepada masyarakat untuk menanyakan sertifikat uji laik higiene sanitasi dan hasil pemeriksaan laboratorium kepada pengelola depot air minum sebelum membeli dan mengkonsumsi air produksi depot air minum. Disamping itu juga sebaiknya diadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara pencegahan diare yaitu dengan melakukan pemeliharan sumber air bersih, jamban keluarga dan higiene perorangan khususnya cuci tangan pakai sabun.

Water supply is the main necessity for human being to live in and it becomes determining factor of health and wealth. In fulfill the water supply, people are prefer orderly water (AMDK) producted by some industries and automatically process with laboratorium test before being deal, so it would be better. But AMDK is much more expensive then the people finally change into the water sold in the water refreshment stand which has 1/3 cheaper than AMDK.
The aim of this research is to find deeply whether the children diarrhea caused by the quality of water produced by water refreshment stand as bacteriology does not fulfill the point by using cross sectional research design. The analysis unit of this research is under five children from 9 to 59 months for 300 respondent samples and 30 water refreshment stand samples in Sungailiat Regency.
The research result reflects that there is no relationship between E.coli in its water production to the children diarrhea. The variable of family latrine condition, clean water medium condition and washing hand habit of mother or baby sitter reflects the significant relationship to the children diarrhea and the variable of clean water medium condition as confounding. having some detailly explanation to the people about how to prevent the diarrhea by caring the clean water sources, family latrine and also having some workshops for the foods and drinks manager.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34287
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zayadi Zainuddin
"ABSTRAK
Latar Belakang: Setiap mahasiswa akan memilih gaya belajar yang menguntungkan
untuk situasi belajar tertentu. Gaya belajar aktivis diduga lebih sesuai untuk aktivitas
belajar mandiri dibandingkan dengan gaya belajar lain. Lingkungan belajar yang
dirancang untuk pembelajaran mahasiswa akan memunculkan persepsi yang berbeda,
baik persepsi positif maupun negatif. Persepsi ini diduga dapat mendorong atau
menghambat belajar mandiri. Metode: Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan
desain kasus kontrol. Populasi terdiri atas mahasiswa yang tidak siap (kasus) dan siap
belajar mandiri (kontrol) dengan minimal sampel sebanyak 55 mahasiswa untuk
masing-masing populasi. Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pengisian kuesioner Self Directed Learning Readiness Scale
(SLDRS) Fisher dan tahap kedua dengan pengisian kuesioner Learning Style
Questionairre (LSQ) Honey-Mumford dan Dundee Ready Educational Environment
Measure (DREEM). Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 13.00.
Hasil: Gaya belajar aktivis tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat
kesiapan belajar mandiri (p>0.05) namun persepsi mahasiswa mengenai lingkungan
belajar memiliki hubungan yang bermakna (p<0.05). Mahasiswa yang kurang puas
terhadap lingkungan belajar memiliki kemungkinan 3.852 kali tidak siap belajar
mandiri dibandingkan dengan mahasiswa yang puas (p<0.05 dan OR=3.852).
Kesimpulan: Gaya belajar aktivis tidak berpengaruh terhadap tingkat kesiapan
belajar mandiri. Persepsi mahasiswa mengenai lingkungan belajar berpengaruh
terhadap tingkat kesiapan belajar mandiri, sehingga perlu upaya peningkatan
kesiapan belajar mandiri mahasiswa dengan memperbaiki lingkungan belajar.

ABSTRACT
Background: Each student will choose their own learning style that are more
beneficial for one learning situation. Activist learning style has been expected
more suitable for self directed learning than other learning style. Learning
environment that designed for students’ learning will lead to different perceptions,
either positive or negative. This perception could inhibit or encourage self directed
learning. Method: This is a quantitative research using case control design.
Population consists of students who are not ready (cases) and ready to self
directed learning (control) with minimal sample of 55 students for each population.
The data was collected using questionnaires in two stages. First’ stage for Self
Directed Learning Readiness Scale (SLDRS) Fisher questionnaires and the second
stage for Learning Style questionnaire (LSQ) Honey-Mumford and Dundee
Ready Educational Environment Measure (DREEM) questionnaires. Data were
analyzed using SPSS 13.00 program. Result: Activist learning style showed no
significance relationship with self directed learning readiness levels (p>0.05) but
students' perceptions of educational environment showed significant relationship
(p<0.05). Students who are not satisfied to learning environment have the
possibility of 3.852 times more unready to self directed learning than students
who are satisfied (p<0.05 and OR = 3.852). Conclusion: Activist learning styles do
not influenced the level of self directed learning readiness. Students’ perceptions
of the educational environment influenced self directed learning readiness level,
therefore an effort is needed to increase students' self directed learning
readiness by improving the educational environment."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Kiki Riezky
"Latar Belakang: Umpan balik membantu mahasiswa mencapai tujuan pembelajaran dan membantu staf pengajar menjamin pencapaian sasaran pembelajaran oleh mahasiswa. Berdasarkan penelitian, perbedaan persepsi mengenai umpan balik antara staf pengajar dan mahasiswa dapat menghambat proses pemberian dan penerimaan umpan balik. Sampai saat ini belum diketahui proses pemberian dan penerimaan umpan balik dalam diskusi Problem Based Learning (PBL) di Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama, sehingga perlu dilakukan eksplorasi mengenai gambaran keseluruhan pemberian dan penerimaan umpan balik pada tutor dan mahasiswa tahap pre-klinik. Pemberian umpan balik konstruktif dapat memotivasi mahasiswa, memperbaiki kinerja dan mempersiapkan diri untuk masuk ke tahap klinik.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Pengambilan data menggunakan focus group discussion (FGD) pada tutor dan mahasiswa pra klinik serta observasi kegiatan diskusi PBL dengan menggunakan daftar tilik.
Hasil: Berdasarkan analisis data kualitatif ditemukan tiga faktor yang mempengaruhi pemberian umpan balik oleh tutor, yaitu; 1) Tutor kurang memahami materi pembelajaran, 2) Sikap tutor yang tidak peduli terhadap diskusi, 3) Tidak memiliki waktu untuk memberikan umpan balik. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya umpan balik oleh mahasiswa yaitu; 1) Sikap tutor (ramah, arogan dan tidak peduli) selama diskusi PBL, 2) Karakter mahasiswa (dapat menerima dan tidak dapat menerima umpan balik negatif) , 3) Reaksi afektif, 4) Self assessment, 5) Kepercayaan mahasiswa terhadap staf pengajar kurang dan 6) Umpan balik tidak spesifik.
Kesimpulan : Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemberian umpan balik harus mendapat perhatian khusus dari tutor agar umpan balik yang diberikan dapat ditanggapi oleh mahasiswa. Tutor dan mahasiswa sepakat bahwa umpan balik konstruktif dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa

Background: Feedback should help student to achieve learning objectives and teacher to ensure achievement of learning objectives by student. Based on the research, the different perceptions about feedback between teachers and students can obstruct the process of delivering and receiving the feedback process. Hitherto, the process of delivering and receiving feedback in Problem Based Learning discussion at the Medical School of University of Abulyatama is not known yet. Thus, an exploration of the overall picture of delivering and receiving feedback to the tutors and the students of preclinical stage is necessary. The delivery of constructive feedback should be able to motivate students in improving their performance and prepare them to enter the Clinical Stage.
Method : This study used qualitative research methods with phenomenology study. Data was retrieved trough focus group discussion (FGD) on tutors and students and observation of PBL discussions using a checklist.
Result: Based on the qualitative data analysis it is found that three influential factors for the delivery of feedback are 1) Incomprehension of tutors upon the learning material, 2) Lack of attention on discussion, 3) Lack of time to deliver the feedback. Whereas, factors that influenced whether or not feedback was received by the students are 1) Attitude of tutors (friendly, arrogant and careless) during discussion, 2) Students’ characteristic (can or cannot receive negative feedback), 3) Affective reaction, 4) Self-assessment, 5) Lack of trust on the tutors, and 6) General feedback.
Conclusion : Factors that influence the delivery of feedback should gain special attention from the tutors, so that students can receive the feedback given. Tutors and students agree that constructive feedback can improve students’ learning motivation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Sekarsari
"Latar belakang: Pada proses pendidikan yang berlangsung di program pendidikan dokter spesialis (PPDS) radiologi terdapat beberapa masalah misalnya peserta didik tidak mampu menunjukkan performa akademik yang diharapkan. Banyak faktor yang mempengaruhi performa akademik, salah satunya adalah faktor non kognitif. Untuk menyikapi hal itu perlu proses seleksi yang menguji faktor non kognitif yang terstruktur seperti multiple mini interview (MMI) untuk dapat memprediksi performa akademik peserta didik.
Tujuan penelitian: mengetahui korelasi MMI dengan performa akademik pada evaluasi rotasi bulanan peserta PPDS Radiologi.
Metode: Penelitian potong lintang yang dilaksanakan di Departemen Radiologi FKUI-RSCM pada bulan Agustus 2014. Subjek penelitian adalah 30 orang peserta PPDS radiologi. Dilakukan wawancara terstruktur MMI dengan 7 stasiun berdasarkan blueprint yang ditentukan oleh Departemen Radiologi FKUI-RSCM serta skenario yang diadaptasi dari Universitas Calgary yang telah diteliti reliabilitas dan validitasnya. Pada tiap stasiun dilakukan wawancara selama 7 menit. Domain yang diteliti adalah kejujuran, berpikir kritis, empati, etika, kemampuan pemecahan masalah, percaya diri dan ketelitian.
Hasil: Diperoleh 30 subjek penelitian peserta PPDS radiologi semester 2 sampai 6. Sebaran nilai faktor nonkognitif menunjukkan berpikir kritis mempunyai nilai rata- rata tertinggi (3,43) dengan standar deviasi 0,679. Nilai terendah untuk faktor nonkognitif adalah kejujuran (2,7) dengan standar deviasi 0,535. Hasil analisis korelasi diperoleh nilai significancy 0,383 yang menunjukkan bahwa korelasi antara hasil MMI total dengan nilai rotasi bulanan total peserta PPDS Radiologi tidak bermakna (p>0,05). Nilai bermakna secara statistik (p 0,033), diperoleh pada korelasi antara stasiun kejujuran dengan rotasi bulanan non kognitif dengan gambaran korelasi yang negatif (r -0,391). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh subyektifitas pada evaluasi rotasi bulanan, pengetahuan tentang MMI yang kurang pada pewawancara, nilai rotasi bulanan yang hampir homogen dan bias penilaian karena pewawancara sudah mengenali peserta didik.
Simpulan: MMI perlu dikembangkan agar dapat menjadi proses seleksi yang baik sehingga dapat menentukan performa akademik yang belum terlihat dalam penelitian ini. Faktor yang menjadi bias dalam penelitian seperti subyektifitas dan pemahaman mengenai MMI harus diperhatikan dan dihindari agar memperoleh hasil yang diharapkan.

Background: In the educational process taking place in the education program specialist radiology, there are several problems such learners are not able to show the expected academic performance. Many factors affect academic performance, one of which is non-cognitive factors. To address this it is necessary to examine the selection process non-cognitive factors are structured as multiple mini interview (MMI) to be able to predict the academic performance of students.
Objectives: Determine MMI in the correlation with academic performance on a monthly rotation evaluation of residents radiology.
Material and method: A cross-sectional study was conducted in the Department of Radiology General Hospital National Center Cipto Mangunkusumo (RSCM) in August 2014. The subjects were 30 residents radiology. MMI as structured interviews were conducted with 7 stations based blueprint determined by the Department of Radiology Faculty of medicine-RSCM and scenarios taken from the University of Calgary who has studied the reliability and validity. At each station conducted interviews for 7 minutes. Domain studied were honesty, critical thinking, empathy, ethics, problem solving skills, confidence and accuracy.
Results: Retrieved 30 research subjects residents radiology. The distribution of the value of noncognitive factors demonstrate critical thinking has the highest average value (3.43) with a standard deviation of 0.679. The lowest value for noncognitive factor is honesty (2.7) with a standard deviation of 0.535. Results of correlation analysis values obtained significancy 0.383 which shows that the correlation between the results of MMI total monthly rotation value total participants PPDS Radiology not significant (p> 0.05). Values statistically significant (p 0.033), obtained at the correlation between the station honesty with non cognitive monthly rotation with picture negative correlation (r -0.391). It is likely influenced by subjectivity in the evaluation of a monthly rotation, knowledge of the MMI is lacking in the interviewer, the value of monthly rotation is almost homogeneous and interviewer bias because it recognizes the assessment of learners.
Conclusion: MMI need to be developed in order to be a good selection process so as to determine the academic performance that has not been seen in this study. Factors to be biased in research must be avoided in order to obtain the expected results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T58718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enny Irawaty
"ABSTRAK
Latar belakang: Keterampilan klinis mutlak diperlukan dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan. Dokter yang tidak terampil melakukan keterampilan klinis tentu membahayakan keselamatan pasien. Oleh sebab itu, fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara (FK Untar) melaksanakan pembelajaran keterampilan klinis dasar (KKD) pada tahap pendidikan pre-klinik melalui fasilitas skills lab yang memadai. Meskipun demikian, angka ketidaklulusan ujian KKD pada beberapa blok masih tinggi. Stres menghadapi ujian dianggap berperan terhadap kegagalan tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan tingkat stres dalam menghadapi ujian dengan hasil belajar KKD.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan di FK Untar dengan responden berjumlah 196 orang mahasiswa semester tujuh pada blok sistem penginderaan. Penelitian menggunakan kuesioner Westside Test Anxiety Scale untuk menilai tingkat stres dan data nilai ujian KKD untuk melihat hasil belajar KKD. Faktor lain yang berhubungan dengan hasil belajar KKD juga diteliti yaitu strategi coping dan lama waktu persiapan belajar. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi-square. Selanjutnya, analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor yang lebih berperan terhadap hasil belajar KKD. Kuesioner juga memuat data kualitatif tentang penyebab stres pada ujian KKD (stressor) dan cara persiapan belajar.
Hasil: Tingkat stres sedang paling banyak dialami mahasiswa saat menghadapi ujian KKD (50.0%), diikuti dengan tingkat stres berat (28.1%) dan stres ringan (21.9%). Stressor yang paling banyak dilaporkan adalah ketakutan tidak lulus ujian KKD (46.9%). Belajar bersama teman merupakan cara persiapan belajar yang paling banyak dilaporkan (89.3%). Mahasiswa dengan tingkat stres berat cenderung tidak lulus ujian KKD dibandingkan mereka dengan tingkat stres ringan (nilai p= 0.019, OR= 2.809). Di antara berbagai strategi coping, active coping mempunyai hubungan bermakna dengan hasil belajar KKD (nilai p= 0.033, PR= 1.345). Lama waktu persiapan belajar tidak berhubungan dengan hasil belajar KKD (nilai p>0.05). Hasil analisis multivariat menunjukkan ketidaklulusan ujian KKD berhubungan dengan tingkat stres berat (nilai p= 0.022, OR= 2.805) dan penggunaan active coping yang rendah (nilai p= 0.025, OR= 3.590).
Kesimpulan: Tingkat stres berat dan penggunaan active coping yang rendah berperan terhadap ketidaklulusan pada ujian KKD. Mahasiswa dengan tingkat stres berat berisiko lebih besar untuk tidak lulus ujian KKD dibandingkan mahasiswa dengan tingkat stres ringan. Penggunaan active coping yang rendah, dalam hal ini persiapan belajar yang kurang memadai, berisiko bagi mahasiswa untuk tidak lulus ujian KKD.

ABSTRACT
Background: Clinical skills is an absolute necessity for doctor in conducting health services. Doctors who are not skillful in clinical skills will endanger patient safety. Therefore, the Faculty of Medicine of Tarumanagara University (FM Untar) conduct teaching and learning of basic clinical skills (BCS) at academic education level through adequate skills lab facility. Nonetheless, rate of failure in BCS exams are still high on some modules. Stress is considered as a factor that contributes to this failure. This study aims to determine the relationship of stress level and BCS learning outcomes.
Method: This is a cross sectional study, conducted in FM Untar with 196 students from the 7th semester who took sensory system module. This study use Westside Test Anxiety Scale questionnaire to assess stress level and student?s BCS test scores in order to find out the BCS learning outcomes. Other factors associated with BCS learning outcomes such as coping strategy and duration of preparation in studying are also observed. Bivariate analyses were conducted by chi-square. Multivariate analysis was also conducted to determine the factors that contribute more to the learning outcomes KKD. Qualitative data about the cause of stress (stressor) on BCS exam and preparation method in studying were also collected.
Results: Moderate stress is the stress level that students experienced the most (50.0%), followed by severe stress (28.1%) and mild stress (21.9%). The most dominant stressor is the fear of not passing the BCS exam (46.9%). In the case of preparation method in studying, it is reported that learning with friends is the most dominant (89.3%). Students with severe stress tend to fail the BCS exam than those with mild stress (p value= 0.019, OR= 2.809). Among the various coping strategies, active coping has a significant relationship with BCS learning outcomes (p value= 0.033, PR= 1.345). The duration of preparation in studying is not related to the BCS learning outcomes (p value>0.05). The multivariate analysis shows that the failure in BCS test is related to severe stress (p value= 0.022, OR= 2.805) and low usage of active coping strategy (p value= 0.025, OR= 3.590).
Conclusion: Severe stress and the low usage of active coping contribute to failure in BCS exam. Students with severe stress level have greater risk of not passing the BCS exam than students with mild stress level. Low usage of active coping, which means less preparation in studying, can cause the students to fail the BCS exam.
"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>