Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johan Arief Budiman
"Keharmonisan ukuran gigi anterior rahang atas dan rahang bawah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya oklusi, overjet dan overbite yang optimal pada tahap akhir perawatan orthodontik. Tujuan penelitian ini adalah mencari korelasi antara overjet dan overbite tahap akhir perawatan orthodontik dengan rasio anterior. Data dikumpulkan dari 100 model cetakan pasien tahap akhir perawatan orthodontik, dengan hubungan kaninus kelas I. Data diolah dengan t-test dan pengujian korelasi regresi. Nilai rasio anterior yang diperoleh penelitian ini (77,21±3,08) berbeda tidak bermakna dengan nilai rasio anterior menurut Bolton. Korelasi overjet dengan rasio anterior serta overbite dengan rasio anterior adalah bermakna (p<0,05). Diperoleh persamaan regresi, yaitu overjet = -0,047 rasio anterior + 4,58 dan overbite = -0,95 rasio anterior + 100,47. Terdapat 21 sampel yang menunjukkan nilai rasio anterior, overjet dan overbite normal, sedangkan sisanya menunjukkan variasi dari ketiga nilai tersebut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Anggraeni Wibawaningsasi
"Penggunaan sudut ANB dan Wits di klinik sebagai metode pengukuran diplasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior adakalanya memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh antara lain variasi posisi Nasion dan kemiringan garis oklusi. Dengan dasar pemikiran bahwa pemakaian lebih dari dua parameter akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas, maka sudut SGn AB yang diperkenalkan oleh Sarhan, dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa hubungan mandibula dan maksila ke kranium dalam jurusan anteroposterior.
Penelitian yang merupakan suatu studi awal ini dilakukan pada pasien dewasa yang datang ke klinik ortodontik FKGUI dari bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1993. Tujuannya membuktikan bahwa parameter SGn AB bersama-sama metode sudut ANB dan Wits dapat dipergunakan untuk identifikasi adanya displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior secara lebih baik.
Subjek yang diteliti berupa 70 sefalogram yang terdiri dari 45 wanita dan 25 pria berusia 19-25 tahun, bangsa Indonesia, belum pernah mendapat perawatan ortodontik. Dari setiap subjek diukur sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut SGn AB dan Wits.
Untuk mendapatkan klsifikasi maloklusi, sudut ANB diukur memakai ukuran Steiner yaitu 2° dengan SD ± 2°. Sudut SGn AB diukur menurut norma ukuran Sarhan dan Wits diukur sesuai ukuran Jacobson yaitu 0 mm dengan SD ± 1 mm. Dilakukan pengelompokan klasifikasi maloklusi antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.Kemudian dilihat tingkat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan sudut ANB, serta antara sudut SGn AB dan Wits.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits sebesar 24.2 %, dengan kelompok klasifikasi maloklusi yang berbeda sebesar 17 sampel. Pengukuran memakai sudut SGn AB menghasilkan koreksi sudut ANB sebesar 11 sampel, Wits sebesar 6 sampel. Ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB sebesar 14 %, dan ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan Wits sebesar 10 %.Terlihat bahwa ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits adalah lebih besar dari pada ketidakselarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.
Secara umum dapat disimpulkan posisi nilai sudut SGn AB yang terletak ditengah-tengah sudut ANB dan Wits, menunjukkan bahwa sudut SGn AB dapat digunakan untuk mengoreksi sudut ANB dan Wits secara seimbang. Dengan dernikian sudut SGn AB dapat digunakan sebagai alat bantu yang menunjang keakuratan pengukuran displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior, disamping metode sudut ANB dan Wits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Anie Lestari
"ABSTRAK
Tujuan perawatan ortodonsi diantaranya mendapatkan profil wajah yang optimal. Para ortodontis berpendapat bahwa posisi bibir merupakan faktor yang sangat penting dalam menilai estetika wajah seseorang . Dalam upaya menegakkan diagnosa pada faktor estetika dan rencana perawatan ortodonsi sering timbul keraguan, karena saat ini masih dipakai norma standar ras Kaukasoid yang mungkin saja tidak sesuai untuk bangsa Indonesia. Seperti diketahui penilaian wajah cantik menarik sifatnya subjektif dan banyak dipengaruhi oleh perasaan, akan tetapi hasil perawatan yang diharapkan seharusnya bersifat subjektif dan objektif. Dengan demikian penilaian yang objektif dari masyarakat umum perlu sekali. Sebagai sampel, masyarakat Jawa dipilih secara acak oleh penulis dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini mendapatkan nilai posisi bibir pada wanita yang dipandang balk terhadap garis E dari sudut pandang orang Indonesia suku Jawa dan untuk mengetahui apakah nilai posisi tersebut sama dengan standar Kaukasoid yang diteliti oleh Chaconas .
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menanyakan kepada 76 responden suku Jawa terhadap penilaian 25 serf gambar profil wajah tentang posisi bibir yang dianggap baik.
Hasil penelitian menunjukkan 52.7 % responden memilih profil dengan posisi bibir atas - 0.58 mm dan bawah 0 mm dari garis E. 23.7 % memilih profil dengan posisi bibir atas - 0.58 mm bibir bawah + 1.4 mm . Penulis menyimpulkan bahwa posisi bibir yang dianggap baik dari sudut pandang orang Indonesia suku Jawa terhadap garis E Chaconas adalah - 0.58 mm untuk bibir atas dan 0 mm untuk bibir bawah . Posisi tersebut berbeda dengan standar Chaconas yaitu posisi bibir atas berada di depan nilai standar .
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Gatot Wijanarko
"Permintaan akan perawatan ortodonti di klinik Spesialis FKG-UI meningkat dengan persentasi yang lebih besar pada usia di atas 16 tahun (67%) dibandingkan usia yang lebih muda. Pada penelitian yang terdahulu ditemukan bahwa pada usia 12 - 14 tahun sudah terjadi maloklusi (89%). Penelitian yang saya lakukan ini merupakan studi epidemiologis dasar untuk melihat prevalensi derajat keparahan maloklusi pada usia 12 - 14 tahun di Jakarta secara "crossectional" 270 sampel diambil secara multi stages cluster random sampling dari populasi remaja di Sekolah Menengah Pertama. Indeks HMAI (Handicapping Malocclusion Assessment index) digunakan untuk menilai derajat keparahan maloklusi baik pada laki-laki maupun perempuan.
Hasil penelitian memberi gambaran bahwa prevalensi terbanyak adalah malokiusi ringan sampai dengan berat (83,4%). Kelainan terbanyak adalah kasus berjejal (44,9%), gigi renggang (16,7%), gigi mendongos (6,3%), tumpang gigit dalam (6,3%), gigitan silang (12,3%) dan gigitan terbuka (13,2%). Tidak terdapat perbedaan prevalensi pada laki-laki atau perempuan. Tingkat kesadaran akan kebutuhan perawatan tinggi sesuai dengan tingkat keparahan maloklusi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrati Tjiptobroto
"ABSTRAK
Pengukuran tinggi muka bawah (TMB) dari beberapa pasien anak-anak yang mempunyai gigitan dalam dengan rasio "upper face height terhadap lower face height" (rasio UFH/LFH) didapatkan nilai yang bervariasi. Padahal TMB merupakan salah satu faktor dalam tata laksana gigitan dalam dan pemilihan jenis alat retensi. Maka penelitian ini bertujuan apakah pada gigitan dalam tidak selalu dijumpai TMB yang menurun dan apakah sudut palatomandibular (sudut PP-MP) yang lebih kecil dari normal menunjukkan TMB yang menurun.
Penelitian ini berdasarkan analisa vertikal dari sefalometri ronsenografik lateral, yang dilakukan pada anak-anak Indonesia yang datang di Klinik Pasca Sarjana FKG-Ul. Kriteria sampel adalah anak-anak dengan tumpang gigit lebih dari 50%, hubungan molar satu K1. I Angle dan belum pernah dirawat ortodonsi.
Uji statistik terhadap rasio UFH/LFH dan sudut PP-MP dengan chi kuadrat didapatkan nilai xa sebesar 0,51 dan 0,183 pada p=0,05 dan df=1. Pengujian terhadap kelompok sudut yang normal dan menurun dimana masing--masing kelompok didapati nilai rasio UFH/LFH normal dan meningkat didapatkan nilai x2' sebesar 15,384 dan 9,782 pada p.=:0,05 dan df=1.
Hasil penelitian menunjukkan pada gigitan dalam didapati TMB yang 'normal dan menurun. Penafsiran TMB menurut rasio UFH/LFH selalu sama dengan sudut PP-MP. Dan sudut PP-MP yang kurang dari normal menunjukkan TMB yang menurun. Kedua parameter ini cukup sensitif dan konsisten dalam menggambarkan TMB. Dengan penggunaan kedua parameter ini diharapkan pengukuran TMB lebih akurat."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haru Setyo Anggani
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ukuran Dento Kranio-Fasial Jurusan Vertikal pada populasi mahasiswa FKG-UI yang memiliki wajah selaras; proporsional, tidak ada disharmoni fasial, belum pernah dirawat ortodonsi serta mempunyai hubungan gigi geligi yang baik. Selain itu juga untuk mengetahui, apakah ada perbedaan ukuran tersebut di antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya diharapkan dapat dikembangkan pada populasi yang lebih luas sehingga akhirnya diperoleh norma-norma ukuran sefalometri komponen Dento Kranio-Fasial Jurusan vertikal yang sesuai dengan morfologi kranio-fasial berbagai populasi di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sefalometri. Pada gambar hasil penjiplakan pada sefalogram, diukur 12 komponen Dento Kranio-Fasial Jurusan vertikal yang kemudian dihitung nilai-nilai Mean, Range dan Standard Deviasinya. Kedua belas komponen Dento Kranio-Fasial tersebut adalah: Tinggi wajah total anterior, Tinggi wajah anterior atas, Tinggi wajah anterior bawah, Tinggi ramus naandibula, Tinggi wajah total posterior, Tinggi wajah posterior atas, Tinggi wajah posterior bawah, Tinggi dentoalveolar anterior atas, Tinggi dentoalveolar anterior bawah, Tinggi dentoalveolar posterior atas, Tinggx, dentoalveolar posterior bawah dan sudut antara bidang Mandibula dan garis SN.
Di antara laki-laki dan perempuan, ternyata terdapat perbedaan bermakna pada ukuranukuran Tinggi wajah total anterior, Tinggi wajah anterior atas dan Tinggi wajah total posterior. Diduga hal ini karena adanya dimorfisme seksual dalam ukuran. Sedangkan perbedaan bermakna ukuran Tinggi wajah posterior atas. dan Tinggi dentoalveolar posterior bawah kemungkinan lebih merupakan akibat tidak langsung adanya dimorfisme seksual dalam hal pola bentuk kranio-fasial. Secara garis besar, bila dibandingkan dengan norma-norma ras Kaukasoid, terlihat bahwa sampel penelitian ini lebih retruded. Hal tersebut terlihat pada isyarat-isyarat kecenderungan pola pertumbuhan yang lebih ke arah vertikal, tinggi dentoalveolar anterior atas dan bawah yang sedikit lebih panjang dan besarnya sudut SN-Hp."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yon Achmad Santosa
"ABSTRAK
Pada perawatan ortodonsi penggunaan perekat braket langsung merupakan salah satu tujuan untuk melakukan perawatan ortodonti dengan estetika yang baik. Dewasa ini banyak tersedia macam-macam bahan dasar dari pelekat braket langsung.
Pemilihan dari bahan perekat braket langsung perlu mempertimbangkan kuat rekat geser dari bahan tersebut, agar waktu perawatan sesuai dengan rencana yang telah diperkirakan.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan perbandingan nilai rata-rata kuat rekat geser perekat braket langsung yang berbahan dasar komposit (Unite) dan glas ionomer (Fuji Ortho LC) menggunakan alat "mechanical testing machine" Shimadzu AG-5000 dengan "cross head speed" 5 mm/menit.
Hasil penelitian dianalisis dengan u j i t menunjukkan bahwa kuat rekat geser braket logam yang direkatkan dengan bahan dasar komposit (Unite) berbeda bermakna dengan kuat rekat geser braket logam yang direkatkan dengan bahan dasar glas ionomer (Fuji Ortho LC) (t=7,909 p < 0,05). "
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Rosalina, Author
"Bertambah majunya teknik perawatan dan material di bidang ortodonsi, memungkinkan perawatan ortodonsi dilakukan dalam tiga arah yaitu anteroposterior, vertical, dan lateral. Oleh karena itu diagnosis harus ditegakkan pada ketiga arah tersebut, sehingga pemilihan teknik perawatan dan materialpun tepat, dan di dapat basil perawatan yang sesuai dengan harapan.
Maloklusi dalam arah vertikal dapat terjadi dalam bentuk gigitan dalam dan gigitan terbuka. Kesulitan mengoreksi gigitan dalam telah lama diketahui. Selama ini terdapat banyak perbedaaan pendapat mengenai etiologi gigitan dalam dan juga bagaimana merawatnya.
Pengurangan gigitan dalam biasanya dilakukan pada tahap awal perawatan ortodontik yang dapat dicapai dengan cara intrusi insisif ekstrusi molar, proklinasi insisif atau kombinasi dari semuanya. Intrusi gigi insisif lebih disukai pada pasien dengan muka anterior bawah yang lebih besar dari rata-rata. Dengan menghindari ekstrusi molar maka dimensi vertikal wajah tidak berubah, ruang interoklusal tidak hilang serta memperbalki estetika karena insisal gigi depan dapat ditempatkan ke posisi yang harmonis dengan garis bibir. Posisi tepi insisal pada akhir perawatan idealnya kira-kira 3 mm di bawah garis bibir pada regio anterior.2
Pada teknik Begg intrusi gigi depan dicapai dengan pembuatan tekukan penjangkaran pada kawat busur, dan diletakkan di mesial tube M, kurarig lebl antara gigi P2 dan Mi , yang biasanya disertai pemakaian karet pada kasus malaklusi klas I dan klas II div I. Pemberian tekukan penjangkaran untuk mengintrusi gigi depan, yang disertai pemakaian karet klas II untuk menggeser gigi depan, tidak terlepas dari aksi dan reaksi antara gigi molar dan gigi depan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library