Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simamora, Sontang MS
Abstrak :
Lalar belakang. Integrasi merupakan elemen penting pada kurikulum. Melaksanakan integrasi memerlukan wak-tu banyak, perencanaan, organisasi dan pengambilan keputusan dari perancang kurikulum. Tujuan pelaksanaan integrasi agar pencapaian kompetensi dapat terlaksana. Penyusunan rancangan blok saat ini dalam hal integrasi masih bervariasi antara satu blok dengan blok lainnya, dalam hal bagaimana integrasi dirancang dan atau dilaksanakan. Mengacu pada integration/adder dari Harden yakni tingkat 1 sid 4 merupakan integrasi berbasis disiplin, sedangkan 5 sId 10 integrasi menyilang ke beberapa disiplin. Pada tingkat yang terakhir, mahasiswa memegang tanggung jawab mengenai integrasi dan mereka diberikan alat bantu untuk mengerjakannya. Hasil penelitan bertujuan untuk mengetahui tingkat integrasi klliiah biokimia dan untuk peningkatan penyusunan rancangan intruksional blok dan kuliah Ale/ode. Hasil. Penelitian di lalmkan di fakultas kedok1:eran UKl terhadap kuliah biokimia, responden adalah 159 mahasiswa semester 3 peserta blok kardiovasklller. Disusun 25 pertanyaan berbeda sehubungan dengan tingkat integrasi dengan penilaian antara 1 (nilai terendah) sid 6 (nilal tertinggi) yang diberikan oleh mahasiswa. Telah dilalmkan validasi kuesioner. Di lakukan analisis data dengan Student t-test. Ditemukan hasil bahwa keintegrasian kuliah biokimia pada blok kardiovaskuler pada hasil penelitian ini masih taraf integrasi berbasis disiplin dibandingkan dengan tingkat integrasi lebih tinggi. Nilai rata-rata tertinggi yang diberikan mahasiswa adalah 3,17. Nilai yang diberikan mahasiswa tentang integrasi berbasis disiplin adalah 3.03 dengan SD 1,164 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat integrasi diatasnya yakni 2,75 dengan SO 1,186. Kesimpulan. Dengan mengikuti tingkat integrasi dari Harden (11 tingkatan) maka pada penelitian ini di dapat tingkat integrasi biokimia pada blok kardiovaskuler masih integrasi berbasis disiplin setingkat awareness. HasH nilai penelitian integrasi ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian lainnya.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrahwati Sudarmo
Abstrak :
ABSTRAK
Pneumocystis jirovecii adalah penyebab infeksi oportunistik di saluran pernapasan bawah pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, terutama pada pasien HIV. Pemeriksaan infeksi P.jirovecii di Indonesia masih berdasarkan pemeriksaan klinis dan mikroskopis, yang memerlukan waktu yang cukup lama, kurang sensitif dan spesifik. Karena alasan tersebut dalam penelitian ini dikembangkan uji molekuler real time PCR (rPCR) yang lebih sensitif dan spesifik. Uji rPCR telah berhasil dioptimasi dengan kemampuan deteksi minimum DNA 6,55 copy/μl dan tidak bereaksi silang dengan mikroorganisme yang diuji pada penelitian ini. Dibandingkan dengan uji mikroskopis, uji rPCR memberikan hasil positif 20% lebih tinggi daripada uji mikroskopis. Uji rPCR dapat mendeteksi P.jirovecii pada sampel klinis sputum dan sputum induksi dari pasien HIV dengan pneumonia dengan jumlah sel CD4+ > 200 maupun ≤ 200. Oleh karena itu, uji rPCR yang telah dioptimasi dalam studi ini dapat mendeteksi P.jirovecii pada sampel klinis sputum dan sputum induksi dari pasien HIV dengan pneumonia dengan jumlah sel CD4+ > 200 maupun ≤ 200
ABSTRACT
Pneumocystis jirovecii is the cause of opportunistic infections in the lower respiratory tract in individuals with weakened immune systems, especially in patients with HIV. Examination P.jirovecii infection in Indonesia was based on clinical and microscopic examination, requiring considerable time, less sensitive and specific. Because of these reasons in this study developed a molecular test real time PCR (rPCR) is more sensitive and specific. rPCR test has been successfully optimized with minimum DNA detection capabilities 6.55 copy/μL and do not cross-react with the microorganisms were tested in this study. Compared with microscopic test, test rPCR gives positive result 20% higher than the microscopic test. rPCR test can detect P.jirovecii on clinical samples of sputum and sputum induction of HIV patients with pneumonia with CD4+ cell counts > 200 or ≤ 200. Therefore, rPCR test which has been optimized in this study can detect P.jirovecii in clinical sputum samples and sputum induction of HIV patients with pneumonia with CD4+ cell counts > 200 or ≤ 200
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeanne Elvia Christian
Abstrak :
ABSTRAK
Uji Western blot masih menjadi gold standard untuk konfirmasi diagnosis infeksi HIV yang memerlukan ketiga protein utama HIV, yaitu env, pol, dan gag. Kekurangan pada uji ini yaitu kemungkinan adanya kontaminasi dengan protein selular manusia serta pembuatannya yang relatif mahal. Selain itu, diversitas HIV-1 yang tinggi menyebabkan uji western blot menjadi kurang sensiftif. Penggunaan antigen rekombinan yang imunodominan dan lestari menjadi alternatif lain. Uji RIBA Recombinant Immunoblot Assay pada penelitian ini menggunakan antigen rekombinan dari keempat subtipe HIV-1 yang dominan di Indonesia, yaitu subtipe CRF01_AE, B, CRF02_AG, dan C. Antigen rekombinan Gag p24 , Pol IDR , Env gp41 IDR diekspresikan pada sistem ekspresi E.coli dan dipurifikasi menggunakan kromatografi Ni-NTA. Antigen rekombinan yang telah dimurnikan dilihat reaktivitasnya terhadap sampel serum pasien dengan HIV-AIDS sebanyak 50 sampel dan non HIV-AIDS 45 sampel. Sebanyak 21 sampel HIV-AIDS dan 3 sampel non HIV-AIDS dilakukan uji menggunakan kit Western blot MP Diagnostics HIV blot 2.2 sebagai perbandingan terhadap uji RIBA yang menggunakan metode Western blot. Hasil perbandingan memperlihatkan hasil uji RIBA memiliki reaktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan hasil uji kit MP Diagnostics HIV Blot 2.2 dengan persentase reaktivitas terhadap protein p24 95,2 20/21 , protein Pol 85,7 18/21 , dan protein gp41 100 21/21 . Pada uji RIBA, 5 sampel tidak menunjukkan reaktivitas terhadap antigen rekombinan Pol IDR dan 4 sampel tidak menunjukkan reaktivitas terhadap antigen rekombinan Gag p24 . Seluruh sampel menunjukkan reaktivitasnya terhadap antigen rekombinan Env gp41 IDR . Penelitian mengenai uji RIBA ini dapat dikembangkan untuk uji diagnostik HIV-1 dengan subtipe-subtipe HIV-1 yang banyak ditemukan di Indonesia.
ABSTRACT
ern blot test is still the gold standard to confirm the diagnosis of HIV 1 infection. This test requires three core of HIV proteins, i.e., env, pol, and gag. Nevertheless, this test has several disadvantages, mainly in possibility of contamination with human cellular proteins as well as production cost is relatively expensive. In addition, the high diversity of HIV 1 may causes Western blot test to be less sensitive. Another method that can be used to overcome these obstacles is the use of immunodominant region and conserved region of recombinant antigen in the assay, also known as RIBA Recombinant Immunoblot Assay . In this research, recombinant antigens were derived from the four subtypes of HIV 1 that are dominant in Indonesia, which are CRF01 AE subtype, B subtype, CRF02 AG subtype, and C subtype. The recombinant antigens comprises Gag p24 , Pol IDR , Env gp41 IDR . Each of antigens was expressed in E. coli expression system and purified using Ni NTA chromatography. Reactivity test of purified antigen was done against a group consist 50 serum samples with HIV AIDS and 45 serum samples without HIV AIDS. Twenty one samples with HIV AIDS and 3 samples without non HIV AIDS test were done using Western blot kit MP Diagnostics HIV blot 2.2 too as a comparison toward the RIBA test that using Western blot method. The results showed that RIBA test had better reactivity than kit test with reactivity percentage toward p24 95,2 20 21 , Pol 85,7 18 21 , and gp41 100 21 21 . RIBA test results performed 5 samples with negative reactivity toward recombinant antigens Pol IDR and 4 samples with negative reactivity toward recombinant Gag antigen p24 . All the samples had positive reactivity toward recombinan recombinant antigen Env gp41 IDR . As diagnostic kit, this RIBA test shows broad possibility for development in diagnosis HIV 1 infection especially with HIV 1 subtypes that circulate in Indonesia.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dolly Dolven Kansera
Abstrak :
Latar Belakang. Sindrom pulih imun (SPI) TB adalah fenomena yang sudah dikenal luas yang dapat menyulitkan terapi antiretroviral. Saat ini belum ada penelitian mengenai insidens dan faktor prediktor terhadap terjadinya SPI TB di Indonesia. Dengan mengetahui insidens dan faktor prediktor yang berperan diharapkan dapat membantu klinisi mengidentifikasi terjadinya SPI TB dan merencanakan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan. Tujuan. Mengetahui insidens, kesintasan, dan faktor-faktor prediktor terjadinya SPI TB pada pasien HIV dewasa yang dalam terapi ARV lini pertama. Metode. Penelitian kohort retrospektif terhadap 1344 pasien yang mendapat terapi antiretroviral untuk pertama kali di RSCM pada kurun waktu Januari 2007 - Desember 2011. Faktor prediktor yang diteliti adalah indeks massa tubuh (IMT) saat memulai ARV, jumlah CD4+ baseline, perubahan jumlah CD4+ setelah ARV (pada kedua jenis SPI), interval pemberian OAT dan ARV dan terdapatnya TB ekstraparu atau diseminata (pada yang paradoksikal). Analisis Cox Proportional Hazard Model dilakukan untuk mendapatkan adjusted Hazard Ratio (HR) prediktor yang diteliti. Hasil. Insidens kumulatif SPI TB paradoksikal adalah 11,73 % dengan incidence density 0,59 per 100 pasien-minggu, kesintasan kumulatif 87,1 % (SE 1,8 %), serta rerata kesintasan 22,14 minggu (interval kepercayaan [IK] 95% 21,56-22,70). Insidens kumulatif SPI TB unmasking adalah 3,05 % dengan incidence density 0,29 per 100 pasien-minggu, kesintasan kumulatif 96,6 % (SE 0,6 %), serta rerata kesintasan 11,82 minggu (interval kepercayaan [IK] 95% 11,74-11,90). IMT (adjusted HR 4,141; IK 95% 2,318 – 7,397) dan TB ekstra paru (adjusted HR 4,659; IK 95% 2,556 – 8,489) adalah faktor prediktor yang bermakna terhadap terjadinya SPI TB paradoksikal, sedangkan IMT (adjusted HR 2,755; IK 95% 1,214 – 6,254) menjadi satu-satunya faktor prediktor yang bermakna pada SPI TB unmasking. Kesimpulan : Insidens kumulatif SPI TB paradoksikal adalah 11,73 %, sedangkan insidens kumulatif SPI TB unmasking adalah 3,05 %. IMT dan TB ekstra paru adalah faktor prediktor yang bermakna terhadap terjadinya SPI TB paradoksikal, sedangkan IMT menjadi satu-satunya faktor prediktor yang bermakna pada SPI TB unmasking. ......Background. Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) TB is a widely-known phenomenon complicating antiretroviral therapy. There have been no research about incidence of IRIS TB in Indonesia and about predictors of IRIS TB. Determination of incidence and predictors of IRIS TB is expected to help clinicians to identify IRIS TB event earlier in order to manage the patient better and to prevent the event. Objective. The objective of this research was to determine the incidence, survival, and predictors of IRIS TB event in adult HIV patient on first line antiretroviral therapy. Method. Retrospective cohort was performed to 1344 patients (392 patients have been diagnosed with TB and 952 patients have not) who received antiretroviral therapy for the first time in RSCM Hospital between January 2007 – December 2011. The predictors analyzed in this research were body mass index (BMI), baseline CD4+, changes of CD4+ after ARV therapy (in both type of IRIS TB), time interval between anti tuberculosis and antiretroviral therapy initiation, and the presence of extrapulmonary or disseminated TB (in paradoxical IRIS TB). Cox Proportional Hazard Model analysis was performed to get adjusted Hazard ratio (HR) of the observed predictors. Result. Cumulative incidence of paradoxical IRIS TB was 11,73 % with incidence density 0,59 per 100 patient-week, cumulative survival 87,1 % (SE 1,8 %), and mean survival 22,14 weeks (CI 95% 21,56-22,70). Meanwhile, cumulative incidence of unmasking IRIS TB was 3,05 % with incidence density 0,29 per 100 patient-week, cumulative survival 96,6 % (SE 0,6 %), and mean survival 11,82 weeks (CI 95% 11,74-11,90). BMI (adjusted HR 4,141; CI 95% 2,318 – 7,397) and extrapulmonary TB (adjusted HR 4,659; CI 95% 2,556 – 8,489) were predictors for paradoxical IRIS TB, while BMI (adjusted HR 2,755; CI 95% 1,214 – 6,254) was the only predictor for unmasking IRIS TB. Conclusion: Cumulative incidence of paradoxical IRIS TB was 11,73 % with cumulative survival 87,1 % and mean survival 22,14 weeks. Meanwhile, Cumulative incidence of unmasking IRIS TB was 3,05 % with cumulative survival 96,6 % and mean survival 11,82 weeks. BMI and extrapulmonary TB were predictors for paradoxical IRIS TB, while BMI was the only predictor for unmasking IRIS TB.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mailani Dwi Hidayati
Abstrak :
Tungau debu rumah (TDR) adalah salah satu sumber alergen yang paling umum. Sensitisasinya dapat menyebabkan asma. Alergen TDR kelompok 1 adalah alergen kuat anggota keluarga protease sistein yang mampu mengaktifkan alergen lain: kelompok 3, 6, dan 9 yang memiliki aktivitas protease serin. Aktivitas proteolitik terlibat dalam etiologi asma melalui meningkatkan permeabilitas sel epitel saluran napas yang memungkinkan alergen tersebut bersama alergen lain melewati sel epitel dengan memotong protein antar sel. Tubuh manusia memiliki inhibitor protease seperti alpha-1 antitripsin (AAT) merupakan antiprotease serin dan sistatin C merupakan antiprotease sistein. AAT diketahui juga merupakan protein fase aktif positif yang terlibat dalam mekanisme resolusi inflamasi. Sistatin C secara signifikan berhubungan dengan beberapa marker inflamasi seperti protein C-reaktif, IL-6, dan TNF-α. Penelitian kami bertujuan mengetahui keadaan AAT dan sistatin C serum pasien asma TDR. Sebuah studi potong lintang dari 10 pasien asma TDR dan 10 subjek sehat dilakukan. Aktivitas penghambatan AAT dan sistatin C serum diukur dengan uji enzimatik. Konsentrasi AAT dan sistatin C serum diukur dengan metode ELISA. Tidak ada perbedaan signifikan pada aktivitas penghambatan AAT serum (p=0,445, p>0,05), konsentrasi AAT (p=0,290, p>0,05), dan konsentrasi sistatin C (p=0,290, p>0,05). Aktivitas penghambatan sistatin C serum pada pasien asma secara signifikan lebih tinggi daripada subjek sehat (p=0,001, p<0,05). Tidak ada korelasi antara aktivitas penghambatan AAT dan konsentrasi AAT atau korelasi antara aktivitas penghambatan sistatin C dan konsentrasi sistatin C yang diamati. Aktivitas sistatin C pada asma TDR signifikan lebih tinggi daripada subjek sehat. Sedangkan, aktivitas AAT, konsentrasi AAT, dan sistatin C pada pasien asma TDR tinggi tidak signifikan daripada subjek sehat. ......House dust mite (HDM) is one of the most common sources of allergen. Its sensitization can lead to asthma. The group 1 mite allergens are potent allergens belonging to the papain-like cysteine protease family. Moreover, the group 1 mite allergens were able to activate others like groups 3, group 6, and group 9 that have serine protease activity. The proteolytic activity involves the etiology of asthma by increasing the permeability of the airway epithelial cell and allowing themselves and other allergens to pass through the epithelial cells by cleaving the cell surface molecules. The human body has natural inhibitor protease like alpha-1 antitrypsin (AAT) which has anti-serine protease and cystatin C which has anti-cysteine protease. AAT is known as an acute phase protein that is involved in the inflammation resolution mechanism. Cystatin C was significantly correlated with several inflammatory markers such as C-reactive protein, IL-6, and TNF-α. Our study aimed to investigate the behavior of serum alpha-1 antitrypsin and cystatin C in patients with house dust mite asthma. A cross-sectional study of 10 patients with HDM allergic asthma and 10 healthy subjects were carried out. Serum AAT and cystatin C inhibitory activity were measured with enzymatic assays. While serum AAT and cystatin C concentration were determined by ELISA method. No significant differences in serum AAT inhibitory activity (p=0.445, p>0.05), serum AAT concentration (p=0.290, p>0.05), and cystatin C concentration (p=0.290, p>0.05). Serum cystatin C inhibitory activity in asthmatic patients was significantly higher than healthy subject (p=0.001, p<0.05). Neither correlation between the AAT inhibitory activity and the AAT concentration or correlation between cystatin C inhibitory activity and cystatin C concentration was observed. In conclusion, the activity of cystatin C in dust mite asthma is significantly higher than in healthy subjects. Whereas the activity of AAT, concentration of AAT, and cystatin C in dust mite asthma patients are insignificantly higher than in healthy subjects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Rachmadi
Abstrak :
Latar belakang : Ketahanan Nasional mencakup ketahanan diberbagai bidang termasuk ketahanan di bidang kesehatan. Kemandirian dalam bidang kesehatan mendukung ketahanan nasional. Untuk menilai kemandirian dalam bidang kesehatan pada penelitian ini dipergunakan kebijakan dan pelaksanaan penanggulangan AIDS di Indonesia, pengadaan obat ARV dan obat lain yang diperlukan masyarakat, pengembangan vaksin flu burung dan kerjasama penelitian dengan laboratorium Namru. Landasan Teori: Teori yang digunakan adalah teori ketergantungan negara yang sedang berkembang terhadap negara maju dalam pembangunan negara berkembang. Disamping itu juga teori ketahanan nasional mengenai kekuatan disegala bidang termasuk bidang kesehatan sesuai dengan kondisi lingkungan dan perubahan zaman. Hasil : 1. Strategi nasional penanggulangan AIDS di Indonesia telah memuat kebijakan untuk melaksanakan penanggulangan dengan kekuatan sendiri ditambah dengan bantuan dari luar negeri. Hanya saja dalam pelaksanaan program HIV/AIDS tersebut sebagian besar masih bergantung pada bantuan dari luar baik dalam bidang konsep, teknologi maupun dana. Dari segi dana sekitar 70% dari pendanaan yang diperlukan masih berasal dari luar. Pada pelaksanaan program aspek budaya lokal masih kurang dipertimbangkan 2. Dalam pengadaan obat ARV Indonesia telah berhasil mengadakan obat AIDS dasar melalui perjuangan yang cukup melelahkan. Kesinambungan pengadaan obat tersebut masih terancam isu mutu yang dikemukakan oleh WHO dan lembaga internasional lainnya. 3. Telah timbulmya kesadaran mengenai pentingnya kepemilikan virus flu burung strain Indonesia yang selama ini dimanfaatkan oleh industri farmasi internasional untuk pengembangan vaksin flu burung tanpa memberi keuntungan pada Indonesia. 4. Timbulnya kesadaran mengenai ketimpangan kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dalam operasional laboratorium penelitian Namru. Kesimpulan : Dari penelaahan kasus penanggulangan AIDS, pengadaan obat ARV, Vaksin flu Burung dan Laboratorium Namru didapatkan ketergantungan Indonesia pada pihak luar masih tinggi. Telah timbul kesadaran tentang hak?hak Indonesia serta keinginan utuk lebih mandiri dalam bidang kesehatan. Upaya untuk mandiri tersebut memerlukan kesadaran mengenai ketahanan nasional baik di kalangan pemerintah, masyarakat, serta kalangan bisnis. Karena itu sosialisasi mengenai ketahanan nasional perlu digalakan, secara terus menerus.
Background: National resilience is build by many aspects of resilience including resilience in health sector. Reliance in health sector support national resilience. To evaluate reliance in Indonesian health sector in this study government policy and program in AIDS control, availability of AIDS drug , development of flu vaccine and cooperation with Namru (Naval Army Medical Reasearch Unit) United State of America was analyzed. Theoritical background: In this study development dependency theory in developing countries was used. Beside this theory, national resilience theory including resilience in all aspects of life including health sector is used as a tool to analyzed Indonesian government policy and program in health. Result: 1. Indonesian government policy in AIDS Control strategy already considered self reliance as important factor to control AIDS in Indonesia. Foreign supports are welcome as complement to national program. However in program implementation there is dependency to foreign donor in conceptual thought, technology and fund. In financing the program 70% of fund is still from foreign country. In implementation of AIDS control program local culture and social condition is not optimally considered. 2. AIDS drug avabiality program has already provided Indonesian people with affordable drug but the process to produce this drug in Indonesia is not easy. Indonesia has to fight its right because many international company opposed this program. Issue on quality became big issue to stop this national program. 3. Concern about right to share the Indonesian avian flu viral strain inv developing flu vaccine already exist. However Indonesia also has to fight to get its right. 4. Equal partnership principle in agreement between Indonesia and United State of America in Namru laboratory cases also not represented in agreement and as the qonsequences also in laboratory operation. Conclusion: Analysis from AIDS National control program, AIDS drug national production, development of flu vaccine and Namru laboratory showed that Indonesia is in weak position. Although concern about national security and national resilience in Indonesia already exist but in implementation developed contries as donor is still very dominan. International agencies also dominated by developed countries so it position is difficult to support developing countries right. To improve national resilience condition, alertness on national resilience issues in government, bussines sector and public should be rised. Every sectors should strengthen their capacity to support Indonesian government bargain power to plan and supervise programs supported by foreign donors.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25494
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dianne Adha
Abstrak :
Latar Belakang : Tingginya prevalensi penyakit HIV/AIDS di Indonesia, tidak banyak penelitian tentang pengaruh bahan alam terhadap imunitas sehubungan dengan infeksi HIV, adanya fakta berbagai penelitian yang menyatakan kurkumin dapat mempengaruhi berbagai faktor transkripsi dan belum terdapat informasi mengenai pengaruh kurkumin terhadap ekspresi mRNA APOBEC3G , maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui dan menilai aktivitas kurkumin terhadap ekspresi mRNA APOBEC3G pada sel PBMC manusia.

Metode : Isolasi PBMC dari whole blood dan mengkultur sel PBMC dengan kurkumin konsentrasi 10uM, 20uM dan 50uM , diinkubasi selama 24 dan 48 jam. Kemudian dilakukan isolasi RNA pada setiap kelompok perlakuan, mengukur konsentrasi dan kemurnian RNA. Dilakukan analisis ekspresi mRNA APOBEC3G menggunakan real-time RT PCR, nilai Ct dari setiap perlakuan diolah menggunakan metode Livak sehingga diperoleh nilai tingkat ekspresi relatif APOBEC3G yang dipengaruhi kurkumin. Dilakukan elektroforesis gel dan sekuensing untuk memastikan primer yang digunakan spesifik untuk APOBEC3G dan GAPDH.

Hasil : Pada perlakuan kurkumin konsentrasi 10uM, 20uM dan 50uM yang diinkubasi 24 jam didapatkan jumlah sel pada masing-masing perlakuan konsentrasi kurkumin 8x105, 7,5x105 dan 7x105. Jumlah total RNA masing-masingnya 103,4; 101,1 dan 95,9. Tingkat ekspresi relatif mRNA APOBEC3G 0,66; 0,60 dan 0,49. Sedangkan pada inkubasi 48 jam jumlah sel pada masing-masing perlakuan konsentrasi kurkumin 6,5x105, 6x105 dan 5x105. Jumlah total RNA masing-masingnya 74,95; 69,75 dan 53,7. Tingkat ekspresi relatif mRNA APOBEC3G 0,59; 0,47 dan 0,40. Kesimpulan : Semakin tinggi konsentrasi kurkumin dan semakin lama waktu inkubasi menunjukkan semakin berkurang jumlah sel, jumlah RNA total dan tingkat ekspresi relatif mRNA APOBEC3G.
Background : High prevalence of HIV/AIDS in Indonesia, there are not many research about effects of natural resources to immunity in context of HIV infection, though there are facts about research which states curcumin can affect various transcription factors and none about effect of curcumin on expression of mRNA APOBEC3G, therefore this research is conducted in order to obtain information and measure curcumin's activity on APOBEC3G mRNA expression in human PBMC cell.

Methods : PBMC isolation from whole blood specimen and PBMC culture with curcumin concentration of 10uM, 20uM, 50uM, incubated for 24 and 48 hours. After incubation RNA isolation procedure was then conducted on each group treatment followed by concentration and purity measurement of RNA. Expression analysis of APOBEC3G mRNA using real-time RT PCR was performed. Livak method was used to procces Ct results from each treatment which results in relatives expression levels of APOBEC3G effected by curcumin. Gel electrophoresis and sequencing was done to make sure that primers being used are specific for APOBEC3G and GAPDH.

Results : On treatment concentration of curcumin 10uM, 20uM and 50uM which has been incubated for 24 hours received results of curcumin concentration of 8x105, 7,5x105 and 7x105. Total rna results 103,4; 101,1 and 95,9. Relative expression levels of APOBEC3G mRNA 0,66; 0,60 and 0,49. 48 hour incubation received results of curcumin concentration of 6,5x105, 6x105 and 5x105. Total rna results 74,95; 69,75 and 53,7. Relative expression levels of APOBEC3G mRNA 0,59; 0,47 and 0,40.

Conclusion : Higher levels of curcumin concentration and longer incubation periods shows decreased cell count, total RNA number and relative expression level of mRNA APOBEC3G.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Octaviana
Abstrak :
Pendahuluan: Prevalensi neuropati sensorik HIV (NS-HIV) di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2006 adalah 33%, saat seluruh pasien mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) stavudine. Walaupun stavudine tidak digunakan lagi, pasien masih mengeluhkan gejala NS-HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan NS-HIV dan nyeri neuropatik; kadar kemokin CCL5 plasma dan antibodi IgG CMV pada NS-HIV dan nyeri neuropatik. Tujuan lain adalah untuk mengetahui dan gambaran intra-epidermal nerve fiber density (IENFD) dan makrofag CD14+ perineural pada NS-HIV. Metode: Penelitian potong lintang yang dilakukan di RSCM pada tahun 2015-2017. Didapatkan 197 pasien HIV dalam terapi ARV tanpa stavudin >12 bulan. NS-HIV ditegakkan berdasarkan The AIDS Clinical Trial Group Brief Peripheral Neuropathy Screening Tool (ACTG-BPNST/BPNST), sedangkan nyeri neuropatik dinilai menggunakan kuesioner Douleur Neuropathique 4 (DN4). Dilakukan pengambilan darah untuk mengukur hitung sel T CD4+, viral load, CCL5, antibodi IgG CMV. Dilakukan pemeriksaan nerve conduction study (NCS) dan Stimulated SkIin Wrinkle (SSW) test. Biopsi kulit dilakukan pada 9 pasien NS-HIV dan 5 pasien tanpa NS (NS-) untuk menilai intra-epidermal nerve fiber density (IENFD) dan makrofag CD14+ perineural dan dibandingkan kontrol sehat. Hasil: Prevalensi NS-HIV adalah 14,2% sedangkan prevalensi nyeri neuropatik 6,6%. Faktor yang berhubungan dengan NS-HIV adalah viral load >500 kopi/ml dan meningkatnya usia. Faktor yang berhubungan dengan nyeri neuropatik adalah penggunaan ARV Protease Inhibitor (PI) dan durasi ARV< 2 tahun. Kadar CCL5 plasma dan antibody IgG CMV tidak berhubungan terhadap NS-HIV dan nyeri neuropatik. Median IENFD pada pasien NS-HIV lebih rendah dibandingkan pasien HIV tanpa neuropati (3 vs 5,8 /mm2); median IENFD pasien HIV dengan dan tanpa neuropati sensorik lebih rendah dibandingkan kontrol sehat (11,2/mm2). Empat dari lima pasien NS-HIV dengan INEFD rendah mempunyai hitung CD4+ nadir yang rendah. Makrofag CD14+ dapat diidentifikasi perineural pada pasien NS-HIV dan pasien HIV tanpa neuropati sensorik. Kesimpulan: Prevalensi NS-HIV menurun jauh saat stavudin tidak lagi digunakan. Prevalensi nyeri neuropatik lebih rendah dari prevalensi NS-HIV. Meningkatnya usia dan terdeteksinya viral load berhubungan dengan NS-HIV; PI dan durasi penggunaan ARV yang lebih pendek berhubungan dengan nyeri neuropatik. IENFD pasien HIV lebih rendah dibandingkan kontrol sehat. Pasien NS-HIV dengan IENFD rendah memiliki hitung CD4+ nadir yang rendah. Makrofag CD14+ perineural di epidermis dapat diidentifikasi pada pasien HIV dengan dan tanpa neuropati sensorik.
Introduction: Prevalence of HIV associated sensory neuropathy (HIV-SN) in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) was 33% in 2006 where all patients used stavudine. Despite stavudine use has been reduced; some patients still complain the symptom of HIV-SN. This study aimed to explore the prevalence and associated factors of HIV-SN and neuropathic pain; to know plasma CCL5 chemokine level and CMV IgG antibody in HIV-SN and neuropathic pain; to study the pattern of intra-epidermal nerve fiber density (IENFD) and perineural CD14+ macrophage in HIV-SN. Method: It was a cross sectional study carried out at CMH from 2015 until 2017. We tested 197 HIV patients who had antiretroviral treatment (ART) without stavudine for >12 months. The AIDS Clinical Trial Group Brief Peripheral Neuropathy Screening Tool (ACTG-BPNST/BPNST) and Douleur Neuropathique 4 (DN4) questionnaire were used to assess HIV-SN and neuropathic pain respectively. Nerve conduction study (NCS) and Stimulated Skin Wrinkle (SSW) test were performed. The current CD4+ T-cell counts, viral load, CCL5 and IgG CMV antibidoy were measured. Skin biopsy was performed in 5 HIV-SN and 9 HIV-NoSN to assess IENFD and CD14+ macrophage compare to healthy control subjects. Result: The prevalence of HIV-SN was 14.2% and neuropathic pain was 6.6%. Viral load >500 copies HIV-RNA/ml and increasing age were associated with HIV-SN, while protease inhibitor (PI) and ART duration<2 years were associated with neuropathic pain. CCL5 plasma level and CMV IgG antibody were not associated with HIV-SN and neuropathic pain. IENFDs in HIV-SN were lower than HIV-NoSN (3 vs 5.8/mm2, respectively); IENFDs in HIV patients generally were lower than healthy control (11.2/mm2). Four of 5 HIV-SN patients with low IENFD had low nadir CD4+ T-cell count. CD14+ macrophage can be identified around the nerves of both HIV-SN and HIV-NoSN patients. Conclusion: Prevalence of HIV-SN in the era without stavudine is lower. Prevalence of neuropathic pain is lower than prevalence of HIV-SN. Increasing age and detectable viral load are associated with HIV-SN; PI and shorter duration of ART are associated with neuropathic pain. IENFDs in HIV patients are lower than healthy control. HIV-SN patients with low IENFD tend to have low nadir CD4+ T-cell count. CD14+ macrophage is present in both HIV patients with and without sensory neuropathy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Eliana
Abstrak :
Latar Belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekambuhan seperti, faktor klinis yaitu usia dan jenis kelamin, riwayat keluarga, besarnya ukuran kelenjar tiroid, ada tidaknya oftalmopati; faktor genetik yang berperan pada kejadian GD; dan faktor imunologi yaitu jumlah sel T regulator, kadar interleukin 10 (IL-10), interleukin 17 (IL-17) dan antibodi pada reseptor tiroid (TRAb). Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol yang membandingkan 36 pasien GD yang kambuh dan 36 pasien GD yang tidak kambuh. Pemeriksaan polimorfisme gen dilakukan dengan metode PCR RFLP. Pemeriksaan jumlah sel T regulator dengan flowsitometri. Pemeriksaan IL-10, IL-17 dan TRAb dengan ELISA. Hasil: Analisis hasil penelitian membuktikan hubungan antara kekambuhan dengan faktor keluarga (p 0,008), usia saat didiagnosis (p 0,021), oftalmopati derajat 2 (p 0,001), kelenjar tiroid yang membesar melebihi tepi lateral muskulus sternokleidomastoideus (p 0,040), lamanya periode remisi (p 0,029), genotip GG gen CTLA-4 nukleotida 49 kodon 17 pada ekson 1 (p 0,016), genotip CC gen tiroglobulin nukleotida 5995 kodon 1980 pada ekson 33 (p 0,017), genotip CC gen TSHR SNP rs2268458intron 1 (p 0,003), jumlah sel T regulator (p 0,001), kadar IL-10 (p 0,012) dan kadar TRAb (p 0,002). Penelitian ini juga membuktikan hubungan antara faktor klinis yaitu faktor keluarga, usia, oftalmopati, pembesaran kelenjar tiroid dan lamanya periode remisi; dengan faktor genetik dan respons imun. Simpulan: Polimorfisme genotip gen CTLA-4 nukleotida 49 kodon 17 ekson 1, gen tiroglobulin nukleotida 5995 kodon 1980 ekson 33, gen TSHR SNP rs2268458 intron 1 dan sel T regulator berperan sebagai faktor risiko kambuh pada pasien penyakit Graves. ...... Background: The management of Graves? disease (GD) is initiated with the administration of antithyroid drugs; however, it requires a long time to achieve remission and more than 50 percent of patients who had remission may be at risk for relapse after the drug is stopped. This study was aimed to identify factors affecting relapse of Graves? Disease Methods: This was a case-control study comparing 36 patients relapsed GD and 36 patients who did not relapse. Genetic polymorphism examination was performed using PCR-RFLP. The number of regulatory T cells was counted using flow cytometry analysis and ELISA was used to measure serum IL-10, IL-17 and TRAb. Results: The analysis of this study demonstrated that there was a correlation between relapse of disease and family factors (p 0.008), age at diagnosis (p 0.021), 2nd degree of Graves? ophthalmopathy (p 0.001), enlarged thyroid gland, which exceeded the lateral edge of the sternocleidomastoid muscles (p 0.040), duration of remission period (p 0.029), GG genotype of CTLA-4 gene on the nucleotide 49 at codon 17 of exon 1 (p 0.016), CC genotype of thyroglobulin gene on the nucleotide 5995 at codon 1980 of exon 33 (p 0.017), CC genotype of TSHR gene on the rs2268458 of intron 1 (p 0.003), the number of regulatory T cells (p 0.001), the levels of IL-10 (p 0.012) and TRAb levels (p 0.002). This study also showed the association between clinical factors, which included family factors, age at diagnosis, ophthalmopathy, thyroid gland enlargement and the long periods of remission with genetic factors and immune response. Conclusion: Genetic polymorphisms of CTLA-4 gene on the nucleotide 49 at codon 17 of exon 1, thyroglobulin gene on the nucleotide 5995 at codon 1980 of exon 33, TSHR gene SNP rs2268458 of intron 1 and regulatory T cells play a role as risk factors for relapse in patients with Graves? disease.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>