Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harry Isbagio, co-promotor
"ABSTRAK
Osteoartritis (OA) didefinisikan sebagai penyakit yang diakibatkan kejadian biologik dan mekanik yang menyebabkan gangguan keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis dari kondrosit, matriks ekstraseluler tulang rawan sendi dan tulang subkondral, Penyakit OA bermanifestasi sebagai perubahan morfologik, biokimia, molekuler dan biomekanik dari sel dan matriks yang mengakibatkan perlunakan, fibrilasi, ulserasi, menipisnya tulang rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling sering ditemui di seluruh dunia. WHO memperkirakan 10 % dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini. Di Indonesia OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak dijumpai. Di Poliklinik Subbagian Reumatologi FKUI/RSCM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit reumatik yang berobat antara tahun 1991-1994.
Etiopatogenesis osteoartritis pada umumnya dan osteoartritis lutut pada khususnya belum sepenuhnya diketahui. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Faktor risiko pada OA dapat dibedakan dalam faktor risiko kejadian awal (incident) dan faktor risiko progresivitas dan beratnya OA. Salah satu faktor risiko yang diduga berperan pada progresivitas OA lutut ialah densitas massa tulang (DMT). Penelitian epidemiologik longitudinal mendapatkan bahwa DMT tinggi berperan sebagai salah satu faktor initiasi kejadian OA lutut , tetapi tidak berhubungan dengan progresivitas. Sejumlah petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitornya yang berasal dari tulang rawan sendi telah ditemukan di berbagai penelitian pada hewan percobaan dan pada manusia penderita OA. Petanda molekuler tersebut antara lain YKL-40 (Petanda sintesis) dan Cartilage oligomeric protein (COMP, petanda destruksi), sedangkan enzim proteinase antara lain Matrix Metaloproteinase-3 (MMP-3, petanda katabolik) serta inhibitornya Tissue inhibitors of metaloproteinase-1 (TIMP-1, petanda anabolik), mengalami perubahan sejajar dengan progresivitas radiografik OA Iutut.
Hingga saat ini suatu penelitian longitudinal yang mencari hubungan antara DMT dengan progresivitas OA lutut pada pasien yang telah menderita OA lutut dengan menggunakan parameter petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitomya belum pernah dilakukan.
Penetapan Masalah Penelitian
Menjadi suatu pertanyaan apakah pada pasien OA lutut setelah jangka waktu panjang akan terjadi progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.,bagaimana kaitan antara DMT total yang rendah dalam jangka waktu panjang terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, dan bagaimana korelasi di antara kadar serum petanda molekuler/metabolik.
Metodologi Penelitian
Desain penelitian: Studi kohort dengan efek berskala numerik pada penderita OA lutut primer, derajat 2 dan 3 yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok DMT total normal dan kelompok DMT total osteopenia/osteoporosis untuk menilai pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.
Tempat dan waktu penelitian: Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Waktu penelitian ialah tahun 1997 (awal penelitian) sampai dengan tahun 2004 (akhir penelitian).
Populasi dan sampel penelitian: Penderila OA lutut yang datang ke Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM Jakarta pada tahun 1997-1998 yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Hasil Penelitian
Karateristik kasus
Telah dilakukan evaluasi awal dan akhir pada 37 penderita OA lutut, yang terdiri dari 14 penderita kelompok osteopeni/osteoporosis dan 23 penderita kelompok normal. Analisis berbagai karateristik klinik yaitu umur, jenis kelamin, lama sakit, katagori berat badan, derajat OA lutut, nilai aktifitas harian, Indeks Lequesne pada awal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok yang menunjukkan homogenitas kedua kelompok tersebut. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk lama penelitian di antara kedua kelompok.
Pada seluruh kasus di akhir penelitian terdapat peningkatan nilai Indeks Lequesne dan penurunan nilai aktifitas harian yang bermakna (p<0.05) dibanding dengan awal penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna perubahan tingkat sakit di antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) rerata kenaikan nilai Indeks Lequesne di antara katagori perubahan tingkat sakit.
Hubungan karakieristik kasus dengan petanda metabolik Terdapat korelasi positif sedang bermakna (r=0.453, p<0.01) antara umur dengan log kadar YKL-40 serum awal penelitian, aorta korelasi positif sedang bermakna (r=0.368, pr0,05) antara umur dan kadar TIMP-1 serum awal penelilian.Tidak terdapat korelasi antara umur dengan COMP dan MMP-3 serum.
Kadar TIMP serum awal penelitian lebih tinggi pada wanita (251.76 + 50.31 ng/mL) dan pria (225.79 + 20.26 ng/mL), Kadar MMP-3 serum awal penelitian lebih tinggi pada pria (25.94±12,18 ng/ml) dari wanita (17.81 + 10.64 ng/mL) dan ratio kadar MMP3/TIMP-1 awal penelitian lebih tinggi pada pria dari wanita, perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan bermakna kadar YKL-40 dan kadar COMP serum antara pria dan wanita. Tidak ada korelasi antara lama sakit dengan kadar YKL-40, COMP, TIMP-l .dan MMP-3 serum pada awal penelitian.
Indeks Massa Tubuh (IMT) awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.411) dan bermakna (p < 0.05) dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Sedangkan petanda metabolik lainnya tidak mempunyai korelasi dengan IMT awal penelitian. Pada akhir penelitian tidak terdapat korelasi antara IMT akhir penelitian dengan salah satu petanda metabolik tulang rawan sendi yang diteliti .
Tidak terdapat perbedaan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian, Kadar COMP serum awal penelitian, Kadar TIMP-l serum awal penelitian, Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian, dan Log Ratio MMP-3/111MP-1 awal penelitian di antara tingkat derajat OA lutut awal penelitian, Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r = 0.685) dan bermakna (p< 0,001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.512) dan bermakna (p<0.01), Kadar TIMP-1 serum awal penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0.573) dan bermakna (p<0.001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0,434) dan bermakna (p< 0,01). Kadar serum awal dan akhir penelitian petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 tidak berkorelasi dengan Indeks Lequesne awal dan akhir.
Tidak terdapat hubungan antara Total nilai aktivitas harian awal penelitian dengan berbagai kadar petanda metabolik tulang rawan sendi awal penelitian, demikian pula pada akhir penelitian.
Rerata kadar YKL-40 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (217.82 + 227,03 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (141.20 ± 119.03 ng/mL) tetapi tidak berbeda bermakna. Rerata kadar YKL-40 serum akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (345.44 + 334.41 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (156.55 ± 89.87 ng/mL), Log dari kadar YKL-40 serum ini berbeda bermakna (p < 0.05).
Rerata kadar COMP serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10.10+2,74 U/L) lebih tinggi dari kelompok normal (10.85 ± 3.22 U/L) dan rerata kadar COMP akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10,08+2.13 U/L) lebih rendah dari kelompok normal (10,85 ± 3.22 U/L), tidak berbeda bermakna.
Rerata kadar TIMP-I serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (258.66±64.17 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (235.15 + 25.46 ng/mL) dan rerata kadar T1MP-I akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (252.58+75.44 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (220.45+49.82 ng/mL), tidak berbeda bermakna,
Rerata kadar MMP-3 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (21,62 + 12.40 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (19.38 + 11.25 ng/mL), rerata kadar MMP-3 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (56,04 + 68.55 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (25,59 + 10.16 ng/mL), tidak berbeda bermakna.
Rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.0885 + 0.057 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0,0835 + 0.0505), rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.2329 + 0,2619 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0.1215 + 0.0537) , tidak berbeda bermakna.
Hubungan antara perubahan tingkat sakit dengan nilai perubahan petanda metabalik pada seluruh kasus kelompok osteopenilporosis dan kelompok normal.
Pada evaluasi seluruh kasus terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara kategori perubahan tingkat sakit (p< 0.05), terdapat penurunan Rerata Nilai perubahan Kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan kategori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada evaluasi kelompok normal terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara katagori perubahan tingkat sakit (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak terdapat perbedaan berrnakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat pula kecenderungan penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP antara katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk".
Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar YKL-40 serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan Rerata Nilai perubahan Kadar YKL-40 antara katagori "tidak ada perubahan" dengan katagori "sangat memburuk", demikian pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal
Pada evaluasi seluruh kasus, demikian pula untuk kelompok normal, rerata Sin nilai perubahan kadar MMP-3 serum di antara kategori perubahan tingkat sakit berbeda bermakna (p<0.05), dimana terdapat Kenaikan Rerata Nilai perubahan Kadar MMP-3 dari katagori "memburuk " dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna, sedangkan untuk kelompok osteopeni/porosis tidak berbeda bermakna.
Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar TIMP-1 di antara kategori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan rerata nilai perubahan Kadar TIMP-l antara katagori "membaik" dengan katagori ?sangat memburuk", derntldan pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal.
Perubaban kadar petanda metabolik matriks tulang rawan sendi antara awal dengan akhir penelitian.
Pada seluruh kasus rerata kadar YK L-40 serum pada akhir penelitian ( 228.02 ± 237.48 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (170.19+169.38 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.01).
Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (345.44 + 344.41 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (217.82 + 227.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05).
Pada kelompok normal rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (146,55 + 89.87 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (141.20 + 119.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini tidak berbeda bermakna.
Pada seluruh kasus rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (11.43 + 3,34 U/L) Iebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10,90 + 3.01 U/L) , tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (10,09 + 2,13 U/L) lebih rendah dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.10 ± 2.74 U/L), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Hasil pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak bermakna menunjukkan kebalikan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus yang justru terjadi kenaikan kadar COMP pada akhir penelitian dibanding awal penelitian. Pada kelompok normal rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (12.26 + 3.72 U/L) lebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.85 + 3.22 U/L), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).Hasil pada kelompok normal menunjukkan kesamaan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus.
Pada seluruh kasus rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (232.61 + 61.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TIMP-1 serum pada awal penelitian (244.05 + 44.91 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteo-peni/porosis rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (252.58 + 75.44 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (258.66 + 64.17 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna Pada kelompok normal rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (220.46 + 49.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (235.15 + 25.46 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna.
Pada seluruh kasus rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian 37,11 + 44,55 ng/mL) lebih tinggi (dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (20.26 + 1158 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 awal dengan akhir penelitian berbeda berrnakna (p<0,01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (56.04 + 68.55 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (21.62 + 12.40 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p< 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (25.59 + 10.16 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (19.38 ± 11.25 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05)
Pada seluruh kasus rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1636 + 0.1718) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-l serum pada awal penelitian (0.0854 + 0.0526), rerata Log ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p<0,001). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.233 + 0,262) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0.0885 ± 0.0577), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Pada kelompok normal rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1215 + 0.0537) lebih tinggi dari rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0,0835 ± 0,0505), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).
Hubungan antara Densitas Massa Tulang Total dengan Nilai Perubahan petanda metabolik matriks tulang rawan sendi.
Rerata nilai perubahan dari kadar YKL-40 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 124.05 ± I74.06 ng/mL Iebih tinggi dari kelompok normal sebesar 15,35 ± 87.43 ng/mL, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05).
Rerata nilai perubahan dari kadar COMP serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah - 0.91 ± 2.99 U/L Iebih rendah dari kelompok normal sebesar 1,41 + 3.20 U/L, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05) Rerata nilai perubahan dari kadar TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah -6.08 ± 66.18 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar -14.7044.44 ng/mL, perbedaan antara keduanya tidak bermakna.
Rerata nilai perubahan dari kadar MMP-3 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 34.47 + 62.90 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 6.21 + 14.28 ng/mL, rerata sinus nilai perubahan kadar MMP-3 antara keduanya berbeda bermakna (p<0.05).
Rerata Nilai perubahan dari ratio MMP-3/TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 0.1443+0.2356 lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 0.0379 + 0.0678, perbedaan antara keduanya tidak bermakna.
Korelasi diantara petanda metabolik matriks tulang rawan sendi
Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r=0.727) dan bermakna (p< 0.001) dengan Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian temyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.473) dan bermakna (p( 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada awal penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40, Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.545) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada akhir penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40.
Kadar COMP serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.469) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar COMP serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian.
Kadar TIMP-1 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.546) dan bermakna (p<0.001) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum akhir penelitian.
Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.528) dan bermakna (p<0.01) dengan Log Kadar MMP-3 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara Log kadar MMP-3 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar MMP-3 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian.
Kesimpulan
Terdapat kecenderungan makin berat perubahan tingkat sakit yang dialami penderita makin besar nilai kenaikan kadar YKL-40 serum (petanda sintesis) dan kadar MMP-3 serum (petanda katabolik) serta makin besar nilai penurunan kadar TEMP-1 serum (petanda anabolic).Terdapat pola yang unik dari nilai perubahan kadar COMP serum (petanda destruksi) pada berbagai kategori perubahan tingkat sakit. Pada kategori "tidak ada perubahan" dan kategori "memburuk" terjadi kenaikan nilai perubahan kadar COMP serum, sebaliknya pada kategori "sangat memburuk" terjadi penurunan nilai perubahan kadar COMP serum.
Pada penderita OA lutut grade 2 dan 3, pada jangka waktu panjang kurang lebih 70 baton, terjadi peningkatan bermakna proses sintesis (dinilai dengan YKL-0), peningkatan proses destruksi (dinilai dengan COMP), peningkatan proses katabolik (dinilai dengan MMP-3) dan peningkatan aktiritas proses enzim katabolik (dinilai dengan ratio MMP-3JTIMP-1). Terdapat pula kecenderungan penurunan proses anabolik (dinilai dengan TIMP-1) walaupun tidak bermakna. Pada pasien OA lutut setelah jangka waktu yang panjang akan teijadi peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terbadap hipotesis pertama).
Setelah jangka waktu panjang selama kurang lebih 70 bulan, penderita OA lutut grade 2 dan 3 yang pada awal penelitian mempunyai DMT total osteopeni/porosis, secara bermakna akan mengalami progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, yaitu proses sintesis (diwakili YLK-40), proses destruksi (diwakili COMP), proses katabolik (diwakili MMP-3). yang lebih besar dibanding dengan kelompok normal. Tidak terdapat perbedaan proses anabolik (diwakili TRAP-1) dan tidak terdapat perbedaan peningkatan aktivilas enzim katabolik (diwakili ratio MMP-31TIMP-1) di antara kedua kelompok. DMT total yang rendah jangka panjang pada penderita OA lutut bukan merupakan faktor protektif progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terhadap hipotesis kedua).
Terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian, kadar COMP serum awal dengan akhir penelitian, kadar TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian, kadar MMP-3 serum awal dan akhir penelitian, ratio MMP-3/TTMP-1 awal dengan akhir penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal penelitian dengan kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum akhir penelitian dengan kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak terdapat korelasi bermakna di antara petanda metabolik lain dalam penelitian ini (jawaban terhadap hipotesis ketiga).
Saran
Untuk memastikan pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas OA lutut maka perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketebalan tulang rawan sendi awal terhadap ketebalan tulang rawan sendi akhir penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan MRI. Penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan DMT pada berbagai tempat (vertebra, panggul dan kaki) terhadap metabolisme tulang rawan sendi pada OA berbagai tempat pula (vertebra, pangggui dan kaki). Penelitian serupa dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi kadar petanda metabolik lainnya seperti hialuronan, frogmen kolagen dan yang lainnya, baik kadar dalam serum maupun kadar dalam cairan sendi.
Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa penderita OA lutut grade 2/3 yang juga menderita osteopeni/porosis setelah jangka waktu panjang mengalami peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi yang lebih berat, maka dianjurkan bagi para dokter untuk tanpa ragu rnelakukan penatalaksanaan untuk meningkatkan DMT pada penderita seperti tersebut dengan berbagai program dan modalitas yang telah diakui secara luas.
Petanda metabolik matriks tulang rawan sendi YKL-40 dan COMP dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas sebagai petanda progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi pada OA lutut, antara lain untuk menilai hasil pengobatan dengan menggunakan obat-obatan perubah perjalanan penyakit OA (Disease Modifying Osleoarthritis Drugs=DMOA).

Study On Long-term Effect Of Low Bone Mass Density On Progression Of Cartilage Matrix Destruction On Knee OsteoarthritisOsteoarthritis (OA) is result of both mechanical and biologic events that destabilize the normal coupling of degradation and synthesis of articular cartilage chondrocytes and extra cellular matrix, and subchondral bone. OA diseases are manifested by morphologic, biochemical, molecular and biomechanical changes of both cells and matrix, with lead to a softening, fibrillation, ulceration, loss of articular cartilage, sclerosis and eburnation of subchondral bone, osteophyte and subchondral cysts. Longitudinal epidemiologic study on knee OA revealed that higher I3MD was strong factor in initiating the development of knee OA, but did not correlated with disease progressivity.
A number of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors derived from joint cartilage had been clarified in several publication studies on animal model and human with OA. Those molecular markers are YKL-40 (synthesis marker) and Cartilage Oligomeric Protein (COMP, destructive marker), meanwhile proteinases enzyme such as Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3, catabolic marker) and its inhibitor Tissue Inhibitors of Metalloproteinase-1 (T1MP-1, anabolic marker). These markers will changes in parallel with radiographic progression of knee OA.
A longitudinal cohort study should be made to clarify the correlation between BMD and diseases progression using the parameter of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors on an established knee OA.
Thirty-seven patients had been enrolled on this longitudinal study (±70 months), initial and final evaluation has been conducted. Those patients comprises of 14 patients in osteopenic/osteoporotic group and 23 patients with normal total BMD. The homogeneity of two groups is well maintained.
There is a moderate positive significant correlation (r-0.453, p<0.01) between age and initial log of serum YKL-40, and the same results (r-0.368, p<0.05) between age and initial serum TIMP-l at the beginning of the study. At baseline of the study, the serum level of TIMP was higher in women (251.76±50.31 ng/ml) than men (225 ± 20.26 ng/ml), meanwhile the baseline serum MMP-3 was seen higher in men (25.94 ± 12.18 ng/ml) compared to women (17.81 ± 10.64 ng/ml), as well as the MMP3/TIMP-1 ratio was higher in men than women. All differences are statistically significant (p<0.05). A moderate positive significant correlation (r<0.44I, p<0.05) demonstrated between body mass index (BMI) and level of log YKL-40 at baseline of the study. Log level of YKL-40, at baseline of the study, demonstrated a strong positive correlation (r<1.685) and statistically significance difference (p<0.05) with initial Lequesne index. By the end of the study the correlation is moderately positive (1.512) and proven statistically significance difference (p<0.Ol). The baseline serum TIMP-l level is moderately positive significance correlation 0-0.573, p<0.00I) with Lequesne index, meanwhile the same results was shown by the end of study (r<573, p<0.001). The means of serum YKL-40 (by study ends) in osteopenic/osteoporosis group was also higher (345.44 ± 334.40 ng/ml) in comparison with the normal group (156.55 ± 89.87 ng/ml) and the lag of serum YKL-40 level was statistically significance difference (p<0.05) between the two groups. Both baseline and study ends value of COMP level between the two groups was not statistically significance differences. Evaluation of TIMP-l level at baseline and by the study end also showed no significance by statistic method_ A higher result of serum MMP-3 level is higher in osteopenic/osteoporosis group than a normal group at baseline and study ends. Both means value of MMP-3/TIMP-l ratio seems higher in osteopenic/osteoporosis group than the normal group, but not significant noted.
An evaluation has been made for all of the cases for the changes of serum COMP level according to the severity of illnesses. The result shows a significance difference between the two parameters. There is a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. In the normal group, the evaluation demonstrated a significance difference between the means of serum COMP level and the severity of illnesses (p<0.05). There is also a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. Meanwhile, in the osteopenic/osteoporosis group revealed no significance difference between the mean values of serum COMP level and the severity of illnesses. In both groups, there was a tendency of increasing means value of serum YKL-40 level from the "unchanged" category to the "getting worst" category. The evaluation of serum MMP-3 level in both total group and normal group shows a statistically significance difference (pc0.05) while calculated with the severity of illnesses.
This study demonstrated an increasing tendency of the serum TIMP-1 level in the total group by the severity of illnesses category (between "getting better" category to "getting worst" category, but not statistically significance difference. By divide onto two groups, the osteopenic/osteoporosis group and the normal group, the statistic shows the same result.
The log means of YKL-40 level is statistically significance different (pr 0,01), In osteopenic/osteoporosis group the means value of serum YKL-40 level also showed a statistically significance different (pr0.05), but not in normal group. An evaluation of serum COMP level in all cases demonstrated that there was an increasing value between the baseline and by the end of study. The result in the osteopenic/osteoporosis group was in the contrary with the total group, The result in the normal group was in accordance with the total group analysis. There was no statistically significance difference, when the serum TIMP-1 level was calculated between the baseline and the end value, A significant different (pr 0,01) noted when the log mean serum MMP-3 level was calculated between the baseline and by the study end value. A less but significance difference (pr0.05) was also noted in the osteopeni/osteoporosis group from the evaluation of serum MMP-3 level. The same result demonstrated in the normal group with the same significance of pr0.05. By the study end, the ratio MMP-3 and TIMP-I was higher than the baseline and this result was significant on statistic calculation (p<0.001), The same result demonstrated in both osteopenic/osteoporosis group and the normal group. Meanwhile in the normal group, the baseline ratio of MMP-3/TIMP-l was 0,0835 ± 0.0505 and the study end ratio was higher than the baseline (0.1215 ± 0,0537).
A means changes value of serum YKL-40 was higher in osteopenic/osteoporosis group (124,05 -F 174.06 ng/ml) compare to the normal group (15.35 ± 87.43 ng/ml) and this difference was statistically significant (pr0.05). The means changes in serum COMP level, also noted much higher in osteopenic/osteoporosis group compare to normal group. The result was statistically significant (pr0.05). Evaluations also have been made for the level of MMP-3 and the ratio of MMP-3ITIMP-I. In osteopenic/osteoporosis group, the means changes of serum MMP-3 level were higher (34,47 ± 62,90 ng/ml) than the normal group of 6.21 ± 14.28 ng/ml.
Log serum YKL-40 level at baseline of the study have a strong positive significant correlation (r 0.727, pr0.00I) in comparison with the ends value of serum YKL-40. Log serum YKL-10 level by the study ends, was moderately positive correlation (r1545) and statistically significance (p<0.01) in comparison with the study ends serum TIMP-1 level. There was a statistical significant (p<0.0I) and moderate correlation (r 0.469) when the level of COMP has had been evaluated between baseline and the study ends value. A serum TIMP-l level at baseline was proven having a moderate correlation (r.546) and statistical significance (pr0.00I) with its value at the study ends. There was no correlation between the serum TIMP-I level al baseline and others metabolic markers, except for the serum YKL-40 level at baseline. A moderate positive correlation (r 0.528) and statistical significance (p<0.01) was demonstrated when log serum MMP-3 level at baseline was calculated to the study ends value.
In knee OA, in the long period, there will be an increasing progressivity of joint cartilage matrix degradation. A lower total BMD value, in knee OA patients and the long period, do not a protective factor for progressivity of joint cartilage matrix degradation. There was no con-elation amongst others metabolic markers in this study.
A further study to clarify the impact of total BMD to the progressivity of knee OA should be made by measuring the thickness of joint cartilage using MRI and by comparing BMD at different site and the metabolism of joint cartilage at different site. Others similar study could be performed by measuring others metabolic markers for synthesis and degradation such as hyaluronan, collagen fragment, etc in serum and or the synovial fluid,
Concerning the results of this study that demonstrated that knee OA patients, grade 2 and 3 who had osteopenic/osteoporosis for a long time will have more progressive and severe joint cartilage matrix degradation; every doctor should ask for BMD measurement undoubtedly and manage such patients with know-n various effective and accepted modalities/program.
A metabolic marker of joint cartilage matrix YKL-40 and COMP should be considered to be use widely as a progressive marker for joint cartilage matrix degradation in knee OA. The use of this marker will be much beneficial in evaluating the treatment using disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs).
"
2004
D583
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Isbagio
"Osteoartritis (OA) didefinisikan sebagai penyakit yang diakibatkan kejadian biologik dan mekanik yang menyebabkan gangguan keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis dari kondrosit, matriks ekstraseluler tulang rawan sendi dan tulang subkondral, Penyakit OA bermanifestasi sebagai perubahan morfologik, biokimia, molekuler dan biomekanik dari sel dan matriks yang mengakibatkan perlunakan, fibrilasi, ulserasi, menipisnya tulang rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling sering ditemui di seluruh dunia. WHO memperkirakan 10 % dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini. Di Indonesia OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak dijumpai. Di Poliklinik Subbagian Reumatologi FKUI/RSCM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit reumatik yang berobat antara tahun 1991-1994. Etiopatogenesis osteoartritis pada umumnya dan osteoartritis lutut pada khususnya belum sepenuhnya diketahui. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Faktor risiko pada OA dapat dibedakan dalam faktor risiko kejadian awal (incident) dan faktor risiko progresivitas dan beratnya OA. Salah satu faktor risiko yang diduga berperan pada progresivitas OA lutut ialah densitas massa tulang (DMT). Penelitian epidemiologik longitudinal mendapatkan bahwa DMT tinggi berperan sebagai salah satu faktor initiasi kejadian OA lutut , tetapi tidak berhubungan dengan progresivitas. Sejumlah petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitornya yang berasal dari tulang rawan sendi telah ditemukan di berbagai penelitian pada hewan percobaan dan pada manusia penderita OA. Petanda molekuler tersebut antara lain YKL-40 (Petanda sintesis) dan Cartilage oligomeric protein (COMP, petanda destruksi), sedangkan enzim proteinase antara lain Matrix Metaloproteinase-3 (MMP-3, petanda katabolik) serta inhibitornya Tissue inhibitors of metaloproteinase-1 (TIMP-1, petanda anabolik), mengalami perubahan sejajar dengan progresivitas radiografik OA Iutut. Hingga saat ini suatu penelitian longitudinal yang mencari hubungan antara DMT dengan progresivitas OA lutut pada pasien yang telah menderita OA lutut dengan menggunakan parameter petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitomya belum pernah dilakukan. Penetapan Masalah Penelitian Menjadi suatu pertanyaan apakah pada pasien OA lutut setelah jangka waktu panjang akan terjadi progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.,bagaimana kaitan antara DMT total yang rendah dalam jangka waktu panjang terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, dan bagaimana korelasi di antara kadar serum petanda molekuler/metabolik. Metodologi Penelitian Desain penelitian: Studi kohort dengan efek berskala numerik pada penderita OA lutut primer, derajat 2 dan 3 yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok DMT total normal dan kelompok DMT total osteopenia/osteoporosis untuk menilai pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi. Tempat dan waktu penelitian: Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Waktu penelitian ialah tahun 1997 (awal penelitian) sampai dengan tahun 2004 (akhir penelitian). Populasi dan sampel penelitian: Penderila OA lutut yang datang ke Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM Jakarta pada tahun 1997-1998 yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Hasil Penelitian Karateristik kasus Telah dilakukan evaluasi awal dan akhir pada 37 penderita OA lutut, yang terdiri dari 14 penderita kelompok osteopeni/osteoporosis dan 23 penderita kelompok normal. Analisis berbagai karateristik klinik yaitu umur, jenis kelamin, lama sakit, katagori berat badan, derajat OA lutut, nilai aktifitas harian, Indeks Lequesne pada awal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok yang menunjukkan homogenitas kedua kelompok tersebut. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk lama penelitian di antara kedua kelompok. Pada seluruh kasus di akhir penelitian terdapat peningkatan nilai Indeks Lequesne dan penurunan nilai aktifitas harian yang bermakna (p<0.05) dibanding dengan awal penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna perubahan tingkat sakit di antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) rerata kenaikan nilai Indeks Lequesne di antara katagori perubahan tingkat sakit. Hubungan karakieristik kasus dengan petanda metabolik Terdapat korelasi positif sedang bermakna (r=0.453, p<0.01) antara umur dengan log kadar YKL-40 serum awal penelitian, aorta korelasi positif sedang bermakna (r=0.368, pr0,05) antara umur dan kadar TIMP-1 serum awal penelilian.Tidak terdapat korelasi antara umur dengan COMP dan MMP-3 serum. Kadar TIMP serum awal penelitian lebih tinggi pada wanita (251.76 + 50.31 ng/mL) dan pria (225.79 + 20.26 ng/mL), Kadar MMP-3 serum awal penelitian lebih tinggi pada pria (25.94±12,18 ng/ml) dari wanita (17.81 + 10.64 ng/mL) dan ratio kadar MMP3/TIMP-1 awal penelitian lebih tinggi pada pria dari wanita, perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan bermakna kadar YKL-40 dan kadar COMP serum antara pria dan wanita. Tidak ada korelasi antara lama sakit dengan kadar YKL-40, COMP, TIMP-l .dan MMP-3 serum pada awal penelitian. Indeks Massa Tubuh (IMT) awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.411) dan bermakna (p < 0.05) dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Sedangkan petanda metabolik lainnya tidak mempunyai korelasi dengan IMT awal penelitian. Pada akhir penelitian tidak terdapat korelasi antara IMT akhir penelitian dengan salah satu petanda metabolik tulang rawan sendi yang diteliti . Tidak terdapat perbedaan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian, Kadar COMP serum awal penelitian, Kadar TIMP-l serum awal penelitian, Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian, dan Log Ratio MMP-3/111MP-1 awal penelitian di antara tingkat derajat OA lutut awal penelitian, Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r = 0.685) dan bermakna (p< 0,001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.512) dan bermakna (p<0.01), Kadar TIMP-1 serum awal penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0.573) dan bermakna (p<0.001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0,434) dan bermakna (p< 0,01). Kadar serum awal dan akhir penelitian petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 tidak berkorelasi dengan Indeks Lequesne awal dan akhir. Tidak terdapat hubungan antara Total nilai aktivitas harian awal penelitian dengan berbagai kadar petanda metabolik tulang rawan sendi awal penelitian, demikian pula pada akhir penelitian. Rerata kadar YKL-40 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (217.82 + 227,03 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (141.20 ± 119.03 ng/mL) tetapi tidak berbeda bermakna. Rerata kadar YKL-40 serum akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (345.44 + 334.41 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (156.55 ± 89.87 ng/mL), Log dari kadar YKL-40 serum ini berbeda bermakna (p < 0.05). Rerata kadar COMP serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10.10+2,74 U/L) lebih tinggi dari kelompok normal (10.85 ± 3.22 U/L) dan rerata kadar COMP akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10,08+2.13 U/L) lebih rendah dari kelompok normal (10,85 ± 3.22 U/L), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar TIMP-I serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (258.66±64.17 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (235.15 + 25.46 ng/mL) dan rerata kadar T1MP-I akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (252.58+75.44 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (220.45+49.82 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar MMP-3 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (21,62 + 12.40 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (19.38 + 11.25 ng/mL), rerata kadar MMP-3 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (56,04 + 68.55 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (25,59 + 10.16 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.0885 + 0.057 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0,0835 + 0.0505), rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.2329 + 0,2619 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0.1215 + 0.0537) , tidak berbeda bermakna. Hubungan antara perubahan tingkat sakit dengan nilai perubahan petanda metabalik pada seluruh kasus kelompok osteopenilporosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara kategori perubahan tingkat sakit (p< 0.05), terdapat penurunan Rerata Nilai perubahan Kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan kategori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada evaluasi kelompok normal terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara katagori perubahan tingkat sakit (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak terdapat perbedaan berrnakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat pula kecenderungan penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP antara katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk". Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar YKL-40 serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan Rerata Nilai perubahan Kadar YKL-40 antara katagori "tidak ada perubahan" dengan katagori "sangat memburuk", demikian pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus, demikian pula untuk kelompok normal, rerata Sin nilai perubahan kadar MMP-3 serum di antara kategori perubahan tingkat sakit berbeda bermakna (p<0.05), dimana terdapat Kenaikan Rerata Nilai perubahan Kadar MMP-3 dari katagori "memburuk " dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna, sedangkan untuk kelompok osteopeni/porosis tidak berbeda bermakna. Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar TIMP-1 di antara kategori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan rerata nilai perubahan Kadar TIMP-l antara katagori "membaik" dengan katagori ?sangat memburuk", derntldan pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal. Perubaban kadar petanda metabolik matriks tulang rawan sendi antara awal dengan akhir penelitian. Pada seluruh kasus rerata kadar YK L-40 serum pada akhir penelitian ( 228.02 ± 237.48 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (170.19+169.38 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (345.44 + 344.41 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (217.82 + 227.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (146,55 + 89.87 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (141.20 + 119.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini tidak berbeda bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (11.43 + 3,34 U/L) Iebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10,90 + 3.01 U/L) , tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (10,09 + 2,13 U/L) lebih rendah dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.10 ± 2.74 U/L), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Hasil pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak bermakna menunjukkan kebalikan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus yang justru terjadi kenaikan kadar COMP pada akhir penelitian dibanding awal penelitian. Pada kelompok normal rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (12.26 + 3.72 U/L) lebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.85 + 3.22 U/L), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).Hasil pada kelompok normal menunjukkan kesamaan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus. Pada seluruh kasus rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (232.61 + 61.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TIMP-1 serum pada awal penelitian (244.05 + 44.91 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteo-peni/porosis rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (252.58 + 75.44 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (258.66 + 64.17 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna Pada kelompok normal rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (220.46 + 49.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (235.15 + 25.46 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian 37,11 + 44,55 ng/mL) lebih tinggi (dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (20.26 + 1158 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 awal dengan akhir penelitian berbeda berrnakna (p<0,01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (56.04 + 68.55 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (21.62 + 12.40 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p< 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (25.59 + 10.16 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (19.38 ± 11.25 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05) Pada seluruh kasus rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1636 + 0.1718) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-l serum pada awal penelitian (0.0854 + 0.0526), rerata Log ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p<0,001). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.233 + 0,262) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0.0885 ± 0.0577), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Pada kelompok normal rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1215 + 0.0537) lebih tinggi dari rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0,0835 ± 0,0505), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Hubungan antara Densitas Massa Tulang Total dengan Nilai Perubahan petanda metabolik matriks tulang rawan sendi. Rerata nilai perubahan dari kadar YKL-40 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 124.05 ± I74.06 ng/mL Iebih tinggi dari kelompok normal sebesar 15,35 ± 87.43 ng/mL, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05). Rerata nilai perubahan dari kadar COMP serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah - 0.91 ± 2.99 U/L Iebih rendah dari kelompok normal sebesar 1,41 + 3.20 U/L, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05) Rerata nilai perubahan dari kadar TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah -6.08 ± 66.18 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar -14.7044.44 ng/mL, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Rerata nilai perubahan dari kadar MMP-3 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 34.47 + 62.90 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 6.21 + 14.28 ng/mL, rerata sinus nilai perubahan kadar MMP-3 antara keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Rerata Nilai perubahan dari ratio MMP-3/TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 0.1443+0.2356 lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 0.0379 + 0.0678, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Korelasi diantara petanda metabolik matriks tulang rawan sendi Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r=0.727) dan bermakna (p< 0.001) dengan Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian temyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.473) dan bermakna (p( 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada awal penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40, Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.545) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada akhir penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40. Kadar COMP serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.469) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar COMP serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kadar TIMP-1 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.546) dan bermakna (p<0.001) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.528) dan bermakna (p<0.01) dengan Log Kadar MMP-3 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara Log kadar MMP-3 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar MMP-3 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kesimpulan Terdapat kecenderungan makin berat perubahan tingkat sakit yang dialami penderita makin besar nilai kenaikan kadar YKL-40 serum (petanda sintesis) dan kadar MMP-3 serum (petanda katabolik) serta makin besar nilai penurunan kadar TEMP-1 serum (petanda anabolic).Terdapat pola yang unik dari nilai perubahan kadar COMP serum (petanda destruksi) pada berbagai kategori perubahan tingkat sakit. Pada kategori "tidak ada perubahan" dan kategori "memburuk" terjadi kenaikan nilai perubahan kadar COMP serum, sebaliknya pada kategori "sangat memburuk" terjadi penurunan nilai perubahan kadar COMP serum. Pada penderita OA lutut grade 2 dan 3, pada jangka waktu panjang kurang lebih 70 baton, terjadi peningkatan bermakna proses sintesis (dinilai dengan YKL-0), peningkatan proses destruksi (dinilai dengan COMP), peningkatan proses katabolik (dinilai dengan MMP-3) dan peningkatan aktiritas proses enzim katabolik (dinilai dengan ratio MMP-3JTIMP-1). Terdapat pula kecenderungan penurunan proses anabolik (dinilai dengan TIMP-1) walaupun tidak bermakna. Pada pasien OA lutut setelah jangka waktu yang panjang akan teijadi peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terbadap hipotesis pertama). Setelah jangka waktu panjang selama kurang lebih 70 bulan, penderita OA lutut grade 2 dan 3 yang pada awal penelitian mempunyai DMT total osteopeni/porosis, secara bermakna akan mengalami progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, yaitu proses sintesis (diwakili YLK-40), proses destruksi (diwakili COMP), proses katabolik (diwakili MMP-3). yang lebih besar dibanding dengan kelompok normal. Tidak terdapat perbedaan proses anabolik (diwakili TRAP-1) dan tidak terdapat perbedaan peningkatan aktivilas enzim katabolik (diwakili ratio MMP-31TIMP-1) di antara kedua kelompok. DMT total yang rendah jangka panjang pada penderita OA lutut bukan merupakan faktor protektif progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terhadap hipotesis kedua). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian, kadar COMP serum awal dengan akhir penelitian, kadar TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian, kadar MMP-3 serum awal dan akhir penelitian, ratio MMP-3/TTMP-1 awal dengan akhir penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal penelitian dengan kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum akhir penelitian dengan kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak terdapat korelasi bermakna di antara petanda metabolik lain dalam penelitian ini (jawaban terhadap hipotesis ketiga). Saran Untuk memastikan pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas OA lutut maka perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketebalan tulang rawan sendi awal terhadap ketebalan tulang rawan sendi akhir penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan MRI. Penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan DMT pada berbagai tempat (vertebra, panggul dan kaki) terhadap metabolisme tulang rawan sendi pada OA berbagai tempat pula (vertebra, pangggui dan kaki). Penelitian serupa dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi kadar petanda metabolik lainnya seperti hialuronan, frogmen kolagen dan yang lainnya, baik kadar dalam serum maupun kadar dalam cairan sendi. Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa penderita OA lutut grade 2/3 yang juga menderita osteopeni/porosis setelah jangka waktu panjang mengalami peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi yang lebih berat, maka dianjurkan bagi para dokter untuk tanpa ragu rnelakukan penatalaksanaan untuk meningkatkan DMT pada penderita seperti tersebut dengan berbagai program dan modalitas yang telah diakui secara luas. Petanda metabolik matriks tulang rawan sendi YKL-40 dan COMP dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas sebagai petanda progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi pada OA lutut, antara lain untuk menilai hasil pengobatan dengan menggunakan obat-obatan perubah perjalanan penyakit OA (Disease Modifying Osleoarthritis Drugs=DMOA.

Study On Long-term Effect Of Low Bone Mass Density On Progression Of Cartilage Matrix Destruction On Knee OsteoarthritisOsteoarthritis (OA) is result of both mechanical and biologic events that destabilize the normal coupling of degradation and synthesis of articular cartilage chondrocytes and extra cellular matrix, and subchondral bone. OA diseases are manifested by morphologic, biochemical, molecular and biomechanical changes of both cells and matrix, with lead to a softening, fibrillation, ulceration, loss of articular cartilage, sclerosis and eburnation of subchondral bone, osteophyte and subchondral cysts. Longitudinal epidemiologic study on knee OA revealed that higher I3MD was strong factor in initiating the development of knee OA, but did not correlated with disease progressivity. A number of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors derived from joint cartilage had been clarified in several publication studies on animal model and human with OA. Those molecular markers are YKL-40 (synthesis marker) and Cartilage Oligomeric Protein (COMP, destructive marker), meanwhile proteinases enzyme such as Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3, catabolic marker) and its inhibitor Tissue Inhibitors of Metalloproteinase-1 (T1MP-1, anabolic marker). These markers will changes in parallel with radiographic progression of knee OA. A longitudinal cohort study should be made to clarify the correlation between BMD and diseases progression using the parameter of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors on an established knee OA. Thirty-seven patients had been enrolled on this longitudinal study (±70 months), initial and final evaluation has been conducted. Those patients comprises of 14 patients in osteopenic/osteoporotic group and 23 patients with normal total BMD. The homogeneity of two groups is well maintained. There is a moderate positive significant correlation (r-0.453, p<0.01) between age and initial log of serum YKL-40, and the same results (r-0.368, p<0.05) between age and initial serum TIMP-l at the beginning of the study. At baseline of the study, the serum level of TIMP was higher in women (251.76±50.31 ng/ml) than men (225 ± 20.26 ng/ml), meanwhile the baseline serum MMP-3 was seen higher in men (25.94 ± 12.18 ng/ml) compared to women (17.81 ± 10.64 ng/ml), as well as the MMP3/TIMP-1 ratio was higher in men than women. All differences are statistically significant (p<0.05). A moderate positive significant correlation (r<0.44I, p<0.05) demonstrated between body mass index (BMI) and level of log YKL-40 at baseline of the study. Log level of YKL-40, at baseline of the study, demonstrated a strong positive correlation (r<1.685) and statistically significance difference (p<0.05) with initial Lequesne index. By the end of the study the correlation is moderately positive (1.512) and proven statistically significance difference (p<0.Ol). The baseline serum TIMP-l level is moderately positive significance correlation 0-0.573, p<0.00I) with Lequesne index, meanwhile the same results was shown by the end of study (r<573, p<0.001). The means of serum YKL-40 (by study ends) in osteopenic/osteoporosis group was also higher (345.44 ± 334.40 ng/ml) in comparison with the normal group (156.55 ± 89.87 ng/ml) and the lag of serum YKL-40 level was statistically significance difference (p<0.05) between the two groups. Both baseline and study ends value of COMP level between the two groups was not statistically significance differences. Evaluation of TIMP-l level at baseline and by the study end also showed no significance by statistic method_ A higher result of serum MMP-3 level is higher in osteopenic/osteoporosis group than a normal group at baseline and study ends. Both means value of MMP-3/TIMP-l ratio seems higher in osteopenic/osteoporosis group than the normal group, but not significant noted. An evaluation has been made for all of the cases for the changes of serum COMP level according to the severity of illnesses. The result shows a significance difference between the two parameters. There is a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. In the normal group, the evaluation demonstrated a significance difference between the means of serum COMP level and the severity of illnesses (p<0.05). There is also a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. Meanwhile, in the osteopenic/osteoporosis group revealed no significance difference between the mean values of serum COMP level and the severity of illnesses. In both groups, there was a tendency of increasing means value of serum YKL-40 level from the "unchanged" category to the "getting worst" category. The evaluation of serum MMP-3 level in both total group and normal group shows a statistically significance difference (pc0.05) while calculated with the severity of illnesses. This study demonstrated an increasing tendency of the serum TIMP-1 level in the total group by the severity of illnesses category (between "getting better" category to "getting worst" category, but not statistically significance difference. By divide onto two groups, the osteopenic/osteoporosis group and the normal group, the statistic shows the same result. The log means of YKL-40 level is statistically significance different (pr 0,01), In osteopenic/osteoporosis group the means value of serum YKL-40 level also showed a statistically significance different (pr0.05), but not in normal group. An evaluation of serum COMP level in all cases demonstrated that there was an increasing value between the baseline and by the end of study. The result in the osteopenic/osteoporosis group was in the contrary with the total group, The result in the normal group was in accordance with the total group analysis. There was no statistically significance difference, when the serum TIMP-1 level was calculated between the baseline and the end value, A significant different (pr 0,01) noted when the log mean serum MMP-3 level was calculated between the baseline and by the study end value. A less but significance difference (pr0.05) was also noted in the osteopeni/osteoporosis group from the evaluation of serum MMP-3 level. The same result demonstrated in the normal group with the same significance of pr0.05. By the study end, the ratio MMP-3 and TIMP-I was higher than the baseline and this result was significant on statistic calculation (p<0.001), The same result demonstrated in both osteopenic/osteoporosis group and the normal group. Meanwhile in the normal group, the baseline ratio of MMP-3/TIMP-l was 0,0835 ± 0.0505 and the study end ratio was higher than the baseline (0.1215 ± 0,0537). A means changes value of serum YKL-40 was higher in osteopenic/osteoporosis group (124,05 -F 174.06 ng/ml) compare to the normal group (15.35 ± 87.43 ng/ml) and this difference was statistically significant (pr0.05). The means changes in serum COMP level, also noted much higher in osteopenic/osteoporosis group compare to normal group. The result was statistically significant (pr0.05). Evaluations also have been made for the level of MMP-3 and the ratio of MMP-3ITIMP-I. In osteopenic/osteoporosis group, the means changes of serum MMP-3 level were higher (34,47 ± 62,90 ng/ml) than the normal group of 6.21 ± 14.28 ng/ml. Log serum YKL-40 level at baseline of the study have a strong positive significant correlation (r 0.727, pr0.00I) in comparison with the ends value of serum YKL-40. Log serum YKL-10 level by the study ends, was moderately positive correlation (r1545) and statistically significance (p<0.01) in comparison with the study ends serum TIMP-1 level. There was a statistical significant (p<0.0I) and moderate correlation (r 0.469) when the level of COMP has had been evaluated between baseline and the study ends value. A serum TIMP-l level at baseline was proven having a moderate correlation (r.546) and statistical significance (pr0.00I) with its value at the study ends. There was no correlation between the serum TIMP-I level al baseline and others metabolic markers, except for the serum YKL-40 level at baseline. A moderate positive correlation (r 0.528) and statistical significance (p<0.01) was demonstrated when log serum MMP-3 level at baseline was calculated to the study ends value. In knee OA, in the long period, there will be an increasing progressivity of joint cartilage matrix degradation. A lower total BMD value, in knee OA patients and the long period, do not a protective factor for progressivity of joint cartilage matrix degradation. There was no con-elation amongst others metabolic markers in this study. A further study to clarify the impact of total BMD to the progressivity of knee OA should be made by measuring the thickness of joint cartilage using MRI and by comparing BMD at different site and the metabolism of joint cartilage at different site. Others similar study could be performed by measuring others metabolic markers for synthesis and degradation such as hyaluronan, collagen fragment, etc in serum and or the synovial fluid, Concerning the results of this study that demonstrated that knee OA patients, grade 2 and 3 who had osteopenic/osteoporosis for a long time will have more progressive and severe joint cartilage matrix degradation; every doctor should ask for BMD measurement undoubtedly and manage such patients with know-n various effective and accepted modalities/program. A metabolic marker of joint cartilage matrix YKL-40 and COMP should be considered to be use widely as a progressive marker for joint cartilage matrix degradation in knee OA. The use of this marker will be much beneficial in evaluating the treatment using disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ndaru Andri Damayanti
"Introduction: Constant exposure to a variety of microorganisms in domestic environment plays an important role in the shaping of individual immune response mechanism, which can affect one's susceptibility to the diseases. The aim of the study to get an understanding how the exposure of microorganisms in the the different area where the people living might give a contribution to the profile and the regulation of the immune respons after stimulated to malaria, vaccine BCG and oxLDL antigents in PBMC and whole blood cultures, and to evaluate the character of T reg as a mediator to suppress the cell proliferation.
Methode: It is an in vitro experimental study performed at Laboratorium Terpadu, Faculty of Medicine Univertas Indonesia, Jakarta in 2013 2014. As a model of infectious diseases is used pathogenic antigents such as Plasmodium falciparum infected red blood cells malaria and bacille calmette gu rin BCG vaccine, and as a modell of inflammatory disease is used non a patonegic antigen, low density lipoprotein LDL . Whole blood cultures is done for 80 blood samples to know how the regulation of immune respons from people living a rural populatin. PBMC cultures is also done to explore macrophages after stimulated to malaria, BCG and LDL. PHA stimulated to the PBMC culture with and without T reg cells to evaluate the character of T reg. T regulatory cells perhaps play the important roles to suppress the immune respons to microorganisms was also done.
Results: The profile of the immune respons of the people living in the unslum area is significantly more inflamatif than that in the slum area. The ratio of pro anti inflammation cytokines TNF IL 10 of the people living in the unslum area is significantly higher than that in the slum area. This is marked by increasing of oxLDL accumulationis that is the important point of the low protection to oxLDL of the people living in the unslum area p 0.01 . T regulatory cell may suppress the proliferation in the PBMC culture for the people living in the slum area marked by increasing not only the expression of IL 10 cytokines but also the sum of T regulatory sells p 0.01 significantly.
Conclusion: The immune respons of the people living in the unslum area is more inflamatif and responsive to malaria, BCG vaccine and oxLDL. The character of macrophage of the people living in the slum area is marked by the low ratio of pro anti inflammation cytokines TNF IL 10 to malaria, BCG vaccine and oxLDLstimulations. T regulatory cell may suppress the proliferation in the PBMC culture for the people living in the slum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Ayu Tri Wulandari
"ABSTRAK
Latar belakang: Infeksi HIV masih banyak ditemukan di Indonesia saat ini. Terapi antiretroviral telah merubah morbiditas dan mortalitas pasien terinfeksi HIV, dan juga merubah manifestasi oral HIV/AIDS, termasuk kandidiasis orofaring KOF . Dalam penelitian ini dieksplorasi peran faktor genetik dan respons imun pasien terinfeksi HIV dengan dan tanpa KOF, sebelum dan sesudah terapi ARV.Metode: Subyek penelitian sebesar 82 pasien terinfeksi HIV, ARV-na ve dengan jumlah sel T CD4

ABSTRACT
Background HIV infection remains common in Indonesia nowadays. Antiretroviral therapy ART has altered morbidity and mortality of HIV infected people, and also altered oral manifestation of HIV AIDS, including oropharyngeal candidiasis OPC . Here we explore the role of host genetic factors and immune responses in HIV infected patients beginning ART.Methods This study included 82 ARV na ve HIV infected patients with "
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riwanti Estiasari
"Latar belakang. Infeksi HIV dapat memicu inflamasi kronik dan reaktifasi CMV yang dan dapat mempengaruhi limfosit T. Gambaran seperti ini juga ditemukan pada usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit degeneratif termasuk gangguan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh CMV dan limfosit T terhadap fungsi kognitif pada pasien HIV usia muda.Metode. JakCCANDO JAKarta CMV and Candida in HIV patients on ART, evaluation in CArdiology, Neurocognitive, Dentistry and Ophthalmology study, merupakan studi prospektif yang dilakukan di RSUPN. dr. Cipto Mangunkusumo. Studi ini melibatkan 80 pasien HIV 19-44 tahun yang belum pernah mendapat terapi antiretroviral ARV dengan limfosit T CD4

Background. HIV can trigger chronic inflammation and CMV reactivation that affect T cell. These feature is also found in old age population and associated with degenerative disease including cognitive impairment. In this study we investigated the effects of CMV and T cells on cognitive function of younger HIV patients.Methods. JakCCANDO JAKarta CMV and Candida in HIV patients on ART, evaluation in CArdiology, Neurocognitive, Dentistry and Ophthalmology is a prospective study of patients at Cipto Mangunkusumo hospital. This study involved 80 HIV antiretroviral therapy ART naive patients 19 44 years with baseline CD4 T cell counts "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Febriana Catur Iswanti
"Latar belakang: Saat ini prevalens alergi semakin meningkat. Terapi alergi lebih terfokus untuk mengatasi gejala simptomatik. Pendekatan lain adalah terapi imunomodulasi dengan agonis toll like receptor (TLR) 9 yang dapat mengalihkan respon imun sel TCD4+ Th2 ke arah Th1. CpG ODN 2006x3_PD adalah oligonukleotida sintetik kelas B merupakan agonis TLR9 yang berpotensi aman karena mengandung fosfodiester. Pada penelitian ini CpG ODN 2006x3_PD diuji kemampuan untuk mengatasi alergi dengan menggunakan penghantar nanopartikel kitosan, melalui uji in vitro pada sel mononukleus darah tepi dan in vivo pada hewan coba mencit alergi. Metode: Preparasi nanopartikel kitosan dilakukan dengan metode gelasi ion, melalui reaksi ikat silang kitosan dan tripolifosfat. Nanopartikel dikarakterisasi dengan Dynamic light scattering (DLS), zeta sizer dan transmission electron microscope (TEM). Uji pengikatan dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarosa 12%, uji toksisitas dan kemampuan aktivasi NF-κB dilakukan pada sel RAW Blue, dengan menggunakan cel counting kit 8 dan kit Quanti blue. Sel mononukleus darah tepi yang distimulasi selama 7 hari pada uji in vitro dan plasma hewan coba mencit Balb/c pada uji in vivo diukur konsentrasi IFNγ, IL-10, IL-13 dan IgE dengan metode ELISA.
Hasil: Diperoleh nanopartikel dengan ukuran <300 nm, muatan permukaan positif, bentuk sferis, tidak toksik dan dapat mengaktivasi NF-κB. Uji in vitro pada sel mononukleus darah tepi menunjukkan CpG ODN 2006x3_PD yang dihantarkan nanopartikel kitosan dapat menstimulasi sitokin tipe Th1 IFNγ dan T reg IL-10, menurunkan sitokin tipe Th2 IL-13 namun belum dapat menurunkan secara bermakna produksi IgE total pada sel mononukleus darah tepi individu sehat dan alergi Aplikasi intra nasal 10 ug/kali, 3 kali seminggu selama 3 minggu CpG ODN 2006x3_PD dan CpG ODN 2006x3_PD yang dihantarkan nanopartikel kitosan pada mencit Balb/c yang diinduksi alergi dengan ovalbumin dapat menstimulasi sitokin tipe Th1 IFNγ dan Treg IL-10, namun belum dapat menurunkan secara bermakna sitokin tipe Th2 IL-13 pada plasma mencit. Aplikasi CpG ODN 2006x3_PD dapat menurunkan produksi IgE spesifik anti ovalbumin pada plasma mencit meskipun belum dapat menurunkan produksi IgE total.
Simpulan: CpG ODN 2006x_PD dapat menjadi kandidat imunostimulator yang potensial pada alergi.

Background: Currently, prevalence of allergy has increased in worldwide. Allergy treatment is mainly focused to reduce clinical symptoms. Another approach is immunomodulation therapy which utilizes toll like receptor (TLR) 9 agonist that may redirect pro-allergenic Th2 biased CD4+ T cell response toward Th1. CpG ODN 2006x3_PD which is classified as synthetic oligonucleotides B has potential as a safe TLR9 agonist due to its natural backbone. In this study, CpG ODN 2006x3_PD was examined about its ability in overcoming allergies by using chitosan nanoparticles delivery, through in vitro tests on peripheral blood mononuclear cells and in vivo through allergic mice animal model.
Methods: Chitosan nanoparticles was prepared by ionic gelation method, through crosslinking reaction of chitosan and tripolyphosphate. Nanoparticles are characterized by Dynamic light scattering (DLS), zeta sizer and transmission electron microscope (TEM). The binding test was carried out with electrophoresis on 12% agarose gel, toxicity test and NF-κB activation ability performed on RAW Blue cells, using cel counting kit 8 and Quanti blue kit. IFNγ, IL-10, IL-13 and IgE level of in vitro tests of peripheral blood mononuclear cells after 7 days stimulation and Balb/c mice plasma of in vivo study were measured by ELISA method.
Results: Less than 300 nm, positive surface charge, spherical shape and nontoxic chitosan nanoparticles were obtained. These nanoparticles could deliver CpG ODN to activate NF-κB of mouse RAW-Blue cells effectively. In vitro assays of peripheral blood mononuclear cells showed that CpG ODN 2006x3_PD delivered by chitosan nanoparticles may stimulate Th1 IFNγ and T reg type cytokines IL-10, also decrease the Th2-type cytokine IL-13 but it couldn't inhibit total IgE production in peripheral blood mononuclear cells significantly. Intranasal application of 10 ug, 3 times per week for 3 weeks of CpG ODN 2006x3_PD and CpG ODN 2006x3_PD which were delivered by chitosan nanoparticles in allergen induced Balb/c mice could stimulate Th1 IFNγ and Treg type cytokines IL-10, but it couldn't significantly reduce the Th2-type cytokine IL-13 in mice plasma . The CpG ODN application decreased the specific IgE production of anti ovalbumin in mice plasma although it couldn't significantly reduce total IgE production.
Conclusions: CpG ODN 2006x_PD could be a potential candidate for allergic immunostimulator."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Forman Erwin
"Pendahuluan: Interaksi Cryptococcus neoformans dengan makrofag mempengaruhi kejadian kriptokokosis meningeal, infeksi oportunistik fatal pada populasi AIDS, dimana pada keadaan imunokompromi, kemampuan fagositosis makrofag terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktifitas fagositik makrofag penderita HIV, profil sitokin yang terbentuk serta pengaruh pemberian obat anti retroviral. Metode: Desain penelitian eksploratif-analitik terhadap interaksi makrofag-C. neoformans. Makrofag pasien HIV dan orang sehat (selanjutnya disebut Kasus dan Kontrol). Penelitian mencakup pengukuran kadar nitrit petanda aktivasi makrofag, uji indeks internalisasi jamur (IIJ), laju fagositosis (LF), dan daya bunuh (DB) makrofag terhadap jamur yang diamati pada menit ke 30, 120 dan 240. Selain itu juga diteliti profil sitokin yang terbentuk (IL-5, IL-10, IL-6, TNF-?, IFN-?) dan uji serologis terhadap plasma menggunakan Cryptococcus antigen lateral flow assay (CrAg-LFA). Hasil: Terkumpul 38 Kasus dan 42 Kontrol dengan hasil uji LFA seluruh subyek, Kasus maupun Kontrol, negatif. Kadar nitrit yang terbentuk lebih tinggi pada kelompok Kontrol. IIJ makrofag Kasus lebih tinggi pada T30 dan T120. LF makrofag kontrol lebih tinggi pada T30 dan T120. DB makrofag Kontrol jauh lebih tinggi dibanding makrofag Kasus pada seluruh pengamatan. Pola sitokin yang terbentuk oleh makrofag kasus mengarah ke sitokin anti inflamasi (IL-5 dan IL-10 tinggi), sedangkan pola sitokin yng terbentuk oleh makrofag Kontrol mengarah ke sitokin pro inflamasi (IL-6 dan IFN-? tinggi) kecuali untuk TNF-? yang lebih tinggi pada supernatan makrofag Kasus. Pembahasan: Aktifitas fagositik makrofag Kasus terganggu, ditandai dengan daya bunuh yang jauh lebih rendah. Selain itu, tingginya kadar sitokin pro inflamasi pada populasi kontrol menunjukkan pembersihan jamur yang lebih efektif sedangkan sitokin anti-inflamasi yang lebih tinggi pada subjek terinfeksi HIV memungkinkan terjadinya parasitisme intraseluler makrofag oleh C. neoformans. Kesimpulan: terdapat perbedaan daya bunuh dan pola sitokin pro dan anti inflamasi pada subjek terinfeksi HIV dibanding kontrol.

Introduction: interaction of Cryptococcus neoformans-macrophage affecting the incidence of cryptococcal meningitis, a fatal opportunistic infection in AIDS population. In immunocompromised condition, macrophage phagocytic activity was impaired. This study aimed to analyze phagocytic activity of macrophage derived from HIV infected individuals against C. neoformans, the cytokine profile and the role of antiretroviral therapy in that interaction. Method: using explorative-analytical design on the interaction between macrophageyeast seen as: internalization index, phagocytic rate, killing ability, production of cytokine and NO. We also tested the plasma against Cryptococcus antigen lateral flow assay (CrAg-LFA). Result: out of 38 HIV(+) subjects and 42 healthy subject all were negatif for LFA. Nitrite formed were higher in the Control group. Internalization index were higher in the Cases group, Phagocytosis rate were higher in the Control group: Killing ability were far superior in the Control group. Cytokine profile of the Cases group were anti inflammatory (higher IL-5 and IL-10) while in the Control group, were more pro inflammatory (higher IL-6 and IFN-?) with the exception of TNF-? which was higher in the Cases group. Discussion: the higher level of pro-inflammatory cytokine among control group represent a more effective clearance of fungal by macrophages while higher level of anti-inflamatory cytokine among HIV+vderived macrophage indicates profound intracellular parasitism of macrophage by C. neoformans. Conclusion: there is difference of killing ability, NO production and antiinflammatory cytokine production among macrophage derived from healthy subjects that showed us a more effective fungal clearance and activation of macrophage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Saraswati
"Antiretroviral therapy (ART) given to HIV patients to improve their immune response that damaged by HIV infection. Some patients with ART experience Immune Restoration Disease (IRD) as worsening of clinical symptoms from certain pathogens infection. The incidence of IRD concided with an increased number of CD4+ T cells. Hepatitis C virus can also infect HIV patients and may also lead to HCV IRD. The immunopathogenecity of IRD has not known yet. This study aims to look at the function of dendritic cells producing IL-12 and IFNα, and IFNγ-producing T cell responses in incidence of HCV IRD. Research subjects were 50 patients with HIV/HCV who were initiating antiretroviral therapy (ART) for up to 6 months of therapy. There are 9 people with HCV IRD who compared with non HCV IRD patients. Blood specimens were collected from study subjects at months 0, 1, 3 and 6 after ART. Then PBMC isolation was done and used for flowsitometri and ELISpot analysis.
The results showed that the percentage of myeloid (mDC) and plasmacytoid dendritic cells (pDC) did not differ between HCV IRD patients and non-HCV IRD patients. It appears that the percentage of IL-12-producing mDC did not correlate significantly with IFNγ- producing T cells both in HCV IRD and non-IRD HCV patients. The percentage of IL-12-producing mDC in HCV IRD patients were lower than in non-IRD patients (p=0.003). While percentage of IFNα-producing pDC and IFNγ- producing T cells did not differ significantly between the two groups of patients. Antibody response to HCV proteins (core, NS3, NS4, and NS5) did not differ between HCV IRD and non-HCV IRD patients. The role of dendritic cells and T cell responses in HCV IRD incidence have not clearly seen.

Terapi antiretroviral (ART) diberikan kepada pasien HIV akan memperbaiki respon imun tubuh yang rusak karena infeksi HIV. Beberapa pasien dengan ART mengalami sindrom pulih imun atau Immune Restoration Disease (IRD) berupa perburukan gejala klinis dari infeksi patogen tertentu. Kejadian sindrom pulih imun ini terjadi bersamaan dengan peningkatan jumlah sel T CD4+. Virus Hepatitis C yang menjadi patogen penyerta pada pasien HIV juga menjadi penyebab sindrom pulih imun. Belum diketahui dengan jelas imunopatogenesitas dari sindrom pulih imun ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat fungsi sel dendritik penghasil IL-12 dan IFNα, serta respon sel T penghasil IFNγ pada kejadian sindrom pulih imun HCV. Subyek penelitian adalah 50 pasien HIV/HCV yang sedang memulai terapi antiretroviral (ART). Terdapat 9 orang pasien dengan sindrom pulih imun HCV yang dibandingkan dengan pasien tanpa sindrom pulih imun HCV. Spesimen darah lengkap dikumpulkan dari subyek penelitian pada bulan ke-0, 1, 3 dan 6 setelah ART. Kemudian dilakukan isolasi PBMC dan analisis flowsitometri dan ELISpot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase sel dendritik mieloid (mDC) dan plasmasitoid (pDC) tidak berbeda antara pasien dengan dan tanpa sindrom pulih imun HCV. Persentase sel mDC penghasil IL-12 tidak berkorelasi secara signifikan dengan jumlah sel T penghasil IFNγ baik pada pasien dengan maupun tanpa sindrom pulih imun HCV. Pasien dengan sindrom pulih imun HCV memiliki persentase sel mDC penghasil IL-12 yang lebih rendah dibandingkan pasien tanpa sindrom pulih imun HCV (p=0,003). Sedangkan persentase sel pDC penghasil IFNα dan jumlah sel T penghasil IFNγ tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok pasien. Respon antibodi terhadap protein HCV (core, NS3, NS4 dan NS5) pun tidak berbeda antara kedua kelompok pasien. Disimpulkan bahwa belum terlihat adanya peran dari sel dendritik dan respon sel T terhadap kejadian sindrom pulih imun HCV."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>