Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johanes Herlijanto
Abstrak :
Meskipun orang-orang Tionghoa seringkali digambarkan sebagai entitas tunggal yang bersifat statis, namun pengamatan-pengamatan yang dilakukan terhadap tingkah laku mereka justru menghasilkan kesimpulan yang sebaliknya. Serangkaian penelitian terhadap orang-orang Tionghoa yang menyebar di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memperlihatkan bahwa mereka temyata bukan hanya beragam namun juga memiliki potensi untuk beradaptasi, berubah dan mengusahakan suatu perubahan. Berdasarkan pemahaman semacam itu pulalah, maka ketika akhir-akhir ini orang-orang Tionghoa di Indonesia (atau lebih tepatnya, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa) membangun suatu gerakan sosial untuk melawan berbagai diskriminasi yang mereka alami, usaha untuk menguak kembali keberagaman identitas, pandangan, dan pola dalam gerakan ini akan memiliki daya tahan tersendiri. Usaha inilah yang dilakukan di dalam penelitian ini. Pemaharnan terhadap suatu gerakan sosial seyogyanya dimulai dengan sebuah upaya penelusuran kembali hal-hal yang menjadi dasar dari berbagai keresahan dan ketidakpuasan yang memunculkannya. Dan mengingat gerakan orang Tionghoa ini mengusung tema diskriminasi, maka patutlah 'dicurigai' bahwa dicriminate inflate yang menjadi basis dari merebaknya ketidakpuasan mereka. Kecurigaan ini semakin menguat ketika penelusuran sejarah melalui berbagai literatur yang ada memperliharkan bahwa orang-orang Tionghoa pun menjadi korban dari sistem yang diskriminatif yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda dan yang dikembangkan secara lebih sistematis semasa tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru (Orba). Dalam kurun waktu itulah, hak hak sosial, politik, dan budaya orang Tionghoa dicukur habis dan dikurung di balik tembok-tembok rumah mereka, berbagai peraturan yang oleh seorang tokoh Tionghoa digolongkan sebagai sebuah cultural genocide. Diskriminasi dalam bidang sosial, politik dan budaya inilah yang agakmya mendasari munculnya gerakan sosial ini, sebuah gerakan yang bukan berbasis kepentingan kelas ataupun ekonomi. Namun keresahan dan ketidakpuasan ini barulah berkembang menjadi perlawanan setelah situasi yang kondusif tercipta. Situasi ini adalah berakhirnya Perang Dingin menyusul bubarnya negara Uni Sovyet, perkembangan situasi pasca Peristiwa Mei, Berita berakhirnya pemerintahan Orba. Selain itu, adanya jaringan yang telah Iama berkembang, yaitu jaringan gerakan pro-demokrasi dan jaringan tradisional Tionghoa yang berlandaskan pun turut mendukung penyebaran gerakan ini. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa gerakan yang dihasilkan oleh ketidakpuasan di atas ternyata tidak seragam. Ada orang-orang Tionghoa yang memahami masalah diskriminasi ini sebagai masalah bagi etnik Tionghoa dan mengharapkan penyelesaian melalui penghidupan kembali identitas dan budaya Tionghoa. Kelompok ini tampaknya dapat dikategorikan sebagai kelompok yang berorientasi lebih banyak ke dalam dan sangat rentan terhadap pengaruh etnosentrisme. Namun ada pula sekelompok orang Tionghoa yang menganggap masalah diskriminasi ini semata-mata sebagai salah satu kasus dari intervensi negara yang berlebihan, dan oleh sebab itu upaya penyelesaiannya harus dilakukan dalam kerangka yang lebih luas : hengkangnya negara dari wilayah-wilayah sipil dan pembentukan civil society yang kuat, yang merupakan akar dari suatu masyarakat yang demokratis. Kelompok ini tampaknya lebih tepat dikategorikan sebagai kelompok yang berorientasi keluar. Perbedaan pandangan di antara kelompok-kelompok ini pada gilirannya menghasilkan berbagai variasi pula pada pola-pola gerakan yang mereka kembangkan yang menyebabkan gerakan ini dipenuhi dengan keberagaman. Dengan demikian, fenomena gerakan sosial ini sekali lagi memperkuat pemahaman yang ditampilan pada awal tulisan ini, yaitu bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang beragam.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Rizal Edy Praja
Abstrak :
Apapun bentuk program dan proyek pembangunan yang digulirkan ke desa, hendaknya melibatkan masyarakat di dalam proses pembangunan untuk mewujudkan suatu perubahan terencana untuk mencapai kemajuan masyarakat lokal. Karena ditujukan untuk merubah masyarakat itulah, sudah sewajarnya masyarakat dijadikan sebagai pemilik program dan proyek pembangunan. Perubahan yang dituju adalah suatu tahapan pembangunan yang hasilnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Wacana mengenai pembangunan desa tidak terlepas dari dua model perencanaan pembangunan top down planning dan bottom up planning. Pada dasarnya setiap program pemerintah senantiasa mencerminkan kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), sudah semestinya pendekatan bottom up planning diperbesar dan menjadi inti proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat. Tesis ini meneliti tentang suatu dimensi yang lebih khusus yaitu kajian tentang perencanaan pembangunan di tingkat lokal dalam desain progam dan proyek pembangunan yang aktual dan bersifat lokal, yaitu Program Dana Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN/K), Program Pengembangan Prsarana Perdesaan (P2D) dan Proyek Pemberdayaan Kecamatan Terpadu (P2KT). Implementasi desain tersebut berupa keterlibatan masyarakat dalam local planning sebagai perwujudan proses pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini berlokasi pada desa-desa (istilah desa adalah interchangeable dengan istilah Nagori sebagai sebutan lokal) di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat masih rendah dalam perencanaan pembangunan. Tanpa disadari peranan pemerintah masih lebih besar, meskipun tidak secara fisik, akan tetapi dalam wujud regulasi yang kurang memberikan keleluasaan bagi masyarakat. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa ucapan orang-orang serta fenomena sosial yang dapat diamati. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengamatan dan kajian secara langsung, selain wawancara yang tidak terstruktur dan mendalam untuk memperoleh data tentang keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pada tataran desain, keterlibatan masyarakat sudah diadopsi dalam desain program dan proyek pembangunan yang digulirkan, sedangkan dalam tataran implementasi, keterlibatan masyarakat sudah baik dalam program BPN/K dan P2D, dibandingkan dalam proyek P2KT yang masih didominasi oleh birokrat kecamatan. Masyarakat sebenarnya antusias dan mempunyai respon yang tinggi dalam proses perencanaan pembangunan yang memang berkenaan langsung dengan kebutuhan lokal. Keterlibatan dalam proses pelaksanaan saja sudah dianggap baik, akan tetapi akan sangat lebih baik terlibat sejak dari perencanaan, namun banyak kepentingan yang menjadi tantangannya, sehingga tidak serta merta terwujud pada program dan proyek yang ada. Masyarakat banyak yang tidak mengerti tentang mekanisme dan segala aspek-aspeknya, akan tetapi mereka secara sederhana memahaminya kalau mereka disertakan dan klop dengan solusi permasalahan yang dihadapi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T8978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarni
Abstrak :
School culture is behind-the-scene context that is reflects of the values, beliefs, norms, tradition, and ritual that build up overtime a people in schoolwork together-administrator, teachers, students, parents, and community members. It influenced all the components of school in the process of education directly. It is assumed that school culture could make the educational achievement different. It is also assumed that school culture influenced teacher culture. This research's prime vision is to know whether there is difference of school culture between a higher-success and a lower-success Senior High School in Klaten, Central Java, and to what extent they differ according to their school performance. It also aims to know the relationship between school culture and teacher culture and to what extent the school culture influenced the teacher culture. Like the other social organization, school is an organization that has a culture. To measure the school culture, there are three indicators such as: norms of school culture behavior, beliefs, and core slues. While to measure teacher culture whether the school has positive or negative teacher cultures there are also three indicators collegiality, collaboration, and efficacy. This study employed a quantitative approach. Technique for collecting data is using questionnaire, unstructured interview and documents. The measure employed Likert Side, with five options: strongly agree, agree, uncertain, disagree, and strongly disagree. The techniques Analysis used in this study are descriptive statistic, T-test, Correlation, and Regression. Statistically, the study concluded that there is a difference of school culture between a higher-success school and a lower-success school. The score obtained by the two schools shows the difference. The difference of the mean is 3.56. The differences are on the norms of behavior, beliefs, and values. In testing the difference using t-test, the result shows that score oft value is larger than score oft table. Or the score of probability is less than 0.05. It showed that null hypothesis (Ho) is rejected or the two schools have different school culture. It also showed that the higher-success school has score of school culture that is higher than the lower-success school. The results implicated that the higher-success school has a better school culture than the lower-success school. Nevertheless, the difference of school culture found in this study is not too striking. So the difference could not viewed as white and black, because culture of the schools didn't work and process all alone. There is other side going along to shape the school culture and to determine the success or failure of the school. In this case, culture of Klaten community greatly influenced the schools. In the second testing of hypothesis, statistically, this study also concluded that there is a positive relationship between school culture and teacher culture. The value oft (2.486) is larger than value oft table (1.67), or the probability is more than alpha (0.05). It shows that null hypothesis is rejected. The strength of the relationship is shown by the coefficient correlation (the level of significance is 0.05) obtained in this analysis that is 0.793. This result shows that the relationship is very significant. It can be interpreted that norm of behavior, belief and school values influenced teacher's culture (collegiality, collaboration and teacher's sense of efficacy). Local community culture also influenced the teacher culture. "Klateneses", like other Javanese, has a permissive culture. They are so kind, friendly and easy to work together. This condition could support collegiality and collaboration activities.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12010
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmat Budiman
Abstrak :
Perkembangan kajian tentang Internet di Indonesia, antara lain, ditandai oleh beberapa kajian yang umumnya difokuskan pada upaya untuk menjelaskan relasi antara perkembangan pemanfaatan internet oleh masyarakat di satu sisi, dan kemungkinan potensial bagi perbaikan kualitas kehidupan politik demokrasi di sisi lain. Ungkapan-ungkapan seperti cyberdernocracy, information superhighway, atau medium of liberation, sering dipakai ketika membahas Internet sebagai domain politik. Pada level konseptual, kajian-kajian semacam ini biasanya merujuk, paling tidak, pada dua argumen teoritis. Yang pertama adalah filsafat politik tentang keutamaan sebuah ruang publik ( public sphare) dalam memelihara semangat berbeda pendapat yang menjadi ciri dari kehidupan politik demokratis. Sementara argumen kedua adalah penjelasan yang dititikberatkan pada reformulasi konsep-konsep tentang identitas individu dalam cyberspace yang dianggap memungkinkan orang bisa lebih bebas menyatakan pendapatnya. Studi ini mencoba memberikan kontribusi pada beberapa kajian tentang Internet yang telah dilakukan sebelumnya, paling tidak untuk konteks sosiologi di Indonesia, dengan pertama-lama melakukan penelusuran peta teoritis dalam wacana ilmu sosial, yang bisa dijadikan acuan konseptual untuk mengkaji internet bukan hanya sebagai domain politik, melainkan juga sebagai sebuah fenomen kultural masyarakat di dunia. Dari penelusuran tersebut ditemukan bahwa dalam bidang kajian tentang internet atau, secara lebih luas, masyarakat yang berbasis teknologi jaringan elektronik (electronically networked society), ilmu sosial telah berkembang jauh lebih luas dari sekedar upaya teoritik untuk mencari kemungkinkan atau potensi internet dalam mengembangkan kehidupan politik demokrasi. Cyberspace secara historis dibentuk oleh dua komunitas kultural yang bertolak belakang, yakni antara kultur para hacker komputer yang terobsesi dengan kebebasan dan membenci sensor, dan kultur bisnis militer yang terobsesi oleh keinginan melakukan kontrol dengan dalih keamanan.Menghindar dari kecenderungan semata-mata hanya memberi penekanan pada romansa kebebasan yang dijanjikan oleh teknologi internet, studi ini mencoba menelusuri beberapa kajian yang menghasilkan gambaran bahwa dalam banyak aspek cyberspace pada dasarnya dibentuk dan sekaligus membentuk berbagai hal yang kontradiktif satu dengan lainnya. Demikian, misalnya, sementara pada sisi yang satu internet, seperti tampak dalam beberapa analisa tentang relasi internet dengan kehidupan politik demokrasi, itu dicirikan oleh demikian terbuka dan bebasnya ia sebagai sebuah ruang sosial baru, tapi pada sisi yang lain beberapa temuan dan telaah mutakhir yang telah dilacak dalam studi ini memperlihatkan bahwa internet ternyata bisa juga dimanfaatkan sebagai instrumen kontrol sosial dalam apa teknologi kekuasaan beroperasi secara sangat eksesif. Di lain pihak, pertumbuhan titik akses internet publik dalam bentuk warung internet atau Warnet juga menjadi salah satu fenomen yang dikaji secara kritis dalam studi ini. Kalau sejauh ini mungkin ada kecenderungan Warnet dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wacana tentang internet sebagai pendorong demokratisasi, studi ini mencoba memeriksa Warnet pertama-tama dengan menempatkannya sebagai sebuah lokus tempat aktivitas ekonomi pengetolanya. Dengan demikian, daripada menempatkan Warnet sebagai salah satu indikasi penling dalam upaya pemanfaatan internet untuk perbaikan kualitas demokrasi, studi ini melihatnya hanya sebagai pertemuan temporer antara dua kepentingan yang tidak sejalan: kepentingan produksi ekonomi para pengelola Warnet, dan kepentingan penggunanya unluk mendapatkan atau layanan akses internet berbiaya relatif lebih murah atau sekedar pemenuhan gaya hidupnya. Dalam konteks yang lebih luas Warnet, dengan demikian, ternyata bukanlah sebuah ruang publik (public sphere) yang bisa menjadi pusat perbincangan politik, seperti konsep ideal yang diajukan oleh Jurgen Habermas dengan mengambil model historis kale dan salon di Eropa abad 17 dan 18. Sebaliknya, Warnet hanyalah sebuah lokasi spasial tempat ruang-ruang privat para pengguna internet berdampingan, dan terkoneksi ke dalam sebuah ruang sosial yang lebih besar di dalam internet. Di samping itu, melalui pelacakan leoritis studi ini juga mencoba memperlihatkan limitasi konseptual yang sering terjadi selama ini dalam kajian-kajian lentang internet sebagai sebuah domain politik: kecenderungan melihat internet sebagai ruang publik dalam pengertian Habermasian tadi. Konklusinya, ilmu sosial membutuhkan sebuah model atau metafor baru yang bisa lebih lepat merepresentasikan realitas-realitas kontradiktif dalam cyberspace.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardita Retno Caesari
Abstrak :
In the end of 1998, a street brawl in Poso City, the capital of Poso District in Central Sulawesi expanded into a full-scale communal conflict that caused breakdown of authority, damaged public infrastructures and resulted in over 75,000 people to be displaced from their home. Efforts from both government and non-governmental actors to bring peace back to Poso District, as well as to recover the livelihood of the conflict-affected people have been going on from 1998 up to present. This study would like to find out whether livelihoods of the conflict-affected people are recovered and to identify links between relief and development using sustainable livelihoods approach, especially in the case of CROP Program implemented by Church World Service Indonesia in Poso District, Central Sulawesi. Household Livelihood Security Analysis was used in this study using in depth interviews with direct program beneficiaries and obtaining secondary data from project documents and articles in journals and reports. The findings of this study is a Household Livelihood Profile of the beneficiaries of CROP Programs, that contains changes in livelihood system that happened before and after the intervention and efforts to recover impaired livelihoods in a post-conflict setting is presented. In the end, the study concluded that the CROP Program was able to enhance the livelihood recovery process of household beneficiaries in Poso District through the provision of vegetable seeds, and fish fry as well as fish and farming tools i.e. hoes, sickles and fish nets, which eventually increased and strengthened physical, economic and social resources of the household beneficiaries. In addition, linkages between relief and development are identified through changes in livelihood resources and strategies, appropriate and accurate intervention design that does not harm the existing livelihood resources and strategies of the conflict-affected people as program beneficiaries. However, commitment of CWS Indonesia to sustain and recover the existing livelihoods resources and strategies of the conflict-affected people should be strengthened by enriching the capacity of its organization resources.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Agusdin
Abstrak :
Partisipasi politik merupakan aspek panting bagi perkembangan demokratisasi di Indonesia, dimana masyarakat dapat menentukan aspirasi politiknya melalui aktifitas secara aktif. Kelompok Relawan, adalah sekumpulan masyarakat yang secara aktif telah ikut berpartisipasi didalam proses pemilihan presden R.I. pada tahun 2004. Bentuk-bentuk kegiatan politik Kelompok Relawan bersifat sporadis, karena proses. pembentukan kelompok terjadi pada scat pemilu raja. Disamping itu, individu masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Relawan adalah bukan berasal dari kelompok masyarakat politik. Tulisan ini mendeskripsikan bagaimana sekelompok masyarakat melakukan kampanye untuk mendukung kemenangan calon presiden dan wakil presiden Amin Rais - Siswono Yudo Husodo di dalam pemilu presiden. Pengamatan terhadap Kelompok Relawan dilakukan di Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Banten, dengan menggunakan sudut pandang teori gerakan sosial, teori mobilisasi sumberdaya. Kelompok Relawan dijelaskan melalui 3 sudut pandang variabel yaitu : pembentukan identitas dan solidaritas kelompok, mobilisasi sumberdaya, dan mobilisasi tindakan. Penelitian ini menjelaskan tentang alasan-alasan yang menirnbulkan kesadaran orang-orang untuk berkelompok sampai kemudian mengidentikan kelompoknyai pads sebuah aspirasi politik tertentu_ Kemudian, dijelaskan juga bagaimana kelompok tersebut melakukan mobilisasi terhadap sumberdaya internal yang dimiliki maupun sumberdaya ekstemal yang terdapat pada jaringan sosial politik calon Presiden dan wakil presiden serta Tim Sukses. Selanjutnya, penelitian menjelaskan bagaimana strategi dan taktik telah digunakan oleh Kelompok Relawan, .balk untuk memperkuat eksistensinya maupun untuk memperbesar pengaruh dan jaringan pendukung. Sampel penelilian adalah 40 orang yang merupakan infomman, yang ditarik dengan cara telah ditentukan sebelumnya (purposive) 18 Kelompok Relawan yang terdapat di Kecamatan Pamulang. Selain oleh motivasi yang bersifat rasional, gerakan Kelompok Relawan merupakan bentuk emansipasi masyarakat sipil pada sebuah proses politik pemilu Presiden (emancipatory politics). Kesadaran, Solidaritas yang terdapat, didalam KR, diketahui bukan karena alasan yang bersifat ideologis, melainkan karena isu-isu sosial ekonomi dan isu figuritas pada dimensi kemampuan dan track record tokoh politik yang didukung. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, KR mengembangkan strategi dan taktik yang bersifat "terbuka dan plural". Mobilisasi pendukung tidak dilakukan dengan strategi konflik. Timbulnya gejala kemasyarakatan yang telah ditunjukan oieh fenomena KR, , diperkirakan akan muncul kembali pada bentuk-bentuk yang sama pada pemilu presiden 2009. Karenanya, untuk mengembangkan budaya "emancipatory politics" sebagai norma baru demokratisasi di Indonesia, maka calon-calon presiden dan wakil presiden perlu memahami hubungan positif antara struktur sosial ekonomi dan struktur peluang politik yang dimilikinya dengan masyarakat sipil ditingkat akar rumput. Sehingga sedari dini perlu dibangun jaringan politik ditingkat akar rumput, dengan cara menumbuhkan embrio-embrio KR. pisamping perlu untuk meningkatkan kapasitas institusi politik yang dimiliki 'seperti Partai politik dan Tim Sukses.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Iriani Roesmala Dewi
Abstrak :
ABSTRAK
Pelaksanaan peran ganda dosen perempuan pada kenyataannya tidak sedikit yang menimbuikan permasalahan. Salah satunya adalah bagaimana mereka melakukan peranan publik (yaitu dunia kerja di luar rumah tangga) secara optimal dalam arti tidak hanya sekedar bekerja tetapi juga me lakukan mobilitas pekerjaan (pengembangan karir), tanpa mengabaikan peranan domestik (pengurusan rumah tangga).
Namun kenyataan ini tidak terlepas dari struktur clan ku.ltur masyarakat; khususnya tentang pembagian kerja menurut jencier (gender division of labor).
Penelitian ini didasarkan kerangka pemikiran teori Pertukaran Normans dan Blau. dengan obyek penelitiannya adalan dosen perempuan Universitas Gajah Mada. Penelitian cenderung bersitat kualitatiif yang didukung oleh data-data flash survey dan data lain.
Temuan penelitian lni menyatakan banwa perliaku / tindakan dosen perempuan selalu diorientasikan untuk memperoleh imbalan (dalam arti kepuasaan. kebanggaan) yang mencakup imbalan intrinsik dan ektrinsik yaitu di sektor publik ( kedudukan, dan status penghargaan) serta imbalan di sektor domestik (cinta, kasih sayang, keharmonisan keluarga) Ketika dosen perempuan dihadapkan pada sejumlah imbalan baik dari sektor publik maupun domestik. Maka yang dipilih adalah imbalan yang memberikan 1) Keuntungan terbesar. Sehingga suatu saat dosen perempuan akan mengutamakan kepentingan keluarga atau kepentingan diri pribadi. Jalan aktualisasi mobilitas pekerjaan dosen perempuan dihadapkan pengoroanan yang berupa beban/ hambatan yaitu peran utama perempuan di sector domestik.
Peran domestik ini tetap dipertahankan/dijalankan dosen perempuan walau mereka sudah memasuki sektor publik. Apabila division os labor tetap dimiiiki, berlaku dan dipegang kuat karena hal berkaitan dengan motif dosen perempuan untuk mendapatkan imbalan yang bersumber sari sektor publik dan domestik_ Nilai tersebut nampak jelas menjadi kerangka acuan dosen perempuan paaa saat dosen perempuan mengaktualisasikan aspirasi dalam mengikuti pendidikankan lanjut baik program magister dan doktor. Dimana dukungan keluarga menjadi pertimbangan dosen perempuan dalam aktualisasi mobilitas pekerjaan.
Usia anak responden (dosen perempuan) berkisar antara usia balita sampai 12 tahun. Usia anak dimana reproduksi sosial orang tua khususnya dari ibu sangat dibutuhkan. Pekerjaan suami responden (dosen perempuan) sebagian besar adalah pegawai negeri khususnya tenaga pengajar, kondisi ini turut berperan dalam proses mobilitas pekerjaan dosen perempuan.
Jadi dua hal yang perlu digaris bawahi dalam temuan penelitian ini adalah : (1) Nilai pembagian kerja secara seksual masih dimiiiki dan dipegang kuat oleh dosen perempuan. Nilai itu terlihat jelas bilamana dosen perempuan yang mempunyai dua peran yaitu di sektor publik dan domestik mempertimbangkan nilai tersebut dalam proses aktualisasi mobilitas pekerjaan. (2) Perilaku dosen perempuan selalu diorientasikan untuk mendapatkan imbalan-imbalan. Alternatif imbalan tersebut bersumber dari peran dosen perempuan di sektor publik dan domestik. Dan imbalan yang memberi keuntungan terbesar yang akan diambil/ dipilih. Dengan demikian bahasan (fokus) penelitian inipun memperlihatkan adanya pertukaran antar imbalan, j adi pertukaran antar imbalan (reward). Bukan hanya antara imbalan dan pengorbanan (reward dan cost).
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifma Ghulam Dzaljad
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada penderita gangguan jiwa yang secara sosial terisolasi dan tidak dapat menjalankan peran sosialnya di masyarakat. Asumsi yang dipakai dalam penelitian ini melihat gangguan jiwa bukan sebagai problem psikologis dan medis individu. Kegilaan atau gangguan jiwa merupakan akibat situasi yang dilukiskan Michel Foucault (1988) sebagai ketegangan antara disiplin kuasa governmenfalify masyarakat terhadap individu penderita gangguan jiwa (the dangerous individual). Kondisi yang dilegalkan lewat pendirian Rumah Sakit Jiwa (focal institutions) menurut Goffman (196 I). Penelitian ini menekankan pada tiga masalah pokok, yaitu: Pertama, bagaimana aktifitas keseharian di Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Kedua, bagaimana masyarakat memaknai pasien Rumah Sakit Jiwa. Dan ketiga, bagaimana masyarakat memandang institusi Rumah Sakit Jiwa dan berlakunya kontroI sosial di dalam masyarakat. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mardi Bogor. Informasi diperoleh dari 16 informan. Mereka terdiri dari 2 orang dokter, 2 orang kepala seksi keperawatan dart rehabilitasi RS, 2 orang perawat dan kepala ruangan, 4 orang pasien, 2 pegawai RS; seorang pihak keluarga pasien, seorang warga desa, seorang tokoh masyarakat, dan seorang pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. Observasi dan wawancara mendalam dilakukan intensif sebagai langkah dalam pengumpulan data. Studi ini didasarkan pada tesis, bahwa perawatan kedokteran jiwa telah melahirkan adanya label sakit dan status pasien di masyarakat. Akibatnya terjadi proses stigmatisasi dan kontrol sosial terhadap pasien gangguan jiwa di masyarakat. Stigmatisasi bukan hanya terjadi pada pasien, melainkan juga lewat stereotip terhadap Rumah Sakit Jiwa. Lebih dari itu, kontrol tidak hanya terjadi terbatas di Rumah Sakit Jiwa, tetapi telah tersebar luas di masyarakat. Hasil studi di lapangan menunjukkan, bahwa Rumah Sakit Dr. Marzoeki Mahdi Bogor telah lama menjalankan praktek perawatan kesehatan jiwa kedokteran Barat. Arsitektur Rumah Sakit tetap merepresentasikan bangunan lama yang didesain bersifat tertutup dan berjarak antara satu bangsal dengan bangsal lain, serta dipagar besi sekelilingnya untuk bangsal khusus. Akibatnya Rumah Sakit Jiwa memiliki reputasi buruk di masyarakat. Stereotip sebagai tempat pembuangan, pengumpul, dan. kurungan bagi pasien gangguan jiwa melekat padanya. Sementara itu kondisi pasien jiwa rata-rata acak-acakan, lusuh dan kurang terurus baik. Pasien cenderung menutup dan relatif hanya berinteraksi dalam aktifitas terapi semata. Pasien kebanyakan diidentifikasi memiliki gangguan jiwa akut, kronis, membahayakan lingkungan, dan membutuhkan perawatan intensif jangka panjang kedokteran jiwa. Akibatnya label sakit dan status pasien berpengaruh kuat dalam stigmatisasi di masyarakat. Di Rumah Sakit Jiwa Bogor, para pasien menjalani aktifitas keseharian dari makan, minum dan injeksi obat, mandi, tidur, dan aktifitas terapi dijalankan secara teratur, terjadwal, dan berada dalam pengawasan perawat selama 24 jam. Relasi dokter dengan pasien menunjukkan relasi yang dominatif, menindas, dan menjadikan pasien sebagai obyek pengobatan. Pasien menjadi individu yang lemah, tidak berdaya, dan menjadi tanggungan individu lain. Praktek perawatan gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa memperlihatkan, bahwa para pasien yang telah masuk akan sukar keluar kembali ke masyarakat. Mereka akan menjadi pasien tetap, yang keluar-masuk Rumah Sakit untuk jangka waktu yang lama. Data menunjukkan, bahwa hampir separuh dari jumlah pasien di beberapa bangsal merupakan pasien lama. Mereka kebanyakan menderita Schizophrenia Paranoid dan Psikotik Reaktif 'Singkat yang sulit, dan belum bisa disembuhkan. Kondisi ini memperlihatkan, bahwa kontrol sosial terhadap pasien tidak lagi terbatas di Rumah Sakit Jiwa. Pengawasan dalam skala yang lebih luas telah tersebar ke seluruh sektor masyarakat. Praktek penanganan pasien tidak lagi terbatas dilakukan aparat kesehatan, melainkan telah dilakukan oleh semua komunitas dan institusi pemerintah yang ada di masyarakat, mulai dari pihak keluarga, RT, RW, Kepolisian, Dinas Sosial, Dinas Ketertiban, maupun institusi sosial yang lain. Praktek kontrol sosial ini tidak hanya menghasilkan reproduksi kegilaan dalam dunia medis kedokteran, melainkan telah melahirkan kuasa governmentality bersemayam di dalam kesadaran bersama masyarakat. Suatu kesadaran yang membentuk societal regulation di masyarakat, yaitu suatu kontrol sosial yang termanifestasi ke dalam diri masyarakat sebagai tubuh yang patch, sehat, berguna, dan produktif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Sarifuddin
Abstrak :
Proses pembangunan hendaknya dimaksudkan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, dimana kekuatan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan lebih dominan dan dalam pelaksanaanya peranan atau partisipasi masyarakat lebih diutamakan. Salah satu program pembangunan yang didesain dengan menitikberatkan pemberdayaan masyarakat adalah program P2D yang dalam pelaksanaanya diupayakan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan prasarana yang dibangun. Tesis ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan program P2D di Nagori Dalig Raya ditinjau dari karakteristik input, proses dan output dad program tersebut sehingga dapat diketahui hasil (outcomes) dari pemberdayaan yang telah dilaksanakan dan dapat dibuat penilaian tentang program. Serta untuk memperoleh gambaran mengenai hal-hal yang menjadi kelemahan dan kekuatan dalam pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan program P2D tersebut. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian evaluatif sumatif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan sampel informan menggunakan teknik purposive sampling untuk menentukan informan yang memahami topik penelitian yaitu SPM Dirjen PMD, Camat Raya, Pokja Kecamatan. Pimbagpro, tenaga pendamping dari tim konsultan (Tim Teknis Lapangan), tenaga pendamping dari Fasilitator Desa, Pangulu Nagori dan Maujana Nagori (BPD), serta Masyarakat yang semuanya berjumlah 28 informan. Lokasi Penelitian yaitu di Nagori Dalig Raya Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Hasil pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dalam pelaksanaan program P2D meliputi tiga bidang yaitu pemberdayaan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dari temuan lapangan menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan hasil pemberdayaan tersebut telah mulai tampak pada setiap tahapan pelaksanaan P2D, mulai dari sosialisasi, perencanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan. Telah terjadi transfer daya (transfer of power) kepada masyarakat baik berupa pengetahuan maupun keterampilan sehingga self-sustain capacity mulai meningkat. Sistem perencanaan yang bersifat bottom up juga telah diterapkan sehingga masyarakat mempunyai peranan yang besar dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi pemberdayaan tersebut belum sepenuhnya dapat menjangkau masyarakat pada strata terendah. Hal ini karena tidak semua masyarakat ikut aktif dalam kegiatan dan tidak semua masyarakat merupakan anggota OMS pelaksana kegiatan pembangunan prasarana. Demikian juga kegiatan sosialisasi, perencanaan, dan pelatihan lapangan belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat yang Nadir dengan baik. Berdasarkan keseluruhan evaluasi yang dilaksanakan dapat dibuat penilaian tentang pencapaian program dan penilaian tentang desain program. Dimana kelemahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat diantaranya berasal dari masyarakat dan dari pemerintah. Keadaan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tingkat ekonomi yang masih rendah, serta dukungan dan keterlibatan masyarakat yang masih rendah dalam organisasi kemasyarakatan menyebabkan sikap kurang mendukung terhadap program-program pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah. Sehingga yang mengalami proses pemberdayaan hanya orang-orang tertentu saja atau bisa dikatakan golongan elit masyarakat saja (KDS, OMS, KPP dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya). Untuk itu baik KDS. OMS, KPP dan pemerintah harus berupaya mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan dan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam organisasi yang ada. Kelemahan lain yaitu dalam upaya pelestarian dan pengembangan prasarana masih terhambat karena masalah dana. Untuk itu harus ada kejelasan dukungan pemerintah kabupaten terutama dengan memperjelas pos-pos pendapatan desa, sehingga desa mempunyai sumber dana yang pasti dan tetap untuk dapat digunakan dalam kegiatan pengembangan prasarana lebih lanjut. Selanjutnya berdasarkan keseluruhan informasi tentang input, proses. output dan outcomes pemberdayaan melalui pelaksanaan program P2D dapat dibuat penilaian terhadap muatan desain program P2D yang mendukung terhadap upaya pemberdayaan yang meliputi 1) program P2D sebagai sarana atau wadah belajar, 2) mekanisme P2D sebagai alternatif proses pembangunan partisipatif, dan 3) penyertaan petugas pendamping dalam setiap tahapan program P2D. Ketiga aspek tersebut merupakan masukan yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang program pembangunan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naning Mardiniah
Abstrak :
Setidaknya ada tiga alasan pentingnya studi Gerakan Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru: Prespektif Gerakan Sosial Baru Main Touraine dilakukan. Pertama, etnik Tionghoa merupakan kelompok minoritas non pribumi yang menguasai perekonomian Indonesia tetapi mendapat perlakuan diskriminatif secara politik. Kedua, masih sedikit studi-Etnik Tionghoa pada masa Pasta Orde Baru, terutama yang memfokuskan pada prespektif Gerakan Sosial Baru Alain Touraine. Ketiga, penghapusan diskriminasi rasial telah menjadi isu global, namun di Indonesia, diskriminasi terhadap etnik Tionghoa masih kental. Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru dengan mengambil lokasi di Jakarta ini bertujuan untuk; Pertama, mengkaji gerakan sosial Etnik Tionghoa dari sisi tujuan dan strategi, nilai dan isu yang diperjuangkan, serta peranan dan relasi antar aktor. Kedua, mengkaji pengaruh kebijakan politik pemerintah terhadap gerakan politik etnik Tionghoa dan sebaliknya. Dalam konteks ini, beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai masalah (problems) penelitian adalah Pertamna, bagaimana varian gerakan sosial etnik Tionghoa yang muncul pada pasta Orde Baru; apa latar belakang kemunculan (dari sisi kesadaran para aktor maupun struktur politik), pilihan corak gerakan, fokus perjuangan, dan strategi gerakan yang dikembangkan . Kedua, apa saja isu-isu yang diberjuangkan oleh gerakan itu. Keiiga, bagaimana relasi aktor gerakan sosial etnik Tionghoa dalam medan konflik bail( dalam konteks relasi antar gerakan sosial lain, relasi dengan negara. maupun komunitas etnik Tionghoa sendiri. Studi dengan pendekatan etnografi reflektif ini menggunakan, kerangka teori Gerakan Sosial Baru (GSB) dalam prespektif Alain Touraine, yang mendifinisikan gerakan sosial sebagai aksi kolektif yang berupaya memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya penting dan orientasi kultural yang dapat diterima oleh masyarakat. Touraine berpandangan bahwa masyarakat merupakan produk para aktor sosial atau gerakan-gerakan sosial. Namun demikian, Touraine juga menekankan bahwa studi gerakan sosial harus dilihat dalam konteks lapangan tindakan (field of action), yang mengacu pada keterkaitan antara gerakan sosial dan tekanan atau pengaruh (konteks sosial) dimana gerakan itu dibangun. Touraine melihat fenomena gerakan sosial baru dari prespektif yang luas tentang konflik, masyarakat, kebudayaan, sejarah manusia, dan meletakkannya dalam proses aksi kolektif dimana individu dan masyarakat mereproduksi dan mentransformasi diri. Gerakan sosial merefleksikan -krisis kultural dan representasi demokratik masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik politik. Konflik haruslah dimaknai melalui pertaruhan yang bernilai dan dihasratkan serta memiliki sejumlah chi; sekumpulan aktor yang bterorganisir, taruhan nilai yang dihasratkan, dan pergumulan antar pihak yang berkonfllik. Dari pendifinisian konflik, Touraine menyusun hipotesa bersatunya konflik yang melihat adanya keterkaitan antara identitas, aktor, dan totalitas kebudayaan yang mendifinisikan medan konflik. Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa pasta Orde Baru menemukan bahwa Gerakan Sosiai Etnik Tionghoa pasca Orde Baru muncul bukan saja karena perubahan politik dan peristiwa yang menyentak kemanusiaan (Mai 1998) tetapi juga kesadaran para tokoh dan aktivis Tionghoa untuk melakukan suatu perubahan setelah lebih dari tiga dasawarsa dimarginalkan. Gerakan ini muncul dan menjelma dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ada yang memilih membangun Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), seperti PSMTI dan INTI, ada yang menjelma dalam bentuk Ornop (Organisasi Non Pemerintah), ada pula yang memilih jalur politik praktis dengan mendirikan berbagai partai politik berkarakteristik Tionghoa. Selain itu, muncul pula gerakan melalui media kesenian dan pers. Kemunculan berbagai organisasi ini sekaligus memupus stigma yang lekat selama ini bahwa etnik Tionghoa anti politik, hanya mengejar ekonomi semata, dan tidak nasionalis. Selain bentuknya yang berbeda, strategi gerakan yang ditempuh pun berbeda. Yang menyamakan adalah strategi gerakan yang tidak menggunakan cara-cara pengerahan massa dan aksi kekerasan. Seluruh komponen gerakan memilih strategi penyadaran politik dan advokasi lunak, seperti dialog dengan pemerintah dan anggota legislatif, aksi moral, dan sebagainya. Gerakan etnik Tionghoa sesungguhnya telah muncul sejak berabad-abad yang lalu (masa kolonial) dalam bentuk resistensi yang terorganisisr dan tetap berlangsung hingga saat ini dengan tema perjuangan anti diskriminasi rasial. Problem yang dihadapi etnik Tionghoa nyaris sama sejak kolonial hingga saat ini, sehingga isu yang diperjuangkan dalam gerakan Tionghoa sesungguhnya isu lama, yakni isu non diskriminasi, stigmatisasi, prasangka. dan marginalisasi, yang menjelma dalam berbagai masalah, dari kewarganegaraan, etnisitas (dipandang bukan sebagai orang Indonesia asli), serta partisipasi dalam ranah politik dan birokrasi. Pada pasca Orde Baru, sekatipun berbagai kebijakan yang diskriminatif telah dicabut dan muncul liberalisasi politik, namun problem yang dihadapi Tionghoa masih cukup besar. Gerakan etnik Tionghoa pasta Orde Baru tidak terbelah secara tegas berdasarkan orientasi politik sebagaimana terjadi pada masa kolonial dan masa Orde Lanza. Gerakan pada masa Orde Baru hanya berbeda dalam penetapan strategi. Hal ini karena represi Orde Baru yang melarang sekat-sekat ideolog. Visi atau orientase mereka sama yakni menghilangkan aspek diskriminasi di berbagai area serta pluralisme. Yang membedakan adalah strategi gerakan, ada yang memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik, reformasi hukuin, serta pengikisan prasangka rasial. Etnik Tionghoa menunutut diperlakukan sebagai suku tersendiri sehingga integrasi secara wajar dipandang sebagai jalan penyelesaian untuk menghapuskan problem Tionghoa. Seluruh komponen gerakan pasca Orde Baru mempercayai sistem yang demokratis, menghargai Hak Asasi Manusia serta multikulluralislah yang dipercayai mampu menyelesaikan persoalan Tionghoa. Karena problem yang -dihadapi Tionghoa bukan sekedar berhadapan dengan negara yang memproduksi kebijakan yang diskriminatif tetapi juga pandangan masyarakat (pribuini) yang masih stigmatis, maka relasi yang dibangun oleh gerakan Tionghoa juga melingkupi relasi dengan negara dan relasi dengan masyarakat. Hanya saja, bentuk dan jenis relasi setiap komponenn Gerakan Tionghoa berbeda, mengikuti strategi gerakan dan latarbelakang para aktor dalam gerakan itu. Sekalipun visi sama, namun konsolidasi antar komponen gerakan Tionghoa masih lemah, setiap komponen masih cenderung berjalan secara sendiri dan ketidakpercayaan antar komponen gerakan pun masih tinggi, sehingga daya pressure berhadapan dengan kekuatan negara yang diskriminatif menjadi lemah. Ada dua implikasi yang muncul melalui studi ini. Pertama, implikasi teoritis. Temuan dalam studi dan pemaknaan atas temuan dalam studi ini dapat menambah pengayaan tentang teori Gerakan Sosial, khususnya Gerakan Sosial Baru dalam prespektif Alain Touraine. Studi ini menemukan penegasan dari prespektif Alain Touraine rnengenai gerakan sosial baru, sekaligus kelemahannya. Sekalipun identitas aktor sangat berpengaruh terhadap corak dan orientasi gerakan, namun posisi aktor atau gerakan sosial ternyata bukanlah unsur daminan dalam membentuk masyarakat melainkan keduanya terkait dalam hubungan yang dialektis transformatoris. Demikian pula, ternyata gerakan sosial juga muncul dalam masyarakat yang tidak demokratis. Konsepsi GSB Alain Touraine terlampau luas, sehingga tidak cukup mendalam dalam menganalisis tentang dekonstruksi yang menjadi ciri khas GSB. Sementara, konsepsi Touraine bahwa gerakan sosial merefleksikan krisis kultural masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik tertegaskan dalam studi ini. Kedua, implikasi praktis. Menilik berbagai proses konsolidasi demokrasi yang masih stagnan, maka etnik Tionghoa kemungkinan akan berada dalam posisi yang sulit. Oleh karenanya, problem yang dihadapi etnik Tionghoa pun hanya dapat diselesaikan bila konsolidasi demokrasi terbangun. Untuk itu, ada beberapa agenda yang penting untuk diperhatikan bagi penyelesaian problematika Tionghoa. Pertama, Melakukan reforrnasi hukum terhadap perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif, dengan cara melakukan amandemen Pasal 26 UUD 1945 tentang kewarganegaraan, pencabutan Indische Staatsvregeling Tahun 1925, pembubaran BKMC, perumusan dan pensahan UU Kewarganegaraan yang yang tidak diskriminatif, serta UU Anti Diskriminasi Rasial. Kedua, Penguatan multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Pendidikan multikulturalisme dan Hak Asasi Manusia kepada seluruh komponen masyarakat merupakan agenda yang sangat urgen untuk dilaksanakan. Ketiga, penyadaran kritis komunitas 'Tionghoa. Penyadaran kritis terhadap warga Tionghoa, terutaina level grassroot sangat penting karena kelompok inilah yang paling rentan menjadi korban pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk tindakan diskriminatif dan kekerasan. Keempat penguatan jaringan gerakan Tionghoa dengan komponen lain. Konsolidasi antar kekuatan gerakan sosial sangat signifikan dalam advokasi, penguatan civil society, dan pertimbangan tatanan masyarakat yang demokratis. Penguatan jaringan konsolidasi perlu dibangun di level nasional dan internasional.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>