Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umar Abdul Hamiid
"Introduksi: Gagal jantung (GJ) adalah kondisi dimana jantung tidak mampu secara optimal memompa darah untuk konsumsi tubuh. Walaupun dalam tingkat global prevalansi GJ itu tinggi, studi mengenai hubungan status New York Heart Association (NYHA) dan IMT dari pasien GJ masih minim. Sebagai tambahan, tidak seperti di negara lain, studi mengenai profil pasien GJ di Indonesia sudah tua. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai karakteristik klinik pasien GJ di RSCM dan mengidentifikasi jika adanya korelasi signifikan diantara IMT dan status NYHA pasien GJ.
Metode: Ini adalah studi penampang lintang data sekunder yang dilakukan pada tahun 2021. Data dari pasien GJ yang memiliki indikator IMT dan NYHA jelas dari rekam medis PJT dan pusat RSCM dikumpulkan. Semua data berasal dari kunjungan pertama pasien ke RSCM. Data tersebut dianalisa menggunakan SPSS, dimana frekuensi, median, dan interquartile range dari variabel ditelusuri. Hubungan antara IMT dan NYHA diobservasi melalui ANOVA dan regresi logistik. Hasil: 224 data pasien dari RSCM berhasil terkumpulkan. Median usia pasien GJ di RSCM adalah 57 tahun (IQR=13.75). Populasi pria melebihi dibandingkan wanita (66.1%). Pasien obesitas meliputi sepertiga (39.7) dari total populasi. NYHA 2 adalah status NYHA yang paling kerap muncul dalam populasi sample (62.1%). Gejala yang paling sering ditemukan adalah sesak nafas (75.0%), sedangkan sejarah medis yang paling acap adalah gejala jantung iskemik (69.2%). Semua tanda vital dalam jarak normal. Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah ronkhi (36.80%). Pola ECG yang paling sering ditemukan adalah irama sinus normal (61.50%). Kebanyakan pasien memiliki ejeksi fraksi berkurang (58%). Semua indikator lab normal, terkecuali untuk biomarker renal yang tinggi. Terapi farmakologi teradministrasi paling sering adalah B-Blocker dan Antagonis Aldosterone (64.6% dan 66.5%). One way ANOV A menunjukan adanya perbedaan rata rata IMT signifikan (! (2,211) = 7.964, " = <.001, #2 = .06). Konklusi: Profil pasien studi ini sesuai ekspektasi dari kondisi rujukan awal pasien GJ. Profil pasien sample ini dengan studi lain dari Indonesia, akan tetapi menemukan beberapa perbedaan dengan studi dari negara lain. IMT dan NYHA juga ditemukan mempunyai korelasi linear, dengan catatan ada faktor eksternal yang menentukan progresi menuju NYHA 4.

Introduction: Heart failure is a condition where the heart cannot pump blood for the body. Even though it is high on prevalence globally, the relationship between the presenting New York Heart Association (NYHA) and patients' BMI is still minimally studied. Additionally, HF patients' profile in Indonesia is significantly outdated. This study aims to provide a clinical characteristic of HF patients in RSCM and identify the relationship between BMI and present NYHA status. Methods: This study is a cross sectional secondary data study conducted on 2021. Data of HF patients from PJT and central RSCM medical records with a clear indicator of BMI and NYHA were collected. All data came from the patient's first visit to RSCM. Data were then analyzed using SPSS, where the frequency, median, interquartile range of variables was explored. The relationship between BMI and NYHA was observed using ANOVA and logistic regression. Results: 224 data were collected on this study. The median age of HF patients in RSCM was 57 years old (IQR=13.75). Compared to females, males are more frequent (66.1%). Obese patients comprise one third (39.7%) of the population. NYHA 2 is the most common presenting NYHA, which constitutes half the sample (62.1%). The most common symptom is dyspnea (75.0%), while the most common medical history is previous ischemic heart disease diagnosis (69.2%). All vital signs are within normal range upon inspection. The most common physical manifestation is Ronchi (36.80%). ECG pattern most commonly found is normal sinus rhythm (61.50%). Most patients have reduced ejection fraction (58%). Lab indicators are within the normal range, except for renal biomarkers, which is mainly elevated. Most common medication administered is B- Blocker and Aldosterone Antagonist (64.6% and 66.5%). ANOVA test found significant mean differences between severe NYHA and BMI (! (2,211) = 7.964, " = <.001, #2 = .06) Conclusion: In conclusion, patients from this study are more common to have NYHA 2. Additionally, BMI and NYHA is linear correlated, where other factors apart from BMI may be a significant cause of progression to NYHA 4."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Igor Ian Wiguna
"Pendahuluan: Alergi merupakan suatu kondisi yang sangat sering ditemukan pada anak-anak dan dapat mempengaruhi kondisi fisik serta sosial dari mereka yang terkena. Ada banyak faktor yang diduga dapat memengaruhi reaksi alergi pada anak-anak seperti, status merokok orang tua, konsumsi air susu ibu, metode melahirkan, dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara berbagai faktor dari alergi dengan kejadian reaksi alergi pada anak dibawah lima tahun di Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subjek terdiri atas ayah dan atau ibu beserta dengan anaknya. Sebanyak 120 subjek ikut dalam penelitian ini. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara acak di berbagai puskesmas di Jakarta. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan UK’s diagnostic criteria of atopic dermatitis dan pedoman dari Kaiser Foundation Health Plan of Washington untuk menilai reaksi alergi pada anak. Pengisian kuesioner dilakukan oleh ibu atau ayah. Analisa data akan dilakukan dengan uji deskriptif chi-square dan regresi logistik multivariat menggunakan IBM SPSS versi 24.
Hasil: Hubungan yang signifikan terhadap alergi menurut uji chi-square ditemukan pada beberapa faktor seperti, konsumsi ASI dan status merokok ayah (p < 0,05). Hasil dari uji regresi logistik multivariat menunjukan bahwa faktor yang paling berperan dalam mengakibatkan reaksi alergi adalah durasi dari konsumsi ASI dan metode melahirkan (p<0,05).
Kesimpulan: Faktor risiko yang berperan mengakibatkan reaksi alergi pada anak di bawah lima tahun adalah durasi konsumsi ASI, metode kelahiran, status merokok ayah dan konsumsi ASI. Faktor yang paling berperan mengakibatkan reaksi alergi pada anak di bawah lima tahun adalah durasi konsumsi ASI dan metode kelahiran.

Introduction: Allergy is a condition that is very often found in children and could affect their physical and social condition. There are a lot of factors suspected to affect allergic reactions in children such as, parental smoking status, breastmilk consumption, mode of delivery, and etc. This research aims to see the association between several factors of allergy and the occurrence of allergic reaction in children-under five years old in Jakarta.
Methods: This research used cross-sectional design with the subject consist of father and or mother as well as their children. A group of 120 subjects participated in this research. The selection of the research subjects was done randomly in several health centers in Jakarta. This research used questionnaire that is structured based on UK’s diagnostic criteria of atopic dermatitis and principles from Kaiser Foundation Health Plan of Washington to assess allergic reactions in children. The filling of the questionnaire was done by father or mother. The data analysis was done using descriptive analysis chi-square and multivariate logistic regression using IBM SPSS version 24.
Results: Significance association towards allergy based on chi-square test was found in several factors such as, breastmilk consumption and father smoking status (p<0,05). The result of multivariate logistic regression test shows that the factor that affect the most in causing allergic reactions are duration of breastmilk consumption and mode of delivery.
Conclusion: The main factors that causes allergic reactions in children under-five years old from this research are duration of breastfeeding and mode of delivery. However, other than duration of breastfeeding and mode of delivery, father’s smoking status and breastfeeding were also found as risk factors of allergic reactions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Syahruzad
"Latar belakang: Stunting adalah masalah global yang menyebabkan pertumbuhan anak tidak maksimal. Selain asupan nutrisi, stunting juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti karakteristik sosioekonomi. Jenis lingkungan tempat tinggal, antara di urban atau rural, dapat memengaruhi faktor-faktor tersebut.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara lingkungan urban dengan lingkungan rural dan skor-Z TB/U pada balita untuk mencegah stunting.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang komparatif antara populasi balita di lingkungan urban dan rural dengan status stunting dan skor-Z TB/U di Banten, Indonesia. Sebanyak 99 anak di Kota Serang dan 102 anak di Kabupaten Tangerang berusia 6-59 bulan diteliti. Panjang/tinggi anak diolah menggunakan WHO Anthro Survey Analyser untuk mendapatkan skor-Z TB/U. Asupan gizi dicatat menggunakan kuesioner 24-hour recall dan dihitung total konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak dalam satu hari. Karakteristik sosioekonomi pekerjaan ayah dan ibu, pendidikan ayah dan ibu, serta pemasukan keluarga per bulan) didapatkan melalui kuesioner. Hasil penelitian diuji menggunakan SPSS v20 dengan uji hipotesis Chi-Square untuk proporsi stunting dan uji T independen untuk skor-Z TB/U.
Hasil: Skor-Z TB/U di lingkungan urban -1,05 (±1,42) dan di urban -0,81 (±1,09) (p: 0,183). Sedangkan, proporsi status stunting di lingkungan rural 25,5% dibandingkan di urban 14,1% (p: 0,044).
Simpulan: Skor-Z TB/U antara lingkungan urban dan rural tidak berbeda signifikan, namun proporsi stunting lebih tinggi di lingkungan rural secara signifikan

Background: Stunting is a global problem that affects growth of children. Aside from nutrition intake, stunting is also caused by other factors, for instance socioeconomic characteristics. Differences in living areas between urban and rural can affect these factors.
Aim: To find out the relation between urban and rural environment and height-forage Z-score (HAZ) in children to prevent stunting.
Methods: A cross-sectional study was held comparing population of children in rural and urban areas with stunting status and HAZ in Banten, Indonesia. The samples were 99 children from Kota Serang and 102 children from Kabupaten Tangerang aged 6-59 months. Length/height was processed using WHO Anthro Survey Analyser to get HAZ. Nutrition intake was recorded using 24-hour recall questionnaire and converted into total energy, carbohydrate, protein, and fat consumption of one day. Sosioeconomic characteristics were recorded using a questionnaire. Results of this study were processed using SPSS v20 with Chi-Square test for stunting difference proportion and independent-T test for HAZ difference.
Results: HAZ in rural area is -1,05 (±1,42) whilst in urban area is -0,81 (±1,09) (p: 0,183). Meanwhile, the proportion of stunting in rural area is 25,5% compared to in urban area, which is 14,1% (p: 0,044).
Conclusion: There is no significant difference in HAZ between urban and rural areas, but the proportion of stunting is significantly higher in rural area.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Ratnawati
"Latar belakang: Status gizi dan kadar vitamin D adalah dua masalah yang menjadi sorotan di dunia karena masih banyak negara dengan kejadian status gizi yang buruk dan defisiensi kadar vitamin D pada anak termasuk negara Indonesia. Anak dengan usia dibawah lima tahun dengan berat badan normal dan pendek dapat mengalami berat badan berlebih di kemudian hari. Kadar vitamin D yang menurun pada BMI lebih tinggi menjadi kemungkinan adanya pengaruh antara kadar vitamin D dengan status gizi.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dengan status gizi anak Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Menggunakan data dari SEANUTS II bulan September 2019 – Maret 2020. Digunakan 132 sampel pada anak usia 6-59 bulan di Indonesia yang memenuhi kriteria penelitian dengan random sampling. Hasil kadar vitamin D dari hasil pemeriksaan lab, asupan vitamin D menggunakan food recall 24 jam, dan status gizi diukur dengan Z-skor BB/TB. Kemudian dilakukan uji normalitas Kolmogorov- Smirnov dan uji korelasi Spearman.
Hasil: Status gizi anak usia 6-59 bulan di Indonesia 89,4% memiliki status gizi normal.Sebanyak 88,6% anak kurang mendapatkan asupan vitamin D sesuai dengan rekomendasi AKG. Didapatkan 90,2% anak mengalami defisiensi vitamin D. Ditemukan korelasi bermakna antara asupan vitamin D dan kadar. Vitamin D (r= 0,234, nilai p=0,007). Tidak ada korelasi bermakna antara kadar vitamin D dengan Z skor BB/ TB ( r= -0,016, p=0,854).
Simpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dengan Z-skor BB/TB pada anak usia 6-59 bulan di Indonesia.

Background: Nutritional status and vitamin D levels are two highlighted global problem because there are still many countries with incidence of poor nutritional status and deficiency of vitamin D in children, including Indonesia. Children under five years of age with normal weight and short can develop to overweight later in life if not treated. A decreased vitamin D level at a higher BMI is a possible influence between vitamin D levels and nutritional status.
Objective: To determine the correlation between vitamin D levels and children's nutritional status Methods: This research is a cross sectional study. Using data from SEANUTS II collected from September 2019 until March 2020. A total of 132 samples children aged 6-59 months in Indonesia who met the research criteria chosen by random sampling. Vitamin D levels data from lab tests, vitamin D intake record with 24- hour food recall, and nutritional status was measured based on Z-score BW / TB. Then, performed normality test with Kolmogorov- Smirnov and correlation test with Spearman.
Results: The nutritional status of children aged 6-59 months in Indonesia 89,4% had normal nutritional status. Most of the children ( 88.6% ) did not get enough vitamin D intake according to the RDA recommendation. It was found that 90.2% of children had vitamin D deficiency. There was a significant correlation between vitamin D intake and levels. Vitamin D (r = 0.234, p value = 0.007). There was no significant correlation between vitamin D levels and Z score BW / TB (r = -0.016, p = 0.854).
Conclusion: There was no correlation between vitamin D levels and Z-score Weight/Height in children aged 6-59 months in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadlurahman
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut kerap terjadi pada pasien dengan sakit kritis. Fungsi saluran menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian nutrisi pasien. Komplikasi pada saluran cerna dapat menghambat pemberian nutrisi enteral yang lebih direkomendasikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Penelitian ini memiliki desain studi potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM dari September 2019 sampai Agustus 2020. Cedera gastrointestinal akut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WGAP ESICM. Asupan nutrisi diambil dari data rekam medis pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Saphiro-Wilk dilanjutkan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capian nutrisi enteral pasien. Data diolah menggunakan aplikasi IBM SPSS for windows versi 20.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 26 pasien. Median presentase capaian nutrisi enteral hari ketiga (% laju metabolik basal) setiap derajat yaitu derajat satu 40,08 (0-144,39); dua 0,00 (0-219); tiga 19,10 (0,00-38,20); dan empat 0,00 (0,00-130,30) dengan hasil uji Kruskal-Wallis (p=0,904). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama capaian 25% nutrisi enteral dengan derajat cedera gastrointestinal akut (Kruskal-Wallis, p=0,556). Pada penelitian, faktor lain seperti status gizi (p=0,952), penggunaan ventilator mekanik (p=0,408), dan riwayat pascaoperasi (p=0,423) tidak mempengaruhi presentase nutrisi enteral hari ketiga.
Kesimpulan: Pada pasien anak kritis, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral.

Background: Acute gastrointestinal injury (AGI) is usually found in critically ill patients. Gastrointestinal function can determine the route od nutritional therapy. Gastrointestinal abnormalities may delay enteral nutrition therapy in patients. Therefore, this study aims to determine the association between the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcome in critically ill children.
Methods: This study had a cross-sectional study design using the medical records of critically ill children in PICU RSCM from September 2019 until August 2020. AGI patients was classified based on WGAP ESIM grading system. Nutritional outcomes were assessed using data from medical record. Data were analyzed the Kruskal-Wallis test to determine the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcomes. The Data were analysed using SPSS for windows version 20.
Results: The study sample was 26 patients. The medians of day three enteral nutrition percentage were grade one 40,08 (0-144,39); grade two 0,00 (0-219); grade three 19,10 (0,00-38,20); dan grade four 0,00 (0,00-130,30) with Kruskall-walis test result (p=0,904). There was no significant association between AGI and the duration of 25% basal metabolic rate (Kruskal-Wallis, p=0,556). In this study, Other factors such as nutritional status (p=0,952), ventilator usage (p=0,408), and post-operative history (p=0,423) did not associate with day three enteral nutrition percentage.
Conclusion: In critically ill children, there was no significant association between the acute gastrointestinal injury and the outcome of enteral nutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruni Cahya Irfannadhira
"Salah satu faktor yang berperan dalam menentukan tingkat kesehatan seseorang adalah lingkungan fisik. Sungai Citarum yang merupakan bagian dari lingkungan telah ditetapkan sebagai sungai paling tercemar di dunia, namun masih banyak dijadikan sumber air bagi daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ginjal adalah organ yang bertanggung jawab untuk mengeleminasi toksin dari tubuh manusia, sehingga salah satu permasalahan kesehatan yang diketahui dapat muncul akibat lingkungan tercemar adalah penurunan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat proporsi penurunan fungsi ginjal dan meneliti hubungan antara faktor lingkungan tempat tinggal yang mencakup wilayah, lama tinggal, dan radius tempat tinggal sekitar sungai terpolusi terhadap penurunan fungsi ginjal menggunakan desain potong lintang. Data yang dianalisis merupakan data sekunder yang didapatkan dari INDOHUN. Data tersebut berupa hasil pengisian kuesioner dengan metode wawancara terpimpin pada masyarakat usia produktif (usia 15-64 tahun) yang tinggal di DAS Citarum. Seluruh data sekunder diinklusi dalam penelitian ini (n=168) yang kemudian disajikan dalam bentuk kategorik. Data kemudian diolah menggunakan SPSS for mac 20.0 dengan uji chi-squared. Hasil menunjukkan proporsi penurunan fungsi ginjal pada penduduk usia produktif adalah 2,4%. Hasil uji fisher exact Test yang dilakukan karena data tidak memenuhi syarat chisquared menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara wilayah tempat tinggal dengan fungsi ginjal (p=1,000), lama tinggal di DAS Citarum sebagai sungai tercemar dengan fungsi ginjal (p=1,000), maupun radius tempat tinggal ke sungai dengan air tercemar dengan fungsi ginjal (p=0,365). Sebagai kesimpulan, belum ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan penurunan fungsi ginjal masyarakat usia produktif di DAS Citarum. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan jumlah subjek yang lebih besar dengan desain studi berbeda untuk mengetahui hubungan etiologis dari pencemaran air Sungai Citarum terhadap kesehatan masyarakat.

One of the factors that play a role in determining a person's health level is the physical environment. The Citarum River, which is part of the environment, has been designated as the most polluted river in the world, but is still widely used as a source of water for West Java and DKI Jakarta. Kidneys are organs that are responsible for eliminating toxins from the human body, so one of the health problems that are known to arise due to polluted environments is decreased kidney function. This study aims to see the proportion of decreased kidney function and to examine the relationship between environmental factors of residence including area, length of stay, and the radius of residence around polluted rivers to decreased kidney function using a cross-sectional design. The data analyzed is secondary data obtained from INDOHUN. The data is the result of filling out a questionnaire using the guided interview method for people of productive age (aged 15-64 years) who live in the Citarum watershed. All secondary data were included in this study (n=168) which were then presented in categorical form. The data were then processed using SPSS for mac 20.0 with the chi-squared test. The results showed that the proportion of decreased kidney function in the productive age population was 2.4%. The results of the fisher exact test which was carried out because the data did not meet the chi-squared requirements showed that there was no statistically significant relationship between the area of residence and kidney function (p = 1,000), the length of stay in the Citarum watershed as a polluted river with kidney function (p = 1,000), as well as the radius of residence to the river with polluted water with kidney function (p = 0.365). In conclusion, there has not been found a significant relationship between environmental factors and decreased kidney function of productive age communities in the Citarum watershed. Future studies can use a larger number of subjects with different study designs to determine the etiological relationship of Citarum River water pollution to public health."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anandya Naufal Rahadhi
"Autism spectrum disorder (ASD) adalah kelainan perkembangan manusia yang mempengaruhi kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku. Salah satu Faktor risiko autisme adalah asupan gizi pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan gizi dengan tingkat risiko ASD pada Balita. penelitian dilakukan dengan mengambil data sekunder dari studi cross sectional yang melibatkan 92 responden di Kelurahan Gajahmekar dan Kelurahan Andir yang diperoleh dengan metode clustered random sampling. Seluruh subjek penelitian telah menyetujui lembar informed consent untuk dilakukan pengambilan data dengan mengisi kuesioner. Variabel pada penelitian ini adalah ragam asupan gizi pada balita (daging ayam, ikan, susu sapi, ASI, tomat, brokoli) dan risiko autisme pada balita. Untuk mengkategorikan risiko autisme pada balita, digunakan kuesioner M-CHAT yang memiliki spesifitas 90,2% dan sensitifitas 100%. Analisis data menggunakan aplikasi SPSS for mac 20.0 dan hubungan antar variabel diuji menggunakan uji chi-square dengan tabel 2x2. Hasil dari penelitian ini adalah 62% balita pada penelitian ini berada di risiko rendah autisme dan 38% berada di risiko sedang-tinggi autisme. Hasil proporsi risiko autisme sedang-tinggi autisme pada penelitian ini diperoleh oleh balita yang tidak rutin mengkonsumsi daging ikan (43,8%), daging ayam (41,7%), brokoli (44,7%), tomat (42,4%), ASI (36,8%), dan susu sapi (35,4%) dengan nilai p berturut-turut 0,605, 0,762, 0,180, 0,517, 0,842, dan 0,172. Kesimpulan pada penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan bermakna antara ragam gizi yang dikonsumsi oleh balita yang tinggal di Kelurahan Gajahmekar dan Kelurahan Andir dengan tingkat risiko kejadian autisme.

Autism spectrum disorder (ASD) is a human development disorder that affects the ability to communicate and behave. One of the risk factors for autism is nutritional intake in toddlers. This study aims to determine the relationship between nutritional intake and the risk level of ASD in toddlers. The study was conducted by taking secondary data from a cross-sectional study involving 92 respondents in Gajahmekar and Andir villages, which were obtained by using the clustered random sampling method. All research subjects have agreed to the informed consent sheet for data collection by filling out a questionnaire. The variables in this study were the variety of nutritional intake in children under five (chicken, fish, cow's milk, breast milk, tomatoes, broccoli) and the risk of autism in children under five. To categorize the risk of autism in children under five, the M-CHAT questionnaire was used, which has a specificity of 90.2% and a sensitivity of 100%. Data analysis used SPSS for mac 20.0 application and the relationship between variables was tested using the chi-square test with 2x2 tables. The results of this study were 62% of children under five in this study were at low risk of autism and 38% were at moderate-high risk of autism. The results of the proportion of moderate-high risk of autism in this study were obtained by toddlers who did not regularly consume fish meat (43.8%), chicken (41.7%), broccoli (44.7%), and tomatoes (42.4%). ), Breast milk (36.8%), and cow's milk (35.4%) with p values of 0.605, 0.762, 0.180, 0.517, 0.842, and 0.172, respectively. The conclusion in this study is that there is no significant relationship between the variety of nutrients consumed by children under five who live in the Gajahmekar and Andir villages and the risk level of autism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Phowira
"kesehatan masyarakat global. Paparan tembakau intrauterin dipahami merupakan faktor risiko penting terhadap BBLR. Melihat kecenderungan peningkatan prevalensi merokok di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara status merokok orang tua selama kehamilan dan BBLR. Metode: Penelitian analitik dengan pendekatan secara studi potong lintang dilakukan selama 8 bulan dari Desember 2019 - Juli 2020 pada sampel acak dari orang tua dengan anak berusia 0-5 tahun dari 5 pusat kesehatan masyarakat di DKI Jakarta, Indonesia. Sebanyak 145 subjek memenuhi kriteria dan dianalisis. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics. Uji chi-square dan analisis regresi logistik multivariat dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara kebiasaan merokok orang tua dengan prevalensi BBLR. Hasil: Dalam penelitian ini, 11% bayi lahir dengan BBLR. Prevalensi merokok pada ayah dan ibu masing-masing adalah 55,2% dan 3,4%. Status merokok ayah secara signifikan dikaitkan dengan BBLR (p <0,05). Meskipun tidak signifikan secara statistik, ada hubungan dosis-respons antara jumlah rokok per hari ayah dan durasi merokok ayah dengan BBLR. Status merokok ibu (p = 0,448) tidak terkait erat dengan BBLR dalam penelitian ini, yang mungkin disebabkan oleh kecilnya sampel ibu yang aktif merokok. Dari regresi logistik multivariat, status merokok ayah, kelahiran prematur, urutan kelahiran, dan asupan makanan yang tidak memadai selama kehamilan secara signifikan dan individual terkait dengan prevalensi BBLR (p <0,05). Kesimpulan: Paparan tembakau selama kehamilan dari ayah merupakan prediktor signifikan BBLR. Terdapat hubungan dosis-repons tidak bermakna antara jumlah rokok per hari ayah dan durasi merokok ayah dengan BBLR.

Introduction: Low birth weight (LBW), a major determinant of neonate morbidity and mortality, remains a global public health concern. Intrauterine exposure to tobacco has been discerned as an important risk factor for LBW. Acknowledging an increasing trend of smoking prevalence in Indonesia, this study aims to investigate the association between parental smoking during pregnancy and LBW. Methods: An analytical cross-sectional study was conducted for 8 months from December 2019 - July 2020 on a random sample of parents with child aged 0-5 years old from 5 health centres in DKI Jakarta, Indonesia. A total of 145 subjects met the criteria and were analysed. Data analysis was carried out using IBM SPSS Statistics software. Chi-square test and multivariate logistic regression analysis were performed to identify the association between parental smoking habits with the prevalence of LBW. Results: In the present study, 11% of infants were born with LBW. The prevalence of smoking in fathers and mothers were 55.2% and 3.4%, respectively. Paternal smoking status was significantly associated with LBW (p < 0.05). Although not statistically significant, there was a dose-response relationship between paternal number of cigarettes/day and duration of smoking with LBW. Maternal smoking status (p = 0.448) was not closely associated with LBW in this study, which might be due to a fairly small number of actively smoking mothers. From multivariate logistic regression, paternal smoking status, premature delivery, birth order and inadequate food intake during pregnancy were significantly and individually associated with the prevalence of LBW (p < 0.05). Conclusion: Paternal tobacco exposure during pregnancy is significant predictor of LBW. Although not statistically significant, there is a dose-response relationship between paternal number of cigarettes/day and duration of smoking with LBW."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadholirrahman Naufal Raditya
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut seringkali terjadi secara sekunder terhadap penyakit kritis, namun penilaiannya tidak rutin dilaksanakan. Penilaian gagal organ pada pasien anak yang banyak digunakan di Indonesia adalah skor PELOD-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan gagal organ yang dinilai berdasarkan skor PELOD-2 pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Studi potong lintang dengan data sekunder dari rekam medik pasien anak dengan cedera gastrointestinal akut di PICU RSCM dari bulan September 2019-September 2020. Derajat cedera gastrointestinal akut dinilai menggunakan kriteria AGI grading system, sedangkan gagal organ dinilai menggunakan skor PELOD-2. Uji statistic Chi Square, Kruskal Wallis dan Mann-Whitney dilakukan menggunakan aplikasi SPSS IBM versi 20.
Hasil: Didapatkan 25 sampel dengan median skor PELOD-2 pada derajat satu sebesar 1 (0-5), dua sebesar 1 (0-9), tiga sebesar 9 (n=1), dan empat sebesar 9 (7-11). Hasil Uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik (P= 0,004) dan terdapat peningkatan skor PELOD-2 pada derajat yang lebih tinggi. Selain itu hasil uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan mortalitas pasien (P= 0,014).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan skor PELOD-2 dan luaran mortalitas pada pasien anak sakit kritis.

Background: Acute gastrointestinal injury can be secondary to critical illness, however it is not often assessed. The instrument used to assess organ dysfunction in children is Pediatric Logistic Organ Dysfunction-2 (PELOD-2) Score. This study aims to explain association between AGI grade and organ dysfunction using PELOD-2 in critically ill pediatric patients.
Methods: This is a cross-sectional study with data collected from medical records of pediatric patients with AGI in PICU of Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, starting from September 2019 to 2020. Patients were classified based on AGI grade. The severity of organ dysfunction was measured using PELOD-2. Data were analysed with Chi Square, Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test using SPSS IBM version 20.
Results: From 25 included pediatric patients, median of PELOD-2 score in AGI grade 1, 2, 3 were 1, 1, 9 respectively. There is only one sample of AGI grade 3, therefore the median of PELOD-2 score cannot be calculated.. Kurskal-Wallis test showed significant association (P: 0.004) with higher PELOD-2 score in more severe AGI grade. Chi Square test also showed significant association (P= 0,014) with higher mortality rate in more sever AGI grade.
Conclusion: There is significant association between AGI grade with PELOD-2 score and mortality rate in critically ill pediatric patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rufiah Aulia Rasyidah
"Latar belakang: Anak berusia 2-6 tahun berada pada fase terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan otak mereka, sehingga penting untuk memastikan kebutuhan gizi anak tercukupi. Anak dengan perilaku picky eating cenderung menolak makanan baru atau asing dan selektif terhadap makanan, menyebabkan terbatasnya jumlah dan variasi asupan makan anak. Hal ini memunculkan kemungkinan tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi anak, yang dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara perilaku picky eating dengan status gizi pada anak.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. 64 subjek merupakan anak berusia 2-6 tahun di wilayah Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Penggolongan anak sebagai picky eating atau tidak picky eating didapatkan melalui kuesioner Child Eating Behaviour. Status gizi diukur berdasarkan z-skor berat badan per tinggi badan. Data dianalisis menggunakan Uji Fisher (p<0,05).
Hasil: Persentase anak picky eating pada populasi anak di wilayah Jakarta adalah 46,9%. Rata-rata skor food fussiness yang digunakan sebagai cut-off adalah 2,75. Prevalensi perilaku picky eating tertinggi di usia 3 tahun sampai usia 4 tahun dengan 4 tahun sebagai puncak (58%). Sebagian besar status gizi subjek populasi adalah normal (90,6%). Terdapat perbedaan proporsi status gizi antara picky eating dan tidak, anak dengan status gizi kurang lebih banyak ditemukan pada anak yang pilih-pilih makanan (6,7% pada kelompok picky eating dan 2,9% pada yang tidak), namun tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Simpulan: Tidak ada hubungan perilaku picky eating dengan status gizi pada anak berusia 2-6 tahun.

Background: Children aged 2-6 years are in the best phase for growth and development of their physical and brain, so it is important to ensure that children's nutritional needs are fulfilled. Children with picky eating tend to refuse new or unfamiliar foods and are selective about food, causing limitation of the quantity and variety of children's food intake. This raises possibility that the child's nutritional needs are not fulfilled, which can cause disruption to the child's growth and development.
Aim: To determine the relationship between picky eating behavior and nutritional status in children aged 2-6 Years Old in Jakarta in 2020.
Methods: This study used a cross sectional design. 64 subjects were children aged 2-6 years in the Jakarta area who met the inclusion criteria. The classification of children as picky eating or not picky eating is obtained through the Child Eating Behavior Questionnaire. Nutritional status was measured based on weight per height z-score. Data were analyzed using Fisher's Test (p<0,05).
Results: The percentage of picky eatings in the child population in DKI Jakarta is 46.9%. The mean food fussiness score which were used as the cut-off was 2.75. The highest prevalence of picky eating behavior occurs at the age of 3 to 4 years with the peak at 4 years (58%). Most of the population has normal nutritional status (90.6%). There is a difference in the proportion of nutritional status between childrens who were picky and those who do not. Children with poor nutritional status are more often found in children who are picky eatings. However, statistics showed that there is no relationship between picky eating behavior and nutritional status (p>0,05).
Conclusion: There is no relationship between picky eating behavior and nutritional status in children aged 2-6 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>