Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gunawan Wibisono
"ABSTRAK
Seringkali didapati kasus-kasus pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya belum tentu termasuk kategori pelanggaran Subversi. Namun oleh pemerintah selaku penguasa politik kepada para pelanggar pidana tersebut kerapkali dijerat dan dikenakan dengan isi pasal-pasal UU No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kejadian ini telah terdapat pada masa Pemerintah Orde Lama, hingga diteruskan oleh Pemerintah Orde Baru sekarang ini, yang menimbulkan berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra.
Bahkan para Cendekiawan Politik dan Hukum (Dr. Burhan Magenda, Arbi Sanit, dan Prof. Dr. Sri Sumantri, SH), menyatakan bahwa isi pasal UU No.l1/PNPS/1963 tersebut terlalu luas jangkauannya sehingga tidak ada batasan-batasan yang jelas dan tegas pada pasal-pasalnya yang dapat menjerat siapa saja dan kapan saja dan kurang relevan dengan pekermbangan Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dewasa ini.
Menurut pendapat nara sumber hukum dari Universitas Indonesia (Prof. Dr. Bintan R. Saragih, SH. dan Nara sumber Undang-undang Anti Subversi (Dr.Loebby Loqman, SH.) mengatakan bahwa Isi pasal-pasal UU No.ll/PNPS/1963 terdiri dari 20 pasal yaitu pasal 1 s/d. 20 dan 6 Bab yaitu Bab 1 s/d. V perlu dibatasi (limitatif), karena bila hal itu tetap diberlakukan, maka isi pasal UU No.17./PNPS/1963 ini dianggap telah dipengaruhi budaya politik otoriter yang terdapat pada pasal 1,2,3,7,11 dan 17 yang pada inti isinya memperkokoh kedudukan Presiden selaku penguasa politik. Pengaruh budaya politik Feodal terdapat pada pasal 13 (2), yang berintikan adanya kedudukan penguasa politik yang tidak ingin dikritik atau dikontrol oleh masyarakat, melainkan harus dihormati dan di patuhi oleh seluruh masyarakat; dan pengaruh budaya politik patrimonial nampak terdapat pada pasal 13 (2) yang pada isinya adalah keharusan dari pihak masyarakat/rakyat untuk loyal dan patuh tunduk pada senioritas yaitu penguasa politik (presiden) tanpa ada kontrol pengawasan dari masyarakat/rakyat.
Tujuan penelitian dengan menggunakan kerangka pikir kualitatif, untuk mengetahui secara jelas benarkah sifat patrimonial, Feodal dan Otoriter yang melekat pada isi UU Noll/PNPS/1963 akibat dari adanya pengaruh Budaya Politik Patrimonial, Feodal dan Otoriter yang diwariskan oleh para penguasa politik Jawa (Raja-raja Jawa Mataram) yang secara langsung atau tidak langsung telah diwariskan dan diikuti serta diterapkan oleh para Penguasa Politik, sehingga memberikan tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya budaya politik subyek (menurut G.A. Almond dan Sindey Verbs). Seperti halnya Presiden Soekarno sebagaimana telah dikemukakan dalam kerangka teori Budaya Politik yang digambarkan oleh Clifford Gertz, Arief Budiman, Miriam Budiarjo, Marbanggun Hardjowirogo, Sukarna, Eberhard Puntsch, Ralf Dahrendorf, Gabriel A. Almond, dan Sidney Verbs, Niniek Suparni, dan sebagainya, dengan menggunakan kerangka piker kualitatif.
Para nara sumber politik dan nara sumber hukum tersebut di atas telah menggambarkan bahwa betapa otoriternya kepemimpinan Presiden Soekarno pada saat pemerintah dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin yang membuat dan memberlakukan Penetapan Presiden (Penpres/PNPS) No.11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi tanpa persetujuan DPRS yang perannya dimandulkan (lemah) yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.11/PNPS/1963. Permasalahan di mana pada isi pasal-pasal UU No.11/PNPS/1963 tersebut memiliki jangkauan sangat jauh dan luas langkah represifnya dan hanya menguntungkan Penguasa Politik / presiden), dikarenakan pasal-pasalnya bersifat karet yang dapat menjerat siapa saja.
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas perlu dibuktikan dalam penulisan tesis ini diungkapkan secara rinci proses pembahasan pembentukan isi UU No.ll/PNPS/1963 tentang pernberantasan kegiatan Subversi sejak latar belakang pembentukannya, sejarah pembentukannya, sampai budaya politik yang mempengaruhinya yang cukup menarik dipelajari karena menimbulkan pro dan kontra."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Lodewijk
"ABSTRAK
Kehidupan ketatanegaraan Indonesia sejak bergulirnya Reformasi tahun 1998 mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, setelah disadari kegagalan penyelenggaraan ketatanegaraan terletak pada kerancuan terhadap pelaksanaan dan kurangnya materi muatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamr penyelenggaraan negara secara seimbang dan saling mengontrol guna mencapai cita-cita bemegara.
Salah satu penambahan materi muatan ke dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dibentuknya Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi disamping Lembaga Negara Mahkamah Agung. Permasalahannya adalah seberapa jauh pengaruh dan dampak kehadiran Mahkamah Konstitusi terhadap sistem penyelenggaraan negara ditinjau dari aspek kenegaraan dan tugas-tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam
Undang Undang Dasar Tahun 1945 pasal 24 C jo pasal7.
Dari hasil penelitian kepustakaan dan studi perbandingan antar beberapa negara didukung oleh hasil-hasil wawancara dengan tokoh-tokoh politik di Dewan Perwakilan Rakyat diperoleh hasil, bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat sehingga setiap keputusannya mengikat lembaga-lembaga tinggi negara Iainnya, dengan dernikian mendorong terciptanya penyelenggaraan negara yang seimbang dan saling mengontrol (checks and balances) dan menempatkan hukum (konstitusionalisme) sebagai pedoman / landasan fundamental dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi akan bertindak sebagai pengawal dan pengarah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar masing-masing lernbaga tinggi negara bergerak dan berperan searah dengan visi pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
2003
D703
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Lodewijk
"ABSTRAK
ketatanegaraan Indonesia sejak bergulirnya Reformasi tahun 1998 mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, setelah disadari kegagalan penyelenggaraan ketatanegaraan terletak pada kerancuan terhadap pelaksanaan dan kurangnya materi muatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamr penyelenggaraan negara secara seimbang dan saling mengontrol guna mencapai cita-cita bemegara.

Salah satu penambahan materi muatan ke dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dibentuknya Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi disamping Lembaga Negara Mahkamah Agung. Permasalahannya adalah seberapa jauh pengaruh dan dampak kehadiran Mahkamah Konstitusi terhadap sistem penyelenggaraan negara ditinjau dari aspek kenegaraan dan tugas-tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam
Undang Undang Dasar Tahun 1945 pasal 24 C jo pasal7.

Dari hasil penelitian kepustakaan dan studi perbandingan antar beberapa negara didukung oleh hasil-hasil wawancara dengan tokoh-tokoh politik di Dewan Perwakilan Rakyat diperoleh hasil, bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat sehingga setiap keputusannya mengikat lembaga-lembaga tinggi negara Iainnya, dengan dernikian mendorong terciptanya penyelenggaraan negara yang seimbang dan saling mengontrol (checks and balances) dan menempatkan hukum (konstitusionalisme) sebagai pedoman / landasan fundamental dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi akan bertindak sebagai pengawal dan pengarah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar masing-masing lernbaga tinggi negara bergerak dan berperan searah dengan visi pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ABSTRAK
"
2003
D1115
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Muchtar
"Latar Belakang
Setelah Perang Dunia II, banyak bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya, khususnya di kawasan Asia dan Afrika. Kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaan itu diperoleh bangsa-bangsa tersebut setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada umumnya bangsa-bangsa yang melakukan penjajahan itu adalah bangsa-bangsa/negara-negara yang berada di kawasan Eropa Barat.
Bangsa-bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya itu umumnya mendasari pemerintahannya dengan sistem demokrasi.l Hal ini dapat dipahami sebab demokrasi senantiasa merupakan cita-cita yang hidup. Penyebab lainnya karena negara-negara penjajah itu di tanah airnya mempraktekkan sistem pemerintahan demokrasi, dan sebagian tokoh-tokoh dari bangsa terjajah.
Akan tetapi bangsa-bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya itu, dalam banyak hal justru tidak mempraktekkan pemerintahan demokrasi. Paling tidak dapat dikatakan, terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Ada tiga pelanggaran yang sering terjadi yakni:
1. Pembentukan pemerintahan yang tidak berdasarkan pilihan rakyat,
2. Pengadaan anggota lembaga perwakilan tidak melalui pemilihan umum, dan
3. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dengan berbagai cara. Padahal justru hak-hak asasi manusia merupakan bagian penting dari demokrasi itu sendiri.
Bahkan dalam melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu, banyak pemerintahan yang melakukannya dengan bertopengkan demokrasi.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut bersumber pada penyebutan sistem demokrasi. Ini juga dapat dilihat dari pendapat Gilette Hitchner dan Carol Levine:2
"Hampir setiap negara bagaimanapun system politiknya, mengklaim bahwa bentuknya adalah demokratis. Tetapi kadang-kadang kata "demokratis" itu dikwalifisir dengan ekspresi-ekspresi seperti ?basic?, "guided", "paternal", "traditional", atau "people", sehingga dalam realitasnya "tyrannical", dan "authoritarian".
Praktek-praktek pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu menjadi perdebatan serta menarik perhatian PBB. Ini mendorong berlangsungnya konferensi Internasional Commission of Jurist tahun 1965 di Bangkok yang berhasil merumuskan enam syarat agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi3 yaitu :
1. Perlindungan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal).
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education)."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D251
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Arifin Sari Surungalan
"Dalam peraturan perundang-undangan terdapat empat istilah yang bermaksud menguraikan fungsi DPR yaitu fungsi, wewenang, tugas, kekuasaan. Sebutan fungsi DPR terdapat dalam Pasal 32 beserta Penjelasannya dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (LN 1969 No. 59, TLN No. 2915) sebagaimana telah tiga kali diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1975 (LN 1975 No. 39, TLN No. 3064), Undang-undang No, 2 Tahun 1985 (LN 1985 No.2, TLN No. 3282) dan Undang-undang No.5 Tahun 1995 (LN 1995 No. 36, TLN No. 3600). Pasal itu menguraikan bahwa fungsi DPR (selanjutnya disebut DPR saja) berdasarkan UUD 1945 adalah (1) membuat undang-undang bersama dengan Pemerintah, (2) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama-sama Pemerintah, dan (3) mengadakan pengawasan terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Kemudian DPR dalam Keputusannya No. 1O/DPR-RI/82-83 tanggal 26 Februari 1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang masih beriaku sampai sekarang, menyebutnya tidak sebagai fungsi DPR tetapi sebagai wewenang dan tugas DPR. Tetapi UUD 1945 dalam Pasal 5 ayat (1) menggunakan istilah kekuasaan membentuk undang-undang. Jadi, empat istilah itu dianggap sinonim. Yang oleh undang-undang No. 16 dinamakan sebagai fungsi oleh DPR diubah menjadi wewenang dan tugas, sedangkan UUD 1945 sendiri menyebutnya sebagai kekuasaan. Menurut kamus pengertian fungsi tidaklah sama dengan wewenang, tugas atau kekuasaan.. Tidaklah mengherankan kalau dalam masyarakat baik dalam masyarakat umum maupun dalam masyarakat cendekiawan timbul kesimpangsiuran mengenai pengertian fungsi DPR ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D407
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuhadi Irsyad
"Disertasi ini mengkaji Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [NAD] dan relevansinya dengan Sistem Peradilan Nasional. Fokus kajian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitis. Analisis penelitian dengan paradigma kombinasi empat teori utama: Living law Ehrlich, Maslahah Mursalah Al-Syafi'i, Taqnin lbnu Muqaffa, Desentralisasi dan Distribution of Power sebelum perubahan dan Separation of Power dengan titik berat check and balances pasca perubahan UUD 1945.
Hasil penelitian ini menyarankan agar eksistensi Mahkamah Syar'iyah yang pernah berjaya di Aceh pada abad XVI-XVII, dapat berfungsi kembali secara baik dalam Negara Kesatuan RI dengan cara DPRA dan Pemda NAD membentuk Qanun-qanuu yang dibutuhkan masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Qanun-qanun yang berwawasan nasional Islami, menjamin Mahkamah Syar'iyah dapat eksis berdampingan dalam Sistem Peradilan Nasional.

The study is about the Islamic Court Justice ( Mahkamah Syar'iyah) in the Province of Nanggoe Aceh Dannssalam [NAD] and its relevance with the National Courtship Justice System. The focus of this study is on a qualitative research based on descriptive-analysis design using four main theories for its paradigm: Living law by Ehrlich, Maslahah Mursalah by Al-Syafi'i, Taqnin by Ibnu Muqaffa, Decentralization and Distribution of Power before the amendment and Separation of Power with its focus on check and balances after the amendment of the Rules of 1945.
The study suggests that the existence of Mahkamah Syar'iyah which once gained its grandeur in Aceh in XVIth-XVIIth centuries can play its role and function well in the Republic of Indonesia through the Aceh People Assembly and the Government of Aceh which form the rules the society needs to implement the Shariah completely. The rules are hoped to be Islamic-nationalistic that guarantee the existence of Malgkamah Syar'iyah along with the existence of National Courtship Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1010
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Saifudin
"ABSTRAK
Gerakan reformasi 1998 telah melahirkan tuntutan demokratisasi dalam bentuk pemberdayaan rakyat di berbagai aspek kehidupan kenegaraan. Pembentukan UU sebagai bagian dari mengatur negara, dituntut pula adanya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Hal ini akan melahirkan produk UU yang demokratis dan berguna bagi penataan negara menuju texwujudnya good governance dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Dalam penelitian ini diajukan satu masalah pokok yaitu : bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU di era reformasi ?? Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum khususnya sosiologi perundang-undangan.
Kerangka teori yang dibangun untuk pcmecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori demokrasi dan teori pembentukan UU. Perrama, teori demokrasi harus dipahami bahwa lernbaga perwakilan dalam mengambil keputusan yang bertalian dengan state policy berupa pembentukan UU harus membuka bagi adanya akses publik untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembentukannya Kedua. teori pembentukan UU harus diletakkan dalam konteks sosial masyarakat yang menampung konflik nilai dan kepentingan di masyarakat yang akan diputus oleh lembaga legislatif.
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap tiga UU yaitu UU Sisclilmas, UU Pemilu dan UU Keténagakerjaan ditemukan adanya berbagai hal sbb. : Pertama, proses pembentukan UU di era reformasi memperlihatkan telah terjadi perubahan baik dilihat dari aspck kelembagaan DPR, aspek kepentingan masyarakat, aspek pengaturannya dan aspek pembahasan RUU. Kedua, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU dapat diidentifikasi dalam pelaku partisipasi, bcntuk partisipasi, cara partisipasi, materi partisipasi, penyerapan panisipasi dan tahap-tahap partisipasi dalam pembentukan UU.
Ketiga, partisipasi masyarakat yang dilakukan terhadap proses pembentukan tiga UU yang diteliti, dapat mewamai dalam berbagai proses pembahasan pembentukan UU, sehingga produk UU yang dihasilkannya mendekati rasa kea/dilan, kepatuhan dan kepastian hukum masyarakat. Keempat, proses pembcntukan UU di era reformasi telah membuka akses publik dan melibatkan berbagai kekuatan politik dalam masyarakat. Hal ini pada dasamya rnempakan langkah ideal dalam proses pembentukan UU di era reformasi, dan dari sudut pandang sosiologi penmdang-undangan, UU merupakan endapan konflik nilai dan kepentingan yang secara politis diformulasikan dalam aturan hukum oleh lembaga legislatifi Akan tetapi, semua kondisi dalam proses pembentukan UU di era reformasi tersebut Blum disertai dengan perangkat peraturan perundang- undangan yang memadai.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan pengaturan partisipasi masyarakat, Dengan demikian, akan terdapat dasar pijakan peraturan yang memadai guna memperkuat pemberdayaan rakyat melakukan partisipasi dalam proses pembemukan UU.

Abstract
Reformation movement in 1998 has brought demand for democratization in the form of the people empowerment in various aspects of state activities. Law-making is a part of regulating state, is also demanded to transparency, particmation and accountable. This will create legisaltion products that democratic and benefit for arrangement of state to bring into good governance with the 1945 Constitution as basic constitutional. In this rearch , I will examine one main problem : how public participation in legislative process? This rearch employs a sociological perspective, especially socioloy of legislation.
Theoritical framework formulated to solve the main problem is to base on democratic theory and law-making theory. Firstly, the democratic theory must be understood that constitutional bodies involved in the process of law making in taking decision related to state policy in law-making must be open to public access to participate. Secondly, the law-making theory must be put in the social context that accommodates conflicts of value and interest in society that will be decided by legislative institution.
The research focuses on three leislations, t.e. Act on National Education System, Act on General Elections, and Act of Labor and the result shows as follos : First, the law-making process in the reformation era has occurred changes in saveral aspects, such as representative institution, public interest, regulatory and law-making process.
Second public participation in the law-making process can identfed in several matters, such as people who participate, form of participation, method of participation. subject matter of participation, absord of participation. and stages of part icipation. Third public participation conducted in law -making process of the three Acts can affect in various law making process. Therefore, it is expected that legislotions enacted close to justice, compliance and legal certainty for society. For, lar making-process in the reformation era has opened public access and involved various political forces and society. This is basically an ideal step in law-making process in the reformation era and viewed from sociology of legislation. act is accumulation conflicts of value and interests which is politicalbrformulated in regulation by legislative body. However, all circumstances in the law-making process have not been equmped by a set of legislation sufficiently.
Hence, it is necessary to amend Act No. l 0 Year 200-I on Legislation Making Process, especially related to public participation. This amendement is expected to become a srjjicient basic regulatory for strengthening public participation in law-making process.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D1052
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library