Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mangunsong, Purnianti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1976
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusti Heri M.
Abstrak :
Permasalahan tesis ini didasarkan pada banyaknya keluhan dan pengaduan masyarakat terhadap organisasi publik, khususnya kelurahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak sesuai dengan standar. Hal tersebut terlihat dari prosedur yang berbelit, tidak transparan, kurang efisien, tidak tepat waktu, dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kepemimpinan kepala kelurahan dan efektivitas organisasi pelayanan publik di Kelurahan Simpang Empat Sipin, Kotamadya Jambi. Datanya dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam kepada sejumlah informan yang mengetahui masalah yang diteliti. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala kelurahan dan efektivitas organisasi pelayanan publik di Kelurahan Simpang Empat Sipin dapat berjalan cukup efektif. Hal itu didasarkan pada komponen kepemimpinan dan efektivitas organisasi pelayanan. Komponen kepemimpinan itu meliputi unsur visi, komitmen, kewibawaan, dan gaya kepemimpinan kepala kelurahan. Dalam hal ini, visi kepala .kelurahan cukup luas, yaitu ia memandang suatu persoalan dalam konstek yang utuh dan menyeluruh. Permasalahan pemerintahan kelurahan tidak dianggap sebagai masalah yang terpisah ada keterkaitannya dengan pemerintahan secara Nasional. Oleh karena itu keberhasilannya mencerminkan keberhasilan pemerintah secara keseluruhan. Kecuali itu, kepala kelurahan juga dapat menampung aspirasi, dan kebutuhan masyarakat melalui musyawarah pembangunan kelurahan. Sementara itu, komitmen kepala kelurahan terhadap organisasi terlihat dari program kerja yang dimusyawarahkan pelaksanaannya selalu dengan perangkat kelurahan lainnya. Kepribadian kepala kelurahan bersifat fleksibel, aspiratif, dan komunikatif. Hal itu, didukung oleh kehidupan pribadi, keluarga dan bermasyarakat yang tidak tercela sehingga masyarakat percaya bahwa kepala kelurahan dapat melaksanakan tugas dengan baik dan benar. Kehidupan pribadi yang baik tersebut menunjang kewibawaan jabatan dalam organisasi. Gaya kepemimpinannya pun demokratis. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan kepala kelurahan mengayomi, berkomunikasi, dan menempatkan diri di tengah masyarakat dan perangkat kelurahan. Komponen efektivitas organisasi pelayanan publik, meliputi unsur aparatur yang memadai, iklim organisasi yang kondusif, optimasi pencapaian sasaran, dan kepuasan masyarakat yang dilayani. Dalam hal ini, meskipun jumlah aparatur hanya lima belas orang, kelurahan mampu menangani pekerjaan dengan baik. Iklim organisasi kerja di kelurahan juga kondusif. Hal itu terlihat dari cara pengambilan kebijakan organisasi yang didasarkan pada musyawarah dengan mengacu kepada kepentingan bersama, tanpa ada campur tangan pihak luar. Sementara itu optimasi pencapaian sasaran dapat dikatakan cukup berhasil karena partisipasi masyarakat dalam menyukseskan program kerja pemerintah cukup baik. Hal itu ditunjukkan dengan adanya sumbangan pikiran, keinginan, dan kebutuhan melalui musyawarah pembangunan kelurahan. Masyarakat yang dilayani merasa cukup puas karena pengaduan mengenai kualitas pelayanan yang pernah masyarakat terima dapat ditanggapi oleh kelurahan dengan mengadakan evaluasi dan perbaikan secara bertahap. Kualitas pelayanan yang diberikan pada dasarnya tidak semata ditentukan oleh pihak kelurahan, tetapi ditentukan juga oleh instansi yang terkait. Faktor kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan salah satu penentu organisasi dapat berjalan secara efektif. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian ini. Sejak kepemimpinan Kepala kelurahan Simpang Empat Sipin dijabat oleh Djafar, A.B., pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan cukup efektif. Hal itu karena arahan, bimbingan kepala kelurahan dapat dipatuhi dan diteladani oleh perangkat kelurahan dan masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Iqbal Djajadi
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mengembangkan pengukuran mengenai kondisi integrasi. Dengan menggunakan aksi kekerasan ko1ektif sebagal fokus pengamatan, dan Indonesia sebagai kasus, tesis ini memperoleh temuan- temuan teoritik dan empirik sebagai berikut

Integrasi adalah suatu konsep derivasi dari struktur sosial. Bila struktur sosial merujuk kepada pola hubungan di antara unit-unit sosial yang membentuknya~ rnaka integrasi merujuk kepada derajat kekuatan hubungan di antara unit-unit tersebut

Ada berbagai cara untuk mengukur kekuatan hubungan di antara unit-unit yang terdapat dalam struktur sosial. Narnun dengan menggunakan perspektif keteraturan sosial, studi ini memusatkan perhatian kepada aksi.aksi kekerasan kolektif Asumsinya adalah semakin rendah tingkat aksi kekerasan semalkin tinggi tingkat keteraturan sosial atau integrasinya, Dernikian pula sebaliknya.

Secara konseptual, integrasi setidaknya memiHki dua dimensi: integrasi nasional dan integrasi sosietaL Dimensi pertama merujuk kepada kek:uatan hubungan di antara negara dan masyarakat, sedangkan dimensi kedua merujuk kepada kekuatan hubungan di antara unit-unit dalam masyarakat itu sendiri.

Kategori integrasi terentang antara kuat hingga lemah. Dalam rentang tersehut, kategori yang paling ekstrim memang adalah disintegrasL Yakni, pemisahan antara unit- unit sosial yang terlibat Namun di antara dua kategori ekstrim --integrasi kuat dan disintegrasi masih terdapat kategori lairnya: maiintegrasi Berbeda dengan istilah pcrtama yang merujuk kepada penolakan bahkan pemisahan. istilah yang disebut terakhir lebih merujuk kepada adanya gangguan hubungan di antara unit-unit. Berdasarkan itu, studi ini kemudian mengembangkan tipologi: malintegrasi tipe A (kerusuhan), tipe B (penjarahan dan perusakan), dan tipe C (tawuran).

Dengan memanfaa!kan data sekunder dari berbagal sumber~ penelaahan menunjukkan bahwa Indonesia selama periode 1946 hingga April 1999 mengalami peningkatan aksi kekerasan kolektif. Dan puncak aksl tersebut terjadi pada masa periode Orde Reformasi. Namun berbeda dengan anggapan umum. kerusuhan sebenamya cenderung terus menurun; aksi-aksi kekerasan kolektiflainnya yang justru meningkat. Di antaranya adalah penjarahan. perusakan, tawuran. dan pertempuran etnik. Mengikuti konsepsi sebelumnya. studi ini memiliki kerangka pemikiran tersendiri dalam menggunakan aksi~aksi kekerasan koiektif sebagai indikator integrasi.

Berdasarkan suatu rumus sederhana yang menyatakan hahwa integrasi nasional sama dengan satu dikurangi aksi separatis (sebagai indikator disintegrasi nasional); serta integrasi sosietal sebagai satu dikurangf pertempuran primordial (sebagai indikator disintegrasi sosietal); kerusuhan, penjarahan, perusakan dan 1awuran (sebagai indikatorindikator malintegrasi), maka studi ini memperoleh kesimpulan sebagai berikut.

Studi berkesimpulan bahwa, hingga batas keberlakuan data yang dikumpulkan, sebenarnya kondisi integrasi nasional Indonesia masih tinggi. Berdasarkan periode pemerintahan, hingga batas tertentu dapat dikatakan bahwa integrasi nasional di masa Habibie dan Soeharto cenderung lebih tinggi ketimbang masa Soekamo. Hal yang memperihatinkan adaiah justru kondisi integrasi sosietal. Ada kecenderungan bahwa kondisi integrasi sosietallndonesia tidak pernah mencapai tingkat paling optimal. Bahkan berdasarkan perkembangan periode, terlihat bahwa tingkat integrasi sosietal di masa Habibie yang baru beriangsung sekJtar setahun ini berada pada titik yang paling rendah dibanding masa Soeharto dan Soekamo.

Secara umum tesis ini juga menyimpulkan bahwa sebenarnya kita tidak periu mencemaskan kondisi disintegrasi nasional. Karena sebenamya fenomena ini tidak selalu berjalan penuh kekerasan. Hal yang hams ditakuti adalah fenomena disintegrasi sosietal, dan komplikasinya ke arah disintegrasi nasional. Hal inilah yang sebenamya tetjadi di semenanjung Balkan yang menghancurkan Yugoslavia.

Narnun terlepas dari berbagai temuan empirik di atas, tesis ini masih memerlukan sejumlah penyempumaan di masa mendatang. Dari segi alat ukur. ia p.erlu memasukkan aspek kuantitatif kerugian jiwa dan material sebagai indikator substantif. Sedangkan dari segi ketersediaan data, ia perlu memasuk berbagai data laiTlllya yang lebib lengkap dan relevan.
1999
T32797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Pribadi
Abstrak :
ABSTRAK


Penyelenggaraan transmigrasi sebagai salah satu program berskala nasional diarahkan dapat membantu memecahkan masalah ketimpangan distribusi penduduk khususnya antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Namun hingga saat ini program pemerintah yang mulai diselenggarakan tahun 1950 tersebut dirasakan belum sepenuhnya berhasil. Ketimpangan distribusi penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa terus saja berlangsung. Beberapa hal yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi antara lain adalah masih sedikitnya minat sebagian besar masyarakat untuk bertransmigrasi. Berbagai faktor yang berasal dari tingkatan individu, rumah tangga, dan komunitas, baik secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri mempengaruhi animo bertransmigrasi.

Melalui penelitian ini berusaha dipahami lebih mendalam berbagai faktor yang berpengaruh terhadap animo bertransmigrasi. Untuk itu diuji enam variabel yang diduga mempunyai pengaruh nyata terhadap animo bertransmigrasi. Keenam variabel tersebut diukur melalui proses survei pada calon transmigran yang siap berangkat ke daerah tujuan transmigrasi.

Dari pengujian dengan metode analisa regresi linier berganda, didapatkan hasil bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, dan semakin tinggi beban keluarga, serta semakin rendah pemilikan lahan, maka semakin tinggi animo bertransmigrasi. Sedangkan informasi dari saudara dan tokoh masyarakat lebih dipercaya dan kuat mendorong dibanding dari petugas pemerintah. Demikian pula semakin tinggi pendapatan keluarga dan semakin rendah kepadatan penduduk, maka semakin tinggi animo bertransmigrasi.

Mengacu hasil penelitian tersebut, beberapa kebijakan pokok yang perlu ditempuh oleh para perencana dan pelaksana program pembangunan adalah dengan menciptakan wilayah pengembangan ekonomi baru di daerah-daerah potensial di luar Pulau Jawa sebagai daya tarik, selain terus mendorong penduduk di daerah padat bersedia berpindah dan menetap di daerah pengembangan baru tersebut. Demikian pula pembukaan pemukiman transmigrasi harus diorientasikan pada pengembangan usaha yang berskala ekonomi tinggi. Implikasi dari kebijakan ini diharapkan dapat menarik penduduk di daerah padat bersedia berpindah dan menetap di daerah pengembangan baru tersebut. Demikian pula pembukaan pemuuiman transmigrasi harus diorientasikan pada pengembangan usaha yang berskala ekonomi tinggi. Implikasi dari kebijakan ini diharapkan dapat menarik penduduk di daerah padat dan berpendidikan relatif tinggi untuk bersedia bermigrasi ke daerah baru tersebut.

1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Iqbal Djajadi
Abstrak :
ABSTRAK


Tesis ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mengembangkan

pengukuran mengenai kondisi integrasi. Dengan menggunakan aksi kekerasan kolektif sebagai fokus pengamatan, dan Indonesia sebagai kasus, tesis ini memperoleh temuan-temuan teoritik dan empirik sebagai berikut.

Integrasi adalah suatu konsep derivasi dari struktur sosial. Bila struktur sosial merujuk kepada pola hubungan di antara unit-unit sosial yang membentuknya; maka integrasi merujuk kepada derajat kekuatan hubungan di antara unit-unit tersebut.

Ada berbagai rasa untuk mengukur kekuatan hubungan di antara unit-unit yang

terdapat dalam struktur sosial. Namun dengan menggunakan perspektif keteraturan

sosial, studi ini memusatkan perhatian kepada aksi-aksi kekerasan kolektif. Asumsinya adalah semakin rendah tingkat aksi kekerasan kolektif, semakin tinggi tingkat keteraturan sosial atau integrasinya. Demikian pula sebaliknya.

Secara konseptual, integrasi setidaknya memiliki dua dimensi: integrasi nasional dan integrasi sosial. Dimensi pertama merujuk kepada kekuatan hubungan di antara negara dan masyarakat, sedangkan dimensi kedua merujuk kepada kekuatan hubungan di antara unit-unit dalam masyarakat itu sendiri.

Kategori integrasi terentang antara kuat hingga lemah. Dalam rentang tersebut, kategori yang paling ekstrim memang adalah disintegrasi. Yakni, pemisahan antara unit-unit sosial yang terlibat. Namun di antara dua kategori ekstrim --integrasi kuat dan disintegrasi-- masih terdapat kategori lainnya: malintegrasi. Berbeda dengan istilah pertama yang merujuk kepada penolakan bahkan pemisahan, istilah yang disebut terakhir lebih merujuk kepada adanya. gangguan hubungan di antara unit-unit. Berdasarkan itu, studi ini kemudian mengembangkan tipologi: malintegrasi tipe A (kerusuhan), tipe B (penjarahan dan perusakan), dan tipe C (tawuran).

Dengan memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber, penelaahan menunjukkan bahwa Indonesia selama periode 1946 hingga April 1999 mengalami peningkatan aksi kekerasan kolektif. Dan puncak aksi tersebut terjadi pada masa periode Orde Reformasi. Namun berbeda dengan anggapan umum, kerusuhan sebenarnya cenderung terus menurun; aksi-aksi kekerasan kolektif lainnya yang justru meningkat. Di antaranya adalah penjarahan, perusakan, tawuran, dan pertempuran etnik. Mengikuti konsepsi sebelumnya, studi ini memiliki kerangka pemikiran tersendiri dalam menggunakan aksi-aksi kekerasan kolektif sebagai indikator integrasi.

Berdasarkan suatu rumus sederhana yang menyatakan bahwa integrasi nasional sama dengan satu dikurangi aksi separatis (sebagai indikator disintegrasi nasional); serta integrasi sosietal sebagai satu dikurangi pertempuran primordial (sebagai indikator disintegrasi sosietal); kerusuhan, penjarahan, perusakan dan tawuran (sebagai indikatorindikator malintegrasi), maka studi ini memperoleh kesimpulan sebagai berikut.

Studi berkesimpulan bahwa, hingga batas keberlakuan data yang dikumpulkan, sebenarnya kondisi integrasi nasional Indonesia masih tinggi. Berdasarkan periode

pemerintahan, hingga batas tertentu dapat dikatakan bahwa integrasi nasional di masa Habibie dan Soeharto cenderung lebih tinggi ketimbang masa Soekarno. Hal yang memperihatinkan adalah justru kondisi integrasi sosietal. Ada kecenderungan bahwa kondisi integrasi sosietal Indonesia tidak pernah mencapai tingkat paling optimal. Bahkan berdasarkan perkembangan periode, terlihat bahwa tingkat integrasi sosietal di masa Habibie yang baru berlangsung sekitar setahun ini berada pada titik yang paling rendah dibanding masa Soeharto dan Soekarno.

Secara umum tesis ini juga menyimpulkan bahwa sebenarnya kita tidak perlu mencemaskan kondisi disintegrasi nasional. Karena sebenarnya fenomena ini tidak selalu berjalan penuh kekerasan. Hal yang harus ditakuti adalah fenomena disintegrasi sosietal, dan komplikasinya ke arah disintegrasi nasional. Hal inilah yang sebenarnya terjadi di semenanjung Balkan yang menghancurkan Yugoslavia.

Namun terlepas dari berbagai temuan empirik di atas, tesis ini masih memerlukan sejumlah penyempurnaan di masa mendatang. Dari segi alat ukur, ia perlu memasukkan aspek kuantitatif kerugian jiwa dan material sebagai indikator substantif. Sedangkan dari segi ketersediaan data, ia perlu memasuk berbagai data lainnya yang lebih lengkap dan relevan.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ashar Suryobroto
Abstrak :
Permasalahan yang saya teliti dalam tesis ini adalah : Pola-pola tindak kejahatan yang terbentuk dari pola-pola kehidupan sosial sehari-hari yang terjadi pada penduduk daerah kumuh (slum area) Gang Kelinci - Bumiarjo yang merupakan zone transisi dari kota Surabaya, sebagai akibat perubahan sikap hidup yang dialami orang desa yang datang dan berhuni dikota. Pola-pola tersebut meliputi : kegiatan-kegiatan sosial, keteraturan sosial, aspek sosialisasi, pola patron-Wien, tingkat solidaritas, aspek aspek kriminal, sanksi, orientasi nilai, dan perasaan teritori.

Corak kehidupan penduduk Gang Kelinci yang berada didaerah hunian liar, kumuh dan miskin ini cenderung menghasilkan produk sosialisasi yang lebih menonjolkan aspek frsik dalam ?kehebatan" melakukan kejahatan ditandai memudarnya rasa kemanusiaan, etika dan adab yang melahirkan pola-pola kejahatan yang dilakukan warganya, diantaranya membentuk pola patron klien secara berjenjang I bertingkat dalam arti : ada jalinan antara perolehan hak-hak klien untuk mendapat perlindungan dan pengamanan fisik dari patron , serta kewajiban klien kepada patronnya masing-masing berupa pemberian (setoran) sejumlah maters dan/atau uang sesuai jenis dan bentuk "lapangan operasi" yang digeluti.

Pola-pola kejahatan juga tidak lepas dari ciri lingkungan sosial yang berada disekitar daerah kumuh tersebut, oleh sebab itu perilaku menyimpang bahkan tindak kejahatan yang dilakukan warga pemukiman ini, bukan merupakan pelanggaran atau deviant behavior, misalnya jenis jenis perbuatan kejahatan jalanan atau street crimes seperti penodongan, penjambretan, perampasan, pencopetan, pemerasan, pelacuran dan perjudian. Penentuan pilihan lokasi kejahatan / tempat kejadian yang radiusnya relatif dekat dengan daerah huniannya adalah salah satu implementasi dalam penerapan kiat pelaku kejahatan guna mengendalikan dan memonitor kegiatan mereka sesuai pola ruang - jarak - wilayah, yang sekaligus dapat disebut sebagai upaya pelarian, persembunyian dan pengamanan diri dari kejaran petugas Polisi.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Neta.M
Abstrak :
ABSTRAK
Masalah kepadatan penduduk dan derasnya urbanisasi terutama yang disebabkan oleh migrasi, merupakan masalah utama yang menjadi perkotaan didaerah perkotaan, karena akibat yang ditimbulkannya seperti pemukimam kumuh, pengangguran, kemiskinan dan perilaku menyimpang, serta kejahatan dan kerawanan sosial lainnya masih banyak di jumpai didaerah perkotaan.

Fenomena tersebut menjadi pokok masalah dalam penelitian ini karena (1) dapat menimbulkan gejala anomie pada masyarakat migran di perkotaan dan masalah adaptasi penduduk desa di kota (2) masalah persediaan pemukimam dan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan (3) adanya perilaku menyimpang sebagai akibat dari gejala anomie para migran di perkotaan.

Tujuan Penelitian ini untuk (1) mengetahui faktor yang mempengaruhi timbulnya anomie pada masyarakat migran di pemukiman kumuh daerah perkotaan (2) mengetahui gejala anomie terhadap perilaku menyimpang pada masyarakat migran di pemukiman kumuh daerah perkotaan.

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kaliawi Kotamadya Bandar Lampung, pengumpulan datanya dilakukan dengan cara wawancara dan observasi. Sedangkan analisis datanya menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung data kualitatif dengan maksud untuk lebih memperjelas hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan migrasi adalah (1) tujuan ekonomi, yaitu upaya untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik (2) tujuan sosial, dorongan untuk bersama dengan sanak saudara yang telah dulu bermukim (3) tujuan pendekatan terhadap fasilitas, alih profesi, iptek, dan lapangan kerja. (4) adanya asumsi bahwa kota-kota besar lebih menarik untuk dijadikan termpat tinggal daripada desa atau kota kecil. Sedangkan cara yang telah di persiapkan untuk mencapai tujuan ke pindahannya ke kota adalah (1) mencari kerja, baik di sektor formal maupun swasta (2) persiapan modal dan bekal ekonomi seadanya (3) meningkatkan pendidikan, pelatihan, penataran dan kursus-kursus singkat (4) pengembangan potensi diri, semangat, inisiatif, kejujuran dan disiplin kerja yang tinggi (5) kemampuan bersaing, keuletan kerja, keberanian dan kesanggupan kerja keras dalam memperjuangkan kehidupan di perkotaan.

Kenyataannya kehidupan yang dialami kaum migran di perkotaan adalah gaya hidup di perkotaan ternyata penuh dengan persaingan, lapangan kerja terbatas, kesempatan untuk memperoleh pekerjaan ternyata tidak sama banyak di pengaruhi oleh faktor kualitas keterampilan, tingkat pendidikan, semangat kerja, uang dan faktor peluang pihak pemilik lapangan kerja. Serta fasilitas yang tersedia di perkotaan yang semula diharapkan dapat membantu dan dinikmati tidak di peroleh. Usaha untuk meningkatkan keterampilan melalui fasilitas-fasilitas tersebut ternyata memerlukan biaya dan cukup mahal. Kondisi ini akhirnya menjauhkan mereka dari lapangan pekerjaan, dalam keadaan situasi tanpa uang dan penghasilan yang kurang memadai bagi kaum migran di kota, maka mereka terpaksa bermukim seadanya dan di daerah kumuh.

Disimpulkan, bahwa pada umumnya kaum migran tidak sanggup bahkan gagal dalam mencapai kemajuan, kesejahteraan dan kepuasan yang diharapkan di daerah perkotaan akhirnya kaum migran menjadi kecewa dan frustasi, dalam keadaan anomie (kehilangan norma) menimbulkan dorongan bagi kaum migran untuk mengubah, mengadopsi cara-cara baru yang dianggap dapat mencapai keberhasilan (tujuan) kendatipun harus melanggar norma sosial dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat pada umumnya.

1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahmud
Abstrak :
Krisis moneter yang menimpa bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga akhir tahun 2000 ini, belum ada tanda-tanda akan berakhir, bahkan telah berubah menjadi krisis multidimensi. Krisis tersebut, selain berdampak pada perubahan tatanan dalam segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, juga telah mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah angka kemiskinan. Sebelum terjadinya krisis atau tepatnya akhir tahun 1996, jumlah penduduk miskin tercatat 21.854.800 jiwa (11 %) dan total pend uduk Indonesia (BPS, 1997,25-26). Namun dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan hasil Susenas BPS, sampal Juni 1998, jumlah penduduk yang berkategori miskin meningkat cukup tajam yakni mencapai 79,40 juta jiwa. Ini berarti, dalam kurun waktu kurang dan dua tahun, pertambahan angka penduduk miskin mencapai 363,30 %. Tetapi yang Iebih menarik diperhatikan untuk dikaji dan diteliti dan peningkatan jumlah angka kemiskinan tersebut, adalah realitas dan dimensi masalahnya. Kemiskinan ternyata tidak hanya dialami dan didominasi oleh penduciuk yang berlatar belakang pendidikan rendah, tidak memiliki ketrampilan dan keahlian, tidak mempunyaí pekerjaan tetap, malas, bodoh dan hal-hal lain yang telah didirikan dan diidentikkan dengan keberadaan orang-orang miskin, sebagaimana anggapan yang berlaku selama ini.Tetapi juga bisa menimpa dan menghimpit masyarakat yang memiliki ketrampilan an keahlian di bidang tertentu serta memiliki tingkat ketekunan dan keuletan yang tinggi dalam bekerja. Diantara masyarakat yang memiliki ketrampilan dan keahlian serta keuletan dan ketekunan dalam bekerja itu, namun masih dihimpit oleh masalah kemiskinan adalah masyarakat Desa Banyumulek Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencahaniar' sebagai pengrajin gerabah. Salah satu indikator bahwa pekenjaafl mereka didasarkan atas ketrampilan dan keahlian yang disertai dengan keuletan dan ketekunan dalam bekerja, aclalah gerabah-gerabah yang dihasilkan oleh pengrajin telah menembus pasar mancanegara dan suclah rnendapatkan pengakuan standar mutu internasional, dengan diterìmanya Iso 9002 pada awal tahun 2000 ini. SelaIn itu, gerabah juga merupakan salah satu komoditas eksport dan Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan nilai devisa yang dihasilkan menempati urutan ketiga setelah komoditas mutiara dan batu apung. Hanya saja, ketrampilan dan keahlian yang dimiliki pengrajin tersebut belum dapat mengangkat dan mengeluarkan mereka dan situasi cian himpitan kemiskinan yang dialaminya. Berbagai upaya dan program telah diluncurkan, balk oleh pemenintah maupun swasta untuk memberdayakan pengrajin. Misalnya melalui program IDT, Diktat, pemagangan dan bantuan modal usaha, namun belum menghasilkan manfaat yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan hidup pengrajin. Ironisnya lagi, program-progam yang diluncurkan tersebut, manfaatnya Iebih banyak dirasakan oleh pengusaha gerabah atau pemifik modal (‘bos', istitah setempat) yang memodali pengrajin dalam berusaha. Penelitian ini menemukan bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan pengrajin tidak bisa keluar dan lilitan kemiskinan adalah terbatasnya kemampuan mereka dalam mengakses pasar secara Iangsung, baik pada tingkat pasar domestik maupun pacla pasar globaL Keterbatasan ¡ni, setain dipicu oleh SDM pengrajin yang masih Iemah dalam membangun relasi dengan dunia di luar lingkungannya, juga karena ketiadaan modal (finansial) yang menunjang dan mendukung upaya dimaksud. Kelemahan pengrajin ini dimanfaatkan secara optimal oleh pengusaha gerabah untuk mencari keuntungan yang sebesar besarnya. Termasuk dalam menetapkan harga secara sepihak. Dengan demikian, pengrajin tidak memiliki 'bargaining position' yang signifikan atas pelaku pasar gerabah. Berdasarkan temuan tersebut, dipandang perlu bagi semua pihak terutama pemerintah dan lembaga-lembaga pemberdaya lainnya termasuk LSM dan pengusaha gerabah untuk memperkuat komilmennya dalam upaya mengentaskan kemiskinan pengrajin. Dengan adanya komitmen yang kuat, diharapkan tercipta komunikasi dan kerjasama serta koordinasi yang sinergis dan produktif dalam rangka pembinaannya, dengan tetap memperhatikan dimensi pemberdayaan, guna menunjang upaya pengentasan kemiskinan pengrajin secara komprehensif dan berkesinambungan. Selain ¡tu, perlu juga dipikirkan untuk mendirikan pusat informasi pasar gerabah yang bisa langsung diakses oleh pengrajin. Penelitian yang diabstraksikan di atas bersifat deskriptif kualitatit, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menguji suatu teori atau pun hipotesis tertentu. Melainkan hanya mempelajari dan mencani sebab sebab kemiskinan pengrajin, disamping menjawab pertanyaan mengapa program pemberdayaan yang diluncurkan belum melepaskan mereka dan kemiskinan. Karena ¡tu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Budi Sampurno
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian mengenai Kehidupan Pak Ogah dalam Masyarakat Kumuh RT 009/05 Kampung Gusti Kelurahan Wijaya Kusuma Jakarta Barat bertujuan untuk menunjukkan corak keteraturan sosial dengan fokus pada kehidupan Pak Ogah yang bekerja sebagai pengatur lalu lintas di jalan Tubagus Angke maupun sehagai warga RT 009/05 Kampung Gusti Kelurahan Wijaya Kusuma Jakarta Barat.

Dalam kehidupan masyarakat miskin ditemui adanya upaya untuk mengatasi rasa miskin yang tanpa harapan itu dengan perwujudan bahwa mustahil dapat diraih kesuksesan dalam kehidupannya apabila dilakukan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat pada umumnya. Sehingga hal itu menimbulkan sikap kritis dalam pencapaian tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keteraturan sosial pada dasarnya adalah keteraturan masyarakat yang diatur berdasarkan aturan-aturan moral. Keteraturan dalam kehidupan sosial pada hakekatnya adalah suatu teori moral. Hal ini tidak hanya berarti bahwa anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya dibatasi oleh kode-kode moral, yakni mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak, tetapi keseluruhan dari dunia sosial itu sendiri adalah konstruksi moral.

Dalam kehidupan Pak Ogah pada kesehariannya dilakukan berkaitan dengan pedoman-pedoman yang digunakan untuk menciptakan keteraturan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pemenuhan kehutuhan hidup yang pokok baik sebagai perorangan, keluarga maupun kelompok di permukiman tersebut.

Adapun pedoman-pedoman yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam menciptakan keteraturan sosial mendapat pengaruh yang sangat besar dari seorang patron, baik mereka selaku Pak ogah yang bekerja selaku pengatur lalu lintas di perputaran arah jalan Tubagus Angke maupun sebagai warga masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh RT 009/05 Kampung Gusti Kelurahan Wijaya Kusuma. Hubungan patron-klien terjadi karena patron yang ada di permukiman itu adalah seorang pemimpin yang kharismatik.

Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa corak keteraturan yang terdapat dalam kehidupan Pak Ogah yang bekerja sebagai pengatur lalu lintas pada perputaran arah di jalan Tubagus Angke maupun sebagai warga RT 009/05 Kampung Gusti Kelurahan Wijaya Kusuma dipengaruhi adanya hubungan Patron-Klien.

Implikasi corak keteraturan yang dipengaruhi oleh keberadaan patron dengan program Kamtibmas adalah dengan memanfaatkan patron sebagai mitra dalam pembinaan Kamtibmas akan lebih efektif, karena selain patron lebih dapat menterjemahkan pesan-pesan Kamtibmas dari Polri ia juga dapat menyampaikan pesan itu kepada warga masyarakat yang menjadi kliennya.

Dan yang lebih penting dari semua itu adalah tingkat profesional Polri di masa depan - harus disesuaikan dengan tingkat kemajuan peradaban dan kompleksitas kebudayaan dari masyarakat Indonesia pada umumnya dan komuniti masyarakat setempat pada khususnya.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Pribadi
Abstrak :
ABSTRAK


Pasar merupakan salah satu sarana umum yang amat penting kedudukannya sebagai salah satu sub sistem penggerak perekonomian kota, juga berfungsi sebagai infrastruktur kota yang melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup seharihan secara teratur. Pedagang kaki lima sebagai salah satu bentuk kesempatan kerja sector informal berperan mewujudkan ekonomi rakyat yang mandiri, tercermin dalam keteraturan sosial pada kegiatan perdagangannya.

Dalam kehidupan pedagang kaki lima di lingkungan Pasar Kramat Jati, Kodya Jakarta Timur, terdapat corak keteraturan sosial yang terjadi dari hasil interaksi hubungan-hubungan sosial antara individu-individu atau kelompok yang berkepentingan sebagai pengguna fasilitas pasar, yang dipengaruhi oleh adanya hubungan patron klien yang dijadikan pedoman, diyakini dan disepakati untuk dipatuhi dan dioperasionalkan dalam kegiatan perdagangan kaki lima. <

Metodologi yang digunakan adalah etnografi yang dilakukan dengan Tara, pengamatan yang terlibat, pengamatan dan wawancara dengan pedoman untuk mengungkapkan pola-pola keteraturan sosial yang terjadi dan dilakukan oleh para. pedagang kaki lima dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara sederhana didefinisikan sebagai gambaran sebuah kebudayaan yaitu sebuah gambaran kebudayaan dan sebuah masyarakat atau komunitas yang merupakan hasil konstruksi dan interpretasi yang ditunjang oleh berbagai informasi yang diperolehnya sehingga didapat sebanyak mungkin dimensi dan ciri dari gambaran tersebut. Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan analisa kualitatif. Hasil wawancara diolah, kemudian ditarik hubungan-hubungannya yang berkaitan dan diinterpretasikan berdasarkan konsep-konsep dan literatur yang ada, serta digunakan sebagai acuan untuk memperkuat analisa kualitatif ditambah dengan berbagai acuan yang relevan dengan permasalahan.

Corak keteraturan sosial yang terdapat dalam kehidupan pedagang kaki lima adalah persaingan sehat, kerja sama dan tolong menolong. Keteraturan mengenai tempat/lokasi/lapak untuk berdagang disepakati bahwa kepemilikan lapak atau lokasi pedagang kaki lima yang lain, tidak akan ditempati atau direbut tanpa seijin pemilik lapak/lokasi dagang. Keteraturan dalam pembayaran pungutan baik resmi maupun tidak resmi diartikan sebagai jaminan keamanan dan ketenangan dalam berusaha. Waktu yang digunakan untuk berdagang menyesuaikan dengan jenis dagangan dan tempat atau lokasi berdagang. Untuk sistem penawaran harga barang menggunakan sistem harga luncur yang memungkinkan pembeli mendapatkan barang dengan mutu yang sebaik-baiknya dan harga yang terjangkau. Budaya tawar menawar ini juga dapat dijadikan petunjuk bagi pedagang kaki lima untuk mengetahui daya beli konsumen terhadap barang dagangan yang ditawarkan.

Kehidupan pedagang kaki lima memiliki corak keteraturan sosial yang dipengaruhi oleh bentuk-bentuk patron dalam lingkungan pedagang kaki lima yang mencari bentuknya sebagai koordinator, ketua kelompok, juragan/majikan atau sekaligus sebagai ketua kelompok dan juragan. Seseorang yang menduduki salah satu peran seperti tersebut diatas dapat disebut sebagai seorang patron, sedangkan anakbuahnya dapat dikatakan sebagai klien.

Sebuah komunitas yang mampu mengatur keteraturan sosial dalam kehidupannya melalui pranata yang diyakini kebenarannya dan dipatuhi, tidak akan memerlukan pelayanan tugas polisi. Sebaliknya komunitas yang cukup kompleks dimana pranata yang berlaku tidak fungsional lagi, digunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menjaga berlakunya keteraturan sosial, akan memerlukan petugas kepolisian dalam mengatasi berbagai masalah sosial.

Untuk menyusun strategi pembinaan masyarakat yang profesinya sebagai pedagang kaki lima dan corak keteraturan sosialnya dipengaruhi oleh para patron. Matra Program Pembinaan Kamtibmas ditingkat Polsek (Kepolisian Sektor), dapat menyertakan peranan para patron, dalam penciptaan situasi keamanan yang kondusif.

1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>