Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soerjono Soekanto
"Menurut hasil pengamatan, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengkaitkan proses pembangunan dengan pandangan-pandangan ataupun cita-cita yang optimistis sifatnya. Pandangan-pandangan atau cita-cita tersebut biasanya hendak diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencapai taraf kehidupan materiil dan spirituil yang lebih baik daripada keadaan yang telah atau pernah dicapai. Motivasi untuk membangun timbul antara lain karena para warga masyarakat beserta pemimpin-pemimpin negara-negara yang merdeka dan berdaulat penuh sesudah Perang Dunia ke II, cenderung untuk mempunyai keinginan-keinginan yang sangat kuat agar dapat mencapai tataf kehidupan yang sederajat dengan masyarakat-masyarakat dari negara-negara yang dikualifisir sebagai negara-negara industri yang kompleks dan modern. Akan tetapi usaha-usaha untuk mengadakan pembangunan tersebut tidaklah semudah yang diduga. Semula ada dugaan kuat bahwa pembangunan secara materiil-ekonomis sudah cukup, terutama apabila disertai dengan tersedianya modal, bahan-bahan mentah, alat-alat produksi, tenaga-tenaga terampil dan terlatih, maupun pelbagai kecakapan untuk mengelola suatu organisasi kedalam proses yang sinkron. Salah satu kelemahan daripada ideologi-ideologi pembangunan kontemporer adalah bahwa pendukung-pendukungnya mempunyai gambaran yang jelas mengenai pembangunan materiil-ekonomis, akan tetapi belum ada suatu arah yang nyata mengenai pembangunan spirituil-sosial. Pembangunan materiil-ekonomis di negara-negara Barat antara lain merupakan suatu hasil perkembangan dari proses diferensiasi strukturil-fungsionil dan peningkatan adaptif daripada bidang-bidang kehidupan secara evolusioner, seperti misalnya bidang politik, administrasi, agama, hukum, dan seterusnya. Keinginan dan motivasi yang kuat untuk meniru hasil proses evolusi yang mempunyai taraf ekonomis dan teknologi tinggi, dapat mengakibatkan terjadinya keragu-raguan untuk mengikuti tahap-tahap yang mantap kearah itu (R. Kintner and H. Sicherman 1975: 91). Disatu pihak hal itu kemungkinan besar disebabkan adanya kekhawatiran akan kehilangan identitas, dan di lain pihak ada pula kecemasan bahwa nilai-nilai perikemanusiaan harus dikorbankan. Maka, ada pemimpin-pemimpin negara-negara yang cenderung untuk mempertahankan identitas tradisionil didalam kerangka modernisasi ekonomis, seperti yang dilakukan oleh Nyerere di Tanzania. Ada pula yang sangat cemas akan pengaruh individualisme Barat sehingga berusaha untuk mengubah manusia menjadi makhluk yang tidak mencari kemajuan dan perkembangan, akan tetapi menempatkannya pada kerangka tugas dan kewajiban sebagaimana halnya yang terjadi di Kuba (A.M.I. Hoogvelt 1976: 150, 151).
Nyatalah dari konstatasi-konstatasi diatas bahwa pembangunan secara materiil-ekonomis belaka tidaklah cukup apabila yang diinginkan dan dicita-citakan adalah suatu taraf kehidupan yang lebih baik, oleh sebab "taraf kehidupan" merupakan pengertian serta paham yang mengandung pelbagai segi dan hakekat. Secara sederhana maka didalam proses pembangunan terlebih dahulu perlu diidentifisir dengan seksama apa yang tidak ada atau belum ada, apa yang rusak atau salah, apa yang macet dan apa yang mundur ataupun telah mengalami kemerosotan. Menurut kerangka pemikiran dan tindakan yang sangat disimplifikasikan, maka hal-hal tersebut memerlukan pengadaan, pembetulan atau perbaikan, penambahan, pelancaran dan peningkatan secara proporsionil. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka pembangunan dapat merupakan proses yang menghambat atau bahkan mungkin menghentikan kelangsungan atau kehidupan unsur-unsur kemasyarakatan tertentu, oleh karena praktek kehidupan suatu masyarakat biasanya rumit dan penuh dengan liku-liku yang sulit diperhitungkan secara pasti dan akurat. Proses tersebut kemudian diikuti oleh kegiatan-kegiatan penyesuaian diri terhadap cara-cara kehidupan yang baru, hal mana tidak jarang merupakan usaha-usaha yang penuh dengan ketegangan, keresahan maupun penderitaan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977
D321
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tapi Omas Ihromi
"ABSTRACT
The main topic in this dissertation is outlined in the Introduction. It concerns the customs or adat pertaining to marriage, which prevail among a group called Sedan Torajas in South Sulawesi, and the inquiry concerning the position of that adat within the context of positive law in contemporary Indonesia.
A description of the Sa?dan Torajas, i.e. a subsection of an ethnic group inhabiting the central part of the island of Celebes (Sulawesi) and which in the literature is referred to am the Torajas, is rendered in Chapter I, Part I.
A question on the relevancy of studying the position of customary law regulating marriage within the context of contemporary positive law in Indonesia could be raised. In our opinion the topic needs to be discussed after the introduction of Law No. 1, 1974 and of the Government regulation Na. 9, 175 (law regulating marriage and the implementation of that law), because the question arises whether customary law or adat law is still to be applied, or whether it is invalidated on account of the new matrimonial law. Some explaination about the state of the legal regulations pertaining to marriage before the new matrimonial law was introduced is perhaps needed at this point in order to get a better picture of the topics discussed in this dissertation.
Legal policy of the Dutch colonial government was such that with regard to civil matters, society was divided in three groupings, i.e. the Europeans, Foreign Orientals and indigenous Indonesians, the first group being subjected to a civil coda modeled after the civil code in the Netherlands. The second group was subject to certain parts of the Dutch civil code, except for the people of Arab origin who were subject to customary law. With regard to the third group the colonial government adopted a non-interference policy to the effect that norms, partly related to religious beliefs -functioning as guide for behavior and referred to in the Literature as adat with legal consequences or more- known as "adat laws - were sanctioned as laws which the judges should apply when cases were brought to court. In other words "adapt law" was part of positive law. Regarding marriage, at_ a later point new legislation wan introduced by the colonial government, specifically for Christian Indonesians. Although strong feelings arose against legal pluralism, the division of the groupings could not be invalidated yet after Indonesia?s independence, since national laws governing the affairs of family law and other civil matters have not been enacted. Thus a plurality of regulations existed -When tire' new matrimonial law was introduced and one of the reasons of the introduction of the law was to bring about unification of matrimonial law. However, when one reads the new matrimonial law, one can see that up to a certain degree the plurality of legal regulations can not be entirely eradicated. It is in such context that the question of the validity of adat law as positive law becomes) relevant.
In order to grasp fully what the position is of the Toraja Adat law within the context of positive law, specifically of regulations on marriage, the writer first presents a description about the customs (adat) around marriage prevailing among the Toraja Sa?dan. The writer is of the opinion that a thorough understanding of the adat on marriage could only be reached when one relates these customs to the cultural background of the group. In view of this, a description of some basic aspects of the culture of the Sa?dan Toraja is offered. In this context the writer would like to stress that culture is used in the sense commonly understood in disciplines dealing with various societies, i.e. a concept which could be succinctly formulated as the way of life of n people, which could be expressed is three kinds of phenomena: (1) in the form of ideas, which arm possessed by the adherents of a specific culture as their ideas and concepts and which function as guidelines for their behavior, (2) in the form of activities, and (3) in the form of cultural objects.
In order to collect information about the culture of the Toraja Sa?dan people, the writer has done fieldwork in their area of origin known as Tana Toraja in South Sulawesi. During fieldwork the writer has concentrated herself on studying those aspects of the culture which could be established as being prevailing concepts of the Toraja people about the proper way of living and which could be regarded as their guidelines for the life of a Torajanese. The writer could only afford to upend four months on fieldwork, which would not be sufficient for the basis of a study reporting at length patterns of behaviour, patterns of activities, which truly reflect the way of life prevailing among the Iia'dan afro people. When one wants to describe such actual patterns, a thorough fieldwork for the duration of at least one year, during which observations are made, is a prerequisite. In view of the limited time allocated for fieldwork, the writer hA elected to illustrate in this dissartat` on the aspect of t4he culture known ae ideas, or underlying concepts, which function as guidelines for behaviour rather than the actual behaviour patterns.
Thus the main sources of information, which enable the writer to describe Toraja culture, are fieldwork, during which depth interviews took place, library research and judicial yerdicte, relevant to the understanding of matters underlying the system and the customs of Toraja marriage. During her stray in Tana Toraja, with the aid of persons who have thorough knowledge of the culture and the people, the writer was able to identify knowledgeable persons there, and various depth interviews were conducted with them.
In the section dealing with the general background of the Sa'dan Toraja people it was brought forward, that there are about 312.436 people residing in the regency of Tana Toraja in South Sulawesi. The majority of them are adherents of the tribal religion referred to by the people as aluk to dolo, and basic institutions, such as marriage can not be understood when it is not related to tribal religion the beginning of this century Sa?dan Toraja people had relatively lived in isolated environment. Except for contacts with ethnic groups contiguous to their area, such as the Baginese, long lasting contacts with the outside world started with the Dutch colonial government, which in 1906 sent an army to this region; Afterwards long lasting contact with Christian missionaries followed suit.
According to traditional belief of the Sa'dan Toraja people, society proper consists of several stratified layers and the concept of this stratified society should also be related to marriage if one wants to understand the system in the right way. In Chapter II stratification according to traditional concepts is elaborated,. Marriage as many other areas in Indonesia can not be separated from kinship system and in Chapter III a description of the kinship system in offered. In the Sa'dan Toraja kinship system a person belongs to the kinship group of his mother's family as well as to the kingroup his father belonge to. Furthermore, there is no obligation on the part of a wife to follow her husband and to live among his relatives. In Chapter IV a description is given about the most important asnocta of aluk to dole, the tribal religion including ceremonial life, I irriage is also closely related to this belief system as it is indicated in that chapter.
Thus the First Part of this dissertation covers information about the cultural background of the Sa'dan Toraja people, specifically the background of customs around marriage. The Second Part, beginning with the 5th, Chapter, covers information about legal matters, which are relevant for understanding positive law and its relationship to customary law.
Chapter V contains information about matrimonial customary law prevailing among Sa'dan Toraja people. As an example of living law among Sa'dan Taraja people an important institution is discussed, namely the kapa'. In most districts belonging to the regency of Tana Toraja kapa' is meant as an agreement pronounced by husband and wife during marriage ceremony, whereby each partner recognizes the obligation to pay a fine when he or she will be found guilty of being the cause of the dissolvement of their marriage. The value of the fine is expressed in a certain number of buffaloes, and the parties decide the number according to their status. For persons from the top layer, i.e. puang (persons believed to have an ancestor descended from heaven), the fine is settled for the value of 24 buffaloes, each with a horn of 30 centimeter length. Usually a kapa' is documented in a contract during the performance of every carriage, and in some village offices one can read a copy of the text of such a kapa? should disharmony arise among husband and wife to the point that they are thinking of a divorce, a decision on determining the guilty will be made by the council of elders (Hadat). The person who is found guilty has to pay the fine. The value in stipulated in the kapa? is used as a guideline by the Hadat. The actual decision may deviate from the fixed value, since and economic condition of the guilty person will be considered as the realistic criteria.
After the description about Sa'dan Toraja customs on marriage, attention is given in Chapter VI to the atrimonial Law (Law No. It 1974), the regulation concerning its implementation and all other matters which in the writer's opinion are relevant for answering the question regarding the applicability of customary lava, specifically Sa'dan Toraja matrimonial customary law. After studying the afore-mentioned law and regulation, it appears that one can draw the conclusion, that for many affairs legal norms known as customary law in the literature, and referred to as living law in the Law to. 14, 1970, are still valid as positive law. Article 66 of Law No. 1, 1974 and the General Explanation of the Lax, specifically point 2 and point 5, are the support for such conclusion. Furthermore, an instruction of the Supreme Court, mainly issued for reiterating points of guidance for the implementation of Law No. 1, 1974 (bearing the official number II.A/Pem/0807/75), strengthens the conclusion the writer has put forward. Accordingly, norms, which for a long time has been referred to as customary law or customs with legal consequences, are still important, and the discipline concerned with studying these rules should be sustained and 4 serves to be developed. Within such context the writer has cited a conceptual framework developed by Leopold Pospisil for studying law cross-culturally, as one example which could be drawn upon in studying customary law or adat law, or which Could function as a proposition for innovative approaches in making research on adat norms and on adat institutions. pospisil has acquired experience in studying legal system among preliterate societies, such as the Kapauku in Irian Jaya, as well as in modern context,
One question which logically would come up is that on the fate of adat law in the process of the renewal of the Law, i.e. the shaping of the National Law. In chapter VII the writer has cited the line of thinking about that question as it has come up in a meeting of 45 scholars in the field of law, who convened at Yogyakarta (1975) for the dissuasion on "Adat Law and the Development of National Law." We have quoted what has been said in that meeting, in order to give a picture of the opinion of lawyers active in various professions, such as those working in the ministry of Justice, in universities, in bodies providing legal aid and those functioning as judges and attorneys The participants rightly suggested, that institutions of adat law should not be neglected in
formulating legislation within the prospective National Law dealing with kinship matters in particular and the family in general; and that a great deal of caution should be considered with regard to the unification of law regulating affairs of "spiritual" matters, to which kinship and marriage in many cases belong.
When we say, that norms known as adat norms are partly still valid as positive law - pertaining to matters not regulated yet in Law Na. 1, 1974 and Its implementation - regulation, and to matters already regulated but not effective yet ,- we do not moan to say that the valid norms are those already identified as adat law) many decades ago. In Law No. 14, 1970 (the law regulating the basic principles of judicial power in Indonesia), it is stipulated in Article 27(9), that, as he functions to secure justice, the judge hue the obligation to ?dig up", to trace and to understand legal values prevalent in society. Furthermore, it is mentioned in the Official Explanation accompanying that law, that the judge is the formulator and the researcher of living legal values prevailing among the people. For that purpose, it is stated, that the judge should go down into society in order to discern, to feel what concepts of ewity and justice exist. Accordingly, the judge will be in the position to extend aid to the people. As an illustration of the role of a judge in bringing about equity and justice, the writer has referred to the example of the development in case law regarding the right of a woman to inheritance in a patrilineal family structure. The Decision of the Supreme Court of November 9, 1961, contains the right of a woman to inheritance from her~ parents in. Karo-Batak society. One should compare this, for example, with the decision of the Judicial Court in Padang of September 9, 1937, denying a woman to have the right to inherit from her parents according to the adat law of Nias, which has a patrilineal structure. In many cases of conflicts about inheritance, solution has been perhaps provided through informal channels. Traditional adat law might still be applied, denying daughters to be considered as rightful heirs, but for those who want to seek justice and who bring their case to court, the afore-mentioned legal precedence is now the prevailing guide for courts. Changes have- thus taken place regarding the recognition of the right of daughters in patrilineal family structures, The change has not been channeled through the introduction of regulations, but through the judicial court.
Another matter, which in the course of time has undergone development through legal practice (and'not through legislation) is that concerning adoption. Couples wishing to adopt a child with the same legal rights as a biological child, can now appeal to courts. Regulation on the salary of civil servants opens the possibility for providing full child allowance to one adopted child, whose status must be confirmed by a Court's decision. (See Government Regulation No. 7, 1977, Artikel 16 (2) and (3), in conjunction with Government Regulation V o. 12, 1967, Article 9 (2) b).
Finally, the writer has presented some thoughts on the potentiality of a law as means for change in the existing pattern of behaviour within the realm of kinship and family. She is of the opinion, that change can be expected to take place only when certain requirements are met and when certain conditions exist, and such a development proceeds in a gradual way. To clarify this point examples are presented of marriage and of family patterns. Patterns of marrying off a daughter at a relatively young age were expected to change after the introduction of the new Matrimonial Law. (See Article 7: the minimal age at first marriage is 19 years for the groom and 16 years for the bride .There was no comparable stipulation valid for all ethnic and religious groups in Indonesia prior to this law.) Another example is the small family pattern, which is expected to replace the large family pattern. It is hoped, that the implementation of the matrimonial law will support the Government in the implementation of its population policy.
The writer is of the opinion that those objectives can only be realized when the following conditions can be wet:
a. Prior to the introduction of the new law, members of the society, or the majority of them, have already accepted values which are in harmony with the value embedded in the new law, and which are being promoted by the new law.
b. When conditions as they are spelled out in point a have not
been established yet , social-economic policy of the government should be directed in such a way so that the introduction of the new law be accompanied by a social economic-cultural policy guiding people towards the acceptance of the values promoted through the new law. In view of these points, the writer would like to state her stands that in its implementation, the new Matrimonial Law should be regarded as an opportunity for guiding people to accept the law. It thus could be utilized as a means of adult education. Through the implementation of that law, people, specifically those who are underprivileged in terms of educational opportunity and in terms of social-economic condition, could be given guidance and means to enable them internalizing the ideal values which are so attractively formulated and reflected in the Law and its Official Explanation. Various institutions, government as well as private, such as women's organizations, could play in important role in this process, and mass media can be used to amplify the valuable common concern of the people."
1978
D1072
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Susanti Herlambang
"Disertasi ini mengetengahkan masalah dinamika kognitif dan pola-pola tingkah Iaku dalam kehidupan ekonomi orang-orang miskin pada tingkat individual berkenaan dengan usaha penanggulangan masalah kemiskinan di indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk memahami faktor-faktor di Iuar faktor ekonomi yang menyebabkan kegagalan orang-orang miskin tersebut dalam menanggapi dan memanfaatkan usaha pemerintah untuk meningkatkan atau memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.
Dari pengamatan terhadap bermacam-macam usaha pemerintah dibantu pihak swasta untuk memperbaiki kehidupan ekonomi atau meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk miskin di indonesia, yang belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, maka timbul pertanyaan, mengapa kelompok orang-orang miskin ini seakan-akan sulit untuk diajak bekerja sama memperbaiki nasibnya sendiri.
Dari tinjauan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai ekspresi kondisi kejiwaan manusia pelakunya, maka salah satu aspek yang menjadi perhatian dalam masalah kemiskinan adalah dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku orang-orang miskin tersebut dalam kehidupan ekonomi. Yang menjadi dasar pertimbangan adalah masalah kemiskinan tidak akan dapat diatasi bila orang-orang miskin tersebut hanya menjadi obyek yang pasif, sehingga malah menciptakan ketergantungan. Kemampuan dan kemauan kelompok masyarakat miskin ini untuk menjawab dan berperan serta dalam program-program penanggulangan kemiskinan perlu dikembangkan.
Banyak yang belum diketahui mengenai keanekaragaman dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku bermacam-macam kelompok masyarakat miskin di Indonesia dalam kehidupan ekonomi, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dinamika terbentuknya.
Hal ini tetap tidak akan diketahui selama penelitian mengenai dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku berbagai kelompok masyarakat miskin dalam kehidupan ekonomi, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dinamika terbentuknya tidak dikembangkan secara sistematik dan spesitik untuk masing-masing daerah dengan masing-masing kondisinya. Sebab hal ini berkaitan erat dengan pola-pola kehidupan dan kegiatan mereka sehari-hari yang merupakan perpaduan pengaruh sekelompok faktor-faktor ekologis, sistem pencarian nafkah, sistem sosial-budaya, sistem individual dan sistem inter-individual.
Studi semacam ini penting untuk dilakukan atau dikembangkan, agar dapat dikemas paket-paket strategi penanggulangan masalah kemiskinan yang sesuai untuk masing-masing daerah, karena seringkali kemampuan kelompok masyarakat ini untuk menjawab tantangan keadaan sangat terbatas serta memerlukan bantuan dengan strategi khusus.
Landasan teoritis yang digunakan dalam Studi ini adalah teori analisis kebudayaan subyektif dari Harry C. Triandis. Melalui teori ini peneliti bermaksud menjelaskan terbentuknya variasi-variasi ekspresi dari dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku dalam kehidupan ekonomi seorang individu dengan pendekatan sistem atau dalam istilah psikologis disebut pendekatan interaksionis. Dengan teori ini, perkembangan dan variasi-variasi dinamika kognitif dan pola-pola tingkah Iaku dalam kehidupan ekonomi sekelompok orang-orang miskin dianalisis dalam konteks iingkungan ekologis, sosial, budaya dan ekonomi yang mengelilingi sistem individual dari para subyek penelitian ini.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku dalam kehidupan ekonomi orang-orang miskin dan memahami peranan faktor-faktor lain di luar faktor ekonomi yang dapat menyebabkan kegagalan orang-orang miskin ini memperoleh manfaat dari usaha-usaha pemerintah maupun masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi mereka.
Studi ini juga diharapkan melengkapi studi mengenai masalah kemiskinan yang umumnya Iebih bersifat ekonom,. karena memperlihatkan dimensi kemanusiaan lainnya dalam kacamata yang obyektif. Pertimbangan sosiai psikologis yang dipandang dari sudut ekonomi, merupakan faktor-faktor yang tidak rasional, tetapi mempunyai pengaruh penting dalam program penanggulangan masalah kemiskinan dan merupakan bantuan bagi ekonom.
Subyek dalam penelitian ini adalah orang-orang miskin Desa Parungsari, Kecamatan Telukjambe, Kabupaten Kerawang, Jawa Barat yang telah dua generasi atau Iebih hidup daiam kemiskinan, pria, kepala keluarga, suku Sunda, beragama Islam dan berusia antara 25 - 55 tahun.
Lingkup dan sifat studi ini adalah studi psikologis dan analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yang seringkati juga disebut sebagai pendekatan humanistik, Karna dalam pendekatan ini, cara hidup, cara pandang atau ungkapan emosi dari subyek penelitian mengenai suatu gejala yang ada dalam kehidupan merka justru yang digunakan sebagai data.
Teknik pengumpulan yang digunakan adalah pengamatan terlibat, pengamatan, wawancara dengan pedoman, Studi kasus dan memanfaatkan data sekunder.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif. Pertama-tama jawaban-jawaban dan bukti-bukti yang diperoleh dari para subyek penelitian dan atau informan Serta hasil pengamatan peneliti diinterpretasikan dan dianalisis dengan mengacu pada konsep-konsep kebudayaan kemiskinan yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, untuk melihat apakah orang-orang miskin di desa Parungsari ini telah mengembangkan kebudayaan kemiskinan. Kemudian analisis tahap kedua dilakukan dengan terlebih dahulu memilah-milah dan mengelompokkan jawaban-jawaban orang-orang miskin tersebut sesuai dengan tema-tema tingkah Iaku dalam kehidupan ekonomi, yakni tingkah Iaku dalam pemupukan modal, tingkah laku dalam peningkatan populasi, tingkah laku dalam pembagian kerja dan tingkah Iaku kewirausahaan.
Kemudian hasil pengelompokkan tersebut dianalisis dalam rangka menemukan dan menjelaskan dimensi-dimensi dinamika kognitif dan pola-pola tingkah laku mereka dalam kehidupan ekonomi pada tingkat individual.
Dari hasil Studi ini disimpulkan bahwa sebagai reaksi dari kemiskinan yang dideritanya selama dua generasi atau lebih, orang-orang miskin Desa Parungsari mengembangkan nilai-nilai, sikap-sikap dan pola tingkah laku yang menjadi ciri-ciri masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan.
Profil dari kebudayaan kemiskinan yang mereka perlihatkan pada tingkat individual adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rasa rendah diri, sikap fatalisme dan tingkat aspirasi yang rendah, ciri-ciri lain dari kebudayaan kemiskinan yang dijumpai pada orang-orang miskin Desa Parungsari adalah perasaan tidak berguna serta kuatnya orientasi pada masa kini. Hal ini selanjutnya mempengaruhi dan membentuk dinamika kognitif mereka, yakni seluruh organisasi psikologis di dalam diri mereka, yang tercermin dalam perhatian, keputusan-keputusan, perasaan-perasaan, penilaian-penilaian, pemecahan masalah dan banyak lagi aspek-aspek lalnnya. Dengan mempengaruhi kognisi dan dinamikanya, maka berarti kebudayaan kemiskinan yang dialami orang-orang miskin Desa Parungsari juga mempengaruhi kebudayaan subyektif mereka, karena kognisi juga meliputi kebudayaan subyektif serta banyak konsep-konsep Iainnya.
Pada tingkat keluarga, masyarakat Desa Parungsari tidak memiiiki sistem kekerabatan atau klan, yang ada hanya nilai-nilai persaudaraan dan kekeluargaan yang berfungsi sebagai perekat diantara saudara sekandung, saudara tiri, sanak saudara serta tetangga, yang dewasa ini sudah mulai berkurang, bentuk-bentuk solidaritas yang hanya diucapkan, tetapi jarang dilakukan dalam bentuk tindakan diantara kerabat, sebab seringkali terjadi perebutan harta warisan dan saling tipu diantara sesama saudara yang disebabkan oleh keterbatasan dan ketergantungan mereka pada harta warisan untuk mencapai suatu keberhasilan di bidang ekonomi.
Kesimpulan Iain yang diperoleh melalui penelitian ini adalah pandangan yang berpendapat, bahwa orang-orang miskin senantiasa hidup dalam kemiskinan, karena mereka adalah orang-orang yang sederhana, masa bodo, males dan tidak dapat dipercaya adalah tidak sepenuhnya benar. Mereka mungkin tidak pandai, tetapi bukan orang-orang yang masa bodo dan tidak mau meningkatkan pengetahuannya.
Sebagai konsekwensi dari kebudayaan kemiskinan yang membelenggunya, maka cara orang-orang Desa Parungsari memecahkan persoalan-persoalan hidupnya pada umumnya Iebih berdasarkan kebiasaan, sehingga tidak merupakan cara bertikir yang segar serta seringkali tidak dapat memberi pemecahan pada persoalan-persoalan yang baru. Hal ini walaupun berguna untuk penyesuaian dirinya dengan lingkungannya (ekologis, sosial, budaya dan psikologis), namun sering merintangi mereka menemukan dan menciptakan suatu cara pemecahan yang baru. Pada orang-orang miskin Desa Parungsari dijumpai, bahwa kebiasaan cenderung menggantikan peranan pengamatan, penyerapan pelajaran dari hal-hal yang baru, pemikiran yang benar dan baru, tanpa susah payah.
Pendapat-pendapat yang mereka kemukakan juga Iebih didorong oleh peniruan (imitasi). Tampaknya sebagian besar dari kesimpulan dan jawaban atas berbagai persoalan yang mereka hadapi dalam bidang-bidang kehidupan ekonomi, mereka hadapi dengan cara imitasi tersebut.
Secara khas, pada orang-orang miskin Desa Parungsari, tingkah laku untuk mengatasi kesulitan ekonomi Iebih ditentukan oleh faktor penentu ekstemal (adanya contoh-contoh dan bantuan dari orang Iain). Umumnya tingkah laku mereka dalam kehidupan ekonomi merupakan reaksi atas suatu keadaan yang memaksa, suatu persoalan atau kebutuhan yang harus diatasi atau dipenuhi melalui perubahan tingkah laku dalam kehidupan ekonomi.
Dalam menghadapi masa depan, pikiran dan pendapat mereka Iebih berpusat pada tujuan yang ingin dicapainya daripada cara-cara untuk mencapai nya.
Walaupun orang-orang miskin ini tidak memiliki perasaan mampu atau dapat mengandalkan diri sendiri, keyakinan diri, rasa percaya diri sendiri, rasa keberhasilan, rasa mampu, rasa patut dihormati serta prestise, namun untunglah mereka belum kehilangan semangat juangnya dan menjadi apatis. Pada generasi yang Iebih tua (>35 tahun) memang mengalami rubrikasi dalam berfikir, yang antara Iain tampak dari sulitnya mereka menyerap hal-hal baru atau memberi bentuk baru, sehingga persoalan baru diletakan dalam pola yang sudah dikenal dan bukan sebagai hal baru. Mereka membutuhkan jawaban yang siap pakai untuk pemecahan masalahnya.
Dalam kasus kemiskinan di Desa Parungsari, faktor manusia (kemampuan kognisi dan pola-pola tingkah laku orang-orang miskin ini dalam kehidupan ekonomi) memegang peranan penting, sehingga mereka tidak mampu mengambil manfaat dari usaha-usaha pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan meialui program Inpres Desa Tertinggal dan pelatihan keterampilan kerja yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja. Mereka juga tidak mampu memetik keuntungan dari perkembangan daerah-daerah industri di sekitar desanya Dari hasil studi ini, maka untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi orang-orang miskin Desa Parungsari disarankan:
(1) Strategi untuk menolong mereka harus merupakan perpaduan antara pendekatan yang bersifat pertanian dan non pertanian, dan dengan memanfaatkan interaksi desa-kota, yakni perkembangan daerah industri yang ada di Kabupaten Kerawang dan Bekasi;
(2) Kehidupan mereka hanya dapat ditingkatkan, bila keterampilan dan pendidikan mereka juga ditingkatkan. Hal ini merupakan syarat yang tidak dapat ditawar bila mereka diharapkan dapat turut memetik manfaat dari perkembangan wilayahnya yang sebagian telah berubah menjadi kawasan industri modern. Hal ini juga untuk membendung masuknya pendatang dari daerah Iain yang Iebih maju, yang ingin memanfaatkan perkembangan industri di Kabupaten Kerawang dan Bekasi, sedangkan para penduduk aslinya terdesak;
(3) Untuk jangka panjang, pendidikan juga memiliki nilai ekonomi yang menentukan bagi warga Desa Parungsari ; Oleh karena itu, dalam konteks Desa Parungsari, kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anak dan remajanya harus diupayakan, sehingga memperluas akses mereka ke Iapangan kerja;
(4) Menggunakan pendekatan atau strategi yang berorientasi pada supply dan demand, sebab orang-orang miskin ini tetap diragukan akan mampu untuk bersaing dengan individu-individu Iain;
(5) Pertama-tama harus diteliti dan didata terlebih dahulu sampai sejauhmana orang-orang miskin Desa Parungsari yang umumnya memperoleh nafkah dari sektor pertanian dan sektor-sektor informal tersebut dapat dialihkan dan diserap dalam kegiatan di luar pertanian serta berapa jumlahnya yang dapat dipekerjakan sebagai tenaga produktif di luar sektor pertanian. Sebab tanah pertanian yang tersedia sudah makin berkurang, sehingga kelompok penganggur dan penganggur terselubung bertambah;
(6) Langkah berikutnya adalah menumbuhkan hasrat dari orang-orang miskin tersebut untuk memperoleh perbaikan di bidang ekonomi atau kemajuan tingkat kesejahteraan hidup dengan mengembangkan ketabahan dan kesediaan untuk menerima segala konsekwensi dari hasrat untuk maju tersebut;
(7) Kemampuan produktif dan kelenturan orang-orang miskin Desa Parungsari untuk menghadapi perubahan ekonomi dan peristiwa-peristiwa sosial yang cepat juga harus dikembangkan pada semua tingkat usia dan pendidikan, dan diantara semua kelompok bila ingin meningkatkan daya saing mereka;
(8) Penanganan yang dilakukan hendaknya terpadu dengan memanfaatkan perkembangan daerah industri yang ada di dekat Desa Parungsari, bersifat multi-level, yakni meliputi penanganan kepala keluarga, istri dan anak-anak mereka serta dengan memanfaatkan multi-media. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat komprehensif dan dalam pelaksanaannya berperan saling melengkapi;
(9) Harus diupayakan secara intensif untuk menyediakan pendidikan dasar secara umum. Sekurang-kurangnya kemampuan membaca dan berhitung adalah suatu pra-kondisi untuk menjadi orang-orang yang produktif dan adaptif, yang dapat mereka gunakan untuk membantu penyesuaian dirinya terhadap perubahan-perubahan di Iuar desanya;
(10) Meningkatkan pendidikan menjadi Iebih penting lagi, terutama untuk memutus belenggu dan mencegah kebudayaan kemiskinan diturunkan ke generasi-generasi berikutnya;
(11) Dalam upaya meningkatkan kehidupan ekonomi mereka ke tingkat yang Iebih baik dari keadaannya sekarang, maka perlu juga dikembangkan sifat mobilitas dari orang-orang miskin ini, baik secara vertikal maupun horisontal."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library