Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anna Maria Dewajanthi
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian:
Penyakit talasemia merupakan kelainan gen tunggal yang diturunkan secara resesif autosom. Terjadi ketidakseimbangan jumlah antara rantai globin α dan rantai globin β, sehingga ada rantai globin yang tidak berpasangan Presipitasi rantai globin yang tidak berpasangan pada membran dapat mengakibatkan otooksidasi membran sehingga dapat menyebabkan membran sel menjadi rigid. Selain protein skeleton membran, stabilitas sel darah merah juga sangat dipengaruhi oleh protein pita 3, suatu protein integral transmembran sel darah merali Protein pita 3 berfungsi pula sebagai protein penukar anion. Kelainan protein pita 3 dapat mempengaruhi fungsinya baik sebagai penukar anion maupun dalam mempertahankan stabilitas membran sel darah merah. Protein pita 3 yang abnormal dijumpai pada ovalositosis. Ovalositosis merupakan penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh hilangnya 9 asam amino protein pita 3 akibat delesi 27 pb, kodon 400-408 pada ekson 11 gen protein pita 3 (AEI). Hilangnya 9 asam amino protein pita 3 pada ovalositosis menyebabkan membran sel darah merah menjadi rigid sehingga menurunkan deformabilitas membran. Adanya rigiditas disertai penurunan kemampuan deformabilitas membran sel darah merah talasemia yang menyerupai membran sel darah merah ovalositosis, menimbulkan pemildran bahwa kerusakan protein membran sel darah merah juga disebabkan oleh adanya kelainan gen penyandi protein pita 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kelainan gen protein pita 3 pada penderita talasemia. DNA genom diperoleh dari darah orang sehat dan pasien talasemia. Kemudian gen yang akan diperiksa diperbanyak dengan teknik PCR dan visualisasinya menggunakan elektroforesis gel agarosa 2%.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil PCR gen protein pita 3 pada orang sehat (normal) berukuran 175 ± 25 pb, sedangkan pada pasien talasemia dijumpai 2 produk PCR yang berukuran 175 ± 25 pb dan 110 ± 15 pb. Adanya produk PCR yang berukuran 110 ± 15 pb menunjukkan adanya kelainan gen protein pita 3 pada pasien talasemia berupa delesi gen sebesar 65 ± 10 pb. Kelainan genetik protein pita 3 pada talasemia tidak sama dengan kelainan genetik pada ovalositosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia F. S.
"Manusia telah beradaptasi dengan kehidupan di tempat tinggi sejak ribuan tahun lalu. Secara alami telah terjadi proses adaptasi fisiologis sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipoksia karena berkurangnya tekanan oksigen di udara. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang aktivitas spesifik katalase pada jaringan jantung tikus percobaan hipoksia hipobarik akut berulang. Sebanyak 25 hewan percobaan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang mendapat perlakuan hipoksia hipobarik (dalam hypobaric chamber), terdiri dari 4 (empat) kelompok yaitu kelompok E (terpapar 1 (satu) kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), kelompok F (terpapar dua kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), kelompok G (terpapar tiga kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), dan terakhir kelompok H (terpapar 4 kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), dan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan. Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata aktivitas spesifik katalase jaringan jantung kelompok kontrol sebesar 0.06762±0.02862 U/mg protein, kelompok E sebesar 0.07480±0.02463 U/mg protein, kelompok F 0.19835±0.04879 U/mg protein, kelompok G 0.08580±0.02600 U/mg protein, dan kelompok H sebesar 0.09533±0.02691 U/mg protein.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas spesifik katalase jantung paling tinggi didapatkan pada kelompok perlakuan dua kali prosedur hypobaric chamber (kelompok F) yang kemudian menurun kembali pada tiga kali prosedur (kelompok G) dan empat kali prosedur (kelompok H). Dari uji statistik diketahui, hanya kelompok yang dua kali terpapar hipoksia hipobarik (kelompok F) yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol.

Human being has adapted well in high altitude since many years ago. There are some physiological process of adaptation as a response to hypoxia in the high altitude. This mechanism is due to the decrease of oxygen pressure in the air in the high altitude. The aim of this study was to investigate the spesific activity of catalase in rat heart tissue induced by acute intermittent hypoxia hypobaric. 25 tested animal were divided into 5 groups. The groups were the experimental groups induced by hipoxia hypobaric in hypobaric chamber and the control group. Those experimental groups then divided into four groups. They were group E (only one time induced by hypoxia hypobaric), group F (two times induced by hypoxia hypobaric), group G (three times induced by hypoxia hypobaric), and group H (four times induced by hypoxia hypobaric). This research found that mean+S.D of specific activity of catalase in rat heart tissue of each groups are 0.06762±0.02862 U/mg protein for control group, 0.07480±0.02463 U/mg protein for group E, 0.19835±0.04879 U/mg protein for group F, 0.08580±0.02600 U/mg protein for group G, and 0.09533±0.02691 U/mg protein for group H.
Those results showed that the specific activity of catalase in rat heart tissue reached its peak in group F and decreased almost toward normal in group G and group H. Statistical test of those results showed that only group F was significantly different in comparison with control group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Viranda Putri Mariska
"Tomat (Lycopersicum esculentum) merupakan salah satu tumbuhan yang mengandung fitonutrien yang merupakan antioksidan, yang berkontribusi dalam menghasilkan efek protektif terhadap penyakit kronik, seperti kanker dan penyakit kardiovaskular. Di antara semua fitonutrien tersebut, polifenol mendapat perhatian khusus, disebabkan aktivitas antioksidannya yang besar dan konsumsinya yang paling banyak dalam diet.
Pada penelitian ini, kandungan fenol total ditentukan dengan metode Folin-Ciocalteau. Homogenat tomat diekstrak dengan metanol 70% sebagai pelarut. Residunya dilarukan dengan metanol 50%. Dibuat pula larutan asam galat sebagai standar pengukuran dengan kadar 0; 0.5; 1.0; 2.5; 5.0 µg/mL. Kemudian, kedua larutan diuji absorbansinya dengan spektrofotometri dengan panjang gelombang 765 nm.
Hasil kandungan fenol total tomat adalah 9,405 mgGAE/100g berat segar. Terdapat perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor pertanian, masa penyimpanan sampel, dan varietas tomat. Tomat juga memiliki kandungan fenol total yang terendah d mengkudu dan jahe dari hasil penelitian lain yang menggunakan alat dan larutan penguji yang sama pada waktu yang bersamaan.

Tomato (Lycopersicum esculentum) is one of the plants containing phytonutrients, which are antioxidants; which contribute in producing protective effect to chronic disease, such as cancer and cardiovascular disease. Among all the phytonutrients, polifenol gets more attention, because it has good activity of antioxidant and it is the most phytonutrient consumed in diet.
In this study, total phenolic content is determined with Folin-Ciocalteau method. Homogenate of tomato is extracted with metanol 70% as a solvent. The residues is dissolved with metanol 50%. We also made gallic acid solution as a measurement standard with the level of 0; 0.5; 1.0; 2.5; 5.0 µg/mL. Furthermore, we test the absorbance of both solution with spectrophotometry with wave length 765 nm.
The results of total phenol content assay is 12,325 mgGAE/100g fresh weight. There is differences between this result with other reseach before which can affected by many factors, such as cultivating, sample storage, and tomato`s varieties. Tomato also has the lowest total phenol content among non and ginger from other research that used the same tools and test solution in the same time."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Martini Handayani
"ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi antibodi anti albumin tikus dengan cara
hiperimunisasi kelinci. Isolasi dilakukan karena antibodi anti albumin tikus
diperlukan untuk penelitian terhadap reaksi silang antara alfa-fetoprotein
(AFP) dan albumin tikus, sedangkan antibodi tersebut belum tersedia di
pasaran. Antibodi anti albumin tikus didapat dengan cara menyuntik dua
ekor kelinci masing-masing dengan 1 mg albumin tikus yang telah dibuat
emulsi dengan ajuvan lengkap Freund pada bagian punggung secara
subkutan. Suntikan ulangan dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu
± 10 hari dengan dosis sama yang telah dibuat emulsi dengan ajuvan tak
lengkap Freund. Pada penelitian ini antibodi dideteksi dengan teknik ELISA
dan Western-blot. Hasil ELISA menunijukkan titer antibodi yang didapat
sangat tinggi, yaitu 3.200.000. Dengan teknik Western-blot dapat dibuktikan
bahwa antibodi anti albumin tikus yang diisolasi bereaksi dengan polipeptida
albumin tikus yang mempunyai berat molekul ± 60.000 Da. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa antibodi anti albumin tikus yang dilsolasi
cukup murni dan spesifik karena antibodi tersebut bereaksi positif dengan
albumin tikus dan bereaksi negatif dengan AFP tikus."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti
"ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi antibodi anti AFP tikus dengan cara hiperimunisasi kelinci. Antigen yang disuntikkan pada kelinci adalah AFP tikus yang diisolasi dengan kolom kromatografi DEAE-selulosa. Serum kelinci hasil imunisasi dimurnikan menggunakan kolom Aminolink. Antibodi anti AFP tikus diperlukan untuk penelitian terhadap reaksi silang antara AFP dan albumin tikus, sedangkan antibodi tersebut belum tersedia di pasaran. Dua ekor kelinci telah disuntik masing-masing dengan 1 mg AFP tikus yang telah dibuat emulsi dengan adjuvan lengkap Freund pada bagian punggung secara subkutan. Suntikan ulangan dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu kurang lebih 10 hari dengan dosis sama yang telah dibuat emulsi dengan adjuvan tak lengkap Freund. Pada penelitian mi antibodi dideteksi dengan teknik ELISA dan Western-blot. Hasil ELISA menunjukkan titer antibodi yang didapat pada kelinci I adalah 16000, sedangkan kelinci 2 adalah 8000. Hasil ELISAjuga menunjukkan serum kelinci yang dimurnikan menggunakan kolom aminolink, relatif lebih murni dibandingkan serum kelinci yang belum mengalami pemurnian. Dengan teknik Western-blot menunjukkan bahwa polipeptida yang bereaksi dengan antibodi anti AFP tikus yang diisolasi adalah sebesar 74.000 Da."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Puspitaningrum
"Ruang lingkup dan cara penelitian : AFP adalah protein onkofetal yang disintesis pada masa fetus dan ekspresinya ditekan pada. individu dewasa sehat. Kadar AFP ini akan meningkat kembali pada penderita keganasan hati. Telah diketahui bahwa ekspresi gen APP diakhir pada tingkat transkripsi, akan tetapi, mekanisme pengaturan dari faktor yang mendukung proses pengaturan sintesis AFP tersebut masih belum pasti. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi (ragmen DNA yang mengandung elemen promotor gen dan gen penyandi AFP. Fragmen DNA ini selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ekspresi gen APP secara in vitro secara efisien. DNA AFP bahan uji yang digunakan adalah bersumber dari sel jaringan hati tikus Rattus navergic's strain Wistar. Tahap penelitian yang harus dikerjakan adalah mengisolasi DNA genam hati tikus dengan atau tanpa menggunakan kit Menelusuri data urutan nukleotida DNA AFP yang akan diisolasi. Merancang sepasang oligonukleotida primer. Mengisolasi fragmen DNA AFP dengan cara PCR dan memurnikannya dengan cara elektroelusi. Selanjutnya memotong fragmen DNA produk PCR tersebut dengan enzim endonuklease restriksi spesifik. Akhirnya membaca urutan nukleotida fragmen tersebut.
Hasil dan Kesimpulan : Diperoleh fragmen DNA AFP produk PCR sepanjang 292pb dengan menggunakan sepasang oligonukleotida primer Twister I (5'CATAAGATAGAAGTGACCCCTGTG3') dan Twister II (5 'GCATCTTA CCTATTCCAAA CTCAT3 ' ). Fragmen DNA tersebut mengandung elemen promotor gen dan gen penyandi AFP dengan urutan nukleatida yang sama dengan urutan nukleotida pada fragmen DNA AFP yang diperoleh dari bank gen. Pemotongan fragmen DNA tersebut dengan menggunakan enzim menghasilkan fragmen DNA sepanjang 110pb yang hanya mengandung gen penyandi AFP. Fragmen DNA ini akan digunakan sebagai kontrol negatif untuk membuktikan pentingnya elemen promotor gen AFP dalam proses pengaturan ekspresi gen AFP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T5739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Rahmawati
"Tanaman mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan salah satu tanaman obat tradisional Polinesia yang penting. Adanya kandungan fenol total ekstrak buah mengkudu memungkinkan penggunaan ekstrak buah mengkudu sebagai pangan fungsional. Penelitian ini bertujuan menentukan kandungan fenol total ekstrak buah mengkudu yang diukur dengan metode kolorimetrik menggunakan larutan Folin-Ciocalteu dan dibandingkan dengan standar asam galat. Tahap pertama homogenat mengkudu diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol 70%. Kemudian residu dilarutkan dengan metanol 50%, Tahap kedua dibuat serangkaian larutan standar asam galat dengan kadar 0; 0.1; 0.5; 1.0; 2.5; 5.0 µg/mL. Dengan metode Folin-Ciocalteu larutan-larutan tersebut diukur absorbansinya pada panjang gelombang 765 nm dengan menggunakan alat spektrofotometer.
Dari hasil analisis didapatkan kadar fenol total mengkudu adalah 35,60 mg ekuivalen asam galat per 100 g berat mengkudu segar. Terdapat perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti varietas buah, penanaman, bagian buah, musim tumbuh, kondisi lingkungan, praktik hortikultura, asal geografi, kondisi penyimpanan pascapanen, dan prosedur pemprosesan.

Noni (Morinda citrifolia) is one of the important Polinesian traditional medicinal plant. The total phenol content of M. citrifolia makes it possible as functional food. This research aimed to determine the total phenol content of M. citrifolia using Folin-Ciocalteu colorimetry method. First, M. citrifolia homogenate was extracted using methanol 70% as a solvent. The residue was dissolved in methanol 50%. The second stage, series of gallic acid solution as a standard of measurement were made, with the concentration of 0; 0.1; 0.5; 1.0; 2.5; 5.0 µg/mL. Furthemore the solutions were analyzed by spectrometer and absorbance measured at 765 nm.
The results of the analysis was obtained the total phenol content of M. citrifolia is 35,60 mg gallic acid equivalent per 100 g fresh weight. There are differences between this result with other reseach before which can be affected by many factors, such as cultivar, fruit part, growing season, environmental conditions, horticultural practices, geographic origin, postharvest storage conditions, and processing procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Widiyanti Kusumaningati
"Jahe (Zingiber officinale Roscoe), merupakan salah satu bahan alam yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka banyak penelitian yang telah membuktikan kemampuan jahe sebagai antioksidan alami. Aktivitas antioksidan suatu bahan alam tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang terkandung di dalamnya. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran kadar fenol total ekstrak jahe dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteau. Tahap pertama homogenat jahe diekstrak dua kali dengan menggunakan pelarut metanol 70%. Kemudian residu dilarutkan dengan metanol 50%, Tahap kedua dibuat serangkaian larutan standar asam galat dengan kadar ; 0.25; 0.5; 1.0; 2.5; 5.0; 7.5. µg/mL Dengan metode Folin-Ciocalteau kedua larutan tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 765 nm dengan menggunakan alat spektrofotometer. Dari hasil analisis didapatkan kadar fenol total jahe adalah 92,98 mg Equivalen Asam Galat per 100 g berat jahe segar. Dari hasil perbandingan dengan penelitian lain yang menganalisis kadar fenol total tomat dan mengkudu, dapat disimpulkan bahwa jahe memiliki kadar total fenol tertinggi.

Ginger (Zingiber officinale Roscoe), one of the important natural sources in the life of Indonesian community. Along with science and technology andvancement, there are many recent studies have shown ginger properties as a natural antioxidant. Antioxidant activity of natural source related to its total phenolic content. In this study, total phenolic content was determined using Folin-Ciocalteau method. First ginger homogenate was extracted 2 times using methanol 70% as a solvent. The residue was dissolved in methanol 50%. The second stage, we made a series of gallic acid solution as a standard of measurement, with the level of; 0.25; 0.5; 1.0; 2.5; 5.0; 7.5. µg/mL Furthemore the two solutions were analyzed by spectrometry and absorbance measured at 765 nm. The results of the analysis was obtained the level of total phenol ginger is 92,98 mg Gallic Acid Equivalent per 100g fresh weight. Compare to the results of another total phenol research, tomato and noni, ginger has a highest result."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ihya Fakhrurizal Amin
"Pendahuluan: Peningkatan karbondioksida pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi tubuh manusia terutama pada sistem imun manusia, yang diketahui dapat menurunkan produksi sel T. Pada penelitian ini menggunakan subjek berupa sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) yang menjadi representatif dari sistem imun manusia. Berbagai respon mungkin akan ditunjukkan jika PBMC dipaparkan karbon dioksida dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal, tetapi pada penelitian ini hanya spesifik melihat pada kadar hidrogen peroksida melalui pengukuran kadar DCFH-DA. Metode: PBMC yang sudah diisolasi dari subjek dipaparkan karbon dioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji. Waktu pemaparan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Pada waktu akhir waktu inkubasi untuk masing-masing kelompok akan dilakukan pengukuran kadar DCFH-DA dengan fluorometri. Hasil yang didapat berupa absorbansi/sel yang akan dianalisis lebih lanjut melalui SPSS versi 24. Hasil: Didapatkan jumlah hidrogen peroksida lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (p<0.05) saat diinkubasi selama 24 jam tetapi tidak signifikan pada waktu inkubasi 48 jam. Perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida antara 24 dan 48 jam menunjukkan penurunan secara signifikan konsentrasi saat diinkubasi 48 jam jika dibanding 24 jam. Kesimpulan: Paparan karbon dioksida selama 24 jam dapat meningkatkan produksi hidrogen peroksida dibandingkan kontrol, namun hal ini tidak terjadi pada PBMC yang dipaparkan karbondioksida selama 48 jam.

Introduction: Increased carbon dioxide in the atmosphere has an impact on climate change. Increased carbon dioxide can affect the human body, especially in the human immune system, which is known to reduce the production of T cells. So as to represent the human immune system, this study uses the subject of Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells. Various responses might be demonstrated if PBMCs were exposed to carbon dioxide concentrations higher than normal, but in this study only specifically looked at hydrogen peroxide levels by measuring DCFH-DA levels. Method: PBMC which had been isolated from the subject were exposed to 5% carbon dioxide as a control and 15% as a test. Exposure time is 24 hours and 48 hours. At the end of the incubation time for each group, measurement of DCFH-DA with fluorometry will be carried out. The results obtained in the form of absorbance / cells will be further analyzed through SPSS version 24 Result : There was a significant increase in the amount of hydrogen peroxide compared to the control (p <0.05) when incubated for 24 hours but not significantly at 48 hours incubation time. Comparison of hydrogen peroxide concentrations between 24 and 48 hours shows a significant decrease in concentration when incubated 48 hours when compared to 24 hours (p<0.05). Conclusion: Exposure to carbon dioxide for 24 hours can increase hydrogen peroxide production compared to control, but there is no significant change in hydrogen peroxide production was observed in 48 hours of carbon dioxide exposure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfian Aby Nurachman
"Latar Belakang : Global warming atau peristiwa meningkatnya suhu rerata bumi disebabkan oleh peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) pada atmosfer bumi. Peningkatan kadar karbondioksida ini berpengaruh terhadap kesehatan melalui berbagai cara. Dalam tubuh kondisi kadar karbondioksida yang tinggi atau hiperkapnea dapat memberikan pengaruh pada tubuh salah satu nya adalah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Dengan menggunakan sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC), kadar ROS terutama superoksida yang diproduksi akibat paparan CO2 tinggi dapat dideteksi dengan menggunakan dihydroethidium (DHE) assay.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemaparan pada kadar CO2 tinggi terhadap perubahan produksi superoksida pada sel PBMC.
Metode : Sel PBMC diinkubasi pada kadar CO2 yang berbeda yaitu kadar tinggi sebesar 15% dan kontrol 5% CO2. Produksi superoksida pada sel tersebut dapat dilihat menggunakan DHE assay dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada fluorometer. Hasil yang didapatkan adalah nilai absorbansi per sel yang menggambarkan kadar superoksida untuk tiap satu sel PBMC.
Hasil : Pemaparan sel PBMC pada kondisi tinggi CO2 (15% CO2) selama 24 jam dan 48 jam secara signifikan meningkatkan produksi superoksida bila dibandingkan dengan kontrol (5% CO2) pada sel PBMC. Namun terdapat penurunan yang signifikan antara paparan tinggi CO2 selama 48 jam bila dibandingkan dengan paparan tinggi CO2 selama 24 jam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa paparan tinggi CO2 dapat meningkatkan laju produksi superoksida pada sel PBMC. Selain itu terdapat penurunan kadar superoksida pada sel PBMC apabila lama paparan CO2 tinggi lebih dari 24 jam.
Kesimpulan : pemaparan kadar CO2 tinggi pada sel PBMC selama 24 jam dan 48 jam akan meningkatkan laju produksi ROS terhadap kontrol. Penurunan kadar superoksida pada inkubasi CO2 tinggi selama 48 jam menunjukan ada nya pengurangan kadar superoksida apabila lama inkubasi lebih dari 24 jam.

Background: Global warming or the increase in the average temperature of the earth is caused by an increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) in the earth's atmosphere. Increased levels of carbon dioxide affect health in various ways. In the body of conditions high carbon dioxide levels or hypercapnea can give effect to the body one of them is an increase in the production of Reactive Oxygen Species (ROS) which can cause oxidative stress. By using Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells, ROS levels, especially superoxide produced due to high CO2 exposure can be detected using dihydroethidium (DHE) assay.
Objective: This study was conducted to see the effect of exposure to high CO2 levels on changes in superoxide production in PBMC cells.
Methods: PBMC cells were incubated at different CO2 levels, namely a high level of 15% and a control of 5% CO2. Superoxide production in these cells can be seen using the DHE assay by looking at changes in absorbance values on the fluorometer. The results obtained are absorbance values per cell that describe the levels of superoxide for each one PBMC cell.
Results: Exposure of PBMC cells under high CO2 conditions (15% CO2) for 24 hours and 48 hours significantly increased superoxide production when compared to controls (5% CO ¬ 2) on PBMC cells. However, there was a significant decrease between 48 hours of high CO2 exposure compared to 24 hours of high CO2 exposure. From this it follows that high exposure to CO2 can increase the rate of superoxide production in PBMC cells. In addition there is a decrease in superoxide levels in PBMC cells if the duration of high CO2 exposure is more than 24 hours.
Conclusion: exposure to high CO2 levels in PBMC cells for 24 hours and 48 hours will increase the rate of superoxide production to control. Decrease in superoxide levels in incubation of high CO2 for 48 hours shows that there is a reduction in superoxide levels if the incubation time is more than 24 hours.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>