Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herlina Rahmah
"Latar Belakang: Prevalensi pasien yang mengalami perburukan kondisi klinis di ruang perawatan sebesar 15 – 20% yang menyebabkan luaran serius yaitu kematian. Kejadian mortalitas pada kelompok pasien tersebut dapat dipengaruhi dari poin skor NEWS yang tinggi.
Tujuan: Mengetahui hubungan NEWS terhadap kejadian mortalitas pada pasien yang diaktivasi pemanggilan TMRC di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Desain kohort retrospektif pada pasien dewasa yang dilakukan aktivasi pemanggilan TMRC di seluruh area rumah sakit kecuali ruang operasi, perawatan intensif, dan departemen emergensi. Sampel terpilih dengan metode total sampling dan analisis menggunakan survival Kaplan-meier dan analisis multivariat Cox extended model.
Hasil : Terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada pasien yang dilakukan pemanggilan TMRC dengan skor NEWS tinggi pada waktu kurang dari 15 hari risiko mortalitas meningkat sebesar aHR 2,86, 95% CI 2,18–3,77, p-value 0,000 pada mereka yang tidak memiliki penyakit hati kronik setelah dikontrol dengan sepsis. Sedangkan, pada pasien dengan skor NEWS tinggi yang memilliki penyakit hati kronik meningkat risiko mortalitasnya menjadi aHR 4,17, 95% CI 1,39–12,44, p-value 0,01 setelah dikontrol dengan sepsis.
Kesimpulan: Skor NEWS tinggi pada waktu kurang dari 15 hari memiliki peningkatan risiko mortalitas sebesar hampir 3 kali lipat pada mereka yang tidak memiliki penyakit hati kronik. Sedangkan, pada pasien yang memilliki penyakit hati kronik meningkat risiko mortalitasnya menjadi 4 kali setelah dikontrol dengan sepsis.

Background: The patients prevalence who experience worsening clinical conditions on the general ward is 15-20%, which causes a serious outcome, namely death. Mortality events in this group of patients who were called rapid response team were influenced by high NEWS score points.
Objective: To determine the association between NEWS and mortality in patients who have called TMRC at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: This study used a retrospective cohort design from patients data who have called TMRC in all hospital areas except the operating room, intensive care, and emergency room. The sample was selected using total sampling, analyzed using Kaplan-meier survival analysis and cox extended model analysis.
Results: Patients who have called TMRC with a high NEWS score in less than 15 days had increased risk of mortality aHR 2,86, 95% CI 2,18–3,77, p-value 0,000 in those who did not have chronic liver disease. Meanwhile, in patients with a high NEWS score who had chronic liver disease the risk of mortality increased to aHR 4,17, 95% CI 1,39–12,44, p-value 0,01 after being controlled with sepsis.
Conclusion: A high NEWS score at less than 15 days had almost 3-fold increased risk of mortality in those without chronic liver disease. Meanwhile, in patients who have chronic liver disease, the risk of mortality increases to 4 times after being controlled with sepsis.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mario Abet Nego
"Pendahuluan: Berbagai studi menyatakan bahwa pencapaian kadar terapeutik vankomisin pada pasien sakit kritis sangat rendah. Hal ini terjadi karena perubahan farmakokinetik pada pasien kritis akibat proses penyakit dan berbagai intervensi medis. Vankomisin mempunyai indeks terapeutik yang sempit, oleh karena itu pencapaian target kadar terapeutik sangat penting dievaluasi. Saat ini, pemberian vankomisin pada pasien sakit kritis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik tahun 2022. Namun, evaluasi pencapaian target kadar terapeutik vankomisin pada pasien kritis belum pernah dilakukan. Evaluasi pencapaian target kadar terapeutik vankomisin ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat pedoman pemberian dosis vankomisin yang lebih adekuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pencapaian kadar terapeutik vankomisin pada pasien sakit kritis. Metode: Penelitian ini merupakan studi pendahuluan dengan desain potong lintang. Rekrutmen subjek penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling. Subjek penelitian adalah pasien sakit kritis yang menggunakan vankomisin. Pemeriksaan kadar vankomisin dilakukan dengan metode ELISA pada sampel darah subjek yang diambil saat trough concentration. Data-data klinis dan laboratorium lain didapatkan dari rekam medis subjek. Hasil: Jumlah subjek penelitian ini adalah 20 orang. Target kadar terapeutik vankomisin tercapai pada 45% subyek penelitian. Median kadar vankomisin pada penelitian ini adalah 17,43 mg/L (3,07 – 25,11 mg/L). Kadar terapeutik vankomisin lebih banyak tercapai pada subyek yang tidak mengalami overload cairan (61,5%) dan yang mendapat vankomisin dengan cara infus yang diperpanjang (64,3%). Pada penelitian didapatkan 3 (15,8%) subyek mengalami cidera ginjal akut setelah penggunaan vankomisin, dengan kadar vankomisin 17,37 mg/L, 11,16 mg/L, dan 13,64 mg/L. Kesimpulan: Capaian target kadar terapeutik vankomisin terjadi hanya pada sebagian pasien sakit kritis. Keadaan subyek yang tidak overload cairan dan pemberian infus vankomisin yang diperpanjang menjadi faktor yang mungkin mempengaruhi tercapainya target kadar terapeutik vankomisin. Kata kunci: trough concentration, vankomisin, pasien sakit kritis, farmakokinetik, kadar terapeutik

Introduction: Various studies have stated that the achievement of vancomycin therapeutic levels in critically ill patients is very low. This condition occurs because of pharmacokinetic changes in critically ill patients due to the disease process and various medical interventions. Vancomycin has a narrow therapeutic index, therefore it is important to evaluate the drug concentration. Currently, the administration of vancomycin in critically ill patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia is based on local antibiotic guidelines 2022. However, an evaluation of vancomycin concentration in critically ill patients has never been carried out. Evaluation of vancomycin concentration can be considered as a basis for making adequate vancomycin dosing guidelines. Aim of this study was to describe the vancomycin concentration in critically ill patients. Methods: This research is a preliminary study with a cross-sectional design. Subjects recruitment was done by consecutive sampling method. Subjects were critically ill patients who taking vancomycin. Examination of vancomycin concentration was conducted using ELISA method on subjects' blood samples taken during trough concentration. Other clinical and laboratory data were obtained from the subject's medical record. Result: Sample size of this study was 20 subjects. The target therapeutic level of vancomycin was achieved in 45% of the study subjects. The median of vancomycin concentration on this study was 17.43 mg/L (3.07 – 25.11 mg/L). Therapeutic levels of vancomycin were achieved more in subjects who did not experience fluid overload (61.5%) and received vancomycin by extended infusion method (64.3%). There were 3 subjects (15.8%) experienced acute kidney injury after using vancomycin, with vancomycin concentration of 17.37 mg/L, 11.16 mg/L, and 13.64 mg/L. Conclusion: Achievement of target therapeutic levels of vancomycin occurs in only a minority of critically ill patients. The condition of the subjects who are not fluid overload and the prolonged administration of vancomycin infusion are factors that may affect the achievement of the target therapeutic level of vancomycin. Keywords: trough concentration, vancomycin, critically ill patients, pharmacokinetics, therapeutic concentration"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Andreas Chandra
"Latar Belakang: COVID-19 menyebabkan penyakit kritis dan kematian dengan manifestasi utama sindrom pernafasan akut. Prediktor kematian pada kasus COVID-19, seperti IL-6 berperan dalam mengatur respon imun dan inflamasi. Pada kasus berat, peningkatan IL-6 dapat menyebabkan sepsis dan kegagalan multi-organ. CRP juga berkontribusi signifikan terhadap peradangan. Keparahan derajat COVID-19 dipengaruhi oleh komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe II, dan hipertensi. Tocilizumab, penghambat reseptor IL-6 merupakan terapi baru untuk pasien COVID-19 berat dan kritis. Penelitian ini menilai mortalitas pasien COVID-19 berat yang diberikan dan tidak diberikan terapi tocilizumab setelah dikontrol oleh variabel perancu. Tujuan: Menganalisis pengaruh terapi tocilizumab terhadap kematian pada pasien COVID-19 berat. Metode: Desain penelitian kohort retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien COVID-19 di ICU RSCM selama dua tahun. Data dianalisis menggunakan SPSS. Hasil: Total 80 subjek, 52 pasien meninggal dan 28 pasien hidup. Mayoritas pasien memiliki CRP tinggi, IL-6 meningkat, serta tidak memiliki komorbid hipertensi, diabetes mellitus tipe II, dan penyakit kardiovaskular. Analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian terapi tocilizumab dan kematian, serta tidak terdapat perancu dalam penelitian ini. Kesimpulan: Pemberian terapi tocilizumab tidak memperbaiki kejadian mortalitas pada pasien COVID-19 berat.

Background: COVID-19 causes critical illness and death with the main manifestation of acute respiratory syndrome. Predictors of death in COVID-19 cases, such as IL-6, play a role in regulating the immune response and inflammation. In severe cases, increased IL-6 can cause sepsis and multi-organ failure. CRP also contributes significantly to inflammation. The severity of COVID-19 is influenced by comorbidities such as cardiovascular disease, type II diabetes mellitus, and hypertension. Tocilizumab, an IL-6 receptor inhibitor, is a new therapy for severe and critical COVID-19 patients. This study assessed the mortality of severe COVID-19 patients who were and were not given tocilizumab therapy after controlling for confounding variables. Objective: To analyze the effect of tocilizumab therapy on mortality in severe COVID-19 patients. Methods: Retrospective cohort study design, using medical record data of COVID-19 patients in the ICU RSCM for two years. Data were analyzed using SPSS. Results: A total of 80 subjects, 52 patients died and 28 patients survived. The majority of patients had high CRP, increased IL-6, and did not have comorbid hypertension, type II diabetes mellitus, and cardiovascular disease. Statistical analysis showed no significant association between tocilizumab therapy and mortality, and there were no confounders in this study. Conclusion: Administration of tocilizumab therapy does not reducing mortality rates in severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Ayu Suria Mariati
"Latar Belakang: Pembedahan dikatakan sebagai penyebab 40% kasus AKI di rumah sakit. Penelitian difokuskan pada pengaruh ekstravasasi cairan ke interstitial yang disebabkan karena kebocoran kapiler. Kebocoran kapiler juga mengakibatkan terjadinya mikroalbuminuria. Peningkatan CVP atau tekanan intraabdominal (IAP) akan menghasilkan penurunan filtrasi ginjal sesuai dengan derajat transmisi tekanan ke glomeruli. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara indeks kebocoran kapiler (CLI), mikroalbuminuria (ACR) dan efektif renal perfusion pressure (eRPP) sebagai prediktor AKI pada pasien pasca bedah abdomen mayor.
Pasien dan metode: Penelitian merupakan studi kohort prospektif observasional pasien usia 18-65 tahun yang menjalani operasi bedah abdomen mayor sejak tanggal 29 Agustus sampai 21 Desember 2021 di RSUD Provinsi NTB dan mendapatkan total 76 subjek penelitian, dengan 2 pasien drop out. CLI, ACR, dan eRPP diukur pra-operasi, 12 jam dan 36 jam pasca bedah dengan kejadian AKI diamati hingga hari keempat pasca bedah. Uji statistik menggunakan uji chi square dilanjutkan cox- regresi.
Hasil: Data observasi CLI pada jam ke-0 diperoleh RR 1,29 pada titik potong ROC CLI >50. Data observasi ACR pada jam ke-0 dan jam ke-12 masing-masing memperoleh RR 1,261 (p=0,104; 95% CI 1,003-1,586) dan RR 1,211 (p=0,10; 95% CI 1,017-1,444). Data eRPP pada setiap jam pengukuran pada analisis bivariate tidak bermakna secara statistik namun pada analisis multivariate menggunakan cox regresi untuk mengetahui hubungan CLI, ACR, dan eRPP terhadap kejadian AKI setelah di-adjusted variabel perancu pada jam ke-0 diperoleh nilai RR dari variabel eRPP sebesar 9,125 dengan p= 0,037; CI 95% = 1,141293 - 72,95725. Subyek dengan AKI mengalami mortalitas sebesar 31,58% dan berisiko 2,384 kali untuk mengalami kematian (p = 0,0351, CI 95% = 1,133-5,018).
Kesimpulan: Subjek dengan nilai eRPP <40 berisiko 9,125 kali untuk mengalami AKI. Subyek yang mengalami AKI berisiko 2,384 kali untuk mengalami kematian.

Background: Surgery caused of 40% of AKI cases in hospital which often occurs in the early days up to 4 days after surgery. The pathophysiology of postoperative AKI is multifactorial, the study focused on the effect of extravasation of fluid into the interstitium caused by capillary leakage. Capillary leakage also results in microalbuminuria. An increase in CVP or intra-abdominal pressure (IAP) will result decrease in renal filtration according to the degree of pressure transmission to the glomeruli. This study was intended to examine the relationship between capillary leakage index (CLI), microalbuminuria (ACR) and effective renal perfusion pressure (eRPP) as predictors of AKI in patients after major abdominal surgery.
Patients and method: This is an observational analytic study with a prospective longitudinal cohort design with consecutive sampling of patients aged 18-65 years who underwent major abdominal surgery from August 29, 2021 to December 21, 2021. The study included a total of 76 subjects, with 2 patients dropped out. The variables were CLI, ACR, and eRPP were measured preoperatively, 12 hours postoperatively, and 36 hours postoperatively and the incidence of AKI was observed until the fourth postoperative day. Statistical test using chi square test then followed by logistic regression to assess multivariately if it meets the requirements.
Results: CLI observation data at hour 0 obtained RR 1.29 at the point of intersection ROC CLI >50. ACR observation data at hour 0 and hour 12 each obtained RR 1.261 (p=0.104; 95% CI 1.003-1.586) and RR 1.211 (p=0.10; 95% CI 1.017-1.444). The eRPP data at each hour of measurement in bivariate analysis was not statistically significant, but in multivariate analysis using cox regression to determined relationship between CLI, ACR, and eRPP on the incidence of AKI after adjusting confounding variables at 0th hour the RR value of the eRPP was 9.125 with p = 0.037; 95% CI = 1,141293 - 72,95725. Subject with AKI experience a mortality of 31,58% and 2.384 times risk of mortality (p = 0,0351, CI 95% = 1,133-5,018).
Conclusion: Subjects with eRPP value <40 have 9,125 times experiencing AKI. Subjects who experienced AKI had a 2,384 times risk of mortality.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
"Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM.
Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian.
Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3).
Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat.

Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence.
Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration.
Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3).
Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Agus Waluyo Jati
"Latar Belakang: Anemia atau kadar hemoglobin yang menurun dari nilai normalnya merupakan permasalahan yang biasa terjadi pada pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU) dan 61% pasien anemia membutuhkan ventilasi mekanik. Anemia dapat mengganggu kemampuan ventilasi selama proses penyapihan dan ekstubasi. Namun pengaruh dari kadar hemoglobin yang menurun ini masih belum jelas dan diperdebatkan oleh karena itu telaah sistematis ini dibuat untuk mengambil kesimpulan apakah kadar hemoglobin berpengaruh terhadap proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik berdasarkan penelitian-penelitian yang tersedia.
Tujuan: Mengetahui efek kadar hemoglobin terhadap proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, EMBASE, Scopus dan Cochrane database dengan pembatasan waktu 2013 sampai dengan 2022. Protokol studi ini telah di registrasi di PROSPERO (CRD42022336646) pada tanggal 7 Agustus 2022.
Hasil: Total 7 penelitian dengan 2.054 pasien dengan ventilasi mekanik memenuhi kriteria untuk penelitian ini dan dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Setelah pemeriksaan database menyeluruh, dilaposkan satu studi tidak menemukan korelasi antara hemoglobin dan keberhasilan proses penyapihan dan ekstubasi. Enam penelitian menyatakan bahwa kadar hemoglobin berhubungan dengan keberhasilan proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kadar hemoglobin mempengaruhi proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkonfirmasi hasil tinjauan sistematis ini.
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan kadar hemoglobin mempengaruhi proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik. Namun dibutuhkan penelitian yang lebih banyak untuk mengkonfirmasi hasil telaah sistematis ini.

Background: Anemia or hemoglobin levels that decrease from average values ​​is a common problem in critical Intensive Care Unit (ICU) patients, and 61% of anemic patients require mechanical ventilation. Anemia can impair ventilation ability during weaning and extubation. However, the effect of decreased hemoglobin levels is still unclear and debated; therefore, this systematic review was made to conclude whether hemoglobin levels affect weaning and extubation processes in critically ill patients with mechanical ventilation based on available studies.
Objective: To determine the effect of hemoglobin levels on the process of weaning and extubation in critically ill patients with mechanical ventilation.
Methods: Using specific keywords, a comprehensive search of potential articles was carried out on PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane databases with a time limit of 2013 to 2022. This study protocol was registered at PROSPERO (CRD42022336646) ) on August 7th, 2022.
Result: A total of 7 studies with 2,054 patients with mechanical ventilation met the criteria for this study and were included in a systematic review after a thorough database check. One study found no correlation between hemoglobin and the successful weaning and extubation process. Six studies stated that hemoglobin levels were associated with the success of the weaning and extubation process in critically ill patients with mechanical ventilation.
Conclusion: This study concludes that hemoglobin levels influence the weaning and extubation processes in critically ill patients with mechanical ventilation. However, more research is needed to confirm the results of this systematic review.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryadi
"Tujuan: Melakukan telaah sistematis untuk membandingkan terapi hidrokortison dan hidrokortison, asam askorbat, dan tiamin (HAT) sebagai ajuvan pada tingkat mortalitas pasien syok septik. Metode: Pencarian komprehensif dilakukan menggunakan empat pangkalan data (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) menggunakan kata kunci spesifik hingga tanggal 18 Mei 2022. Semua studi yang dipublikasikan mengenai penggunaan terapi HAT pada pasien syok septik dikumpulkan dan ditelaah. Hasil: Dua studi uji acak terkendali, satu studi kontrol kasus, dan satu studi kohort yang melibatkan 635 pasien. Terapi HAT ditemukan tidak signifikan dalam menurunkan angka kematian di ICU (RR 0.89 95% CI [0.60 sampai 1.32], p=0.56), angka kematian di rumah sakit (RR 1.2 95% CI [0 ,90 sampai 1.59], p= 0,21), dan mortalitas 28 hari (RR 0,95, 95% CI [0,56 hingga 1,58], p=0,83) Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam mortalitas pada kelompok yang menggunakan HAT bila dibandingkan dengan terapi hidrokortison. Registrasi: ID pendaftaran PROSPERO untuk penelitian ini adalah CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055).

Objective: We systematically reviewed the comparison between hydrocortisone and hydrocortisone-ascorbic acid-thiamine combined therapy (HAT) as adjuvant in the mortality rate of septic shock patients. Method: Four databases (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) are comprehensively searched using specific keywords up to 18th May 2022. All published studies on the use of HAT on septic shock patients were collected and reviewed Results: Two randomized controlled trials, one case control study and one cohort study enrolling 635 patients were included. HAT therapy was found to be not significant in reducing the ICU mortality rate (RR 0,89 95% CI [0,60 to 1,32], p=0,56), hospital mortality rate (RR 1.2 95% CI [0,90 to 1,59], p=0,21), and 28 days mortality (RR 0,95, 95% CI [0,56 to 1,58], p=0,83). Conclusion: No significant difference in mortality was found in the HAT group when compared with hydrocortisone therapy. Trial registration: PROSPERO registration ID for this study is CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noorcahya Amalia
"Pendahuluan : Pembedahan laparoskopik abdomen memerlukan anestesia yang dalam dan relaksasi otot yang maksimal untuk memperbaiki lapang pandang pembedahan dan menurunkan angka komplikasi pascabedah. Pemberian dosis tinggi rokuronium dan sevofluran terkadang tidak terhindarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian magnesium sulfat sebagai adjuvan akan menurunkan konsumsi sevofluran dan rokuronium pada bedah laparoskopik abdomen.
Metode : Penelitian ini merupakan studi acak tersamar ganda yang mengikutsertakan 42 pasien yang menjalani laparoskopik bedah abdomen. Sampel dilakukan pengkelompokan dengan metode acak tersamar ganda, rasio 1:1, kedalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat 10% (A) sebanyak 25 mg/kgbb bolus dalam 30 menit dilanjutkan dengan 10 mg/kgbb/jam selama intrabedah. Kelompok kedua adalah kelompok plasebo (B) yang diberikan volume yang sama NaCl 0,9%. Sevofluran diberikan selama tindakan anestesi untuk mempertahankan nilai BIS 40-60. Rokuronium tambahan diberikan jika nilai TOF Count ≥1. Kedua kelompok kemudian akan dinilai konsumsi sevofluran dan rokuronium selama tindakan sebagai tujuan utama dan dilakukan penilaian rerata tekanan arteri, nadi dan waktu ekstubasi sebagai tujuan tambahan. 
Hasil : Konsumsi sevofluran secara signifikan lebih rendah pada kelompok magnesium (A) dibandingan dengan kelompok plasebo (B) [9.57(±2,79) VS 12.35 (±4,95) ml/jam] dengan p value  = 0.031. Konsumsi rokuronium juga secara signifikan lebih rendah pada kelompok magnesium (A) dibandingkan kelompok plasebo (B). [0.36(±0.09) VS 0,47(±0,16) mg/kgbb/jam] dengan p value 0.01. Terdapat perbedaan signifikan tekanan rerata arteri pasca-insuflasi, tetapi tidak ada perbedaan signifikan nadi maupun waktu ekstubasi. Kesimpulan : Pemberian magnesium sulfat sebagai adjuvan anestesi umum dapat menurunkan konsumsi sevofluran dan rokuronium pada bedah laparoskopik abdomen.

Background: Deep anesthesia and neuromuscular relaxation are needed in laparoscopic abdominal surgery to reduce possibility of postoperative complication and improve surgeon satisfaction. High dose of rocuronium and sevoflurane might be needed. This study aimed to investigate administration magnesium sulfate as adjuvant would reduce rocuronium and sevoflurane consumption in patient who went laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This study was a double blind randomized controlled trial involving 42 patient who underwent abdominal laparoscopic surgery. Subject were blindly randomized into two groups at a 1:1 ratio. First group received magnesium sulfat as A groups (loading dose 25 mg.kg-1 over 30 minutes and followed by 10 mg.kg-1.hr-1) during surgery and second group was B group was administered the same volume of NaCl 0.9%. Sevoflurane was administered to maintain anesthesia depth within BIS range 40-60. Supplementary of rocuronium intraoperative was given if TOF Count reached ≥ 1. All group was assessed for sevoflurane and rocuronium consumption as primary outcome. Both groups mean arterial pressure, heart rate and time of extubation also assessed as secondary outcome.
Result: Consumption of sevoflurane significantly lower in magnesium group [9.57(±2,79) VS 12.35 (±4,95) ml.hr-1] with p value  = 0.031. Consumption of rocuronium is also significantly lower in A groups than in B groups [0.36(±0.09) VS 0,47(±0,16) mg.kg-1.hr-1] with p value = 0.01. There is significant mean arterial pressure differences during post-insuflation. Meanwhile there is no difference on heart rate  and time of extubation between two groups
Conclusion: Administration of magnesium sulfat as adjuvant in general anesthesia reduce sevoflurane and rocuronium consumption during laparoscopic abdominal surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lillah Fitri
"Latar Belakang: Penatalaksanaan klinis pada pasien COVID-19 mencakup tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi serta perawatan suportif termasuk oksigen tambahan dan dukungan ventilasi mekanis. Pemberian terapi antivirus diharapkan dapat mengurangi tingkat keparahan dan mortalitas. Di antara terapi antivirus yang diberikan, favipiravir dan remdesivir merupakan terapi antivirus untuk pasien dewasa dengan COVID-19 derajat berat atau kritis yang direkomendasikan pemberiannya menurut Protokol Tata Laksana COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan tingkat kesembuhan pasien COVID-19 yang diterapi dengan remdesivir dan favipiravir ditinjau dari CRP, viral clearance, dan NLR.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif. Kelompok yang mendapat paparan terapi antivirus favipiravir dan kelompok yang mendapat paparan terapi antivirus remdesivir diikuti sampai terjadinya outcome. Data yang akan digunakan adalah data sekunder dari rekam medis pasien COVID-19 yang dirawat di ruang Intensif Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU) RSUD Tarakan dengan pemeriksaan RT-PCR positif berusia minimal 18 tahun yang mendapat terapi antivirus remdesivir dan favipiravir pada bulan April 2020-September 2021. Uji statistik menggunakan chi square yang dilanjutkan dengan uji regresi logistik untuk menilai secara multivariat jika memenuhi persyaratan.
Hasil: Pada penelitian ini didapat hubungan bermakna antara antivirus yang digunakan pasien COVID-19 dengan tingkat kesembuhan (OR 0, 384; CI 95% = 0,234-0,606 ). Tingkat kesembuhan lebih baik berdasarkan CRP adalah 35,5% pada remdesivir dan 51,4% pada favipiravir (OR 0,690; CI 95% = 0,525-0,907), berdasarkan RNL adalah 14,2% pada remdesivir dan 41,1% pada favipiravir (OR 0,345; CI 95% = 0,220-0,541) dan berdasarkan viral clearence adalah 20 hari pada remdesivir dan 21 hari pada favipiravir untuk virus tidak lagi terdeteksi (OR 1,79; CI 95% = 0,804-1,730).
Kesimpulan : Tingkat kesembuhan lebih baik sebesar 14,2% pada kelompok remdesivir dibandingkan kelompok favipiravir yang sembuh lebih baik sebesar 37%. Remdesivir memberikan tingkat kesembuhan sebesar 0,384 kali lebih baik dari favipiravir.

Background: Clinical management of COVID-19 patients includes infection prevention and control measures as well as supportive care including supplemental oxygen and mechanical ventilation support. Giving antiviral therapy is expected to reduce the severity and mortality. Among the antiviral therapies given, favipiravir and remdesivir are antiviral therapies for adult patients with severe or critically ill COVID-19 that are recommended according to the COVID-19 Management Protocol. This study aims to compare the cure rates of COVID-19 patients treated with remdesivir and favipiravir in terms of CRP, viral clearance, and NLR.
Methods: This study is an observational study with a retrospective cohort design. The group exposed to antiviral therapy with favipiravir and the group exposed to antiviral therapy remdesivir were followed until the outcome. The data to be used is secondary data from medical records of COVID-19 patients treated in the intensive care unit (ICU) and High Care Unit (HCU) of Tarakan Hospital with positive RT-PCR examination aged at least 18 years who received antiviral therapy remdesivir and favipiravir in April 2020-September 2021. Admission criteria included patients aged at least 18 years who had confirmed COVID-19 with positive RT-PCR who were receiving remdesivir or favipiravir therapy. Exclusion criterias were pregnancy and breastfeeding. Statistical test using chi square followed by logistic regression test to assess multivariately if it meets the requirements.
Result: In this study, there was a significant relationship between the antiviral used by COVID-19 patients and the recovery rate (OR 0,384; 95% CI = 0,234-0,606), The better recovery rate based on CRP was 35.5% for remdesivir and 51.4% for favipiravir (OR 0.690; 95% CI = 0.525-0.907), based on RNL was 14.2% for remdesivir and 41.1% for favipiravir ( OR 0.345; 95% CI = 0.220 – 0.541) and based on viral clearance, it took 20 days on remdesivir and 21 days on favipiravir for virus no longer detectable
Conclusion: There was a significant relationship of the recovery rate in the two antiviral groups. The recovery rate for COVID-19 was better by 14.2% in the remdesivir group compared to the favipiravir group which recovered better by 37%. Remdesivir provides a recovery rate of 0,384 times better than favipiravir.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>