Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eva Riani
Abstrak :
Latar belakang: Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit akibat peradangan kronik folikel pilosebasea yang sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Pada pasien perempuan didapatkan prevalensi AV yang lebih tinggi dan dampak psikososial yang lebih berat. Beberapa studi meneliti terdapat hubungan antara peningkatan kadar homosistein dengan derajat keparahan AV, namun peran homosistein dalam patogenesis AV masih belum jelas. Kadar homosistein ditentukan oleh multifaktor sehingga temuan di Indonesia dapat berbeda dibandingkan penelitian terdahulu. Secara fisiologis, kadar homosistein pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Tujuan: Mendapatkan data kadar homosistein plasma pada pasien perempuan dengan AV ringan (AVR), AV sedang (AVS), dan AV berat (AVB) serta mengetahui korelasi kadar homosistein plasma dengan berbagai derajat keparahan AV. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 46 subjek penelitian (SP), direkrut secara consecutive sampling, yang terdiagnosis AV berdasarkan kriteria Lehmann pada bulan April-Juni 2019. Setiap SP akan diambil darahnya untuk dilakukan pemeriksaan kadar homosistein plasma dengan metode chemiluminescent microparticle immuno assay (CMIA). Hasil: Pada pasien perempuan dengan AV didapatkan rerata kadar homosistein plasma kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, dan 6,95 (1,14) μmol/L. Terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein plasma dengan derajat keparahan AV (r=-0,0964, p=0,524). Kesimpulan: Kadar homosistein plasma ditemukan lebih rendah pada kelompok AVS dan AVB. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin rendah kadar homosistein plasma, maka semakin berat derajat keparahan AV. ......Background: Acne vulgaris (AV) is a skin disorder caused by chronic inflammation of pilosebaceus that is primarily found in adolescents and young adults. In female patient, there is a higher prevalence of AV and more severe psychosocial impact. Several studies have investigated association between the levels of serum homocysteine and severity of AV, but the role of homocysteine in AV is not clearly understood. Homocysteine levels are thought to be affected by varying factors, so it is assumed that homocysteine levels in Indonesian people will yield a different results. Physiologically, female has a lower homocysteine levels. Objective: This study aims to know the levels of homocysteine plasma in female patients suffering from mild, moderate, and severe AV, also its correlation with the degree of AV severity. Methods: This cross-sectional study included 46 subjects, recruited by consecutive sampling, who have been diagnosed with AV based on Lehmann criteria on April-June 2019. Blood sample will be taken from each subject to measure homocycsteine plasma levels by using chemiluminescent microparticle immuno assay method (CMIA). Results: In female patients, the mean plasma homocycteine levels of mild, moderate, and severe groups were respectively 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, and 6,95 (1,14) μmol/L. There was no significant corelation between plasma homocysteine levels and the degree of acne severity (r=-0,0964, p=0,524). Conclusion: Levels of plasma homocysteine was found lower on moderate and severe AV groups. The lower the levels of plasma homocysteine, the more severe the the degree of acne severity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Azizah
Abstrak :
Servisitis klamidia masih menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan di Indonesia karena sulitnya diagnosis pasti klamidia. Pemeriksaan penunjang yang mudah dan murah dilakukan yaitu pewarnaan Gram namun memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan baku emas adalah polymerase chain reaction (PCR) namun membutuhkan biaya mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap. Dibutuhkan sebuah tes cepat untuk mendiagnosis klamidiosis dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari pewarnaan Gram. Penelitian ini bertujuan menentukan nilai diagnostik dari QuickStripe™ Chlamydia rapid test (CRT) dalam mendiagnosis servisitis klamidia pada perempuan risiko tinggi di Jakarta. Studi potong lintang ini melibatkan perempuan risiko tinggi, baik simtomatik maupun asimtomatik, yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial Eks Watunas Mulya Jaya selama bulan Juni hingga Juli 2020. Apusan endoserviks diambil dari tiap subjek dengan urutan acak untuk pemeriksaan QuickStripe™ CRT, pewarnaan Gram, dan real time PCR. Sebanyak 41 subjek berpartisipasi dalam penelitian ini. Sensitivitas dan spesifisitas QuickStripe™ CRT pada penelitian ini adalah 73,6% (IK 95%: 48,80% sampai 90,85%) dan 81,82% (IK 95%: 59,72% sampai 94,81%), dengan nilai duga positif dan negatif sebesar 77,78% (IK 95%: 58,09% sampai 89,84%) dan 78,05% (IK 95%: 62,39% sampai 89,44%). Proporsi servisitis klamidia berdasarkan real-time PCR pada penelitian ini adalah 46,3%. Sebuah studi menyatakan bahwa penggunaan rapid test dengan sensitivitas suboptimal pada populasi risiko tinggi dapat meningkatkan angka pengobatan dibandingkan penggunaan baku emas yang membutuhkan kunjungan ulang agar pasien mendapatkan pengobatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa QuickStripe™ CRT dapat menjadi alternatif dalam mendiagnosis servisitis klamidia pada perempuan risiko tinggi di Jakarta. .....Chlamydial cervicitis is one of health problems in Indonesia due to difficulty of definitive diagnosis for Chlamydia trachomatis. Gram staining is quick and affordable and usually done to make presumptive diagnosis despite its low sensitivity and specificity. Polymerase chain reaction (PCR) is considered gold standard but costly, technically demanding and difficult to be performed in low-resource settings. Thus, a rapid test with higher sensitivity and specificity is needed to aid chlamydial cervicitis. This study aims to determine the diagnostic value of QuickStripe™ Chlamydia rapid tests (CRT) in diagnosing chlamydial cervicitis among high-risk women in Jakarta. This cross-sectional study included symptomatic and asymptomatic high risk women in Balai Rehabilitasi Sosial Eks Watunas Mulya Jaya during June to July 2020. Endocervical swabs from each participant were taken for QuickStripe™ CRT, Gram staining, and real time PCR. A total of 41 participants were enrolled. The sensitivity and specificity for QuickStripe™ CRT were 73.6% (95% CI: 48,80% to 90.85%) and 81.82% (95% CI: 59.72% to 94.81%). Positive and negative predictive value were 77.78% (95% CI: 58.09% to 89.84%) and 78.05% (95% CI: 62.39% to 89.44%). Chlamydial cervicitis proportion based on real-time PCR was 46.3% in this study. A modelling study stated that a rapid test with suboptimal sensitivity in a high risk setting can improve rates of treatment compared to a gold standard test that requires return visits for patients to receive results and treatment. We concluded that QuickStripe™ CRT may become alternative diagnostic test among high-risk women in Jakarta.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Teresa
Abstrak :
Latar belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa jumlah akne vulgaris AV perempuan dewasa mengalami peningkatan. Hormon, produksi sebum, p. ance, proses inflamasi menjadi berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis terbentuknya AV dewasa. Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar Dehydroepiandrosterone sulfate DHEAS dan kadar sebum pada pasien AV perempuan dewasa. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada Bulan Juni-Oktober 2017. Sebanyak 50 sampel perempuan dewasa usia 25-49 tahun didapatkan dengan consecutive sampling. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran kadar sebum wajah dan pengukuran kadar hormon DHEAS. Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara kadar DHEAS dengan kadar sebum wajah pada pasien AV p:0.008; r:0.371 . Setiap kenaikan kadar DHEAS diikuti dengan peningkatan kadar sebum wajah. Diskusi: Androgen berikatan dengan reseptor androgen pada sebosit kulit sehingga androgen dapat mengontrol perkembangan kelenjar sebasea dan produksi sebum. Selain diproduksi secara sistemik, hormon androgen juga diproduksi secara lokal di kulit. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya AV dewasa tanpa disertai adanya hiperandrogenisme. ...... Background: Epidemiologic studies have shown that number of adult female acne vulgaris AV increases. Hormone, sebum production, Propionibacterium acne and inflammatory process are factors involved in adult AV development. Objective: The aims of this study is knowing the correlation between Dehydroepiandrosterone sulfate DHEAS and sebum level in adult female acne. Method: This research used cross sectional study, and held from June to October 2017. Fifty samples aged 25 49 years were collected by consecutive sampling. Anamnesis, physical examination, sebum and DHEAS measurement were conducted. Result: There was significantly difference between DHEAS and skin sebum level in AV patients p 0.008 r 0.371. Every increased DHEAS level was followed by increasing of sebum production in AV patient. Discussion: Androgen binds to androgen reseptor in skin sebocyte, so that androgen could control sebaceous gland development and sebum production. Besides being produced by systemic, androgen is also produced locally in the skin. This could explain how adult AV develops without any hyperandrogenism.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Anggraini
Abstrak :
Latar belakang : Insidens kutil anogenital KA terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini belum ada terapi yang efektif untuk semua jenis KA. Terdapat berbagai macam pilihan terapi KA, antara lain terapi yang dapat diaplikasikan sendiri, contohnya krim 5-fluorourasil 5-FU 1 dan 5-FU 5 dan terapi yang diaplikasikan oleh dokter, contohnya larutan asam trikloroasetat TCA 90 . Larutan TCA 90 merupakan terapi standar KA, memerlukan kurang lebih 4-6 kali kunjungan tiap minggu untuk mencapai kesembuhan. Hingga saat ini terapi KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien sendiri, belum tersedia di Indonesia. Tujuan : Mengetahui efektivitas dan keamanan krim 5-FU 1 dan krim 5-FU 5 dibandingkan dengan larutan TCA 90 untuk terapi KA pada genitalia eksterna dan atau perianus. Metode : Uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap pasien KA pada bulan Januari hingga Mei 2018. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian akan mendapat terapi 5-FU 1 , 5-FU 5 , atau larutan TCA 90 sesuai dengan randomisasi blok. Pasien dicatat identitas, jumlah, dan ukuran lesi KA kemudian diamati respons terapi dan efek samping subyektif dan obyektif setiap minggu, hingga minggu ketujuh. Dilakukan analisis intention to treat. Hasil : Didapatkan total 72 subjek. Terdapat 5 SP drop out, dua dari kelompok 5-FU 1 dan tiga dari kelompok TCA 90 . Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara kelompok 5-FU 1 dengan TCA 90 p=0,763 . Respons sempurna pada 5-FU 1 adalah 671 , sedangkan TCA 90 adalah 63 . Begitupula dengan perbandingan efektivitas antara kelompok 5-FU 5 dengan TCA 90 . Pada awalnya saat minggu kedua TCA 90 tampak lebih cepat memberikan kesembuhan daripada 5-FU 5 p=0,036 , namun setelah enam minggu terapi ternyata tidak ada perbedaan efektivitas antara keduanya p=0,274 . Didapatkan bahwa respons sempurna pada 5-FU 5 adalah 46 dan 63 pada TCA 90 . Terdapat perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,004 . Terdapat pula perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 5 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,001 . Efek samping gatal ketika evaluasi minggu keempat pada kelompok 5-FU 1 adalah 21 dan 33 pada kelompok 5-FU 5 . Efek samping tersering pada kelompok TCA 90 adalah nyeri 96 ketika aplikasi TCA 90 pertama kali. Terdapat perbedaan efek samping obyektif yang lebih ringan secara bermakna ketika evaluasi minggu kedua, keenam, dan ketujuh pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan TCA 90 p ......Background: Anogenital wart incidence is increasing lately. Up till now there is no effective therapy for every type of anogenital wart. There are various kind of anogenital wart therapy, such as self applied therapy e.g. 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream and physician-applied therapy e.g. trichloroacetic acid 90 solution . Trichloroacetic acid is the standard therapy for anogenital wart, need around 4-6 times until totally improved. Currently, there is no self applied anogenital wart therapy available in Indonesia. Objective: To know the effectivity and safety of 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream compared to trichloroacetic acid 90 solution in the treatment of anogenital wart. Methods: A randomized control study of adult patients with anogenital wart during the period of January-Mei 2018. Patients who fulfiled inclusion criteria and willing to follow this research, allocated to receive 5-fluorouracil 1 cream, 5-fluorouracil 5 cream, or trichloroacetic acid 90 solution in accordance with block randomization. The identity, number and size of the anogenital wart were recorded, then the response of therapy and side effect subjective and objective were observed each weeks, up to seventh week. The data was analyzed with intention to treat analysis. Result: A total of 72 subjects were enrolled, two subjects from 5-FU 1 and three subjects from TCA 90 dropped out. There was no diference in the effectivity between 5-FU 1 group compared to TCA 90 p=0,763 . Total response in 5-FU 1 was 67 and 63 in TCA 90 . Likewise the comparison of effectivity between 5-FU 1 group and TCA 90 group. On the second week TCA 90 gave faster improvement than 5-FU 5 p=0,036 , but after 6 weeks treatment there was no difference between both groups p=0,274 . Total response in 5-FU 5 was 46 and 63 in TCA 90 . There was significant milder subjective side effect on 5-FU 1 compared to TCA 90 group p=0,004 , as well as significant milder subjective side effect on 5-FU 5 compared to TCA 90 p=0,001 . On the fourth week there was 21 in the 5-FU 1 group felt itchy and 33 in TCA 90 group. The most common side effect in TCA 90 group was painful, 96 of the subjects experienced it while their first TCA application. We also found significant milder objective side effect in 5-FU 1 group on the second week, sixth week, and seventh week evaluation compared to TCA 90 group p
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Hanifati
Abstrak :
Latar belakang: Gonore merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dan sebagian besar infeksi gonore pada perempuan bersifat asimtomatik. Dibutuhkan sebuah tes cepat untuk mendiagnosis servisitis gonore dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Tujuan: menentukan nilai diagnostik dari ENCODE Gonorrhea Rapid Test (GRT) dalam mendiagnosis servisitis gonore pada perempuan risiko tinggi di Jakarta. Metode: Studi potong lintang ini melibatkan perempuan risiko tinggi, baik simtomatik maupun asimtomatik, yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo dan Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya selama bulan Agustus hingga Oktober 2018. Apusan endoserviks diambil dari tiap subjek dengan urutan acak untuk pemeriksaan ENCODE GRT, pewarnaan Gram, dan biakan. Hasil: Sebanyak 44 subjek berpartisipasi dalam penelitian ini. Prevalensi gonore dalam penelitian ini sebesar 9,1%. Sensitivitas dan spesifisitas ENCODE GRT adalah 75% (IK 95%: 19,41% sampai 99,37%) dan 100% (IK 95%: 91,19% sampai 100%), dengan nilai duga positif dan negatif sebesar 100% and 97,56% (IK 95%: 87,99% sampai 99,54%). Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa ENCODE Gonorrhea Rapid Test dapat menjadi alternatif dalam mendiagnosis servisitis gonore pada perempuan risiko tinggi di Jakarta.
Background: Gonorrhea is one of health problems in Indonesia and most infections in women are asymptomatic. Thus, a rapid test with good sensitivity and specificity is needed to aid gonorrhea cervicitis. Objective: To determine the diagnostic value of ENCODE GRT in diagnosing gonorrhea cervicitis among high-risk women in Jakarta. Methods: This cross-sectional study included symptomatic and asymptomatic high risk women visiting Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo dan Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya during August-October 2018. Endo-cervical swabs from each participant were taken in random sequence for ENCODE GRT, Gram staining, and culture. Results: A total of 44 participants were enrolled. Gonorrhea prevalence was 9.1% in this study. The sensitivity and specificity for ENCODE Gonorrhea Rapid Test were 75% (19.41% to 99.37%) and 100% (91.19% to 100%). Positive and negative predictive value were 100% and 97.56% (87.99% to 99.54%). Conclusion: ENCODE GRT may become alternative diagnostic test among high-risk women in Jakarta.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library