Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bella Marisa
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas proses pengambilan keputusan badan usaha dalam keikutsertaan pada program JKN di wilayah Jakarta Selatan tahun 2016. Jenis penilitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Variabel yang diteliti menggunakan teori pengambilan keputusan konsumen dan teori perilaku konsumen. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan badan usaha dipengaruhi oleh cara pendekatan, motivasi, keinginan dan kebutuhan badan usaha, dan sanksi yang berlaku. Alasan badan usaha yang sudah mendaftar menjadi peserta yaitu karena sanksi dan kewajiban dari peraturan. Alasan badan usaha yang belum mendaftar menjadi peserta yaitu karena perusahaan sudah memiliki asuransi komersial dan merasa keberatan dengan beban iuran JKN. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman badan usaha terhadap prinsip BPJS Kesehatan yang berlandaskan kegotongroyongan.

ABSTRACT
This research discusses the decision making process of company in the participation of National Health Insurance program in South Jakarta area in 2016. This type of research is qualitative by using in depth interview techniques. The variables studied use consumer decision making theory and consumer behavior theory. The results of the research indicate that the decision making process of companies is influenced by the approach, motivation, desire and needs of companies, and applicable sanctions. The reason for the company that has signed up to participant is because of sanction and obligation of regulation. The reason for the company that has not signed up is because the company already has commercial insurance and object to the contribution fee that must be paid. This happens because the lack of understanding in the company against the principle of BPJS Kesehatan which is based on mutual cooperation."
Lengkap +
2017
S68838
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigarlaki, Rhesa Narola
"

Sistem ketatanegaraan Amerika mengadopsi gagasan checks and balances, yang melaluinya diyakini akan tercipta kontrol efektif antar ketiga cabang pemerintahan. Namun dalam hal wewenang perang, kontrol dimaksud tidak terjadi, karena yang justru mengemuka adalah perebutan wewenang antara Kongres dan Presiden, padahal konstitusi mengamanatkan adanya suatu deliberasi. Penulis berargumen bahwa guna menjembatani polemik ini perlu dihidupkan kembali lembaga federatif sebagai interbranch agency. Dalam hal ini seorang National Security Adviser akan memainkan peran tersebut dalam suatu format relasi baru Kongres-Presiden perihal wewenang perang yang penulis istilahkan “integrasi kolegial”.


American political system employs the mechanism of checks and balances that is designed to deliver effective check among the three branches of government. Yet in the realm of war power, instead of check, a fierce and many times unfruitful competition of constitutional right between President and Congress has been displayed throughout history. This is a stark deviation from the deliberative ideal of the constitution. Here the author argues that in order to bridge this mutual encroachment and to achieve a more ideal end, a revival of federative branch from John Locke’s philosophy is commendable. This interagency branch should be occupied by National Security Advisor, and it will operate within a new relational matrix of war powers between President and Congress that the author calls “collegial integration”.

 

"
Lengkap +
2019
T52121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Melati
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi infark miokard juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini selain disebabkan oleh faktor risiko konvensional, juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan. Upaya pengendalian bam ditujukan pada iinktor-faktor risiko konvensional. yang sudah diketahui jelas pengaruhnya, sedangkan faktor pekexjaan yang menimbulkan job strain masih belum diperhatikan, padahal job strain dapat menimbulkan stres kerja yang akan berdampak pada terjadinya infark miokard. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara job strain dan faktor risiko lainnya dengan terjadinya infark miokard pada pekerja.
Metode: Desain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jivquency matching 1:1 menurut umur. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner data umum yang meliputi karakteristik demografi, faktor risiko konvensional, karakteristik pekerjaan, dan kuesioner demand- control (ICQ) untuk mengukur job strain.
Hasil: Job strain, merokok dan dislipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infark miokard. Job sirain meningkatkan risiko infark miokard 6,8 kali lipat (Adj OR 6,80, 95% CI: 2,72 ; l6,98, p = 0,000). Perokok ringan bexisiko I5 kali lipat terhadap teljadinya infark miokard (Adj OR 14,97, 95% CI: 3,17 ; 70,74, p = 0,001), perokok sedang beaisiko 7,7 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 7,72, 95% CI: 273 ; 21,84, p = 0,000), dan perokok berat berisiko 26 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 25,6l, 95% Cl: 5,25 ; 124,88, p = 0,000). Dislipidemia meningkatkan risiko infark miokard 2,8 kali lipat (Adj OR 2,82, 95% CI: 1,07 ; 7,44, p = 0,035). Komponen job strain yang meningkatkan risiko infark miokard adalah job demands yang tinggi (Ad_§ OR 2,44, 95% CI: 1,02 ; 5,85, p = 0,046).
Kesimpulan: Job strain, merokok dan dislipidemia secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian infark miokard.

Background and aim: Coronary heart disease is the most tightening disease and still become a problem in the developed and developing countries. The prevalence of myocard infarction is also increasing fiom year to year. Beside the conventional risk factors, it is also influenced by occupational factors. Although job strain can cause stress which would have impact on the occurrence of myocard infarction, the prevention strategies being implemented are just for conventional risk factors. There is still no concern for occupational factors which can also cause job strain. This study was aimed to assess the relationship between job strain and other risk factors with myocard infarction among workers.
Methods: The study design was case - control with frequency matching 1:1 for age. Data were collected by using general questionnaire which covered demography characteristics, conventional risk factors, job characteristics, and demand - control questionnaire(ICQ) to assess job strain.
Result: Job strain, smoking and dyslipidemia were risk factors which had relationship with myocard infarction Job strain increased myocard infarction risk by 6.8 times (Adj OR 6.80, 95% CI: 2.72 ; 16.98, p = 0.000). Light smokers increased myocard infarction risk by 15 times (Adj OR 14.97, 95% CI: 3.17 ; 70.74, p = 0.001), medium smokers increased myocard infarction risk by 7,7 times (Adj OR 7.72, 95% CI: 2.73 ; 21.84, p = 0.000), and heavy smokers increased myocard infarction risk by 26 times (Adj OR 25.61, 95% CI: 5.25 ; 124.88, p = 0.000)_ Dyslipidemia increased myocard infarction risk by 2.8 times (Adj OR 2.82, 95% CI: 1.07 ; 7.44, p == 0.035). Job strain component which increased myocard infarction risk was high job demand (Adj OR 2-44, 95% CI: 1.02 ; 5.85, p = 0046).
Conclusion: Job strain, smoking and dyslipidemia simultaneously had relationship with myocard infarction.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32344
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meisinta Florentina
"Latar belakang: Penyakit jantung menjadi salah satu penyakit kronik yang menjadi masalah utama. Gagal jantung merupakan satu masalah penting di antara penyakit jantung. Rehospitalisasi orang gagal jantung berdampak terhadap bertambahnya beban biaya perawatan kesehatan, serta menyebabkan peningkatan risiko kematian.
Tujuan: Meneliti pengaruh komorbiditas terhadap rehospitalisasi dini orang dengan gagal jantung dalam 30 hari setelah keluar rawat inap pertama.
Desain: Kohort retrospektif berbasis Heart Failure Registry di klinik khusus gagal jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta periode Oktober 2009-Oktober 2010, dengan total sampel 147 orang.
Hasil: Rehospitalisasi dini atau rehospitalisasi dalam 30 hari pertama setelah keluar rawat inap pertama sebesar 18,7%. Komorbiditas berpengaruh terhadap rehospitalisasi dini. Ada perbedaan efek antara laki-laki dan perempuan dengan gagal jantung. Odds rasio laki-laki tanpa atau dengan satu komorbiditas sebesar 3,1 (95% CI:0,8-11,6) lebih tinggi daripada odds rasio perempuan tanpa atau dengan satu komorbiditas dan juga yang lebih dari satu komorbiditas 2,6 (95%CI:0,4-17,9). Ketika laki-laki disertai lebih dari satu komorbiditas odds rasio meningkat menjadi 4,1 (95% CI:0,97-16,96).
Kesimpulan: Pengaruh komorbiditas terhadap rehospitalisasi dini berbeda antara laki-laki dan perempuan dengan gagal jantung. Peningkatan risiko rehospitalisasi dini lebih tinggi pada laki-laki dan meningkat seiring jumlah komorbiditas.

Background: Heart disease is one of main problems for chronic disease in Indonesia. Unfortunately, heart failure is the one important problem among heart diseases. Rehospitalized of heart failure patient made additional burden health care costs, and also early rehospitalization lead to increasing mortality risk.
Objectives: To study the comorbidities effect on early rehospitalization of heart failure within 30 days after discharge from first hospitalization.
Methods: Using Heart Failure Registry of Harapan kita Hosiptal, the study select all 147 cohort who first time hopitalized within October 2009-Oktober 2010.
Results: Early rehospitalization or rehospitalization in 30 days after discharge is 18,7%. Comorbidity is associated with early rehospitalization. There are different effect of comorbidies between male and female. Odds ratio of male without or with one comorbidity of 3.1 (95% CI :0.8-11.6) is higher than the odds ratio of female without or with one comorbidity and also that more than one comorbidity 2.6 (95 % CI :0,4-17, 9). When a male with more than one comorbidity increased the odds ratio to 4.1 (95% CI :0,97-16, 96).
Conlusion: Comorbidity effect on early rehospitalization is different among gender differences The increasing of early rehospitalization risk among male is higher and concomitant with the number of comorbidities.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Nursyarofah
"Latar Belakang: Respon antar-individu yang bervariasi terhadap obat antiplatelet (clopidogrel) telah dilaporkan. Perbedaan tingkat metabolisme clopidogrel untuk metabolit aktif tiol menggambarkan variabilitas antar-individu dalam penghambatan trombosit. Sitokrom P4502C19 (CYP2C19) memetabolisme zat metabolit aktif tiol. Carier polimorfisme yang menyebabkan hilangnya fungsi CYP2C19 * 2 dan * 3 alel pada terapi antiplatelet mengakibatkan berkurangnya penghambatan agregasi trombosit. Informasi mengenai hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 dengan inhibisi agregasi trombosit pada pasien Sindroma koroner akut di Indonesia masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua varian, CYP2C19 * 2 (6816>A) dan CYP2C19 * 3 (636G>A) terhadap penurunan fungsi inhibisi agregasi trombosit.
Bahan dan Metode: Desain penelitian cross sectional. Jumlah responden adalah 114 orang (dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi). Pemeriksaan polimorfisme CYP2C19 dilakukan dengan menggunakan teknik Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) TaqMan SNP Genotyping Assays dengan alat dari applied Biosystems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standart or 9600 emulation mode). Inhibisi agregasi trombosit diperiksa dengan menggunakan metode Light Transmisi Aggregometry (LTA) dengan alat Helena AggGRAM Analyzer pada penambahan 5umol/L ADP sebagai agregator.
Hasil: Distribusi inhibisi agregasi trombosit menunjukkan perbedaan rerata antara responden non carier polimorfisme dengan responden carier polimorfisme (16,9 CI95%: 12,1-21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). Analisis regresi linier menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme memiliki inhibisi agregasi trombosit lebih rendah dibandingkan dengan responden non carier polimorfisme. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme mempunyai odds untuk merespon kurang baik terhadap clopidogrel sebesar 1,9 kali jika dibandingkan dengan responden yang non carier setelah dikontrol oleh variabel umur dan jenis kelamin, hal tersebut mengindikasikan bahwa carier polimorfisme mempunyai inhibisi yang rendah terhadap agregasi trombosit.
Kesimpulan: Temuan kami membuktikan adanya hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 polimorfisme dengan inhibisi agregasi trombosit.

Background: Inter-individual variability in response to antiplatelet drugs (clopidogrel) has been reported. The difference in the extent of metabolism of clopidogrel to its active metabolite tiol is the most plausible mechanism for the observed inter-individual variability in platelet inhibition. The cytochrome P4502C19 (CYP2C19) metabolizes the active metabolite tiol. The carrier polymorphisms of reduced - functions of CYP2C19*2 and *3 allele on antiplatelet therapy showed diminished platelet aggregation inhibition. There is limited information on the association between CYP2C19 *2 and *3 with platelet aggregation inhibition in ACS patients generally in Indonesia Population. The aim of this study was to determine the association between two variants, CYP2C19*2 (6816>A) and CYP2C19*3 (636G>A) reduced function with platelet aggregation inhibition.
Material & Method: a cross sectional study was done with 114 subjects (selected by inclusions and exclusions criteria). The CYP2C19 polymorphisms were genotype using the PCR method with TaqMan SNP Genotyping Assays from applied Bio systems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standard or 9600 emulation mode). The platelet aggregation inhibition was tested using Light Transmission Aggregometry (LTA) by Helena AggGRAM Analyzer with 5umol/L ADP as aggregator.
Results: The distribution of platelet inhibition aggregation showed difference between respondents with non-carrier polymorphisms and carrier polymorphisms (16,9 CI95%: 12,1 -21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). The linier regression analysist indicated that the carrier polymorphisms have lowest platelet aggregation inhibition compared with non-carrier polymorphisms. The logistic regression analysis indicated that carrier polymorphisms respondents has 1,9 odds to be low response to clopidogrel if compared with non-carrier polymorphisms respondents after adjusted with age and sex and it is indicated that it has low platelet aggregation inhibition.
Conclusion: Our present findings the evidence of an association between CYP2C19 *2 and *3 polymorphisms and platelet aggregation inhibition.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denys Putra Alim
"Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia Sensus nasional Indonesia tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskular termasuk penyakit jantung koroner PJK sebesar 26,4% Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor faktor yang memengaruhi kematian 6 tahun pasca bedah pintas arteri koroner BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Studi yang digunakan adalah kohort retrospektif pada pasien yang menjalani BPAK tahun 2006 di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan menggunakan total population sampling Hasilnya terdapat 308 tindakan BPAK di RS Harapan Kita tahun 2006 dengan eksklusi 5 subjek karena data rekam medis tidak lengkap 1 subjek karena BPAK dengan tindakan bedah lain 225 subjek karena tidak dapat dihubungi kembali Didapatkan 77 subjek penelitian dengan angka kematian sebesar 18,2% (14 dari 77 subjek). Faktor prediktor kematian oleh usia> 50 tahun didapatkan nilai p=0,725 faktor jenis kelamin nilai p=0,198 dan faktor fraksi ejeksi <40% nilai p=0,449 Kesimpulannya faktor usia jenis kelamin dan fraksi ejeksi tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kematian subjek dalam 6 tahun pasca operasi BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Cardiovascular disease is one of the leading causes of death worldwide Indonesian national census in 2001 showed that deaths due to cardiovascular disease including coronary artery disease CAD by 26 4 This study aims to find factors that influence the 6 year mortality post coronary artery bypass surgery CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita The study design is retrospective cohort study in patients undergoing CABG in 2006 at the National Cardiovascular Center Harapan Kita by using total population sampling There were 308 CABG procedures at National Cardiovascular Center Harapan Kita in 2006 which were excluded 5 subjects with incomplete medical records 1 subject with other cardiovascular surgery procedure 225 subjects lost to follow up There were 77 eligible research subjects with a mortality rate of 18 2 14 of 77 subjects Predictor factors of mortality by age 50 years p 0 725 sex p 0 198 and ejection fraction 40 p 0 449 Therefore there were no significant correlation among age sex and ejection fraction to the 6 years mortality outcome for patients undergo CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Acil Aryadi
"Latar Belakang : Keberhasilan pengobatan antihipertensi dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah faktor genetik, termasuk perbedaan ras dan aktivitas renin plasma (ARP). Perbedaan ras, berkaitan dengan ARP, mungkin dapat memberikan perbedaan respon terhadap obat antihipertensi. Aktivitas renan plasma dan perbandingan efektifitas obat antihipertensi (lisinopril dan amlodipin) pada ras melanesia di Provinsi Papua belum pernah diteliti.
Tujuan : Mengukur aktivitas renin plasma dan membandingkan efektifitas obat lisinopril dan amlodipin pada pasien hipertensi ras melanesia untuk menurunkan tekanan darah.
Metode : Pada awal penelitian, 68 subjek berhasil direkrut, dilakukan randomisasi dan dibagi ke dalam dua kelompok. Sebanyak 34 subjek mendapat lisinopril 5 mg dan 34 subjek mendapat amlodipine 2.5 mg. Tekanan darah, ARP dan karakteristik dasar lainnya diukur sebelum intervensi, dan kemudian di follow up tiap minggu. Subjek yang belum mencapai target tekanan darah akan diberikan peningkatan dosis obat, lisinopril 10 hingga 20 mg dan amlodipin 5 hingga 10 mg. Pada akhir penelitian (minggu keempat), tekanan darah diukur sebagai luaran klinis. Sebanyak 7 subjek drop out, 4 subjek pada kelompok lisinopril dan 3 subjek pada kelompok amlodipin.
Hasil : Aktivitas renin plasma pada populasi penelitian ini 1.6 ng/ml/jam (normal). Karakteristik dasar klinis tidak berbeda antara kedua kelompok, termasuk rerata tekanan darah sebelum intervensi dan ARP. Pada kedua kelompok didapatkan penurunan tekanan darah yang signifikan setelah intervensi, baik pada tekanan darah sistolik (TDS), distolik (TDD) dan tekanan nadi (TN). Namun, pada penelitian ini, perbedaan respon penurunan tekanan darah antara kelompok lisinopril dan amlodipin tidak berbeda (TDS 24.6 ± 9.3 vs 25.9 ± 8.9 mmHg, p=0.56; TDD 13.3 ± 5.5 vs 11.4 ± 4.8 mmHg, p=0.15; TN 17.1 ± 5.6 vs 16.3 ± 5.0 mmHg, p=0.55).
Kesimpulan : Aktivitas renin plasma pada pasien hipertensi ras melanesia normal dan pemberian lisinopril tidak menunjukkan perbedaan penurunan respon penurunan tekanan darah dibandingkan dengan amlodipin.

Background: The success of antihypertensive treatment are influenced by many factors, one of which are genetic factors, including differences in race and plasma renin activity (PRA). Racial differences, regarding PRA, may give different response to antihypertensive drugs. Plasma renin activity and comparison of the effectiveness of antihypertensive medications (lisinopril and amlodipine) in the Melanesian race in the province of Papua have not been investigated.
Objectives: To measure plasma renin activity and compare the effectiveness of lisinopril and amlodipine in melanesian hypertensive patients to reduce blood pressure.
Methods: Sixty eight subjects were randomly assigned into 2 groups, those receiving lisinopril 5 mg (34 subjects) and amlodipine 2.5 mg (34 subjects). Blood pressure, PRA and other baseline characteristics were measured before the intervention, and then evaluated every week. Dose of lisinopril and amlodipine will be increased in subjects who have not achieved blood pressure target, 10 mg to 20 mg and 5 mg to 10 mg, respectively. At the end of the fourth week, blood pressure is measured as the main clinical outcome. Seven subjects were drop out, four from lisinopril group and three from amlodipin group.
Results: Plasma renin activity in this study population was 1.6 ng/ml/h (normal). Baseline characteristics did not differ between two groups, including blood pressure and PRA before intervention. Significant decrease in blood pressure occurred in both group after the intervention, including systolic blood pressure (SBP) , diastolic (DBP) and mean arterial pressure (MAP). However, there are no differences in blood pressure reduction between lisinopril and amlodipine groups. (SBP 24.6 ± 9.3 vs 25.9 ± 8.9 mmHg, p=0.56; DBP 13.3 ± 5.5 vs 11.4 ± 4.8 mmHg, p=0.15; MAP 17.1 ± 5.6 vs 16.3 ± 5.0 mmHg, p=0.55).
Conclusion: Plasma renin activity in melanesian hypertensive patients was normal and administration of lisinopril showed no difference in blood pressure reduction compared with amlodipine.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Fatma Kader
"ABSTRAK
Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia bagian tengah yang
masih endemis malaria baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Prevalensi
kejadian malaria cenderung meningkat dari 2,12% pada tahun 2010 menjadi 10%
di tahun 2013 dengan angka API di tahun 2013 adalah 6,4% lebih tinggi dari angka
API nasional 1,38%. Prevalensi tertinggi terjadi di wilayah pedesaan
dibandingkan perkotaan dan terbanyak di usia dewasa. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeterminasi faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di
wilayah perkotan dan pedesaan menggunakan desain cross sectional, sumber data
adalah data sekunder Riskesdas 2013 yang dianalisis menggunakan uji statistik
regresi logistik terhadap sampel masyarakat usia produktif sebanyak 7381 sampel
diwilayah perkotaan dan 8489 sampel di wilayah pedesaan. Penelitian
menemukan bahwa prevalensi malaria di perkotan sebesar 2,4% dan di pedesaan
sebesar 5,8%. Ditemukan adanya hubungan antara plafon rumah serta jenis
kelamin di wilayah perkotaan dan pedesaan, sementara di wilayah pedesaan
tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan penggunaan obat semprot insektisida
berhubungan terhadap kejadian malaria. Faktor yang paling dominan memiliki
hubungan dengan kejadian malaria adalah plafon rumah di wilayah perkotaan
(nilai p=0,005; OR 2,6 95% CI 1,28-5,26) dan penggunaan insektisida di wilayah
pedesaan (nilai p=0,019; OR 2,77 95% CI 1,19-6,47)

ABSTRACT
North Sulawesi is one of the provinces in the central part of which is still endemic
malaria in urban and rural areas. The prevalence of malaria incidence is increase
from 2,12% in 2010 to 10% in 2013 with the Annual Paracite Index (API) in 2013
were 6,4% higher than the national API about 1,38%. Prevalence was highest in
rural areas rather than urban areas and highest in adulthood. This study aims to
determinant associated incidence of in the region of urban and rural areas with
cross-sectional design, the data source is a secondary data of Riskesdas 2013 were
analyzed using statistical test of logistic regression on samples of reproductive age
as many as 7381 samples in urban area and about 8489 samples in rural area. The
result of study showed that prevalence of malaria in urban is about 2,4% and
about 5.8% in rural areas. There were association between the ceiling of the house
and sex in urban and rural areas, level of education, type of work and the behavior
of insecticide sprays in rural areas were related to malaria incidence. The most
dominant factor has a relationship with the incidence of malaria is the ceiling of
the house in urban areas (0,05; OR 2,6 95% CI 1,26-5,26) and the use of
insecticides in rural areas (p = 0,019; OR 2,77 95% CI 1,19-6,47)
"
Lengkap +
2016
T46032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>