Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ina Marliana
"Pada dasarnya industri kecil dan menengah memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Industri kecil memiliki fleksibilitas yang lebih baik dari industri menengah dan besar,bahkan dalam kondisi krisis pun industri kecil memiliki ketahanan yang lebih baik. Keberadaan industri kecil memberi dampak sosial dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan pemerataan pendapatan.
Ada tiga komponen utama yang dapat mempengaruhi perkembangan usaha kecil, yaitu SDM dalam hal ini pengusaha, strategi yang digunakan dan peran keluarga. Keluarga merupakan faktor yang cukup penting dalam mempengaruhi perkembangan usaha kecil. Mengingat usaha kecil pada umumnya usaha keluarga. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang perilaku kewirausahaan pengusaha industri kecil dan peran keluarga pengusaha dalam upaya mengembangkan atau mempertahankan usaha industri kecil.
Peneltian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci fenomena sosial yang kompleks. Penelitian dilakukan di sentra industri kecil Kalibata Pulo Jakarta Selatan. Subyek penelitian adalah satu orang pengusaha industri kecil berhasil, satu orang pengusaha industri kecil stabil dan satu orang pengusaha industri kecil tidak berkembang. Metode pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi non-partisipan.
Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa industri kecil sebagai organisasi kewirausahan memiliki struktur organisasi sederhana terdiri dari pimpinan dan unit operasi. Pengambilan keputusan berada pada satu orang yaitu pimpinanusaha, sehingga maju mundurnya usaha sangat tergantung pada kemampuan kewirausahaan individu pengusaha. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa Pengusaha berhasil merupakan sosok pengusaha yang ulet dan mau bekerja keras. Faktor yang dapat menghambat perkembangan usaha industri kecil pada kasus Pengusaha Tidak Berkembang cenderung merupakan kendala internal yaitu kemampuan pengambilan resiko yang rendah, hal ini ditunjukkan dengan usahanya hanya produktif pada waktu musim ramai saja. Sedangkan pada Pengusaha Stabil, faktor internal yang menghambat perkembangan usahanya adalah etos kerja yang rendah. Maka dapat dikatakan bahwa perkembangan usaha ditentukan oleh kemampuan mengambil resiko (risk taking) dan memiliki etos kerja tinggi dari pelaku usaha, dimana keduanya menunjukkan karakteristik pengusaha yang memiliki jiwa kewirausahaan. Kemampuan kewirausahaan pengusaha tercermin dari strategi pemasaran yang diterapkan pengusaha dalam upaya mengembangkan usahanya.
Meskipun sebagian pengusaha di sentra Kalibata Pulo berlatar belakang keluarga wirausaha, namun peran keluarga tidak dominan dalam pengembangan usaha. Sebagian besar pengusaha di sentra tersebut masih memiliki ikatan keluarga satu dengan yang lainnya, namun hal tersebut tidak mendorong mereka untuk melakukan penggabungan usaha atau membentuk suatu asosiasi untuk pengembangan usaha. Masing-masing pengusaha menjalankan usahanya sendiri-sendiri. Mereka tidak memanfaatkan hubungan keluarga untuk mendapatkan bantuan modal dari lingkungan keluarga, karena dikhawatirkan dapat mengganggu hubungan silaturahmi diantara mereka.
Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya industri kecil di Sentra Kalibata Puloa mempunyai peluang yang sama untuk mendapat pembinaan. Mereka sudah dapat memanfaatkan program bantuan modal usaha, mesin maupun program pelatihan. Namun karena penentuan program pelatihan masih bersifat top-down tanpa mengetahui kebutuhan industri kecil, hal ini menyebabkan para pengusaha enggan menerapkannya dalam kegiatan usaha sehari-hari.
Dengan melakukan analisis terhadap kendala-kendala internal dan eksternal yang dapat menghambat perkembangan usaha industri kecil di sentra Kalibata Pulo, menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi oleh para pengusaha dalam menjalankan usahanya tidak sama. Namun secara umum masalah utama yang dapat diidentifikasi adalah kemampuan kewirausahaan pengusaha yaitu aspek pengambilan resiko dan etos kerja yang rendah. Selain itu, masalah permodalan dan persaingan tidak sehat. Hasil temuan lapangan menunjukan tidak ada jaringan diantara para pengusaha industri kecil berbentuk ikatan atau paguyuban. Hal ini berarti sentra Kalibata Pulo tidak bersifat dinamis. Jaringan diantara pengusaha dapat berfungsi sebagai fasiltas pertukaran informasi yang dapat mendukung perkembangan usaha. Dalam upaya untuk mengembangkan usaha industri kecil di sentra kalibata Pulo, maka intervensi dapat dilakukan dengan 'Program Pengembangan Jaringan antar Pengusaha Berbasis Komunitas Sentra"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T4363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhaeni
"Kepemimpinan perempuan merupakan masalah kontroversial di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama memandang bahwa agama (Islam) melarang perempuan menjadi pemimpin. Alasannya adalah bahwa teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits secara eksplisit menyatakan adanya larangan demikian. Namun sebagian ulama berpandangan sebaliknya; bahwa orang perempuan sah untuk menjadi pemimpin. Alasannya teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits haruslah senantiasa dimaknai (dipahami) secara kontekstual, tidak semata tekstual. Artinya setiap teks harus dipahami berdasarkan konteks sosial politik yang melingkupinya. Konteks sosial politik yang berkembang pada masa turunnya teks-teks tersebut sangatlah berbeda dengan konteks sosial sekarang. Dalam konteks zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, tidak ada alasan untuk melarang wanita menjadi pemimpin; sah saja seorang perempuan menjadi pemimpin.
Sementara perdebatan pemikiran terus berlanjut, kehidupan masyarakat juga terus berlangsung yang diwarnai dengan munculnya perkembangan-perkembangan baru. Diantaranya menyentuh mengenai masalah kepemimpinan perempuan. Salah satunya adalah pergulatan hidup yang dialami oleh Ratu Solehah- seorang figur pemimpin perempuan dari Partai Politik Berasaskan Islam (PBI) di Propinsi Banten-dalam menapaki karier politiknya. Secara khusus penelitian ini difokuskan untuk mengungkap pergulatan hidup yang dialami Ratu Solehah tersebut. Alasan utama dilakukannya penelitian ini adalah bahwa, munculnya figur pemimpin perempuan dalam PBI merupakan fenomena sosial yang sangat penting, yang menandai terjadi perubahan tata nilai dalam sebuah masyarakat. Hal ini mengingat bahwa dalam PBI rambu-rambu normatif (agama) sangat dominan dalam menuntukan konstruksi dan paradigma partai.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode; studi dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi). Penelitian ini menggambarkan betapa Ratu Solehah menghadapi banyak kendala di dalam proses untuk menggapai posisi sebagai pemimpin. Kendala tersebut terutama berupa diskriminasi gender dalam berbagai bentuk. Diskriminasi ia temukan sejak dari lingkungan yang terdekat, keluarga, lalu di sekolah, di organisasi dan juga di lembaga politik. Tetapi Ratu Solehah selalu menunjukkan perlawanan terhadap berbagai bentuk diskriminasi tersebut. Dalam seluruh rangkaian perlawanan tersebut, Ratu Solehah cukup beruntung bahwa ia dilahirkan dari keluarga besar, yakni tokoh besar agama dan politik, dan juga secara kultur ia adalah keturunan Kesultanan Banten yang kesepuluh. Posisi ini sangat membantu Ratu Solehah dalam melakukan mobilitas vertikal, sehingga mampu menerobos penghalang kultur dan sosial yang tak tampak-yang biasa disebut oleh kaum feminis sebagai --langit-langit kaca (glass ceiling).
Penelitian ini dengan jelas memperlihatkan bahwa, diskriminasi gender masih secara ketat dipraktekkan di lembaga politik (partai politik) berasaskan Islam, meski hal ini tidak secara ekssplisit, ditulis dalam sebuah konstitusi partai. Tetapi dengan pemahaman normatif tertentu, teks-teks agama sering dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak bisa muncul sebagai pemimpin di tingkat partai, dan pada ujungnya di tingkat nasional. Karena itu, penelitian ini merekomendasikan satu hal, bahwa; kini diperlukan kebijakan-kebijakan baru di tingkat partai yang lebih memiliki perspektif gender, sehingga memberi ruang yang adil bagi perempuan untuk turut berkiprah di ranah publik.
Agenda partai yang lain, disamping harus memberikan pencerahan pemahaman kepada kaum laki-laki tentang pentingnya pemahaman gender, terhadap kalangan kaum perempuan pun harus ada upaya pemberdayaan yang serius. Upaya pemberdayaan dua arah (laki-laki dan perempuan) ini, harus menyentuh minimal tiga lapis struktur; struktur budaya, struktur hukum dan struktur pemahaman keagamaan. Karena di tiga wilayah utama inilah, biasanya, praktik diskriminasi gender dalam kehidupan masyarakat bersemai dengan subur."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprizal
"Sejak krisis moneter pertengahan 1997 Indonesia menghadapi krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi yang sampai sekarang belum memberikan tanda-tanda perbaikan ekonomi untuk rakyat. Permasalahan tersebut telah menyebabkan kemunduran dan kebangkrutan dari berbagai kegiatan ekonomi, Hantaman badai krisis ini juga sangat dirasakan oleh masyarakat Kecamatan Lubuk Sikaping khususnya pada masyarakat Jorong Ambacang Anggang Kenagarian Air Manggis, dimana sebagaian besar penduduk Jorong Ambacang Anggang hidup sebagai petani buruh tani subsistem. Keadaan tersebut menyebabkan sebagian warganya mencari usaha alternatif sebagai lapangan kerja baru yang bisa memberikan peluang kerja bagi warga Jorong Ambacang Anggang lainnya. Usaha tersebut adalah membudidayakan ikan dengan mengunakan keramba yang diletakkan di sepanjang pinggiran sungai aliran sungan ?Batang Sumpu" yang melintasi daerah ini.
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang peran usaha keramba ikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat dalam mengatasi krisis ekonomi di daerah pedesaan, khususnya di Jorong Ambacang Anggang Nagari Airmanggis Kecamatan Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan memperoleh data tentang : Siapa yang memiliki inisiatif awal dalam memanfaatkan sumber alam tersedia yaitu sungai untuk lain serta bagaimana proses ketenagakerjaan dalam usaha keramba ikan; Apakah terjadi polarisasi kepemilikan usaha keramba ikan antara pemilik dan pekerja; Bagaimanakan status ekonomi dan sosial sebelum dan sesudah menjadi pengusaha/pekerja keramba ikan; .Apa peran Pemda atau Dinas Perikanan dalam usaha keramba ikan itu; Bagaimana reaksi/tanggapan petani terhadap peran pemda?.
Studi ini mengunakan gabungan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian kuantitatif adalah survey dengan instrumen penelitian kuisioner. Populasi adalah semua petani ikan yang membudidayakan ikan dengan mengunakan keramba di Jorong Ambacang Anggang Kriteria populasi adalah petani keramba yang berkeluarga. Proses dan analisa data penelitian kuantitatif yang sudah terkumpul akan diproses atau diolah secara manual. Dari proses pengolahan data tersebut dibuat tabel-tabel yaitu tab& tabel silang 2 (dua) variabel. Dalam penelitian kualitatif yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi tidak terlibat. Data deskriptif yang berupa traskrip wawancara diproses dan dianalisis melalui open coding dan focused coding. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah pedoman wawancara dan pedomen observasi.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa; Pengembangan usaha budidaya ikan dalam keramba di Jorong Ambacang Anggang, merupakan pengembangan usaha keramba yang diawali oleh kejelian dari sebagian masyarakatnya (7 orang sebagai pelopor usaha ini), yang dapat menangkap peluang untuk mencari alternatif usaha lain, yang dapat membuka peluang kerja dan mendapatkan penghasilan bagi mereka. usaha keramba ikan yang dilakukan oleh masyarakat di Jorong ini adalah usaha budidaya keramba ikan yang dilakukan secara swadaya (mandiri), dan telah berhasil membantu mereka sendiri dalam upaya bertahan menghadapi badai krisis dan juga telah dapat meningkatkan keadaan ekonomi dan sosiai mereka, karena mendapatkan peluang usaha untuk memperoleh penghasilan keluarga sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya; Dari usaha ini juga memunculkan kearifan lokal untuk menjaga kelestrarian lingkungan serta menjaga tradisi-tradisi lokal yang ada dengan, pengaturan pembuatan keramba harus melalui izin dari ninik mamak (pemuka masyarakat) setempat; Pengembangan usaha ini lebih didasarkan kepada pengembangan usaha secara kekerabatan dimana antara pemilik dan pekerja sudah sating mengenal dan mempunyal hububungan kekerabatan, sehingga polarisasi antara pemilik dan pekerja tidak terjadi; Kelompok sangat berperan dalam membantu mereka mengatasi kendala-kendala dalam berusaha; Peran Pemda dalam usaha budidaya ini hampir tidak ada, dan usaha ini murni usaha rakyat secara mandiri.
Agar usaha ini lebih berkembanglagi maka Pemerintah Daerah diharapkan untuk dapat ikut berperan membantu pengembangan usaha ini dengan memberikan bantuan teknis maupun modal yang sangat dibutuhkan oleh petani. Kemudia petani diharapkan berusaha untuk mengembangkan diri dengan mencari akses langsung ke pemasaran dan melakukan pengembangan teknologi yang tepat guna untuk meningkatkan produksi mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaorana Amiruddin
"Program Grameen Bank, merupakan salah satu program pemberian kredit mikro yang ditujukan untuk kelompok termiskin dan yang miskin (the poorest of the poor), dan diprioritaskan kelompok perempuan. Sejak program GB diluncurkan pertama kalinya di Bangladesh, dilaporkan banyak memberikan dampak positif bagi pemanfaatnya dan keluarganya, sehingga mengundang banyak negara untuk mengadopsi program ini, termasuk Indonesia dan berbagai kajian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga replikator program GB di Indonesia, dilaporkan, bahwa program ini memberikan dampak posistif bagi anggotanya, yang dilihat pada indikator; tingkat pengembalian (repayment) yang tinggi mencapai 98%, meningkatnya omzet peserta program, meningkatnya pendapatan peserta program, meningkatnya jumlah tabungan, dan lain-lain. Namun, indikator keberhasilan yang digunakan bank menunjukkan indikator ekonomi, padahal ada yang lebih penting dari itu, yaitu apakah program GB telah meningkatkan kualitas hidup perempuan peserta program GB dan keluarganya? Artinya apakah dengan meningkatnya pendapatan dan berkembangnya usaha perempuan peserta program GB, akan memperbaiki kualitas hidup mereka? Apakah perempuan peserta program GB, selain telah memiliki akses terhadap kredit juga memiliki kontrol atas kredit yang diperolehnya? Apakah dengan adanya kontribusi ekonomi peserta program GB, dapat memunculkan posisi tawarnya (bargaining position) sehingga perempuan mampu bernegosiasi, mengularakan aspirasinya dan tercipta pola relasi yang setara dengan suaminya dalam keluarganya?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suksesyadi
"Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke pemerintahan Orde Baru pada periode tahun 1960-1970 melahirkan kebijakan baru di bidang kependudukan. Pemerintahan Orla berikap prenatalis sedangkan pemerintahan Orba justru sebaliknya. Pemerintahan orba yang berorientasi pada pembangunan ekonomi menganut kebijakan kependudukan yang antinatalis. Salah satu kebijakan kependudukan yang diambil pemerintah adalah menekan angka pertumbuhan penduduk melalui upaya penurunan angka kelahiran dan juga menekan angka kematian. Hasilnya, laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,35 % pada periode tahun 1990-2000. Keberhasilan tidak terlepas CIO dukungan prNrard KB Melalui penyuluhan yang diarahkah kepada suami isteri pasangan usia subur (PUS). Terutama dalam pelaksanaan penggunaan kontrasepsi oleh PUS.
Pemilihan jenis kontrasepsi tertentu merupakan keputusan yang diambil suami Isteri PUS. Dalam proses pengambiian keputusan memilih kontrasepsi tersebut terdapat relasi gender antara keduanya. Berlcaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan penelitian dilokasikan pada proses pengambilan keputusan suami isteri pasangan usia subur dalam memilih kontrasepsi.
Sacaraa umum, teori-teori yang dipakai untuk menjelaskan masalah tersebut antara lain teori yang dikemukakan oleh Amal, Amran, Baumholz, Budiman, Effendy, Lestari, Moffat, Safilios-Rotschild, Sajogyo, Schramm, dan Singarimbun. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran tentang proses pengambilan keputusan suami istri pasangan usia subur dalam memilih kontrasepsi dan bagaimana penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh kepada suami Isteri pasangan usia subur untuk memperoleh gambaran tentang pees pengambilan keputusan suami isteri PUS dalam memilih kontrasepsi dan bagaimana penyuluhan yang dilakukan penyuluh kepada suami isteri PUS, maka dalam penelitian ini dipilih pendekatan kualitatif bersifat studi kasus dengan Jenis penelitian deskriptif. Untuk memperoleh data yang komprehensif dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap 16 subjek penelitian dan observasi terhadap penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh sebagai sampal penelitian, ditetapkari Secara purposif Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan suami isteri PUS dalam memilih kontrasepsi adalah sebagai berikut. Panama, suami isteri membuat keputusan untuk menunda ketahiran atau tidak ingin menambah anak lagi. Terdapat 2 variasi dalam pengambilan keputusan yaitii : (a) keputusan yang dibuat berdataskan kesepakatan bersama antara suami isteri; (b) suami menyerahkan pengambilan keputusannya kepada isteri. Kedua, suami isteri mencari informasi mengenai cara-cara menunda kelahiran atau tidak ingin menambah anak lagi. Dalam proses ini, suami dan isteri baik secara bersama-lama maupun sendiri-sendiri mencari informasi kepada kader KB, pengurus posyandu, penyuluh KB, bidan atau dokter. Ketiga, suami isteri membuat kaputusan rnemilih kontrasepsi yang sasuai dengan kebutuhannya. Terdapat 4 variasi dalam pengambilan keputusan memilih kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan suami isteri, yaitu : (a) keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara suami isteri dengan isteri sebagai akseptor; (b) keputusan yang dibuat oleh isteri sendiri dengan isteri sebagai akseptor; (c) keputusan yang dibuat oleh suami sendiri dengan isteri sebagai akeptor; (d) keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara suami isteri dengan suami sebagal akseptor. Keempat, suami isteri memilih tempat pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhannya. Terdapat 3 variasi dalam pengambilan keputusan suami isteri dalam memilih tempat pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, yaitu : (a) keputusan isteri seorang diri; (b) keputusan suami seorang diri; (e) keputusan bersama suami isteri. Kelima, suami isteri baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama mendatangi tempat pelayanan kontrasepsi sesuai dengan Jenis kontrasepsi pilihannya.
Dari hasil penelitian ini, kepada instansi pembuat kebijakan kependudukan, khususnya kepada pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung diusulkan rekomendasi sebagai berikut: (a) program KB hendaknya dibuat dengan Memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan perempuan. Jangan hanya perempuan yang menjadi sasaran utama bagi pemakaian kontrasepsi tapi juga laki-laki. Caranya, dengan menyedihkan kontrasepsi untuk laki-laki - di luar kondom dari vasektomi-seperti berbagai kontrasepsi yang diperuntukan bagi perempuan; (b) dibuat kampanye iklan seperti suami Siaga pada iklan persalinan dan penyuluhan KS dilakukan juga ditempat/kantor suami bekerja untuk menggugah kepedulian suami terhadap kesejahteran isteri/perempuan; (c) supaya suami terlibat secara aktif dalam program KB maka advokasi harus menjadi prioritas program KB."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Husni Arifin
"Munculnya pembagian kerja internasional baru (NIDL - New International Division of Labour) dan berbagai deregulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik investor asing maupun dalam negeri, menyebabkan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik pasar dunia. Karakteristik utama dari pabrik-pabrik pasar dunia adalah penggunaan teknologi ban berjalan, padat karya, dan preferensi terhadap buruh perempuan. Preferensi pemodal terhadap buruh perempuan karena menganggap perempuan sangat memenuhi syarat dalam strategi penekanan biaya produksi. Proses akumulasi modal dilakukan dengan memanfaatkan ideologi gender dan patriarki yang telah mengakar di masyarakat. Akibatnya, buruh perempuan selalu rentan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi dan subordinasi gender. Dalam pengertian ini, hubungan saling mendukung, interplay, dialektika, antara modal dan gender tidak dapat disangkal bermain di sini.
Karena itu, permasalahan utama penelitian ini adalah memeriksa kecenderungan subordinasi gender dalam diri buruh perempuan. Adalah Diane Elson dan Ruth Pearson yang mengemukakan hipotesa tentang tiga kecenderungan subordinasi gender sebagai hasil dari dialektika antara modal dan gender. Keeenderungan mengintensifkan, membusukkan, dan memunculkan kembali bentuk-bentuk subordinasi gender. Dalam memeriksa ketiga kecenderungan tersebut, analisa tidak hanya mefokuskan pada pengalaman kerja perempuan di pabrik, tapi diperiksa juga bangunan relasi gender di rumah tangga sebagai implikasi dari kerja pabrik-an. Dua analisa itu bukan merupakan bagian yang saling terpisah, melainkan suatu gabungan dalam memahami keeenderungan subordinasi gender buruh perempuan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berperspektif gender dan berparadigma kritikal. Pemihakan, standpoint, adalah posisi yang diambil peneliti untuk mengungkap persoalan-persoalan perempuan yang tersembunyi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara mendalam terhadap buruh perempuan serta anggota keluarganya sebagai sumber primer, yang ditentukan secara purposif dengan tehnik snow ball.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kerja pabrik-an dan implikasinya terhadap relasi gender di rumah memproduksikan kecenderungan subordinasi gender yang tidak dapat dikatakan seragam antara buruh perempuan lajang dan yang menikah. Melalui kerja pabrik-an, keduanya cenderung memunculkan kembali, recompose, bentuk subordinasi gender baru. Keduanya terperangkap di dalam lingkaran kontrol patriarki di pabrik. Walaupun begitu, kerja pabrik-an dapat memberikan otonomi relatif bagi buruh lajang menghadapi otoritas laki-laki di rumah, karena itu cenderung membusukkan, decompose, bentuk-bentuk subordinasi gender yang ada. Sebaliknya, bagi buruh berkeluarga, kerja pabrik-an cenderung me-intensifkan, intense, bentukbentuk subordinasi gender yang ada. Karena pengaruh otoritas laki-laki lain di pabrik dan dipikulnya beban Banda, double burden - sebagai penghasil utama nafkah keluarga dan sekaligus terbebani oleh kerja-kerja domestik.
Diskusi teoritik yang dapat dihasilkan adalah (1) strategi "pecah belah" terhadap kelompok buruh merupakan strategi efektif bagi pemodal untuk menjaga kelancaran akumulasi modal; (2) kerja pabrik-an, kerja upahan, berpotensi membebaskan perempuan dari subordinasi gender, tapi dengan prasyarat tumbuhnya kesadaran gender dalam diri perempuan; (3) tanpa diikuti kesadaran, kerja upahan hanya akan memediasi munculnya subordinasi gender daripada menghilangkannya; (4) analisa tentang kecenderungan subordinasi gender pada diri buruh perempuan, perlu mengkaitkan analisa pengalaman kerja perempuan di pabrik dengan implikasi kerja upahan terhadap relasi gender di rumah.
Rekomendasi yang diusulkan berdasarkan temuan-temuan penelitian, yaitu: (1) resistensi perempuan terhadap dominasi laki-laki melalui kerja upahan, harus didukung oleh unsur-unsur lain, seperti peningkatan tingkat pendidikan, menghindari pernikahan di usia dini, penurunan fertilitas, dan kesadaran gender. Dengan demikian dapat tercipta hubungan antara laki-laki dan perempuan yang egaliter, setara; (2) perlu mengembangkan konsep "perlawanan" (struggle) yang tidak hanya mempersoalkan persoalan ekonomi semata, tapi sebagai suatu cara untuk mengembangkan otonomi diri (self determination); (3) diperlukan intervensi negara untuk memberikan perlindungan, security, bagi buruh perempuan dari bentuk-bentuk subordinasi gender melalui kebijakan-kebijakan perburuhan; (4) perlu mendorong dan mendukung peningkatan kapasitas serikat-serikat buruh dalam membela dan memperjuangan kepentingan dan hak-hak buruh perempuan, partisipasi aktif buruh perempuan dalam kegiatan serikat buruh, dan kontinuitas serikat buruh (5) pendekatan GAD (Gender and Development) dengan strategi pengarusutamaan gender relevan dijadikan basis kebijakan pemerintah (Depnaker) soal perburuhan. Kaitannya terhadap penyelesaian isu-isu struktural perempuan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmariza
"Meskipun secara hukum perempuan dan laki-laki dijamin mempunyai hak yang sama dalam pendidikan seperti tertulis di dalam pasal 31 UUD 1945, pasal 5,6 dan 7 Undang - Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang - Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, tetapi dalam kenyataan pendidikan perempuan Indonesia masih tertinggal dari laki-laki baik dilihat dari tingkatannya maupun bidang ilmu yang ditekuni.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ketertinggalan perempuan dalam pendidikan lebih banyak disebabkan oleh faktor nilai budaya yang bias jender yang disosialisasikan di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, maupun media massa. Beberapa Penelitian menemukan bahwa keluarga mengutamakan pendidikan (yang lebih tinggi) bagi anak laki-laki, karena anak laki-laki diharapkan dapat mendukung orang tua secara ekonomi pada masa tua. Sedangkan keengganan orang tua untuk "menanamkan modal" untuk pendidikan anak perempuan, disebabkan adanya anggapan bahwa orang tua tidak dapat menikmati investasi yang ditanam karena anak perempuan setelah menikah akan meninggalkan rumah orang tua mereka untuk mengabdi kepada keluarga suami (Budiati, 1991; Johnson, 1992). Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapi oleh anak perempuan dalam masyarakat Minangkabau, di mana anak perempuan sangat diharapkan di dalam keluarga untuk mendukung orang tua pada masa tua. Sedangkan anak laki-laki setelah menikah akan meningggalkan rumah orang tua untuk bertanggungjawab terhadap istri dan anak-anaknya (Miko,1996). Namun demikian, dibandingkan dengan anak laki-laki, pendidikan anak perempuannya masih lebih rendah terutama pada tingkatan sekolah menengah ke atas.
Hal tersebut mendorong penulis untuk mengetahui dan memahami lebih dalam bagaimana persoalan yang dihadapi anak perempuan Minangkabau berkaitan dengan pendidikannya. Mengingat perubahan sosial yang terjadi telah mengakibatkan berkurangnya (hilangnya) faktor-faktor sosial budaya yang mendukung status dan kedudukan perempuan Minangkabau dewasa ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Sebagai pendukung digunakan teknik observasi, dan studi pustaka dan studi dokumen. Penelitian dilakukan di desa Singgalang Kecamatan X Koto Propinsi Sumatera Barat. Subyek penelitian adalah anak perempuan dengan status pendidikan yang berbeda, yaitu: Putus Sekolah, SMP, SMEA, SMA, dan Pesantren Putri. Di camping itu, wawancara juga dilakukan dengan kedua orang tua responder, saudara laki-laki, mamak, tokoh masyarakat (Ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai), dan Pejabat Kandepdikbud Kecamatan X Koto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari hubungan kekerabatan mamak-kemenakan suku-salko, induak bako-anak pisang, dan andan pasumandan, maka status dan kedudukan anak perempuan menjadi lemah, kerena hubungan kekerabatan ini di desa penelitian sudah renggang. Anak perempuan tidak lagi dapat mengharapkan dukungan dari mamaknya, karena sudah teijadi pergeseran peran mamak di dalam masyarakat Minangkabau.
Selanjutnya bila dilihat dari hubungan kekuasaan di dalam keluarga, kedudukan perempuan (anak perempuan) juga semakin lemah. Pergeseran peran mamak, semakin berkurangnya harta pusaka yang semula menjadi andalan ekonomi dan kemandirian perempuan, serta pola keluarga inti semakin memperkokoh kedudukan suami (sumando) di dalam keluarga. Ditemukan bahwa ayah/suami merupakan pengambil keputusan utama terhadap persoalan persoalan di dalam keluarga termasuk terhadap anak perempuan Di samping ayah, anak laki-laki merupakan orang yang berkuasa terhadap anak perempuan, sedangkan Ibu nampak kurang mempunyai kekuasaan di dalam keluarga, karena hampir semua keputusan di dalam keluarga diputuskan oleh ayah.
Bila dilihat dari pembagian kerja di dalam keluarga, perempuan (anak perempuan) adalah orang yang bertanggungjawab penuh terhadap pekerjaan rumah tangga (kerja reproduktif). Tidak terlibatnya laki-laki dalam pekerjaan ini karena dalam masyarakat Minangkabau ada hambatan budaya tentang yang pantas dan tidak pantas dikerjakan oleh laki-laki Minang apalagi bila ia menjadi Sumando atau penghulu kaum, ketidakpantasan mengerjakan pekerjaan rumah menjadi semakin kuat. Sosialisasi peran reproduktif ini sangat ditekankan kepada anak perempuan, sehingga tidak jarang hal ini berdampak buruk terhadap pendidikan anak perempuan.
Mengenai pendidikan anak perempuan di dalam keluarga, pada umumnya anak perempuan tidak merasakan adanya diskriminasi dalam pendidikan, namun mereka merasakan adanya perbedaan penilaian terhadap anak perempuan yang bersekolah dengan anak laki-laki yang bersekolah, karena perbedaan tujuan menyekolahkan anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan cenderung memilih sekolah yang sesuai dengan jendernya, serta ada kecenderungan anak perempuan terkungkung dengan stereotip jender dalam memandang pendidikan. Ayah, dan saudara laki-laki mempunyai peran yang besar dalam pendidikan anak perempuan karena mereka mempunyai wawasan yang luas, tetapi tidak demikian dengan ibu mereka. Keadaan ini tidak terlepas dari faktor "merantau" yang merupakan sesuau yang khas bagi laki-laki Minang.
Beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pendidikan anak perempuan didesa penelitian di antaranya adalah: Adanya sikap subinisif anak perempuan terhadap hal-hal yang selama ini di dominasi oleh laki-laki seperti ilmu pasti dan teknik, tradisi kawin muda dan stigma gadih gadang indak balaki, beban pekerjaan rumah tangga yang sepenuhnya dibebankan kepada anak perempuan, rendahnya motivasi dan kesadaran anak perempuan dan orang tua akan manfaat pendidikan bagi anak perempuan, tradisi merantau yang khas bagi laki-laki, kebijakan pendidikan yang belum sepenuhnya sensitif jender, sistem NEM dan rayonisasi, serta kondisi pendidikan penduduk desa Singgalang yang masih relatif rendah."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Nuruzzaman
"Terlibatnya laki-laki -feminis laki-laki- dalam perjuangan dan pembelaan terhadap perempuan mendapatkan tantangannya ketika beberapa kelompok feminis melakukan penolakan dan penerimaanya, dengan argumentasi yang berbeda, kelompok feminis yang menerima laki-laki sebagai pemebela perempuan beralasan bahwa tidak semua laki-laki memperlakukan perempuan buruk, dan banyak laki-laki (feminis laki-laki) yang memiliki perasaan yang lama dengan perempuan bahwa ada persoalan ketimpangan dalam relasi sosial anti laki-laki dan perempuan yang harus diperbaiki. Sementara itu perjuangan sosialisasi wacana dari gerakan perempuan mendapatkan benturannya ketika berhadapan dengan wacana keagamaan. Pesantren -yang di dalamnya terdiri dari Kiai, pengetahuan yang diproduksinya (wacana agama) dan budaya yang dihasilkan dari pengetahuan agama- sebagai basis Islam tradisional dianggap memiliki peran yang besar dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan, namun dari beberapa kasus munculnya pembelaan terhadap perempuan justru bermula dari kelompok Islam tradisionalis atau pesantren, misalnya pernyataan bahwa perempuan boleh menjadi kepala negara. Dengan sikap tersebut pesantren menjadi penting untuk dilibatkan dalam melakukan sosialisasi wacana dan gerakan perempuan.
Melihat hal tersebut, permasalahan utama penelitian ini adalah melihat gagasan KH. Husien Muhammad sebagai feminis laki-laki tentang persoalan-persoalan yang dihadapai perempuan, inti dari penelitian ini adalah, melihat gagasan-gagasan KH. Husien Muhammad sebagai ulama pesantren (Islam tradisonalis) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dengan perspektif Islam terutama wacana Islam klasik, karena gagasannya KH. Husien dianggap sebagai kiai feminis dan menjadi pembuka dalam melakukan perubahan-perubahan wacana keagamaan pesantren. Analisisnya difokuskan pada gagasan-gagasan KH. Husien Muhammad sebagai ulama pesantren yang memproduksi wacana-wacana keagamaan dan aktifitasnya sebagai kiai yang melakukan pembelaan terhadap perempuan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap KH. Husien Muahammad dan gagasan-gagasannya baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk diskusi, dan studi pustaka. Juga beberapa kiai di sekitar pesantren Cirebon, dan teman-teman aktifitas Husien lainnya.
Dari hasil analisis menunjukan bahwa pada awalnya Husien juga sangat resisten terhadap reinterpretasi wacana agama yang melakukan pembelaan terhadap perempuan, namun karena seringnya ia mengikuti kegiatan tentang masalah-masalah yang dihadapi perempuan gagasannya berubah menjadi pembela terhadap perempuan, bahkan dia dianggap dan dijadikan rujukan utama oleh para. aktifis perempuan dalam menyelesaikan masalah-masalah agama dan perempuan. Husien adalah laki-laki yang memahami dan merasakan ketertindasan perempuan yang dilakukan oleh tafsir agama, padahal Husain yakin dalam ajaran agama, Tuhan tidak membedakan laki-laki dan perempuan, sehingga Husien melakukan tafsir ulang terhadap teks-teks agama yang melakukan subordinasi terhadap perempuan.
Diskusi teoritik yang dihasilkan adalah (1) KH. Husien adalah feminis laki-laki yang sangat diperlukan atau sekutu yang efektif oleh kelompok feminis lainnya, karena Husien melakukan perjuangan pembelaan terhadap perempuan dari perepektif yang jarang orang menguasainya, malah kadang agama menjadi legitimasi untuk mensubordinasi perempuan terus menerus. (2) Husien sebagai ulama adalah alat sosialisasi wacana jender bagi masyarakat Islam tradisonalis yang masih memegang teguh budaya hormat pada guru atau kiai, karena Husien adalah kiai maka wacana yang diusung Husien diharapkan akan menyebar ke masyarakat pesantren secara luas. (3) Reinterpretasi terhadap teks-teks agama yang dilakukan Husien tidak akan terlalu besar mengundang kritik atau resisiten karena Husien dianggap memiliki legitimasi dalam melakukan reinterpretasi terhadap teks.
Rekomendasi kebijakan yang diusulkan adalah: (1) Laki-laki tidak selalu menjadi musuh utama perempuan bahkan kadang menjadi sekutu paling utama dalam melakukan perjuangan pembelaan terhadap perempuan.(2) Aktifis demokrasi dan jender kebanyakan berlatar belakang pendidikan sekuler yang lebih mengandalkan pada alat analisis sosial dan filsafat atau berlatar belakang pendidikan agama tetapi tidak memiliki otoritas keagamaan yang diakui oleh masyarakat, maka sangat penting seorang yang memiliki otoritas keagamaan melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan dengan legitimasi teks agama pula. (3) Aktifis perempuan perlu mendorong gagasan keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan masuk ke dalam masyarakat secara luas dengan menggunakan berbagai macam strategi, tidak terkecuali pesantren dengan mengubah kesadaran mereka dengan gagasan-gagasan Islam dan jender. (4) Sehubungan ada kesadaran bahwa agama menjadi alat legitimasi subordinasi perempuan -terutama di pesantren- maka dibutuhkan argumentasi-argumentasi keagamaan yang melawan pemahaman keagamaan dengan disesuaikan pengetahuan dan kemampuan masyarakat pesantren."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Etek
"ABSTRAK
Berangkat dari pemikiran bahwa keluarga dan Tempat Penitipan Anak adalah agen sosialisasi bagi anak, dimana kedua institusi merupakan penanam nilai nilai utama kehidupan yang perlu ditegakkan agar kelak anak dewasa akan menjadi anggota masyarakat yang dapat beperilaku sesuai patokan masyarakat. Konsep nilai tentang kejujuran, keadilan budipekerti pendidikan dan kesehatan ternyata perlu diinternalisasikan pada anak melalui pola asuh yang diperankan oleh keluarga atau TPA.
Dikeluarga anak mengalami sosialisasi primer dalam suatu proses yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi keluarga, relasi sosial antara suami dan istri. Kedekatan hubungan antara anak, ibu dan bapak yang dicerminkan oleh interaksi sosial yang berlangsung, menunjukkan seberapa jauh nilai dapat disosialisasikan dan teraplikasi dalam kehidupan keluarga sebagai langkah awal dalam pensosialisasian anak.
Di TPA pun sama halnya, proses sosialisasi anak dipengaruhi oleh relasi sosial antara pengasuh, interaksi pengasuh dengan anak, anak dengan anak, melalui kegiatan yang terstruktur adalah wujud nyata dari proses pensosialisasian anak di TPA.
Penelitian tentang sosialisasi anak dalam keluarga dan TPA yang merupakan studi kasus atas dua TPA dan empat keluarga yang terdiri dari dua keluarga kelas sosial menengah (KSM) dan dua keluarga dari kelas sosial bawah (KSB) ini telah mendapatkan temuan sebagai berikut:
Ternyata isi nilai yang ditanamkan dan pola asuh yang dipakai oleh keluarga dan TPA tak selalu sama, karena hal ini sangat dilatar belakangi oleh unsur unsur pendukung berlangsungnya sosialisasi di institusi masing-masing. Dikeluarga anak cenderung diperlakukan khusus, partikular, sedang di TPA secara umum universal .Tidak semua nilai seperti kejujuran, keadilan. budipekerti, pendidikan dan kesehatan ditanamkan 'secara utuh di keluarga , sedang di TPA ditanamkan secara utuh dan terstruktur. Disamping itu ditemukan pula kenyataan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh keluarga kelas sosial menengah (KSM) cenderung autoritatif permisif sedang pada keluarga kelas sosial bawah (KSB) otoriter permisif, pada hal di TPA pola asuh yang diterapkan secara jelas berada pada pola asuh yang autoritatif.
Dengan kecenderungan yang demikian terdapat beberapa perbedaan yang diperkirakan bisa menimbulkan konflik nilai pada anak sehingga bisa menghambat effektifitas sosialisasi anak. Penanaman nilai-nilai pada anak apabila dilakukan dengan cara yang tepat melalui dukungan situasi dan kondisi yang menguntungkan bagi proses keberlangsungan sosialisasi tersebut, maka nilai yang ditanamkan pada anak dapat tumbuh subur dan berkembang internalized dalam diri anak dan akan menjadi patokan berperilaku kelak.
Dengan demikian proses sosialisasi anak dalam keluarga dan TPA akan semakin penting untuk diperhatikan terutama oleh ibu bekerja yang punya anak balita yang juga dititipkan pada TPA."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aliuddin
"Jaringan, hanya ada dan dilaksanakan oleh para remaja laki laki dan wanita, duda serta janda di desa desa dalam Iingkungan komunitas Parean. Parean yang berada di jalur jalan raya pantai utara pulau Jawa,merupakan bagian dari Kecamatan Kandanghaur, yang terdiri dari tiga belas desa serta termasuk Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat.
Acara jaringan atau disebut juga dengan "pasar jodoh" adalah sesuatu yang hanya ada di Iingkungan komunitas Parean tidak diketahui secara pasti kapan di mulai. Acara jaringan tersebut telah berlangsung secara turun temurun sebagai suatu tradisi bagi para remaja Iaki Iaki dan wanita, duda serta janda untuk mencari pasangan hidup.
Setelah berjalan beberapa lama, acara jaringan memperlihatkan berbagai perubahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paul B Horton dan Chester L Hunt mengatakan bahwa folkways atau tradisi yang ada dalam masyarakat akan terus berlangsung dan sifatnya berbeda beda pada masing masing jaman.
Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk memperkaya kajian empirik tentang perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan fungsi intitusi jaringan sebagai sarana untuk mencari jodoh menjadi sarana mencari pasangan untuk kencan dengan adanya indikasi hubungan seks sebelum menikah.
Perubahan awal yang terlihat dari para peserla jaringan adalah terlihat dari Cara berpakaian, yang disesuaikan dengan kemajuan jaman. Namun perubahan itu membawa dampak terhadap symbol symbol yang ada dalam jaringan itu sendiri, terutama untuk membedakan antara remaja laki Iaki dengan duda dan remaja wanita dengan janda. Perubahan-perubahan yang terjadi pada akhirnya merubah fungsi sosial jaringan dari tempat memilih jodoh menjadi tempat kencan atau pacaran bagi para remaja desa desa yang berada dalam Iingkungan Parean, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai buruh nelayan dan buruh tani. Bagi mereka yang bersekolah, kedatangan ke acara janngan, pada umumnya hanya untuk iseng saja karena mereka tidak ingin memperoleh pasangan melalui jaringan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melihat berbagai perubahan yang terjadi di kalangan remaja dalam Iingkungan komunitas Parean dengan mencari berbagai informasi dari berbagai lapisan masyarakat yang ada di keempat desa yang ada dalam Iingkungan komunitas Parean yaitu , desa llir, desa Bulak, desa Parean Girang dan desa Wirapanjunan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini bahwa acara jaringan yang semula bersifat tertutup hanya untuk masyarakat yang ada dalam komunitas Parean dan perkawinan yang bersifat endogamy, berubah karena berbagai faktor, seperti mobilitas penduduk desa dan kota kota besar seperti Jakarta, Semarang terutama bagi mereka yang bekerja sebagai buruh nelayan. Kemiskinan, yang membuat para remaja tidak ingin melaksanakan semua tata cara yang ada dalam pemilihan jodoh dan pelaksanaan perkawinan, karena dianggap akan membebani mereka yang tidak mampu. Disamping adanya keinginan dari orang tua pihak wanita, ingin menikahkan segera anak wanitanya dengan harapan dapat mengurangi beban hidup keluarga. Apabila keinginan tersebut tidak tercapai maka orangtua juga berperan dalam proses perceraian.
Secara keseluruhan tesis ini nantinya akan menyajikan diskripsi mengenai fenomena sosial yang terjadi dan sebagian lagi memberikan analisa tentang mengapa teljadi perubahan fungsi institusi Jaringan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>