Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mia Rachmawati Kamal
"Latar belakang: Uveitis merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan adanya inflamasi intraokular. Derajat inflamasi bilik mata depan yang dinilai secara semi-kuantitatif berdasarkan penghitungan sel dan flare, digunakan untuk menentukan keparahan penyakit, efektivitas terapi serta pemantauan jangka panjang pada uveitis anterior dan panuveitis.
Tujuan: Menilai validitas dan reliabilitas optical coherence tomography (OCT) segmen anterior dalam mengukur inflamasi bilik mata depan secara kuantitatif sebagai metode alternatif dari standar baku pengukuran semi-kuantitatif, Kriteria SUN.
Metode: Studi ini adalah studi potong lintang, prospektif. Penghitungan jumlah sel menggunakan optical coherence tomography dengan bantuan ImageJ dilakukan oleh dua penilai yang berbeda. Hasil: Sebanyak 30 mata yang berasal dari 24 pasien diikutkan dalam penelitian. Sebanyak 80% pasien menderita panuveitis dengan tuberkulosis sebagai etiologi tersering (50%). Uji kesesuaian Cohen’s kappa pada protokol multiple line scans didapatkan nilai 0,352 (p=0,000) sedangkan protokol single line scan didapatkan nilai -0,218 (p=0,032). Uji korelasi Gamma protokol multiple line scans didapatkan nilai rho=0,595 (p=0,002) sedangkan protokol single line scan didapatkan nilai rho=-0,210 (p=0,313). Nilai inter-rater protokol multiple line scans menunjukkan hasil sangat baik sedangkan protokol single line scan baik (0,986 dan 0,892, p<0,001).
Kesimpulan: OCT segmen anterior menghasilkan data kuantitatif sel inflamasi pada bilik mata depan. Jumlah sel bilik mata depan yang dihitung menggunakan OCT segmen anterior protokol multiple line scans menunjukkan korelasi sedang dan kesesuaian minimal dengan Kriteria SUN.

Background: Uveitis is a group of diseases characterised by intraocular inflammation. The evaluation of anterior chamber inflammation, conducted through a semi-quantitative assessment involving cell counts and flares, plays a pivotal role in determining disease severity, assessing therapeutic effectiveness, and facilitating long-term monitoring in anterior uveitis and panuveitis cases.
Purpose: To evaluate the validity and reliability of anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT) as a quantitative measurement tool for assessing anterior chamber inflammation. The objective is to explore its potential as an alternative method to the standard semi-quantitative measurement defined by the SUN Criteria.
Methods: A prospective, cross-sectional study was conducted for this purpose. The anterior chamber cell numbers were quantified using anterior segment optical coherence tomography, assisted by ImageJ, and assessed independently by two raters.
Result: The study included a total of 30 eyes from 24 patients. Panuveitis was observed in 80% of the patients, with tuberculosis identified as the predominant etiology (50%). The Cohen’s kappa test, conducted on the multiple-line scan protocol, yielded a value of 0.352 (p=0.000), while the single-line scan protocol showed a value of -0.218 (p=0.032). The Gamma correlation test for the multiple-line scan protocol demonstrated a value of rho=0.595 (p=0.002), whereas the single-line scan protocol had a value of rho=-0.210 (p=0.313). Inter-rater values for the multiple-line scan protocol indicated excellent agreement (0,986, p<0.001), while the single-line scan protocol showed good agreement (0.892, p<0.001).
Conclusion: OCT yielded quantitative data on anterior chamber inflammatory cells. Quantifying anterior chamber cells through the multiple line scan protocols of anterior segment OCT showed a moderate correlation and minimal agreement with the SUN Criteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewinta Retno Kurniawardhani
"Perkembangan terapi adjuvan pada glaukoma untuk memperlambat progresi glaukoma saat ini terus dieksplorasi. Penelitian ini mengevaluasi efek Mirtogenol, pada perubahan perfusi okular (perfusi kapiler dan flux index), ketebalan lapisan serabut saraf retina (LSSR), dan tekanan intraokular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang menerima terapi timolol maleat 0,5% tetes mata. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Terdapat 36 subjek (37 mata) dengan GPSTa dan TIO < 21 mmHg yang diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo selama 8 minggu. Kedua grup dibandingkan, pada kelompok Mirtogenol, rata-rata peningkatan perfusi kapiler dan flux index lebih baik, dan pada kuadran superior terdapat hasil yang signifikan secara statistik setelah 4 minggu (p=0.018). Rerata perbedaan ketebalan LSSR di seluruh kuadran terdapat penurunan dengan nilai yang lebih sedikit pada kelompok Mirtogenol (p>0.05). Penurunan TIO yang konsisten pada kelompok Mirtogenol setelah 8 minggu (p>0.05). Ditemukan efek samping pada 1 subjek yaitu gangguan lambung. Suplementasi Mirtogenol, sebagai terapi adjuvan pada pengobatan glaukoma dapat meningkatkan perfusi okular, mempertahankan ketebalan LSSR, dan menurunkan TIO.

The development of adjuvant therapies in glaucoma to slow its progression is currently being explored. This study evaluates the effects of Mirtogenol on changes in ocular perfusion (capillary perfusion and flux index), retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness, and intraocular pressure (IOP) in primary open-angle glaucoma (POAG) patients receiving 0.5% timolol maleate eye drops. This study is a double-blind, randomized controlled clinical trial. There were 36 subjects (37 eyes) with POAG and IOP < 21 mmHg randomized to receive Mirtogenol or placebo for 8 weeks. Compared between the two groups, the Mirtogenol group showed a better average improvement in capillary perfusion and flux index, with statistically significant results in the superior quadrant after 4 weeks (p=0.018). The mean difference in RNFL thickness across all quadrants showed a smaller reduction in the Mirtogenol group (p>0.05). There was a consistent decrease in IOP in the Mirtogenol group after 8 weeks (p>0.05). One subject experienced side effects, specifically stomach disturbances. Mirtogenol supplementation, as an adjuvant therapy in glaucoma treatment, can improve ocular perfusion, maintain RNFL thickness, and reduce IOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Annisa Citra Permadi
"Latar Belakang : Uveitis adalah suatu kelompok penyakit yang ditandai dengan adanya inflamasi intraokular, berkontribusi sebanyak 25% kebutaan di dunia. Kekeruhan vitreus adalah salah satu tanda klinis yang penting untuk evaluasi dan monitor penyakit khususnya pada uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis.
Tujuan : Memperoleh pengukuran kuantitatif dari kekeruhan vitreus menggunakan optical coherence tomography (OCT) dengan Image J sebagai metode alternatif dari standar baku pengukuran kualitatif, skala Nussenblatt.
Metode: Studi ini adalah studi potong lintang, prospektif. Studi ini menyertakan karakteristik klinis dan demografis pasien uveitis dan kontrol. Penilaian OCT makula dan foto fundus dilakukan oleh dua orang yang berbeda.
Hasil: Sebanyak 29 partisipan dengan uveitis dan 29 kontrol sehat diikutkan dalam penelitian. Lebih dari setengah pasien memiliki panuveitis (59.6%) dengan toksoplasma sebagai etiologi tersering (27.6%). Median dari Vitreus/Epitel Pigmen Retina intensitas relatif (VRIr) sebagai pengukuran yang didapat dari OCT didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan uveitis dibandingkan dengan kontrol sehat (0.265; 0.168-0.605 dan 0.175;0.152-0.199 secara berurutan). Nilai intra-rater dengan kedua metode ini menunjukkan hasil yang sangat baik dengan penilai 1 memperoleh 0. 975 (0.958, 0.985); penilai 2 memperoleh 1.00 (0.999, 1.000) untuk VRIr, dan penilai 1 memperoleh 0.920 (0.829, 0.962) dan penilai 2 memperoleh 0.908 (0.804, 0.957) untuk skala Nussenblatt. VRIr memiliki nilai inter-rater yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan skala Nussenblatt (0.998; 0.996 - 0.999 dan 0.717; 0.696 - 0.737, p<0.001). Korelasi positif yang kuat ditemukan diantara VRIr dan skala Nussebblatt (rho= 0.713, p<0.001).
Kesimpulan: VRIr memiliki nilai inter-rater dengan kesesuaian yang hampir sempurna dan kesesuaian intra-rater yang sangat baik dengan adanya korelasi positif yang kuat terhadap skala Nussenblatt, menjadikan VRIr sebagai metode kuantitatif dari pengukuran kekeruhan vitreus.

Background : Uveitis is a group of diseases characterized by intraocular inflammation, causing 25% of blindness world-wide. Vitreous haziness is one of important clinical endpoint for disease evaluation and monitoring in intermediate, posterior uveitis and panuveitis.
Purpose : To obtain quantitative measurement of vitreous haziness using optical coherence tomography (OCT) with Image J as alternative method to gold standard qualitative measurement, Nussenblatt scale.
Methods: Prospective , cross-sectional study was conducted for this purpose. Clinical and demographic characteristic of uveitic and healthy control were recorded in this study. OCT macula and fundus photograph were obtained and graded by two independent graders.
Result: A total of 29 uveitic eyes and 29 healthy controls were included in this study. More than half of recruited patients had panuveitis (59.6%) with toxoplasma as the most common etiology (27.6%). Median of Vitreous/RPE relative intensity (VRI) as the OCT-derived measurement showed higher in uveitic patients compared to healthy controls (0.265; 0.168-0.605 and 0.175;0.152-0.199 respectively). Intra-rater of two methods showed excellent result with grader 1 was 0.975 (0.958, 0.985) ; grader 2 was 1.00 (0.999, 1.000) for VRI, and grader 1 was 0.920 (0.829, 0.962) and grader 2 was 0.908 (0.804, 0.957) for Nussenblatt Scale. VRI had higher inter-rater agreement compared to Nussenblatt scale (0.998; 0.996 - 0.999 and 0.717; 0.696 - 0.737, p<0.001). Strong positive correlation was found between VRI and Nussenblatt scale (rho= 0.713, p<0.001).
Conclusion: VRI had near perfect inter-rater agreement and excellent intra-rater agreement with strong positive correlation with Nussenblatt scale, making VRI a quantitative method of vitreous haziness measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys
"

Proliferative vitreoretinopathy  (PVR) pada ablasio retina rhegmatogen (ARR) menurunkan tingkat keberhasilan anatomis dan fungsional. Transforming growth factor-β (TGF-β) merupakan pro-fibrotik yang berperan penting dan dapat menjadi target terapi dan masih belum ada data mengenai TGF-β3 pada PVR. Penelitian ini bertujuan menguji kadar TGF-β2 dan TGF-β3 pada kasus PVR A dan B.  Penelitian ini berdesain potong lintang pada pasien ARR PVR A dan B yang menjalani vitrektomi di RSCM Kirana. Sampel vitreus diambil intra-operasi dan diperiksa di protein total, TGF-β2 dan TGF-β3 dengan metode ELISA. Didapatkan 20 sampel; 10 mata untuk PVR A dan 10 untuk PVR B. Tidak didapatkan perbedaan bermakna untuk karakteristik kedua grup maupun berdasarkan TGF-β2 dan TGF-β3. Secara umum didapatkan level TGF-β2 yang lebih tinggi pada PVR A dan B namun tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05). Didapatkan korelasi negatif (Spearman r-0,468)  antara TGF- β2 dengan TGF- β3 pada seluruh grup PVR (p=0,037) namun tidak didapatkan korelasi yang signifikan per grup PVR. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan TGF- β3 dengan primary attachment rate. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan 3 pada ARR yang terjadi sebelum atau sesudah 14 hari namun ditemukan tren rasio TGF- β2/protein total yang semakin rendah 14 hari pasca ARR Studi ini merupakan studi pertama yang membandingkan kadar TGF- β2 dan TGF- β3 pada pasien dengan PVR A dan B. Secara tren, ditemukan kadar TGF-β2 yang lebih tinggi pada ARR dengan PVR  B dibanding A dan kadar TGF-β3 yang lebih rendah pada ARR dengan PVR B dibanding A.


Proliferative vitreoretinopathy (PVR) in rhegmatogenous retinal detachment (RRD) reduces anatomical and functional success rate. Transforming growth factor-β (TGF-β) is a pro-fibrotic that plays an important role and can be a therapeutic target and there is still no data on TGF-β3 in PVR. This study aims to examine the levels of TGF-β2 and TGF-β3 in cases of PVR A and B. This study used cross-sectional design in ARR PVR A and B patients who underwent vitrectomy at RSCM Kirana. Vitreous samples were taken intra-operatively and examined for total protein, TGF-β2 and TGF-β3 using ELISA. A total of 20 samples were obtained; each 10 eyes for PVR A and 10 for PVR B. There were no significant differences in the characteristics of the two groups or based on TGF-β2 and TGF-β3. In general, higher TGF-β2 levels were found in PVR A and B but there was no significant difference (p>0.05). A negative correlation (Spearman r-0.468) was found between TGF-β2 and TGF-β3 in all PVR groups (p=0.037) but no significant correlation was found per PVR group. There was no significant difference between TGF-β2 and TGF-β3 with primary attachment rate. There was no significant difference between TGF-β2 and 3 in ARR that occurred before or after 14 days, but a trend was found in the ratio of TGF-β2/total protein that was getting lower ≥14 days after ARR. This study is the first study to compare TGF-β2 and TGF-β3 levels in patients with PVR A and B. In terms of trend, higher TGF-β2 levels were found in ARR with PVR B compared to A and lower TGF-β3 levels in ARR with PVR B compared to A."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Krishna Ernanda
"Latar Belakang: Pengawet dalam tetes mata memengaruhi permukaan okular, ditemukan terutama pada pasien yang menggunakan obat tetes anti-glaukoma. Beredar tetes mata timolol maleat dengan pengawet chlorhexidine gluconate (CHG) yang belum pernah diteliti efeknya terhadap parameter permukaan okular.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pengawet chlorhexidine gluconate 0,002% dalam sediaan timolol maleat 0,5% (timolol-CHG) terhadap permukaan okular pasien glaukoma dan hipertensi okuli.
Metode: Penelitian eksperimental terandomisasi dengan samar tunggal pada 54 mata pasien dengan diagnosis glaukoma maupun hipertensi okuli yang menggunakan timolol maleat 0,5% pengawet polyquaternium-1 (timolol-PQ1) <12 bulan. Dua puluh tujuh mata mengganti pengobatan ke timolol-CHG dan 27 mata melanjutkan timolol-PQ1. Dinilai tear break up time (TBUT), tear break up pattern (TBUP), skor pewarnaan kornea konjungtiva (staining), skor ocular surface disease index (OSDI), Schirmer I dan TIO awal dan sesudah satu bulan intervensi.
Hasil: Nilai rerata selisih TBUT 0,15±5,28 detik pada kelompok timolol-CHG dan (- 1,30)±3,47 pada timolol-PQ1. Tidak terdapat perbedaan bermakna selisih nilai parameter permukaan okular (TBUT, staining, OSDI, Schirmer I) maupun TIO antar kedua kelompok. Line dan dimple pattern merupakan TBUP yang paling banyak ditemukan pada kedua kelompok baik sebelum maupun sesudah intervensi. Analisis dalam kelompok mendapatkan penurunan TBUT bermakna (p < 0,05) pada kelompok timolol-PQ1 setelah dibandingkan dengan sebelum intervensi, pada kelompok timolol-CHG tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Kesimpulan: Timolol-CHG memiliki efek terhadap permukaan okular dan TIO sebanding dengan timolol-PQ1. Penggunaan timolol-CHG dapat dipertimbangkan sebagai alternatif jangka pendek pengobatan glaukoma.

Background: Patients with glaucoma and ocular hypertension using topical anti-glaucoma medication are more likely to have ocular surface problems. It happens mainly due to the preservatives in the eye drops. Chlorhexidine gluconate (CHG) as a preservative have not been studied for their effects on ocular surface parameters.
Objective: To evaluate the effect of chlorhexidine gluconate 0,002% preseved timolol maleate 0,5% (timolol-CHG) on the ocular surface of patients with glaucoma and ocular hypertension.
Methods: Randomized single-blind controlled trial in 54 eyes of patients diagnosed with glaucoma or ocular hypertension that has been using polyquaternium-1 preserved timolol maleate 0.5% (timolol-PQ1) for <12 months. Twenty-seven eyes switched therapy to timolol- CHG, and 27 eyes continued with timolol-PQ1. Tear break-up time (TBUT), tear break-up pattern (TBUP), corneal-conjunctival staining score, ocular surface disease index (OSDI) scoring, Schirmer I, and intraocular pressure (IOP) were assessed at baseline and one month post intervention.
Results: Mean differences (1 month-baseline) of TBUT were 0.15±5.28 seconds in timolol- CHG group and (-1.30)±3.47 in timolol-PQ1 group. There were no difference (p > 0.05, for all) between groups in terms of ocular surface parameters (TBUT, staining, OSDI, Schirmer I) and IOP mean differences. Line and dimple pattern were the most common break-up pattern found in both group at baseline and at 1 month. Analysis within group found significant difference (p < 0.05) of timolol-PQ1 TBUT at 1 month compared to baseline, TBUT were lower at 1 month.
Conclusion: Timolol-CHG has comparable effects on the ocular surface and IOP comparable to timolol-PQ1. The use of timolol-CHG may be considered as a short-term alternative for glaucoma treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Fujiyono
"Latar Belakang: Mayoritas kasus kebutaan kornea dapat direhabilitasi dengan tindakan transplantasi kornea. Akan tetapi, tingkat donor kornea di Indonesia dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan transplantasi kornea.
Tujuan: Mengetahui hubungan faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap terhadap perilaku masyarakat mengenai donor kornea.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional study) untuk menilai hubungan antara faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap terhadap perilaku donor kornea.
Hasil: Komponen sosiodemografi yang berhubungan terhadap perilaku (P < 0,05) antara lain kategori responden, jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Pengetahan dan sikap juga memiliki hubungan terhadap perilaku. Berdasarkan analisis multivariat, jenis kelamin, kategori responden, agama, pengetahuan, dan sikap diduga mepengaruhi perilaku donor kornea. Sedangkan nilai OR terbesar yang diperoleh yaitu 7,305 pada variabel pengetahuan.
Kesimpulan: Tingkat pengetahuan sikap dan perilaku mengenai donor kornea relatif rendah pada subjek yang diamati. Tidak seluruh komponen sosiodemografi yang diamati berhubungan terhadap perilaku donor kornea. Pengetahuan dan sikap memiliki hubunngan terhadap perilaku. Pengetahuan merupakan variabel yang paling mempengaruhi perilaku donor kornea.

Background: The majority of cases of corneal blindness can be rehabilitated by a corneal transplant. However, the level of donor corneas in Indonesia is still insufficient to meet the needs for corneal transplants.
Objective: To determine the relationship between sociodemographic factors, knowledge, and attitudes towards people's behavior regarding corneal donors.
Methods: This study used a cross-sectional study design to assess the relationship between sociodemographic factors, knowledge, and attitudes towards corneal donor behavior.
Results: The sociodemographic components related to behavior (P < 0.05) included respondent categories, gender, religion, ethnicity, education level, and occupation. Knowledge and attitudes also have a relationship to behavior. Based on multivariate analysis, gender, respondent category, religion, knowledge, and attitudes are thought to influence the behavior of corneal donors. While the largest OR value obtained is 7.305 on the knowledge variable.
Conclusion: The level of knowledge, attitudes and behavior regarding corneal donors is relatively low in the subjects studied. Not all observed sociodemographic components are related to corneal donor behavior. Knowledge and attitudes have a relationship to behavior. Knowledge is the variable that most influences the behavior of corneal donors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luciana B. Sutanto
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D1524
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Edy Siswanto
"Latar Belakang: Retinopati Prematuritas atau ROP merupakan gangguan vaskular retina bayi prematur yang dapat menyebabkan pelepasan retina dan terjadinya kebutaan. Variasi gen Norrie disease Pseudoglioma (NDP) serta paparan oksigen diduga terlibat dengan kejadian dan perkembangan ROP.
Tujuan: Mengetahui peran variasi NDP serta faktor layanan neonatal khususnya paparan oksigen dalam memprediksi kejadian ROP pada bayi prematur Indonesia. Metodologi: Studi dilaksanakan tahun 2009-2014 di beberapa pusat pelayanan perinatologi dan mata sekitar Jakarta. Sebanyak 6 situs mutasi pada ekson 3 dideteksi yaitu C597A, L108P, R121W, A105T, Val60Glu, dan C110G. Perubahan susunan basa gen NDP dianalisis dengan mengampilifikasi gen NDP bagian ekson 3 menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR-RFLP dan PCR-SSP). Hasil diverifikasi dengan sekuensing DNA. Model multivariat hasil analisis regresi logistik dan regresi Cox digunakan sebagai model skoring untuk memprediksi kejadian dan keparahan ROP.
Hasil: Tidak ditemukan polimorfisme dan mutasi pada situs NDP exon 3. Hasil analisis multivariat didapatkan BBL, PJT(NCB-KMK), transfusi tukar, lama suplementasi O2, SpO2 terendah, dan sosial ekonomi sebagai variabel yang berhubungan dengan kejadian ROP. Sedangkan dalam hubungannya dengan keparahan ROP, didapatkan usia gestasi, lama suplementasi O2 > 7 hari, SpO2 terendah, rujukan RS, dan sosial ekonomi.
Kesimpulan: Tidak didapatkan polimorfisme dan mutasi gen NDP exon 3 pada kasus ROP bayi prematur Indonesia. Lama suplementasi O2 dan nilai SpO2 terendah mempunyai peran dalam meningkatkan risiko kejadian dan berkembangnya ROP menjadi lebih berat.

Background: Retinopathy Prematurity or ROP is retinal vascularization disorder on premature infants that causing retina detachment and eventually blindness. NDP gene mutation and oxygen exposure might have role in incidence of ROP.
Objective: This study was conducted to determine the role of NDP gene polymorphism and mutation, and oxygen exposure for predicting the incidence of ROP in Indonesia.
Methodology: Data were collected from few Perinatology and Opthalmology centres around Jakarta during 2009-2014. DNA samples isolated from blood and buccal cell. This study tried to detect 6 mutations site on exon 3 of NDP gen which are C597A, L108P, R121W, A105T, Val60Glu, and C110G. Alterations of NDP gene were analized with amplification of NDP gene in exon 3 region using Polymerase Chain Reaction (PCR-RFLP dan PCR-SSP) methods. The result verified with DNA sequencing. Scoring model were made by using logistic regression to predict the incidence and development of ROP.
Result: No NDP gene polymorphism and mutations at exon 3 region was detected. The result have been analized with PCR-RFLP and verified with DNA sequencing. Multivariate analysis using logistic regression for incidence of ROP retain birth weight, IUGR, gender, respiratory distress, exchange transfussion, length of O2 supplementation, SpO2 minimum, and socioeconomic variables. As for ROP severity, multivariate analysis retain gestational age, gender, access to hospital (inborn/outborn), apnea, length of O2 supplementation, SpO2 minimum, and socioeconomic variables.
Conclusion: The relationship between polymorphisms and mutations of NDP gene and ROP cases that happened in Indonesian premature infants population did not showed in this study. Length of O2 supplementation and minimum value of SpO2 85 - 90% significantly increase the risk for ROP incidence and development of severe ROP."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2084
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berri Primayana
"Latar Belakang : Kejadian AKI Acute Kidney Injury pascabedah akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan kriteria AKIN. Kondisi dan manajemen perioperatif sangat mempengaruhi kekerapan AKI pascabedah.
Tujuan : Mengetahui hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien yang dirawat di ICU pascabedah elektif antara Januari 2014 hingga Desember 2015. Seratus satu pasien diikutkan dalam penelitian dari total 1739 data pasien yang didapatkan. Diagnosis AKI ditegakkan dengan keriteria AKIN. Data diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji Chi Square dan Independent T test.
Hasil : Analisis dilakukan pada 101 pasien dari 1739 populasi terjangkau. Insiden AKI didapatkan sebesar 44,6 . Diagnosis AKI ditegakkan dengan penurunan jumlah urin sesuai dengan Stage 1 AKI berdasarkan AKIN. Rata-rata usia AKI didapatkan sebesar 50,44 13,7 tahun p=0,304 . Analisis berdasarkan masing-masing variabel didapatkan kekerapan AKI pada diabetes melitus sebesar 50 p=0,633 , penyakit jantung sebesar 40,7 p=0,641 , hipertensi sebesar 46,9 p=0,749 , dan operasi intraabdomen sebesar 61,9 p=0,072 .
Kesimpulan : Dari variabel yang diteliti tidak ada hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>