Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasibuan, Aurora Zahra
"Latar Belakang: Demi mencapai seluruh poin pada SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2030, kita perlu menginvestasikan masa depan tersebut pada generasi muda sebagai agen perubahan. Sebelum SDG, Indonesia sudah berhasil mencapai MDG poin 4 mengenai mengurangi angka kematian pada anak. Indonesia telah berhasil mengurangi dari 85 per 1000 kelahiran pada tahun 1990 hingga 27 per 1000 kelahiran pada tahun 2015. Meskipun demikian, masih terdapat 147,000 anak yang meninggal sebelum mereka berumur 5 tahun. Penyebab kematian beragam, salah satunya adalah kurang gizi atau gizi buruk. Selain itu, kondisi gizi buruk juga menyebabkan anak untuk mengalami gangguan pertumbuhan, yakni stunting (berjumlah sebesar 36% pada balita). Gizi buruk bisa disebabkan dari banyak hal, yang meliputi perbedaan pada status ekonomi dan juga dipengaruhi dari distribusi tenaga kesehatan yang kurang baik. Oleh karena itu, memantau pertumbuhan balita adalah program yang sangat penting untuk dilakukan secara rutin guna memastikan seluruh anak Indonesia mendapatkan nutrisi yang baik sehingga tercipta masa depan yang baik juga. Dalam mewujudkan kelangsungan pemantauan tumbuh balita yang rutin, selain peran tenaga kesehatan, orang tua juga harus turut berkontribusi. Oleh karena itu, dirasa penting bagi peneliti untuk meningkatkan kesadaran orang tua terutama para Ibu untuk melakukan pemantauan tumbuh balita secara rutin, yang juga dibantu oleh paparan dari tenaga kesehatan terdekat yakni Puskesmas, melalui program “Keluarga Sehat”, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan fasilitas kesehatan lainnya.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode cross-sectional untuk menganalisa tingkat kesadaran Ibu di Cikini Ampiun. Hasil dari penelitian akan digunakan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran Ibu terhadap pentingnya pemantauan tumbuh balita sebagai salah satu indikator “Keluarga Sehat”.
Hasil: Dari seluruh faktor yang dievaluasi, tingkat kesadaran Ibu terhadap pentingnya pemantauan tumbuh balita berbeda-beda sesuai faktor masing-masing, yang meliputi: umur, tingkat edukasi, status ekonomi, dan jumlah kehamilan.
Konklusi: Hanya terdapat satu faktor yang menunjukkan dampak pada rendahnya tingkat kesadaran Ibu pada pentingnya pemantauan tumbuh balita, yakni tingkat edukasi.
......Background: To achieve SDGs (Sustainable Development Goals) by 2030, it is crucial to invest the future on youth generation; children as agents of change. Before that, Indonesia had achieved MDGs point 4 regarding decreasing child’s mortality rate, from 85 per 1000 births in 1990 to 27 per 1000 births in 2015. However, still, there are 147,000 children died before reaching their 5th year of life. The cause of death varies, and one of it includes growth abnormalities, for example stunting – which accounts for 36% of children under five. Poor nutrition can be influenced by many factors, including differences in economical status, which are also influenced by poor distribution of health care providers. Therefore, growth monitoring of children under five is a very crucial program to be routinely performed in order to ensure all children in Indonesia acquire adequate nutrition thus prospecting for a brighter future. To ensure continuous growth monitoring, other than health care providers, parents also contribute. Therefore, it is crucial to improve awareness of the parents especially mothers to perform continuous growth monitoring, which is also supported by adequate exposures from health care facilities including Puskesmas through the programs of “Keluarga Sehat”, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) as well as other health care facilities.
Method: The research is conducted using cross-sectional method, to analyze level of awareness of mothers in Cikini Ampiun. The results of research are used to analyze mother’s awareness towards the importance of growth monitoring of children under five as an indicator of “Keluarga Sehat”.
Results: Of all factors evaluated, the level of awareness of mothers towards the importance of growth monitoring of children under five is different depending on each factors which include: age, education, economical status and parity.
Conclusion: There is only one factor which influences the low awareness level of mothers towards the importance of growth monitoring of children under five, which is educational background."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Farrel Abduljabar
"

Immunisasi ada suatu proses yang sangat penting untuk mencegah adanya penyebaran penyakit menular. Indonesia memiliki program imunisasi dasar yang bertujuan untuk melindungi anak-anak. Program imunisasi dasar Indonesia mencakup proses vaksinasi anak baru lahir sampai mereka berumur 1 tahun. Data mengenai kepatuhan ibu mengikuti proses imunisasi dasar untuk anak-anaknya di daerah Cikini Ampiun masih kurang. Penelitian ini adalah penilitian cross sectional yang menggunakan form kuesioner dengan sampel kasus berupa 44 responden. Subjek penelitian yang diambil adalah perempuan yang memiliki anak minimal 1 orang. Variabel independent dari penelitian ini adalah usia responden, tingkat pendidikan terakhir, besarnya keluarga responden, penghasilan, pekerjaan responden, dan juga status paritas responden. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara status socioeconomics responden dengan kepatuhan dan juga pengetahuan ibu tentang pentingnya imunisasi dini untuk anak mereka. Kelengkapan imunisasi dasar adalah suatu upaya untuk pencegahan penyakit mudah menular di kalangan anak-anak. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan akan muncul rasa lebih peduli akan status imunitas anak dan juga upaya pencegahan penyakit menular di lingkunannya.

 


Immunization is an important process that is important to prevent the spread of infectious diseases especially in children. Indonesia has a basic immunization program aimed to boost the immune status of children. The basic immunization program of Indonesia is given to newborns up to 1 year old. Data regarding the compliance of mothers towards the basic immunization programs in Indonesia is still lacking. This is a cross sectional research that uses questionnaire to gather data. The sample size of this research is 44 respondents, the samples are mothers with at least one child. The independent variable of this research includes the age of the respondents, education, family income, household size, working status, and parity status of the respondent. The result of this study shows no correlation between the socioeconomic status of the respondents with their compliance and awareness regarding the importance of complete immunization for children. Completeness of the basic immunization program is an attempt to prevent the spread of infectious disease in children. With this research, hopefully the respondents became more aware regarding the importance of their childrens immunity status and the attempt to prevent the spread of infectious disease in their environment.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Y. Danang Prasetyo
"Latar Belakang: Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrin dan metabolisme dengan prevalensi tinggi. Salah satu akibat dari SOPK merupakan infertilitas. Fertilisasi In Vitro (FIV) merupakan salah satu alternatif dari masalah tersebut. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang mendeskripsikan hubungan SOPK dengan komplikasi obstetri pada pasien yang menjalani FIV dibandingkan dengan pasien lainnya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komplikasi obstetri pada wanita yang menjalani program FIV dengan SOPK Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2013-2019. Subjek penelitian merupakan seluruh wanita berusia diatas 18 tahun yang menjalani program FIV tanpa kelainan ginekologis lain selain SOPK. Luaran dalam penelitian ini adalah komplikasi obsteri berupa abortus dan IUFD. Analisa dilakukan dengan menggunakan cox-regresi untuk mendapatkan nilai Risk Ratio (RR) setelah dilakukan control terhadap confounding Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 355 wanita, dimana 72 diantaranya memiliki SOPK (20,3%). Komplikasi obstetri yang didapatkan pada subjek dengan SOPK adalah preterm (2,78%), IUFD (17,24%), abortus (9,72%), dan kehamilan ektopik (1,39%). Tidak dijumpai hubungan antara SOPK dengan IUFD pada wanita yang menjalani program FIV (RR: 1.07, 95%CI: 0.52-2.20, p-value: 0.864). Didapatkan adanya hubungan antara interaksi antara SOPK dengan pembelahan nisbah < 6 terhadap terjadinya abortus pada wanita yang menjalani program FIV. (RR: 7.32, 95%CI: 2.10-25.45, P-value: 0.002). Simpulan: SOPK tidak memengaruhi terjadinya IUFD dan abortus pada wanita yang menjalani program FIV.
......Introduction: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is an endocrine and metabolic disorder with a high prevalence. One result of PCOS is infertility. In Vitro Fertilization (FIV) is one of the alternatives to the problem. However, there are no study describing the differences in obstetric complications of PCOS patients undergoing FIV compared to other patients. Aim: This study aims to determine the relationship of obstruction complications in women undergoing FIV programs with PCOS.
Methods: This was a retrospective cohort study conducted at Dr. RSUPN. Cipto Mangunkusumo since 2013-2019. The study subjects were all women aged over 18 years who underwent FIV programs without other gynecological abnormalities besides PCOS. The outcomes in this study were obstetric complications in the form of abortion and IUFD. Analysis is done by using cox-regression to get the value of Risk Ratio (RR) after controlling for confounding Results: This study included 355 women, of whom 72 had PCOS (20.3%). Complications found in subjects with PCOS were preterm preterm were found in (2.78%), IUFD (17.24%), abortion (9.72%) and ectopic pregnancy (1.39%). No association was found between PCOS and IUFD in women undergoing FIV programs (RR: 1.07, 95% CI: 0.52-2.20, p-value: 0.864). Interaction between PCOS and ratio <6 had higher probability of having abortion in women
undergoing FIV program obtained. (RR: 7.32, 95% CI: 2.10-25.45, P-value: 0.002). Conclusion: PCOS does not affect the occurrence of IUFD and abortion in women undergoing FIV programs."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Putri Meutia
"LATAR BELAKANG: Endometriosis merupakan penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada perempuan usia reproduksi. Infertilitas, dismenorea dan nyeri pelvik diluar siklus haid merupakan keluhan utama yang berkaitan dengan endometriosis. Etiopatogenesis endometriosis belum sepenuhnya diketahui, diduga selain teori haid berbalik terdapat faktor genetik yang berperan. Adiponektin merupakan adipokin yang berperan meningkatkan sensitivitas insulin dan kemudian juga diketahui peranannya pada sistem imun yang merupakan inti dari patogenesis endometriosis. Berbagai penelitian menyebutkan hubungan kadar adiponektin serum dan polimorfisme gen adiponektin dengan endometriosis namun belum terdapat penelitian yang menghubungkan variasi genetik reseptor adiponektin dengan endometriosis.
TUJUAN: Mengetahui distribusi SNP 219 gen AdipoR2 pada pasien dengan endometriosis dan tanpa endometriosis dan hubungan SNP 219 gen AdipoR2 terhadap risiko endometriosis
DESAIN DAN METODE: Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Kelompok kasus adalah wanita usia reproduksi dengan endometriosis dan kelompok kontrol adalah wanita usia reproduksi tanpa endometriosis. Deteksi SNP 219 gen AdipoR2 dilakukan dengan menggunakan teknik PCR-RFLP. Distribusi genotipe pada kedua kelompok dibandingkan.
HASIL: Didapatkan 75 sampel terdiri dari 39 kasus dan 36 kontrol. Pada kelompok kasus didapatkan genotipe A/A pada 7 (18,4%) subyek, A/T pada 24 (63,2%) subyek dan T/T pada 7 (18,4%) subyek. Pada kelompok kontrol didapatkan genotipe A/A 10 (27%) subyek, A/T pada 22 (59,5%) subyek dan T/T pada 5 (13,5%) subyek
......BACKGROUND : Endometriosis is one of the most common gynecological disorder found on women in reproductive age. Chief complaints such as infertility, dysmenorrhea and chronic pelvic pain are known to be endometriosis-related. Etiopathogenesis of endometriosis is not fully understood yet, retrograde menstruation is well accepted as etiology of endometriosis, although other factor such as genetic factor may contribute to the pathogenesis of endometriosis. Adiponectin is substance produced by adipocyte tissue which promote insulin sensitivity and scavenger activity which involves in endometriosis pathogenesis. Low adiponectin resulted in insulin resistence which plays a role in endometriosis pathogenesis. Many studies show correlation between level of serum adiponectin and adiponectin gene polymorphism with endometriosis. But there is little evidence on correlation between adiponectin receptor gene polymorphism with endometriosis.
PURPOSE: To know distribution and correlation of SNP 219 adipoR2 gene in patient with endometriosis
DESIGN AND METHOD: This is a case-control study. The case group consist of reproductive age women with endometriosis while the control group consist of reproductive age without endometriosis. Detection of SNP 219 adipoR2 gene was performed using PCR-RFLP technique. Genotype distribution was compared between the two groups.
RESULT: 75 samples were obtained, 39 cases and 36 controls. In cases group A/A genotype was found in 7 (18,4%) subjects, A/T in 24 (63,2%) subjects and T/T in 7 (18,4%) subjects. In control group, A/A genotype was found in 10 (27%) subjects, A/T in 22 (59,5%) subjects and T/T in 5 (13,5%) subjects.
CONCLUSION: No correlation between SNP 219 AdipoR2 gene with risk of endometriosis"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahmawaty
"ABSTRAK
Latar Belakang: Persalinan merupakan suatu proses fisiologis, namun berkaitan
dengan nyeri dan rasa tidak nyaman. Selain itu induksi persalinan merupakan suatu
intervensi dari luar terhadap proses alami kehamilan sehingga menginisiasi terjadinya
kontraksi uterus dan dilatasi serviks Saat ini belum ada studi yang membandingkan
nyeri persalinan spontan dan nyeri induksi persalinan.
Tujuan: Mengetahui perbedaan nyeri persalinan spontan dan nyeri induksi
persalinan pada kala I dengan his 2-3 kali dalam 10 menit dan lama his 20-40 detik,
kala I dengan his 4 kali dalam 10 menit dan lama his lebih dari 40 detik, kala IV dan
satu hari pasca persalinan.
Metode: Penelitian dengan desain kohort prospektif membandingkan 50 ibu
persalinan spontan dan 50 ibu yang menjalani induksi persalinan sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel didapatkan dari RS Cipto Mangunkusumo dan
RS jejaring lainnya periode Juli 2013- September 2013. Intensitas nyeri dinilai
dengan Visual Analogue Scale. pada persalinan spontan dan induksi persalinan .
Perbandingan data antara dua kelompok dianalisis dengan uji Mann-Whitney
Hasil : Didapatkan skor nyeri ibu dengan persalinan spontan dibandingkan induksi
persalinan pada kala I his 2-3x/10 menit lama his 20-30 detik (5,00 vs 6,00, nilai
tengah semu 38,36 vs 62,64, p <0,001), saat kala I his 4x/10 menit lama his lebih
dari 40 detik (10,00 vs 10,00, nilai tengah semu 45,50 vs 55,50, p= 0,013), kala IV
(1,00 vs 1,00, nilai tengah semu 44,53 vs 56,48, p 0,020). Sedangkan pada skor nyeri
ibu satu hari pasca persalinan didapatkan nilai median yang lebih tinggi pada skor
nyeri pasien dengan persalinan spomtan dan induksi persalinan (1,00 vs 0,00, nilai
tengah semu 46,00 vs 55,00, p=0,072) nilai p > 0,05 menunjukkan tak ada perbedaan
bermakna.
Kesimpulan : Persalinan induksi lebih nyeri dibandingkan persalinan spontan pada
kala I dengan his 2-3 kali dalam 10 menit dan lama his 20-40 detik, kala I his lebih
dari 4x /10 menit lama his lebih dari 40 detik dan kala IV. Pada penilaian satu hari
pasca persalinan, tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada ibu persalinan
spontan dengan induksi persalinan

ABSTRAK
Background:Childbirth is a physiological process, but associated with pain and
discomfort. In addition, the induced labor is an external stimulation for the natural
process of pregnancy as to initiate uterine contractions and cervical dilation.
Currently no studies comparing the pain between spontaneous labor and induced
labor .
Objectives:Knowing the difference in spontaneous labor pain and induced labor pain
during 2-3 times in 10 minutes of contractions within 10 minutes in the first stage was
20-40 seconds length of contractions,4 times of contractions in the first stage wich
was more than 40 seconds length of contraction,in the fourth stage of labor and one
day after the birth.
Methods: An analytical cohort study, with 50 women undergoing spontaneous labor
and compared with 50 women undergoing induced labor, accordance with the
inclusion and exclusion criteria. Samples obtained from Cipto Mangunkusumo and
others networking hospital period July 2013 - September 2013. The Pain intensity in
spontaneous labor and induced labor was assessed by Visual Analogue Scale.
Comparison of data between the two groups were analyzed with the Mann-Whitney
test
Results:
Obtained pain scores by VAS compared to women with spontaneous labor
and induction of labor respectively, in the first stage with contraction 2-3 times in
10 minutes with 20-40 seconds length of contraction (5.00 vs 6.00, mean rank 38.36
vs. 62.64 , p <0.001) , in the first stage with contractions 4 time in 10 minutes more
than 40 seconds length of contraction (10.00 vs. 10.00,mean rank 45.50 vs 55.50, p =
0.013), fourth stage of labor (1.00 vs. 1.00 , mean rank 44.53 vs. 56.48, p 0.020).
While the pain score on one day after the birth (1.00 vs 0.00 , mean rank 46.00 vs.
55.00 , p 0,072).
Conclusion: Induced labor more painful than spontaneous labor in the first stage
with contraction 2-3 times in 10 minutes with 20-40 seconds length of contraction, the
first stage with contractions 4 time in 10 minutes more than 40 seconds length of
contraction and at the fourth stage of labor. On one day after the birth assessment,
there was no statistically significant difference at spontaneous labor pain compared
with induced labor pain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murthy Mutmainah
"Wanita Indonesia yang memasuki masa menopause cenderung mengalami obesitas, Gejolak panas sebagai salah satu gejala menopause yang paling sering dikeluhkan oleh wanita yang memasuki masa menopause, berkaitan dengan obesitas. Obesitas diketahui berhubungan dengan leptin, suatu hormon polipeptida yang mempunyai peran dalam reproduksi dan pusat pengatur suhu. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah terdapat peningkatan kadar leptin pada wanita perimenopause-menopause dengan gejolak panas di RSCM. Penelitian deskriptif dengan desain kasus-kontrol. Subjek penelitian 50 wanita perimenopause-menopause, berusia 40-55 tahun. Kelompok kasus dan kontrol ditegakkan berdasarkan Kuesioner Menqol Menopause. Kelompok gejolak panas adalah wanita yang menjawab YA pada pertanyaan Kuesianer Menqol Menopause 1-3, dengan kelompok kontrol adalah wanita yang tidak ada keluhan gejolak panas, dan menjawab tidak atau satu saja jawaban ya pada poin 1-3.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar leptin pada kelompok yang mengalami gejolak panas dan kelompok tanpa gejolak panas dengan median leptin kasus vs control 21.86 (7.41-46.66) vs 16.53 (4.32-37.81) ng/ml , p=0.154. Meski demikian, terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan gejolak panas (p=0.047). Karakteristik gejolak panas yang didapatkan dikategorikan masih ringan karena frekuensi terjadinya gejolak panas yang jarang, dengan durasinya sangat cepat dan tidak mengganggu aktifitas. Gejolak panas cenderung dirasakan pada wanita berpendidikan menengah dibandingkan pendidikan tinggi (p=0.01), pada kelompok menengah ke atas (p 0.037),dan pada kelompok yang terbiasa tidur dengan air conditioner (p=0.057) dan berolahraga secara teratur (p 0.248). Kebiasaan mengkonsumsi tahu, tempe dan tidur cukup 6 jam sehari tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya gejolak panas. Skor MENQOL Menopause kelompok dengan gejolak panas lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa gejolak panas (p<0.001), serta gangguan kualitas hidup cenderung dirasakan lebih berat pada kelompok wanita dengan obesitas (p=0.061). Obesitas berhubungan bermakna dengan gejolak panas, tetapi leptin tidak berperan terhadap terjadinya gejolak panas. Gangguan kualitas hidup akibat gejolak panas cenderung dirasakan oleh kelompok yang obesitas.
......
Hot flashes as one of menopausal symptoms that manifested to quality of life. Obesity has been linked to increased risk of hot flashes in menopausal women. Leptin as anti obesity hormone, has play a role in thermoregulatory dysfunction in menopause women with hot flashes. This research want to explore effect of leptin serum level to hot flashes in perimenopausal and menopausal women in Ciptomangunkusumo General Hospital. A descriptive study with case control design. The subject is 50 perimenopause women aged 45-55 years. The case and control groups are based MENQOL Questionnaire. Hot flashes are a group of women who answered YES to the question number 1-3, and control group of women who are no complaints of hot flashes. We performed bivariate analysis, using statistic by SPSS 17.
There is no significant differences between Leptin serum level in hot flashes group and non hot flashes with median level of leptin serum 21.86 (7.41-46.66) ng/ml, vs16.53 (4.32-37.81) ng/ml with p = 0.154. Obesity is correlated with hotflashes (p=0.047). Characteristics of hot flashes categorized as mild. The frequency of occurrence is rare, with very fast duration, and not disturb activity. To strata education obtained a meaningful correlation, hot flashes tending perceived in women with middle educated compared higher education (p=0.01), on group upper middle class than middle class (p 0.037) and women sleep with the air conditioner (p0.057) and exercise regularly (p=0.248). The habit of eating soy product such as tofu and tempe and slept 6 hours a day, not correlated statistically with the the occurrence of hot flashes. There is a significant difference in score of MENQOL Menopause, whereas in the group with hot flashes compared to without hot flashes. (p<0.001), impaired quality of life tend to be felt more severely in the group of women with obesity (p0.061). Obesity is statistically correlated with hotflashes, and leptin. But elevated leptin serum didn?t statistically correlated with hotflashes. Quality of life disturbance is severe in obesity group. Obesity can causes hot flashes with other mechanism such as fat as heat insulator."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johnny Judio
"ABSTRAK
Latar belakang: Endometriosis merupakan pertumbuhan jaringan mirip endometrium yang abnormal diluar uterus Studi menunjukkan peran infeksi yang memicu proses inflamasi berhubungan dengan awal mula terjadinya endometriosis. Berbagai macam mikroorganisme penyebab infeksi dari vagina dapat migrasi keatas kemudian menginfeksi dan mengkontaminasi dinding uterus. Akibatnya terjadi akumulasi endotoksin pada cairan mentruasi maupun cairan peritoneal menyebabkan inflamasi dan memicu pertumbuhan endometriosis.
Tujuan: Membuktikan adanya korelasi antara mikroorganisme yang ditemukan pada hasil kultur bilasan vagina dengan mikroorganisme yang ditemukan pada cairan peritoneum hasil laparoskopi perempuan usia reproduksi yang terdiagnosis endometriosis
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik poltong lintang yang bertujuan untuk melihat adanya hubungan korelasi serta mengetahui tingkat korelasi antara mikroorganisme kultur bilasan vagina dengan mikroorganisme pada cairan peritoneum pasien endometriosis.
Hasil: Hasil kultur bilasan vagina dari 31 subjek penelitian yang diteliti, mikroorganisme terbanyak adalah Enterococcus faecalis (32.3%), Eschericia coli (29.1%), dengan 16.1% dengan hasil kultur negatif. Sedangkan dari hasil kultur bilasan peritoneum terdapat 3 subjek (9.6%) dengan hasil positif yaitu dengan jenis bakteri Eschericia coli, Enterococcus faecalis, dan Pseudomonas. Terdapat korelasi lemah antara hasil kultur bilasan vagina dengan kultur bilasan peritoneum (r 0.13). Terdapat korelasi sedang antara kultur positif bilasan vagina dengan nyeri pelvik kronis, korelasi lemah antara kultur positif bilasan vagina dengan nilai Ca 125, dan korelasi lemah antara kultur positif cairan peritoneum dengan tuba kiri yang non paten.
Kesimpulan: Sebagian besar bakteri dari bilasan vagina dan bilasan peritoneum pada pasien endometriosis memiliki hasil bakteri dari organ pencernaan. Terdapat korelasi lemah antara hasil kultur bilasan vagina dengan kultur bilasan peritoneum pada pasien endometriosis.

ABSTRACT
Background: Endometriosis is an abnormal endometrial like-tissue growth outside the uterus. Studies show the role of infection that triggers the inflammatory process associated with the onset of endometriosis. Various kinds of microorganisms even normal flora causing infection of the vagina can migrate upwards then infect and contaminate the uterine wall. Due to retrogade mestruation, mestrual fluid can entered the peritoneal cavity. As a result, accumulation of endotoxin in menstrual fluid and with retrograde menstruation endotoxins in peritoneal fluid causes inflammation and triggers the growth of endometriosis.
Objective: To prove correlation between microorganisms in vaginal rinse cultures with microorganisms in peritoneal fluid culture in reproductive age women with endometriosis.
Methods: This research use consecutive sampling with 31 subjects reproductive age women with endometriosis who performed surgery procedure. Vaginal bilasan and peritoneal fluid culture were performed. Research was approved by our institutional ethics commitee for health research in 2016
Results: Results of vaginal rinse culture of 31 subjects studied. Most of vaginal bilasan culture result in gastrointestinal bacteria. Most microorganisms were Enterococcus faecalis (32.3%), Eschericia coli (29.1%), with 16.1% with negative culture results. While the result of peritoneum rinse culture there are 3 subject (9.6%) with positive result that was with Eschericia coli bacteria type, Enterococcus faecalis, and Pseudomonas. There was weak correlation between vaginal rinse culture results and peritoneal rinse culture (r 0.13). There is a correlation between the positive culture of the vaginal rinse with chronic pelvic pain, between the positive culture of the vaginal rinse and Ca 125, and between the positive culture of the peritoneal rinse with the non-patent left tube.
Conclusion: Most of vaginal and peritoneal rinse culture in endometriosis patients result in gastrointestinal bacteria. There was weak correlation between vaginal swab and peritoneal rinse culture."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Timotius Wahono
"Latar Belakang: Ketuban Pecah Dini KPD merupakan kejadian yang berhubungan dengan risiko tinggi morbiditas dan mortalitas baik pada maternal maupun perinatal. KPD terjadi pada 5-10 dari seluruh kehamilan dan insiden infeksi selaput ketuban bervariasi dari 6-10 . Berdasarkan data SDKI tahun 2007, AKI di Indonesia sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, serta hasil studi epidemiologi oleh WHO dan UNICEF pada tahun 2010 didapatkan bahwa terdapat 7,6 juta kasus kematian anak < 5 tahun, di mana 64 4,879 juta terjadi karena infeksi, dan 40,3 3,072 juta terjadi di neonatus. Belum diketahui hubungan antara lama ketuban pecah, usia kehamilan, dan jumlah periksa dalam pada kasus KPD terhadap kejadian sepsis neonatorum di Indonesia.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama ketuban pecah, usia kehamilan, dan jumlah periksa dalam pada ibu hamil yang mengalami KPD dengan kejadian sepsis neonatorum, sehingga dapat menjadi dasar untuk evaluasi Standar Pelayanan Medik SPM KPD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif analitik, dilaksanakan di RSCM Jakarta pada bulan Desember 2016 ndash; Juni 2017. Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan usia kehamilan >20 minggu yang mengalami KPD dan tidak mempunyai penyulit seperti diabetes melitus ataupun penyakit sistemik serius seperti penyakit jantung atau autoimun, beserta dengan bayinya.
Hasil: Terdapat 405 ibu hamil dengan KPD yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Didapatkan 21 kasus 5.2 sepsis neonatorum. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama ketuban pecah sampai dengan masuk RS ge; 18 jam dengan OR 3,08, lama ketuban pecah selama perawatan di RS ge; 15 jam dengan OR 7,32, dan lama ketuban pecah sampai dengan lahir ge; 48 jam dengan OR 5,77 mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian sepsis neonatorum. Usia kehamilan preterm < 37 minggu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian sepsis neonatorum dengan OR 18,59. Sedangkan jumlah periksa dalam pada penelitian ini tidak dapat dianalisis.
Kesimpulan: Lama ketuban pecah yang makin panjang serta usia kehamilan preterm mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian sepsis neonatorum.
......
Background: Premature Rupture of Membrane PROM is associated with high maternal as well as perinatal morbidity and mortality risks. It occurs in 5 to 10 of all pregnancy while incidence of amniotic membrane infection varies from 6 to 10. Based on the 2007 National Demography and Health Survey SDKI, Maternal Mortality Rate MMR in Indonesia is 228 per 100.000 live births. Results of epidemiological studies by the WHO and UNICEF in 2010 found that there were 7.6 million cases of under five mortality, in which 64 4.879 million occurred due to infection and the rest 40.3 3.072 million occurred in neonates. However, there is no known association between prolonged rupture of membrane, gestational age, and number of vaginal examination in PROM cases on neonatal sepsis incidence in Indonesia.
Objectives: This study aims to find out the association between prolonged rupture of membrane, gestational age, and number of vaginal examination in pregnant women with PROM on neonatal sepsis incidence. The result may provide the basis for evaluating Standards of Medical Care SPM in PROM cases at Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM.
Methods: A hospital based analytical descriptive study was done in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from December 2016 until June 2017. The study used total sampling method which included all pregnant women with gestational age of more than 20 weeks who experienced PROM and their babies. Samples with existing comorbidities such as diabetes mellitus or other serious systemic illnesses such as heart disease or autoimmune condition were excluded in the analysis.
Results: A total of 405 pregnant women with PROM were incuded in this study. There were 21 cases 5.2 of neonatal sepsis. The analysis showed that risk of neonatal sepsis was higher in pregnant women with prolonged rupture of membrane for 18 hours before hospital admisission OR 3.08, prolonged rupture of membrane for 15 hours during hospitalization OR 7.32 , and prolonged rupture of membrane for 48 hours until birth OR 5.77. The risk of neonatal sepsis was even higher in preterm pregnancy with gestational age of <37 weeks (OR 18.59). However, the number of vaginal examination could not be analyzed.
Conclusion: Risk of neonatal sepsis is higher in longer duration of prolonged rupture of membrane as well as preterm pregnancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilwah Nora
"ABSTRAK
Pengantar: Dalam siklus teknologi reproduksi berbantu TRB , sebanyak 30 oosit ditemukan dalam keadaan immatur, oosit immatur ini akan yang memiliki kapasitas maturasi dan fertilisasi yang rendah, dan jarang sampai ketahap embrio transfer, namun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hal in belum diketahui secara luas. Tujuan: Untuk melihat hubungan antara maturitas oosit dengan kadar hCG serum 12 jam pasca penuntikan dan ekspresi mRNA LHR sel granulosa pada siklus TRB. Untuk menilai apakah kadar hCG serum dan ekspresi LHR ini bisa memprediksi laju maturasi oosit pada siklus TRB. Material dan Metode: total 30 sampel normoresponder yang mengikuti TRB dengan protocol antagonis dianalisa secra prospektif. Dua belas jam setelah penyuntikan hCG, kadar hCG serum diukur dan petik oosit melalui USG transvaginal dilakukan 35-36 jam kemudian. Sel granulosa oosit diperoleh saat denudasi oosit untuk proses intracytoplasmic sperm injection ICSI dan sel granulosa ini kemudian diproses RNA prufikasi, reverse transcription dan quantitative real-time polymerase chain reaction PCR . Oosit yang diperoleh saat itu langsung dinilai maturasinya. Test korelasi Pearson dilakukan untuk menilai korelasi laju maturasi oosit dengan kadar hCG dan ekspresi mRNA LHR. Analisa Receiver Operating Characteristic ROC dilakukan untuk menentukan nilai cut-off. Hasil: Kadar hCG seum memiliki korelasi positif dengan maturitas oosit r 0.467, p

ABSTRACT
Introduction During stimulated in vitro fertilization IVF cycle, up to 30 of the recovered oocytes are immatur ones which have lower maturation capacity, poor fertilization capacity and seldom yield transferable embryos however, the precise influencing factors are largely unknown. Aim To investigate the association of oocyte maturation with serum hCG levels measured 12 hours after trigger and LHr mRNA expression of granulosa cell in IVF cycles. To find out whether this serum hCG levels and expression of mRNA LHr granulosa cell can predict oocyte maturation rate in IVF cycles. Material and Method A total of 30 normoresponder IVF cycles stimulated by antagonist protocol were analyzed prospectively. Twelve hours after triggering by exogenous hCG, level of hCG serum was measured and an ultrasound guided retrieval of oocytes was performed 35 36 hours later. Granulosa cells were obtained during oocyte denudation for intracytoplasmic sperm injection ICSI procedures and subjected to total RNA purification, reverse transcription and quantitative real time polymerase chain reaction PCR . Oocytes were stripped immediately after retrieval and maturation was assessed at this time. Pearson 39 s correlation test performed to analyze the correlation of oocyte maturation rate with serum hCG level and expression mRNA LHR. Receiver operating characteristic ROC analysis was performed to determine cut off value. Result Serum hCG have positive correlation with oocyte maturation r 0.467, p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Deviriyanti Agung
"Latar Belakang: Preeklamsia merupakan masalah penting yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Preeklamsia berhubungan dengan stres oksidatif pada sirkulasi maternal. Preeklampsia merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan antioksidan sehingga terjadi reaksi inflamasi berlebihan pada kehamilan yang berakibat disfungsi endotel. Antioksidan dan inflamasi dalam tubuh ditentukan oleh status gizi ibu dan bayi yang dapat dinilai dari kadar serum ibu seperti zink, selenium, besi dan tembaga.
Tujuan: Diketahuinya perbedaan kadar zink, selenium, besi dan tembaga dalam serum maternal dan tali pusat pada preeklamsia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 35 yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji T berpasangan dan uji Wilcoxon. Penelitian ini sudah lolos kaji etik dan mendapat persetujuan pelaksanaan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM.
Hasil: Kadar rerata zink pada serum maternal dan tali pusat adalah 43,17 11,07 g/dl dan 86,66 25,54 g/dl dengan selisih rerata -43,49 27,83, nilai p
......
Background: Preeclampsia is a significant health problem and is the leading cause of maternal and perinatal mortality and morbidity. Preeclampsia is associated with oxidative stress in the maternal circulation. Preeclampsia was a manifestation of the free radical and antioxidant imbalance resulting inflammation and endothelial dysfunction. Antioxidant dan inflammation was determined by nutrition status that measured in maternal and fetal serum such zinc, selenium, iron and copper.
Objective: Investigate the mean difference of zinc, selenium, iron and copper in maternal serum and fetal umbilical cord in pregnancy with preeclampsia.
Methods: This was a cross sectional study enrolled 35 preeclampsia patients pregnancy visiting Cipto Mangunkusumo Hospital. Data was presented in table and was analyzed by paired T test and Wilcoxon test. This study had been granted ethical clearence and approved by Ethical Committee for Health Research Faculty of Medicine University of Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital.
Result: The zinc maternal level and fetal umbilical cord were 43,17 11,07 g dl and 86,66 25,54 g dl, p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library