Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kushartanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan memerikan bentuk-bentuk rangkaian cerita dan memerikan strategi pemertahanan topik yang diungkapkan oleh anak-anak usia prasekolah yang berbahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan orang dewasa. Subyek penelitian ini adalah seorang anak laki-laki (usia 4,2) dan seorang anak perernpuan (usia 4,6). Keduanya berasal dari perkawinan antar suku dan dari lingkungan keluarga kelas menengah yang tinggal di Jakarta. Berdasarkan data, yaitu segmen-segmen percakapan yang memuat cerita, ditemukan adanya bentuk bentuk rangkaian ujaran berupa dialog berimbang, monolog dalam dialog, dan dialog dalam dialog. Berdasarkan isinya, terdapat jenis cerita percakapan tentang dongeng, cerita percakapan tentang pengalaman, dan cerita percakapan tentang bermain pura-pura. Terungkap pula bahwa anak-anak mampu memisahkan diri mereka sebagai pencerita dan sebagai yang diceritakan. Mereka dapat menjadi pencerita, yang diceritakan, dan bahkan menjadi tokoh dalam cerita yang mereka ungkapkan. Selain itu ditemukan pula adanya aspek-aspek khusus yang menandai setiap ketiga jenis cerita percakapan tersebut. Di dalam cerita percakapan tentang dongeng, kerangka cerita merupakan aspek yang berperan. Di dalam cerita tentang pengalaman, otoritas anak untuk mengembangkan cerita merupakan aspek yang berperan. Adapun di dalam cerita percakapan tentang bermain pura-pura, imajinasi anak memegang peranan. Anak-anak mempergunakan penanda-penanda kesinambungan topik, pengulanganpengulangan, dan pelesapan-pelesapan untuk mempertahankan topik percakapan. Setiap jenis cerita percakapan mempunyai penanda kesinambungan topik berupa anafora zero (0), pronomina, dan demonstrativa. Persamaan di antara ketiganya adalah pada bentuk anafora zero dan wujud pronomina - nya, Perbedaannya terletak pada wujud-wujud pronomina yang lain dan demonstrativa, serta pada fungsi setiap wujud penanda kesinambungan topik. Di dalam cerita percakapan tentang dongeng dan tentang pengalaman ditemukan dia dan itu, yang tidak muncul dalam cerita percakapan tentang bermain pura-pura Dalam cerita percakapan tentang pengalaman dan tentang berinain pura-pura ditemukan ini, yang tidak ditemukan dalam cerita percakapan tentang dongeng. Penanda kesinambungan topik gini hanya terdapat pada cerita percakapan tentang bermain pura-pura. Setiap pcnanda kesinambungan topik memegang peranan dalam identifikasi topik. Terungkap pula adanya pergeseran dan peralihan topik-topik dalam cerita percakapan tentang dongeng dan tentang pengalarnan. Pergeseran topik terjadi jika topik-topik itu dikembangkan oleh anak-anak, sedangkan peralihan topik terjadi jika dalam percakapan terjadi peralihan perhatian dari obyek tertentu kepada obyek yang lain. Interupsi, bentuk lain dari peralihan topik, muncul dalam cerita percakapan tentang dongeng. Bentuk ini muncul karena adanya peralihan perhatian sesaat.
The aims of this research are to describe Indonesian preschoolers' forms of story-telling and their strategies on maintaining topics when they interact with an adult. The subjects, a boy (aged 4,2) and a girl (aged 4,6), both speak Indonesian as their first language. They are children from inter ethnic marriages and from middle class families. They live in Jakarta. Based on the data, conversational segments containing stories, there are balanced dialogues, monologue in dialogues, and dialogs in dialogues. The contents of those kinds of dialogue can be distinguished into three kinds of conversational stories: conversational stories of fairy tale, conversational stories of experience, and conversational stories of imaginary play. The children could make role separations. They could be the teller, or the experience, or even the characters of their fairy tale stories. There are specific aspects which signify each kind of story: children's frame of story awareness plays important role in conversational stories of fairy tale; children's authority in conversational stories of experience; and children's imagination in conversational stories of imaginary play. Using repetitions, ellipses, and topic continuity markers are the children's strategies to maintain conversational topic. Each topic continuity marker plays important role in topic identification. Each kind of story has zero anaphora, pronouns, and demonstratives. There are zero anaphora and pronoun in each kind of conversational story. The difference is on the forms of other pronouns and demonstratives, and on the function of each topic continuity marker. In conversational stories of fairy tale and of experience there are dia and itu. Those markers are not found in conversational stories of imaginary play. In conversational stories of experience and of imaginary play there is ini, which is not found in the stories of fairy tale ini, a kind of demonstrative, found only in conversational stories of imaginary play. Topics in conversational stories of fairy tale and of experience can be shifted or changed, since there are objects which can be developed. Topic shift occurs when the children develop an object, whereas topic change occurs when attention changes. A kind of topic change, the interruption, only occurs in conversational stories of fairy tale when a temporary change of attention happens.
2000
T3681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Simpen
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustono
Abstrak :
Kekerabatan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa antara lain ditandai oleh kesamaan struktur, kesamaan unsur kosakata, dan kesamaan tipologi. Selain terdapat persamaan, yang menurut Gonda (1970, tierj. Kamil 1988:3) persamaan itu bukan karena gejala kebetulan, antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa juga terdapat perbedaan-perbedaan. Hal itu sejalan dengan pernyataan Uhi enbeck (1978, terj. Djajanegara 1982:89) bahwa persamaan yang ada antara kedua bahasa ltu jangan dipandang sama dalam segala aspek. Salah satu unsur bahasa Indonesia yang mengandung persamaan sekaligus perhedaan dengan unsur bahasa Jawa adalah bentuk afiks -an, snail- morfem terikat -an. Sesuai, dengan pendapat yang dikemukakan [ilil-enheck (1978, t e r . Djajanegara 1982:89) dan Gonda 11970, terj. Kamil 19E18:3), antara bentuk afiks -an dalam bahasa Indonesia dan bentuk afiks -an dalam bahasa Jawa terdapat perbedaan-perbedaan dalam kemiripan atau persamaannya. Seberapa jauh perbedaan dan persamaan bentuk, sifat, dan makna antara bentuk afiks -an dalam bahasa Indonesia dan bentuk afiks -an dalam bahasa Jawa perlu diteliti secara saksama. Penelitian tentang bentuk afiks -an dan komparasinya dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa itu dititikberatkan pada aspek kegandaan makna dan sifat kederivasionalan dan keinfleksianalan bentuk afiks -an itu. Karena penelitian tentang bentuk afiks -an dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa itu barsudut pandang kegandaan makna, penelitian komparatif antara afiks -an dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa itu berlatar pokok bahasan semantik. Kenyataan bahwa buku-buku tata bahasa Indonesia dan tata bahasa Jawa umumnya membicarakan hanya satu bentuk afiks -an dengan sejumlah maknanya, tanpa melihat kenyataan bahwa dalam kedua bahasa itu terdapat sejumlah bentuk afiks -an yang berlainan dengan maknanya yang berbeda-beda, merupakan pijakan bagi temuan Baru dalam penelitian ini. Penelitian ini juga merupakan upaya untuk mendudukkan bentuk afiks -an dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa itu sebagai morfem yang homonim serta komparasinya dari sudut bentuk, jenis, kategori, dan makna yang didukungnya dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa.
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Yuwono
Abstrak :
This study is aimed to explore a construction in Indonesian that contains clause relations linked without any conjunction. The construction is traditionally called asyndetic construction. The discussions about clause relations in Indonesian have been generally emphasized on the use of conjunctions as clause relation markers. Some grammarians have actually also discussed the use of asyndetic construction in Indonesian, such as Mees (1949), Fokker (1951), Lapoliwa (1999), Kridalaksana (l985 and 1999), and Baryadi (2000). However, the discussions were only some parts of the wider topics. It should also be noted that the term of asyndetic construction has not been sharpened during the discussions. This study, therefore, is expected to sharpen the concept. By applying the Systemic Functional Grammar by Halliday (1994), which underlies the theoretical framework of this study, this study is focused on three discussions- Those are (i) the features of asyndetic construction in Indonesian, (ii) the production rules of asyndetic construction, and (ii) the relation between the use of asyndetic construction and certain language styles, especially journalistic style, which productively use the construction. As the lindings of this study, related to the features of the asyndetic construction, it is found that there are three types of asyndetic construction in Indonesian, which are (i) paratactic-asyndetic construction, (ii) hypotactic-asyndetic construction, and (iii) embedded-asyndetic construction. There are two main rules of the construction production, namely the clause joining and the logical meaning of clause relations. The clause joining shows a strategy of asyndetic construction forming based on the syntactical core functions. The logical meaning of clause relations shows a strategy of clause relation composing between main clause and main clause, dependent clause and dependent clause, and embedded clause and nominal group. Concerning the features of asyndetic construction in Indonesian, the paratactic-asyndetic construction is formed by three ways, which are linking, juxtaposition, and juxtaposition-linking. The hypotactic-asyndetic construction is formed by subordination. The embedded-asyndetic construction is formed by rank-shifting. Meanwhile, the logical meaning of clause relations can also be identified. The logical meanings of clause relations in paratactic-asyndetic construction are divided into two groups, which are expansion and projection. The expansion can be divided into (i) elaboration, which covers exposition, exemplitication, and clarification, (ii) extension, which covers addition and polar alternation, and (iii) enhancement, which covers temporal, causal, and conditional relations. The projection can be divided into locution and idea projection. The logical meanings of clause relations in hypotactic-asyndetic construction are also divided into two groups, which are expansion and projection. The expansion is only found in the form of enhancement, which covers temporal, causal, manner, purposive, conditional, and concessive relations. The projection covers both locution and idea projection. The logical meanings of clause relations in embedded-asyndetic construction are divided into expansion an projection. The expansion can be divided into elaboration, which is only found in the fonn exemplification, and enhancement, which is only in the form of purposive relation. The projection is only in the form of idea proj ection, which covers sense and cognition relations. Related to the language style, this study explores data that is not limited to a certain style. The large ntunber of data obtained from joumalistic style, especially hom printed mass media, shows at least that the asyndetic construction becomes one of the special characteristics of the journalistic style. The high frequency of the construction use in the journalistic style is mainly caused by literal translation, e.g. literal translation from participial construction in English, as the source language, into hypotactic-asyndetic construction in Indonesian, as the target language.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D500
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library