Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abimanyu T. Alamsyah
Abstrak :
Berdasarkan konvensi hukum laut perserikatan bangsa-bangsa (united nations convention on the law of the sea) 1982, indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau (DKP 2000). Menurut UNESCO (RI 1997an) pulau kecil adalah pulau yang lebih kecil daripada 10.000 km2 penduduk kurang dari 500.000 orang. Namun terminologi pulau kecil tersebut terlalu besar untuk mewakili ke khasan permukiman di gugus pulau mikro, termasuk di Kepulauan Seribu dan pulau-pulau mikro di perbatasan Indonesia. Luas pulau-pulau mikro tersebut banyak yang kurang dari 1 km2 (DKP 2006). Luas total sekitar 110 pulau di Kepulaluan Seribu hanya 8,69 km2 di dalam laut seluas 6.979,50 km2 (Rayaconsult 2001). Nelayan diidentifikasi sebagai termasuk miskin di Indonesia (RI 1997a). Agar turut brperan dalam penyelamatan lingkungan hidup, penataan ruang perlu merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan (WCED 1988) untuk peningkatan kualitas hidup komuniti lokal dan lingkungannya (ICPQL 1996), termasuk nelayan yang tinggal di region gugus pulau mikro kepualauan seribu. Dalam kenyataannya sukar untuk mengukur kualitas hidup. Mengikuti paradigma kebersamaan (Fischer-Kowalsky et al. 1992), kualitas hidup pergantung kepada keramahan hubungan manusia dengan lingkungannya. Sebaliknya, daya dukung lingkungan hidup juga dipengaruhi oleh keefektifan metabolisme industri dan teknologi dapat mengubah limbahnya sehingga metabolisme alam dapat mengkonsumsinya sebagai makanan atau zat hera ( McDonough dan Braungart 1998). Hanya dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat untuk memelihara maka kualitas lingkungan mereka dapat meningkat. Suatu region adalah suatu bagian dari lingkungan hidup. Region diidentifikasi untuk keperluan penataan, sedangkan regionisme penataan adalah konsep dasar untuk menentukan batas-batas suatu region. Sepanjang sejarah, esensi suatu region telah diidentifikasi melalui berbagai pendekatan, teori dan paradigma untuk berbagai tujuan dan bidang ilmu. Dalam mengidentifikasi keterkaitan antara ekologi dengan kultur di suatu tempat, Berg dan Dasmann (1977) menganjurkan untuk penggunaan konsep bioregion, region yang mengacu kepada kawasan geografis maupun kawasan kesadaran kultural penghuninya. Regionisme ini berkembang menjadi bioregioalisme, suatu pemahaman mengenai bagaimana untuk hidup di bioregion. Namun penerapan yang berkembang selama ini lebih beriorientasi kepada region daratan dan belum menyentuh masalah pulau-pulau mikro. Paradigma laut sebagai milik umum mengantar nelayan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya kelautan, Friedheim menyatakan perlunya institusi pentadbiran laut agar dapat mengalokasikan pemanfaatan dan pelestariannya secara lebih adil, efektif dan efisien (Friedheim 1999a, Bengen 2003). Namun pentadbiran sumberdaya laut tidak dapat meninggalkan kepentingan pemukim pulau yang kehidupannya berbasisi laut. Fokusdisertasi ini adalah mempelajari keberlanjutan permukiman gugus pulau mikro di bioregion Kepulauan Seribu, serta mengevaluasi fungsi kebijakan penataan permukiman setempat selama ini dalam meningkatkan kualias hidup pemukim dan lingkungan setempat. Disertasi ini akan membuktikan bahwa kelemahan hasil penataan dapat dimulai sejak pemilihan regionisme penataannya. Beberapa temuan akan bermanfaat sebagai acuan penataan gugus pulau mikro lain yang serupa.

2. MASALAH PENELITIAN

Berbagai kebijakan, perencanaan dan penataan telah dilakukan untuk membangun daerah metropolitan jakarta, termasuk untuk Kepulauan Seribu. Walaupun demikian kondisi kehidupan penduduk gugus pulau mikro setempat tidak meningkat secara nyata. Penataan ruang Kepulauan Seribu selama ini tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupan pemukim dan lingkungan setempat.

3. HIPOTESIS

Daya dukung terhadap kehidupan di permukiman gugus pulau mikro menyangkut daya dukung manusia selain lingkungan alamnya, yang berinteraksi dan berproses secara berkelanjutan antara metabolisme sistem kehidupan manusia dengan metabolisme sistem alamnya. DI Kepualauan Seribu, metabolisme manusia termasuk penerapan iptek pendukung kehidupan pulau-pulaunya, sedangkan metabolisme alam termasuk kehidupan di pulau maupun di laut sekitarnya. Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Hipotesis 1: Penataan ruang selama ini masih didominasi oleh regionisme daratan, sehingga tida memperhatikan bioregion gugus pulau mikro yang ada di dominasi laut.

Hipotesis 2: Peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungan gugus pulau mikro di Kepualauan Seribu selama ini tidak dapat berkelanjutan karena penataan ruang selama ini tidak terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam suatu pentadbiran bioregion gugus pulau mikro.

4. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengungkapkan kelemahan penataan permukiman di Keluapauan Seribu.
2. Mengkaji secara kritis kelemahan penerapan regionisme penataan yang lama terhadap keberlanjutan permukiman di gugus pulau mikro.
3. Mengkonstruksi regionisme penataan yang baru untuk gugus pulau mikro.
4. Menawarkan prinsip-prinsip penataan permukiman di gugus pulau mikro yang lebih memiliki kemampuan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungannya.
5. Mengindikasikan konsekuensi regionisme penataan yang baru terhadap pentadbiran gugus puau mikro di Kepulauan Seribu.

5. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian deskriptif dan penelitian penjajagan (Neuman 1997:19-21, 31-34). Sebagai penelitian deskriptif, gejala setempat akan diperlakukan sebagai gejala umum, dalam kasus ini kekhasan permukiman dibgugus pulau mikro. Penelitian ini dapat dianggap sebagai penelitian awal karena, dari hasil penelusuran peneliti, hingga kini penelitian mengenai regionisme penataan permukiman di gugus pulau mikro serta kaitannya dengan pentadbiran bioregion gugus pulau mikro belum pernah dilakukan.

Sesuai dengan esensi studi dan keterbatasan data pada awal studi, penelitian ini menggunakan kombinasi antara metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif dan metode kritik-eideografis (positive social science, interperlatif social science dan critical social science, Neuman 1997:60-80). Walaupun metode kuantitatif digunakan dalam pengolahan data awal, pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yang bersifat kualitatif, yang dilakukan dari tahun 2002 hingga 2004. Relevansi dengan perkembangan hingga tahun 2006 ditelusuri melalui informasi tambahan dari data sekunder dari pemerintah kabupaten Kepualauan Seribu maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.

Kritik-ideografis dilakukan terhadap regionisme produk penataan ruang yang lama.

Identifikasi siapa yang termasuk komuniti pulau, serta pengungkapan regionisme yang digunakan pakar penataan ruang selama ini, melalui pengungkapan korelasi antara profil responden dengan persepsinya, dengan menggunakan metode uji korelasi variabel non-parametrik spearman.

Temuan ini kemudian dapat mengungkapkan peluang dan keterbatasan regionisme penataan uang digunakan dalam produk perencanaan tata ruang selama ini, hubungannya dengan pentadbiran gugus pulau mikro serta kondisi komuniti lokal dan lingkungan kehidupannya.

6. HASIL PENELITIAN

1. Kelemahan penataan ruang selama ini

Sebagai suatu ekoregion gugus pulau mikro, Kepualauan Seribu adalah suatu kesatuan lingkungan hidup terdiri dari pulau-pulau yang sangat kecil, relatif berdekatan, dengan total daratan tidak lebih dari 10km2, terpisah dari pulau besar atau pulau induknya, serta unsur lautan di sekitarnya yang jauh; lebih luas daripada daratannya. Kondisi ini menyebabkan pengaruh ekosistem laut dan perubahan iklim setempat lebih dominan daripada daya dukung ekosistem daratannya.

Tidak semua pulau mikro berpenduduk. Bagian terbesar pemukim gugus pulau mikro adalah nelayan atau bekerja mendukung kehidupan berbasis sumberdaya lingkungan laut. Di masa lalu tidak semua pulau dipilih sevagai pulau perumahan. Mereka tinggal terutama di satu atau lebih pulau yang berada di tengah ekoregionnya. Beberapa pulau dan karang di sekitarnya merupakan pelindung alami, penyedia air bersih, dan lainnya dapat menjadi pulau penyedia cadangan sumberdaya alam.

Setiap komuniti pulau laut pada awalnya memilih tempat tinggal di kesatuan gugus pulau mikro yang berbeda. Kesatuan gugus pulau permukiman ini dapat disebut sebagai suatu antroporegion gugus pulau ikro. Antroporegion yang menyatu dengan ekoregion gugus pulau mikro dapat disebut sebagai bioregion gugus pulau mikro. Bioregion pulau mikro pertama di kepualauan Seribu adalah bioregion gugus pulau Kelapa dan gugus pulau Panggang yang dihuni oleh komuniti turunan Mandar-Banten. Kemudian berkembang pula bioregion gugus pulau Genteng dihuni oleh komuniti Bugis. Kemudian komuniti lain datang dan tinggal di bioregion gugus pulau mikro lama dan baru. Ini membuat bioregion gugus.

Demi mewujudkan suatu Cagar Alam Laut, yang kemudian menjadi Taman Nasional Laut, sekitar tahun 1980-an pemukim di bioregion gugus pulau mikro Pulau Genteng di pindahkan ke Pulau Sebira dan Pulau Kelapa Dua. Setelah lebih dari 20 tahun, nelayan Bugis di Pulau Kelapa Dua tetap miskin (TCP 2004). Disisi lain, Pulau Sebira sangat terpencil di bagian Utara Kepulauan Seribu. Ini membuat tindakan penyelamatan kegiatan mereka di laut dari pembajakan seolah-olah di luar tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim daerah setemat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim pulau Genteng ke kedua pulau baru tersebut, terbukti tidak meningkatkan kesejahteraan maupun kualitas hidup mereka.

2. Kelemahan regionisme penataan ruang selama ini

Berdasarkan undang-undang penataan ruang No. 24/1992 (RI 1992), penataan ruang yang lama mengacu kepada regionisme administrasi dan fungsional. Penataan ruang DKI Jakarta, termasuk kepualauan Seribu, cenderung didominasi regionisme daratan. Hasil kajian peta, studi lapangan, wawancara mendalam, dan kajian kritis terhadap londisi setempat dan produk penataan ruang sejak 1964-1999 menunjukkan rencana yang dibuat tidak konsisten, banyak kontradiksi dan potensi konflik antara rencana tata ruang yang ada.

Region administrasi lama tidak saja mengabaikan kondisi ekoregion laut namun juga antroporegion setempat. Tanpa referensi mengenai daya dukung laut setempat, rencana zonasi Taman Nasional Laut mengurangu era oenghidupan nelayan tradisional. Area eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk area tanggung jawab terhadap dampak tumpahan minyak ke laut sekitarnya. Penataan berdasarkan region fungsional sangat sektoral dan tidak terintegrasi dengan penataan ruang lain di region yang sama (Dephut 1986, 1995, 2002). Tidak ada penjelasan mengenai waktu-ruang pekerjaan komuniti lokal yang mempengaruhi masa pemanfaatan suatu bagian pulau dan laut sekitar pulau.

Persepsi pakar tata ruang juga menunjukkan bahwa regionisme penataan selama ini cenderung berbasis daratan. Regionisme daratan tidak mampu mengantisipasi perubahan lingkungan akibat aktifitas pembangunan berbasis laut.

Asumsi dasar dan aplikasi bioregionisme selama ini berbeda dengan kondisi permukiman di gugus puau mikro. Cakupan penerapannya masih terbatas kepada bioregion sebagai daratan luas dan sebelumnya dihuni oleh komuniti yang relatif homogen. Bioregionisme selama ini belum cukup mengidentifikasi regionisme penataan bagi permukiman yang berbais laut di gugus pulau mikro, semacam di Kepulauan Seribu.

3. Regionisme penataan untuk peningkatan gugus pulau mikro

Waktu-ruang unsur ekoregion suatu gugus pulau mikro selalu berubah. Oleh karena itu kehidupan di lingkungan Kepulauan Seribu selalu berubah sehubungan dengan perubahan kondisi dan perilaku ekoregion setempat. Antroporegion setempat juga berubah bersama dengan perubahan kondisi dan perilaku penduduk untuk mengantisipasi perubahan kondisi ekoregion, perkembangan ilmu dan teknologi kepulauan, serta perubahan kultur pemukim gugus pulau mikronya.

Dalam mengantisipasi perubahan kondisi ekoregionnya, setiap kelompok pemukim memiliki waktu-ruang dan strategi mempertahankan kehidupan masing-masing yang tidak selalu ramah lingkungan dan tidak semua berkelanjutan.

Upaya pemulihan atau peningkatan kearifan lingkungan dan kapasitas pemukim setempat hanya dapat bermanfaat bila pemukim sendiri terlibat dalam proses peningkatan kualitas kehidupannya dalam jangka panjang. Pendekatan ramah lingkungan dan kegiatan peningkatan kualitas hidup hanya dapat efektif bila komuniti pulau-laut setempat menjadi pelaku kunci dalam mengembangkan region gugus pulau mikronya sendiri, termasuk dalam proses penataannya.

Pengertian bioregion sebagai acuan dasar regionisme penataan gugus pulau mikro dapat digunakan, namum berbeda dengan fungsi awal bioregionalisme. Dalam bentuk baru, bioregion gugus pulau mikro dapat berfungsi secara operasional sebagai regionisme penataan gugus pulau mikro secara berkelanjutan. Bioregionisme gugus pulau mikro bukan sekadar untuk memahami ekoregion dan antroporegion setempat, namun juga sebagai dasar upaya bagaimana agar proses penalaan betul-betul untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan lingkungan gugus pulau mikro setempat. Oleh karena itu bioregionisme gugus pulau mikro sebagai regionisme penataan merupakan acuan utama proses pentadbiran bioregion gugus pulau mikro yang dapat mendorong l-ceterlibatan pemukim setempat.

4). Prinsip-prinsip penataan dan pentadbiran gugus pulau mikro Beberapa prinsip yang perlu diperhatilcan dalam penataan dan pentadbiran bioregion gugus pualu mikro, adalah sebagai berikut: 1. Region penataan harus berbasis bioregion gugus pulau mikro,
2. Tujuan utama penataannya adalah meningkatkan kualitas hidup setempat,
3. Penataan perlu mengacu kepada waktu-ruang metabolisme unsur-unsur bioregionnya
4. Pelaksanaannya perlu melaiui proses yang ramah lingkungan,
5. Penataan permukiman merupakan bagian dari proses berlanjut pentadbiran bioregion gugus pulau mikro,
6. Komuniti pulau-laut setempat berperan dalam menentukan hari depan region permukimannya sendiri.
7. Hasilnya harus merupakan peningkatan kualitas permukiman di gugus pulau mikro secara berkelanjutan.

5). Konsekuensi bioregionisme gugus pulau mikro Mengacu kepada kondisi dan potensi setempat, paling kurang ada tiga strategi potensial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan lingkungan gugus pulau mikro. 1. Dasar Konsepruai : Mengubah regionisme penataan yang semula berbasis daratan menjadi berbasis bioregion gugus pulau mikro yang meliputi ekoregion dan antroporegion pulau-laut setempat.
2. Pendekatan Penatrmn: Mengubah pendekatan penataan yang semula berorientasi produk menjadi berorientasi proses sebagai bagian dari pruses pentadbiran bioregion gugus pulau mikro; proses belajar bersama berkelanjutan untuk mewujudkan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup setempat
3. Kelembagaan: Pengembangan institusi untuk memfasilitasi proses perubahan dari berbasis regioisrne daratan menjadi bioregionisme gugus pulau mikro, melalui peningkatan keberdayaan dan peran komuniti pulau- laut setempat.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D626
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azrin Rasuwin
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pascabencana Erupsi Sinabung dan menganalisis implementasinya menggunakan model implementasi Grindle. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci dari orang-orang yang terkena dampak bencana, pejabat pemerintah pusat dan daerah, para ahli dan pemangku kepentingan lainnya. Data penelitian kemudian diproses berdasarkan prosedur untuk analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Implementasi kebijakan pasca bencana mengalami keterlambatan disebabkan erupsi yang masih terus terjadi, relokasi  serta pendanaan dan mekanismenya. Problem implementasi tersebut disebabkan  content kebijakan yang belum jelas dan terinci mengenai dimulainya proses pemulihan dan juga isi kebijakan mengenai kebijakan relokasi. Pendekatan implementasi kebijakan pemulihan harus dilihat bukan sebagai peristiwa administratif regular saja, namun melalui pendekatan yang tidak biasa atau perlu pendekatan politis agar ada pengecualian isi kebijakan dari beberapa regulasi yang sudah ada. Analisis menggunakan konsep Grindle, factor yang paling banyak pengaruhnya dari aspek content of policy adalah variabel interest affected, kepentingan  yang berbeda dalam relokasi antara pihak korban bencana, pemerintah dan masyarakat.. Letak pengambilan keputusan mengenai birokrasi kewenangan pemerintah pusat dan daerah serta variabel resource commited berupa kecukupan dana dan mekanismenya yang tidak dapat dipenuhi pemerintah daerah  dan pusat. Dalam model Grindle butir yang berkaitan dengan kualitas isi (content) kebijakan belum terakomodasi. Selain itu Model Grindle menganalisis hanya untuk satu siklus program yang direncanakan (cycling arrangement),belum mengakomodir siklus program yang berulang. Sedangkan dari aspek context of policy adalah institution and regime characteristic mempengaruhi implementasi karena terjadi dualism dalam penanganan berkaitan dengan birokrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
The aims of this study is to identify the variables that influence the implementation of the Sinabung Eruption post-disaster policy and analyze its implementation using the Grindle model. Research data was collected through in-depth interviews with key sources from disaster victims, national and local government officials, experts and other stakeholders. Research data was collected through in-depth interviews with key sources from disaster-affected individuals, national and local government officials, experts and other stakeholders. Research data is then analyzed on the basis of qualitative research procedures. The results of this study are that post-disaster policy implementation has been delayed due to ongoing eruptions, relocation and funding and mechanisms. The implementation problem is due to unclear and detailed policy content regarding the start of the recovery process and also the policy content regarding the relocation policy. The approach to implementing a recovery policy must be seen not as a regular administrative event, but through an unusual approach or a political approach so that there are exceptions to the content of policies from several existing regulations. The analysis uses the concept of Grindle, the factor which has the most influence from the aspect of content of policy is the variable affected interest, the different interests in relocation between the disaster victims, the government and the community. Adequacy of funds and mechanisms that cannot be met by the regional and central government. In the Grindle model the items relating to the quality of the content have not been accommodated. In addition, the Grindle Model analyzes only for one planned program cycle (cycling arrangement). Not to accommodate the repetitive program cycle. While from the context of policy aspect, institution and regime characteristics influence implementation because there is a dualism in handling related to bureaucracy between the central government and regional governments.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D2699
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhi Wijayanto
Abstrak :
Fenomena yang dijadikan obyek penelitian adalah implementasi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan Pulau Miangas. Tujuan penelitian adalah membahas isi kebijakan, membahas konteks implementasi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan Pulau Miangas dan untuk mendapatkan konsep alternative tentang kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan. Penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang dikembangkan dengan metode triangulasi. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, wawancara, FGD dan observasi. Informan penelitian sejumlah 32 orang ditentukan melalui snowball technique dengan criteria tertentu. Isi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan Pulau Miangas merupakan suatu konsep kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan yang mencakup pengelolaan sumber daya manusia dan pembiayaan; sumber daya alam dan lingkungan; sumber daya teknologi dan sarana prasarana; serta sumber daya kebijakan.. Isi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan pulau kecil terluar menunjukkan adanya permasalahan tumpang tindih isi kebijakan yang menyebabkan pengelolaan Pulau Miangas belum terintegrasi dan belum optimal. Permasalahan tumpang tindih isi kebijakan ini terungkap dari adanya sejumlah regulasi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan serta pengelolaan perbatasan. Konteks implemetasi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan pulau Miangas terkait dengan upaya penegakkan kedaulatan negara di perbatasan. Dengan demikian pengelolaan Pulau Miangas tidak bisa dipandang hanya dari satu sektor; dilaksanakan hanya untuk kepentingan sektoral; dan hanya mengandalkan satu sektor saja. Karena itu, pengelolaan Pulau Miangas memerlukan keterpaduan lintas sektoral dengan mengedepankan pentingnya peran daerah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan negara.
The phenomenon that made the object of research is the implementation of government policies on the management of Miangas Island. The research objective was to discuss the content of policies, discussing the context of the government policies implementation on the management of Miangas Island and get an alternative concept of management policy at the border of the outer most islands. The study used a qualitative research approach developed by the triangulation method. Collecting data using literature studies, interviews, and observations FGD. 32 The informants were determined by snow ball technique with a criteria. The government content of policy on the management of Miangas Island is a concept of policy management of the outermost islands in the border which includes the management of human resources and financing; natural resources and environment; technological resources and infrastructure; and regulations. Fill government policy on the management of the outermost small islands showed overlapping contents of the policy issues that led to integrated management Miangas Island and have not yet optimal. Problems of overlap revealed the contents of a number of regulations relating to the use and management of marine resources and fisheries as well as border management. The context of the implementation of government policies on the management of the island Miangas associated with efforts to enforce the sovereignty of the country at the border. Thus management Miangas Island can not be viewed only from one sector; implemented only for sectored interests; and only rely on one sector alone. Therefore, Miangas Island requires an integrated management across sectors by promoting the importance of the role of regions as the spearhead of the state government administration.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2201
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
Abstrak :
ABSTRAK
Berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia telah disusul dengan tuntutan demokratisasi dalam berbagai bidang termasuk dalam penataan ruang. Menguatnya tuntutan masyarakat agar diikutsertakan dalam perencanaan tara ruang kota merupakan salah satu indikasi perubahan tersebut. Sebelumnya, kebijakan nasional yang mengadopsi PSM dalam perencanaan sudah banyak. Fakta lapangan, penyelenggaraan PSM dalam perencanaan tata ruang masih terus dipertanyakan banyak pihak. lni berani pendekatan PSM belum terinstitusionalisasi dalam arti belum diterima, belum dinilai tinggi, dan belum dipaluhi. Rencana tata ruang kota merupakan kebijakan publik (public poiicy). Pemasalahan kebijakan akan terjadi apabila kebutuhan-kcbutuhan (needs), nilai-nilai (valtrex), dan potensi/peluang untuk perbaikan belum tercalisasi padahal seharusnya dapat didorong melalui public action. Munculnya tunlulan masyaral-:al berperan serla dalam perncanaan lata ruang kota mengindikasikan adanya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi, nilai-nilai terdistorsi, dan peluang perbaikan yang tidak termanfaatkan. Kesenjangan yang ada antara kebijakan pnblik dengan harapan masyarakat merupakan persoalan kebijakan (policy probiem). Berdasarkan permasalahan dikemukakan diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah persoalan kebijakan (policy problem) PSM dalam perencanaan tata ruang kota di kota Jakarta? 2) Bagaimana model PSM yang diinginkan stakeholders dapat ditransformasikan dalam proses pelembagaan perencanaan tata ruang kota Jakarta? 3) Bagaimana institusionalisasi PSM tersebut di dalam perencanaan tata ruang kota Jakarta? Penelitian ini berlolak dari asumsi, proses perencanaan tata ruang kota merupakan proses pembuatan kebijakan publik. Berdasar asumsi ini, proses perencanaan tata ruang pada dasarnya mengikuti kerangka proses pembuatan kebijakan publik (public policy making). Untuk mengkaji persoalan kebijakan mengenai PSM, dilakukan analisis secara policy content terhadap tatanan peraturan nasional serta tatanan peraturan dan kebijakan yang terkait langsung dengan PSM dalam perencanaan di DKI Jakarta. Ada beberapa teori yang digunakan sebagai alat analisis. Pertama, A ladder of citizen participation dari Arnstein. Kedua, lnstitusionalisasi yang diangkat dari teori institution building dari The Inter-University Research Programme for Instituion Building. Ketiga teori tentang instrumen kebijakan dari Howlett & Ramesh. Eksplorasi terhadap model PSM yang diinginkan stakeholders, didekati dari teori tentang lingkup PSM oleh Ronald McGill dan Margareth, teori tentang obyek PSM dari Fagence, teori tentang isu-isu panting dalam penyelenggaraan PSM dari Margareth. Untuk mengetahui pola interaksi antar kelompok stakeholders, didekati dengan paradigma jaringan kolaboratif PSM yang dikemukakan Innes & Booher, serta teori social capital khususnya pola interaksi antar institusi yang dikemukakan Ismail Serageldin & Christian Grootaert. Sedangkan untuk mengetahui institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang Kota Jakarta, didekati dari teori institution building dikemukakan diatas. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif-eksploratif. Disebut deskriptif karena merupakan penelitian klarifikasi PSM sebagai fenomena sosial. Sebagai penelitian eksploratif penelitian ini berupaya mencari jawaban-jawaban mengenai How dan Why perihal PSM. Data kuantitatif diperoleh dari pengolahan terhadap jawaban responden atas kuesioner, dan data kualitatif diperoleh dari wavtancara mendalam dengan para informan, hasii telaahan terhadap tatanan peraluran, kebijakan, dan dokumen terkait lainnya, Serta observasi lapangan. Responden dipilih dari stakeholders kelompok government, pi-ivote sector, dan civil society secara purposive yang diwakili institusi, asosiasi, organisasi, dan kelompok yang berpartisipasi dalam penataan ruang. Temuan penelitian menyingkapkan bahwa tatanan peraturan nasional membatasi PSM hanya pada tingkatan informing, consultation, dan plocotion (tangga ke 3, 4, dan 5), dan sedikit pada taraf kemitraan ("partnership?). PSM yang lelah diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta mencapai tingkatan kemitraan (partnership) melalui perwakilan institusi dari Perguruan Tinggi, Asosiasi Profesi, Asosiasi Pelaku Bisnis, institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah, dan LSM sehingga PSM bersifat institusional. Sedangkan PSM yang diharapkan stakeholders mencapai tingkatan delegated power dan citizen control (tangga ke 7 dan 8 Arstein). Namun khususnya kelompok civil society, memilih tetap dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan private sector secara terbuka. Sebagian besar stakeholders menyatakan tingkat pelibatan PSM selama ini tidak cukup, padahal dinilai sangat panting. Nilai-nilai keadilan, dan pernerataan sosial-ekonomi dinilai belum terealisasi. Stakeholder menyatakan bahwa tujuan utama PSM adalah untuk memastikan aspek keadilan dan pemerataan sosial ekonomi diakomodasikan dalam rencana tata ruang kota. Penelitian ini menyimpulkan tidal( efektifnya pelaksanaan PSM dalam perencanaan, bersumber dari tidak adanya pcngaturan PSM pada sebagian besar unsur/sub-unsur institusionalisasi, baik pada tatanan peraturan nasional maupun daerah. Kebijakan strategis (UU Penataan Ruang) yang telah mengadopsi pendekatan PSM, temyata juga tidak ditindaklanjuti dengan penetapan instrumen-instrumen kebijakan yang memadai agar kebijakan strategis tersebut efektif sehingga untuk menyelenggarakan PSM pedomannya tidak memadai. Model PSM dalam perencanaan tata ruang kota yang diinginkan stakeholders, memiliki pola benjenjang/bertahap. Bukan seperti PSM paradigma tradisional lagi, tetapi tidak pula seperti paradigma jaringan kolaboratif yang dikemukakan Innes and Booher. Untuk tahap awal, stakeholders menghendald forum-forum informal, dimana kelompok civil society harus dipisah dengan kelompok bisnis (private sector). Selain itu, stakeholders menginginkan adanya Komisi Perencanaan, bertugas mengembangkan pendekatan, menyusun strategi, mengagendakan, dan membahas hasil akhir dari proses PSM dalam perencanaan tata ruang kota. Penelitian ini menunjukkan bahwa institusionalisasi PSM masih rnenghadapi masalah besar. Sebanyak 21 dari 27 unsur/sub-unsur institusionalisasi kondisinya masih "tidak memadai? sebagai persyaratan berlangsungnya proses institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang kota. Dinas Tata Kota DK1 Jakarta sebagai institusi perencanaan, tidak disiapkan untuk menyelenggarakan PSM dengan partisipasi yang lebih luas dari civil society, private sector dan government sebagai implementasi pendekatan PSM yang sudah diadopsi UU Pcnataan Ruang . Hal ini terkait dengan tidak memadainya instrumen kebijakan dari UU tersebut.
ABSTRACT
The evolvement of democratic life in Indonesia has been followed by the need of democratization in all sectors including in spatial planning. lnvigorating contention from community demanding to be involved in the urban planning process is one ofthe indications of such evolvement. Prior to that, the national policy adopting Public Participation (hereinafter ?PP?) in planning had reached numerous numbers. ln contrary, the empiric Facts show that the implementation of PP in urban planning process remains questioned frequently by many parties. This implies that the approach of PP has not been institutionalized, in a way that it has not been well-accepted, not highly praised, and has been neglected. Urban planning is a public policy. Policy problems will occur if needs, values, and opportunities for improvement have not been executed, whereas they could be encouraged through public action. The existence of public contention to be involved in urban planning indicates that there arc unfullilled needs, distorted values, and unutilized opportunities for invoking improvement. Gap occurred between settled public policies with public?s expectations constitutes as a policy problem. According to problems elaborated above, this research questions: l) ?What are policy problems of implementating PP in urban planning process in Jakarta?? 2) ?How could the PP model desired by stakeholders be transformed in institutionalization process of urban planning of .lakarta'?? 3) ?How has the institutionalization of PP in the urban planning of Jakarta been institutionalized?? This research is based on the assumption that the process of urban planning is a process of public policy making. Evolving from such assumption, the process of urban planning basically follows the frame of public policy making process. In reviewing policy problem of PP in urban planning, analysis through policy content is conducted towards the set of national regulations and provincial regulations directly attached with PP in the planning of Jakarta. There are several theories utilized as tools of analysis in this research. The first theory is ?A ladder of Citizen Participation" from Amstein. The second theory is the institutionalization which arises from the theory of institution building from ?The Inter-University Research Programme for Institution Building?. The third theory is concerning the policy instrument by Howlett & Ramesh. Exploration of the PP model intended by the stakeholders is observed by the approach using several theories; the theory on the coverage of PP by Ronald McGill and by Margareth, the theory on the object of PP by Fagence, and also the theory conceming major issues in the implementation of PP also by Margareth. In identifying the interaction pattern among the stakeholders, a theory on the paradigm of colaborative network of PP by Innes & Booher, and also a theory on social capitol specifically on the interaction pattem among institutions by Ismail Serageldin & Christian Grootaert, are applied. In the other hand, in identifying the institutionalization of PP in the Jakarta urban planning, the aforementioned institution building theory is applied. This research is built as descriptive-explorative research. It is descriptive because it is a research on the clarification of PP as a social phenomenon. It is an explorative research because it aims to find solutions on ?how? and ?why? regarding PP. Quantitative data is obtained through the analysis of respondents? answers to questionnaires, and qualitative data is obtained through profound interviews with informants, critical review on the set of regulations, law, related documents and field observation. Respondents are chosen from groups of stakeholders, government, private sector, and civil society in purposive order represented by institutions, associations, organizations, and groups of participants on spatial planning. Research finding reveals that the set of national regulation enacts limitation to PP only to the degree of informing, consultation, and placation (the 3rd, 4th, and 5th ladder), and a little to the degree of partnership. PP implemented by the provincial government of Jakarta has reached the degree of partnership through institution representatives from universities, professional associations, business associations, central and regional govemmental institutions, and non-governmental organizations that makes PP institutional. However, PP aspired by stakeholders reaches the degree of delegated power and citizen control (the 7th and 8th Amstein?s ladders). Though, groups of civil society in particular, prefer to participate together with government and private sector transparently. Most of stakeholders narrated that the involvement degree of PP up to the present is not suflicient, whereas its value considered being very substantial. Values of justice and redistribution of social-economics are argued to be not realized yet. Stakeholders affirm that the main objective of PP is to ensure that the aspects of justice and social-economics equality are being accommodated in urban planning process. This research concludes that the ineffectivencss of the implementation of PP in planning is rooted from the absence of the regulation of PP in most of institutionalization elements in both national and regional/provincial set of regulations and policies. The strategic policy (The Spatial Planning Act No.24/1992) adopting PP implementation is infact not equipped with sufficient policy instruments in order to make the strategic policy becomes effective. Thus, the directive of PP implementation is also insufficient. Model of PP in urban planning process intended by the stakeholders has a grading pattern. It is not similar to the traditional paradigm of PP or either to the collaborative network paradigm stated by limes & Booher. In the first grade of the model, stakeholders yearn for informal forums, in which civil society groups must be separated from private sector groups. Moreover, stakeholders request for a Commission of Planning. This commission has the obligation to develop model of approach, set strategies, arrange agenda and discuss the linal results of PP process in urban planning. This research illustrates that the institutionalization of PP still faces problems. 21 out of 2? elements/sub-elements of institutionalization still struggle with the condition of ?insufficiency? as a requirement to implement PP institutionalization process in the urban planning. City Planning Agency of Jakarta?s Government, as a planning institution, is not prepared to perform PP implementation with a wider range of participation from the civil society, private sector, and the govemment, as an implementation of PP approach that had been adopted by The Spatial Plaruiing Act No.24/1992. This is in accordance to the fact of the insufficient policy instrument in the derivative of such act.
Depok: 2007
D818
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochmad Nur Afsdy Saksono
Abstrak :
Desentralisasi perencanaan pembangunan dalam konteks/kerangka multilevel telah mendapat banyak perhatian dan diteliti tetapi penelitian yang memfokuskan pada keselarasan masih langka, terlebih lagi yang memasukkan perspektif/konsep agency relationship, inside bureaucracy dan representative bureaucracy secara simultan. Menggunakan paradigm post-positivism dan metode studi kasus, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis derajat desentralisasi dan derajat kesalarasan perencanaan pembangunan pertanian multilevel di Lampung dan Jawa Tengah dan sekaligus merekonstruksi tatakelola perencanaan pembangunan pertanian multilevel terdesentralisasi. Hasil penelitan memperlihatkan derajat desentralisasi rendah, derajat keselarasan tinggi dan tatakelola perencanaan pembangunan pertanian multilevel terdesentralisasi dilakukan selama ini dengan pendekatan integrating role dan bersifat centraliazed-fragmented. Tatakelolaa perencanaan pembangunan perlu direkonstruksi dengan memperkuat kedudukan an peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah beserta kelembagaan sekretariatnya, termasuk wewenang mengkoordinaskan segala kebijakan dan program di wilayahnya dan terhadap instansi vertikal di wilayahnya dan wewenang dalam konteks penganggaran. anggaran pembangunan pertanian yang selama ini dipegang pusat kementerian pertanian . Penelitian ini telah memberikan kontribusi dalam analisis desentralisasi dari perspektif multilevel, mengembangkan agency theory melalui analisis bersifat multilevel bukan hanya hubungan bersifat langsung/level tunggal , memperkuat teori inside bureaucracy, dan mengembangkan teori representative bureaucracy dengan memperkenalkan analisis representative bureaucracy pada perspektif kelembagaan dalam arti bagaimana suatu lembaga yaitu Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah beserta organ/institusinya.
Despite an increased interest in multilevel decentralized development planning, it is surprising that research focused on the alignment is scarce, especially those included agency relationship, inside bureaucracy and representative bureaucracy simultaneously. This study aimed at analyzing decentralization and alignment degree of agriculture multilevel development planning in devolution in four regional governments Lampung Province, Lampung Tengah Regency, Jawa Tengah Province and Sukoharjo Regency and further more reconstructing the governance of agriculture decentralized multilevel development planning. Unlike the previous study, the decentralization measurements within the context of decentralized agriculture development planning focused on decentralization with the notion of devolution so that the study was able to reflect the level of authority possessed by local autonomy in the agriculture development planning. In analyzing development planning alignment, this study focused not only on measuring degree of alignment but also bureaucrat behavior. This study contributed to enrich the decentralization and decentralized development planning through the insertion of concept theories of inside bureaucracy, shirking, vertical externality in its analysis.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2314
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library