Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meilania Saraswati
"Latar Belakang: Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PPDS PA FKUI) menggunakan kurikulum berdasarkan kompetensi/outcome (competency-/outcome-based curriculum). Namun, PPDS PA FKUI selama ini belum pernah melaksanakan ujian formatif berdasarkan kerja (workplace-based Metode Penelitian: Penelitian ini bersifat kualitatif untuk mengekplorasi secara mendalam pemanfaatan ujian formatif Diskusi berdasarkan Kasus dalam proses pendidikan di PPDS Patologi Anatomik FKUI. Dilakukan wawancara dan focused group discussion terhadap pengelola program, staf pengajar dan peserta PPDS PA FKUI. Staf pengajar diminta melakukan intervensi berupa ujian formatif DbK terhadap PPDS PA FKUI sebanyak tiga kali menggunakan borang yang telah diterjemahkan. Setelah intervensi, kembali dilakukan wawancara dan focused group discussion terhadap staf pengajar dan peserta PPDS PA FKUI.

 

Hasil: Staf Pengajar dan peserta PPDS PA FKUI menunjukkan respons positif terhadap pelaksanaan ujian formatif DbK. Ujian formatif DbK dianggap memungkinkan proses diskusi mendalam antara staf pengajar dan peserta PPDS PA terkait proses penegakkan diagnosis dari suatu kasus. Staf pengajar dapat memantau kemajuan proses pembelajaran serta memberikan umpan balik yang spesifik terhadap peserta PPDS. Peserta PPDS dapat mempelajari suatu kasus dengan lebih komprehensif, memperoleh umpan balik yang spefisik, serta mendapatkan simulasi ujian sumatif.

Kesimpulan: Ujian DbK bermanfaat dalam proses pencapaian kompetensi dalam pendidikan yang menggunakan pendekatan competency- atau outcome-based curricula.

Postgraduate program for Anatomical Pathology Specialist in Faculty of Medicine Universitas Indonesia use competence-/outcome-based curriculum approach. However, until now, the program has not yet adopted formative workplace-based assessment, for example, case-based discussion.
This was a qualitative research to explore the use of formative assessment case-based discussion during educational process in postgraduate program for anatomical pathology specialist in FMUI. Interview and focused group discussion to the program manager, teaching staff and the residents were performed. Teaching staff was asked to perform three times case-based discussion (CbD) formative assessment toward the resident. Postintervention, interview and focused group discussion to the staf and resident were conducted.
The staffs and residents of Anatomical Pathology Specialist Program of FMUI showed positive response toward CbD formative assessment. CbD formative assessment enabled deeper discussion between the staffs and residents regarding establishing diagnosis. The staffs were able to monitor the residents learning process and giving specific feedback toward the residents. The residents were able to learn about a case in a more comprehensive way, acquiring specific feedback and summative assessment simulation.
Conclusion: CbD formative assessment is useful in the process of acquiring competence in diagnosis in a postgraduate education that uses competence- or outcome-based curricula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ansari Adista
"Latar Belakang:Presentasi kasus merupakan bagian dari experiential learning dalam Kolb's learning cylce yaitu dalam fase refleksi. Pelaksanaan presentasi kasus saat ini tidak optimal sehingga terjadi penurunan kualitas. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan persepsi antara peserta didik dan dosen klinik mengenai manfaat pelaksanaan presentasi kasus. Penelitian ini menggali secara mendalam proses pelaksanaan presentasi kasus dan mengidentifikasi kendala pelaksanaannya di rumah sakit pendidikan FK Unsyiah.
Metode: Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, dengan rancangan studi kasus. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap 6 koordinator pendidikan dan 18 dosen klinik, Focus Group Discussion FGD terhadap 57 peserta didik, studi dokumen dan observasi dari 6 Bagian yang diteliti, yaitu Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Bedah, Obstetri dan Ginekologi, Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan Ilmu Penyakit Saraf. Data dianalisis melalui tiga tahapan yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil: Presentasi kasus merupakan metode pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi peserta didik dan dosen klinik. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat kendala yang dapat mempengaruhi kualitas presentasi kasus. Kendala utama yang teridentifikasi dari dosen klinik adalah kurangnya waktu yang dialokasikan untuk pelaksanaan presentasi kasus. kendala dari peserta didik yaitu kesungguhan dalam mengerjakan dan pemahaman mengenai manfaat terhadap presentasi kasus. Kendala sarana dan prasarana berupa ruangan diskusi yang masih kurang serta format penyusunan dan format penilaian belum dimiliki oleh seluruh Bagian. Kendala dari rumah sakit berupa variasi kasus yang kurang bervariasi karena sistem rujukan bertingkat.
Kesimpulan: Kendala dalam pelaksanaan presentasi kasus harus menjadi bahan evaluasi bagi pengelola program pendidikan profesi dokter, agar manfaat presentasi kasus dapat maksimal diraih oleh peserta didik tahap klinik.

Background: Case presentation is a part of reflection in experiential learning in Kolb rsquo s learning cycle. Literatures demonstrates many benefits that students can reach with a good case presentation. But, there is a mismatch between clinical educators rsquo expectation and students rsquo perceptions of case presentation, so that the students cannot obtain an optimum benefits of case presentation. This research was conducted to explore in depth process of case presentation implementation and also to identify its implementation barriers in teaching hospital of Unsyiah Medical School.
Methods: Qualitative research with case study design was used for this research. Study casetheme used is case presentation implementation in Dr.Zainoel Abidin teaching hospital Banda Aceh. Data were taken using in depth interview with 6 education coordinators and 18 clinical teachers, focus group discussions with 57 students, observation, and documentation studies, from six departments. Followed by analysis through three stages including data reduction, data presentation, and conclusions.
Results: Case presentation is an useful and effective teaching method in clinical eduation. But, there were various barriers from clinical teacher, students, teaching hospital and learning support that can influence the benefit of case presentation identified. Factors identified in the clinical teachers are lack of time allotted. Factors identified in the students are lack of preparations about case presentation, and also lack understanding about case presentation method. Factors identified in the teaching hospitals are less variation of patients in some cases. Means of learning support in the form of modules containing learning outcomes and objectives clearly, form of assessment and also comfortable rooms supporting case presentation is yet exist.
Conclussion: There are various barrier factors of case presentation implementation which have been identified in this qualitative study. This barriers must becoming parameters on monitoring and program evaluation to improve the quality of a case presentation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys Dwiani Tinovella Tubarad
"Latar Belakang : Pembelajaran keterampilan komunikasi pada tahap akademik seringkali tidak diterapkan di tahap klinik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses komunikasi mahasiswa dalam melakukan anamnesis di Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta PSKD FKK UMJ secara mendalam.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan anamnesis dengan pasien di klinik penyakit dalam, dan focus group discussion FGD dengan mahasiswa di stase penyakit dalam. Triangulasi data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan staf pengajar di stase penyakit dalam. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan The Calgary Cambridge Observation Guide. Hasil FGD dan wawancara dituliskan dalam bentuk transkrip verbatim lalu dilakukan analisis tematik dan koding. Selanjutnya dilakukan reduksi dan penyajian data.
Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kekurangan dalam mengumpulkan informasi, membangun struktur anamnesis, membangun hubungan, dan mengakhiri anamnesis, yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan mahasiswa seperti pelatihan keterampilan komunikasi yang meliputi pelatihan pada tahap klinik dan tahap akademik, faktor pesonal, role model, faktor kepercayaan diri, faktor pengetahuan, faktor psikologis, faktor waktu, dan faktor yang berhubungan dengan pasien. Hal ini juga disebabkan karena belum adanya panduan khusus yang digunakan untuk melakukan keterampilan komunikasi.
Kesimpulan : Pembelajaran keterampilan komunikasi di PSKD FKK UMJ sudah diberikan sejak awal pendidikan sampai tahap klinik dan terintegrasi dalam keterampilan anamnesis, namun masih banyak mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak melakukan proses komunikasi dengan baik, yang dipengaruhi oleh faktor mahasiswa dan faktor pasien.

Background: Learning communication skill in undergraduate medical student are not applied into the clinical phase. This study is aimed to explore of clinical clerkship student rsquo s communication process during the medical interview at Faculty of Medicine Muhammadiyah University of Jakarta.
Method: This study used qualitative research methods with phenomenological approach. Data was collected through observation to student clinical clerkship during the medical interview with patient rsquo s polyclinic in internal medicine and focus group discussion with students in internal medicine. Triangulation data through in depth interview with faculty polyclinic in internal medicine. Observation used The Calgary Cambridge Observation Guide. The result of FGD and interview were transcribed verbatim, analysed thematically and coded, to reduce and present the data.
Result: The results obtained in this study indicate that the student has some weakness in gathering information, providing structure, building relationship, and closing the session which can be caused doctor related factors such as communication skill training in academic phase and clinical phase, personality, role model, self confidence, knowladge factors, psychological factors, time factors, and patient related factors. It can also be caused due to the absence of spescific guidelines that are used to perform communication skills.
Conclusion: Communication skill learning in PSKD FKK UMJ were conducted since in undergraduate and clinical phase by integrated in medical interview skills, but students rsquo performance during clerkship showed that their communication skill still need improvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrani
"Perluasan Akses Pendidikan Dokter (PAPD) adalah upaya untuk memberikan kesempatan yang setara pada semua pihak dari berbagai latar belakang untuk mengakses pendidikan dokter. PAPD menjadi perhatian di berbagai negara karena terkait dengan kemampuan empati dokter dan pemerataan dokter di daerah tertinggal. Penelitian tentang PAPD di Indonesia masih sangat terbatas, profil keberagaman mahasiswa kedokteran pun belum tersedia. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran awal tentang posisi PAPD di Indonesia saat ini dengan mengeksplorasi sudut pandang para pimpinan Fakultas Kedokteran mengenai konsep PAPD di Indonesia. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam secara daring terhadap pimpinan Fakultas Kedokteran. Kemudian dilakukan transkripsi verbatim, pengkodean, pencarian tema, dan deskripsi tema. Diperoleh 6 tema utama yaitu pemahaman konsep, manfaat, peran pemangku kepentingan, penerapan tahap pra-seleksi, penerapan tahap seleksi, dan penerapan tahap pasca seleksi. Temuan menarik dalam penelitian ini diantaranya mengenai manfaat mempererat persatuan nasional, kurangnya peran lembaga akreditasi, tantangan dalam merancang metode seleksi masuk mahasiswa, stigma biaya pendidikan FK mahal, kurangnya tenaga dosen di bidang kedokteran, dan rendahnya resiliensi mahasiswa asal daerah tertinggal. PAPD di Indonesia adalah upaya mewujudkan kesetaraan kesempatan mengakses pendidikan dokter bagi mahasiswa asal daerah tertinggal dan status sosio-ekonomi rendah dengan tujuan utama memenuhi kecukupan dokter di daerah tertinggal.

Medical Education Widening Access is an effort to provide equal opportunities for all people from various backgrounds to access medical education. It has been concerned in various countries because it related to the doctors’ empathy and distribution of doctors in rural areas. However, research on this subject in Indonesia is still very limited. Therefore, this study intends to provide a preliminary overview of Medical Education Widening Access in Indonesia by exploring the perspectives of medical school’s leaders regarding its concept. Data collection was carried out by online in-depth interviews with the leaders of the Faculty of Medicine then verbatim transcriptions analyzed by coding, theme search, and theme description. Six main themes emerged in this study are the conceptual understanding, benefits, roles of stakeholders, pre-selection staged implementation, selection staged implementation, and post-selection staged implementation. Some interesting findings are about impact on strengthening national unity, challenges in designing selection methods, stigma that medical education must be expensive, inadequacy of lecturers, and the low resilience of students from rural areas. In conclusion, Medical Education Widening Access in Indonesia is an effort to achieve equal opportunity to access medical education for students from rural areas and low socio-economic status aiming to meet the adequacy of doctors in rural areas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
616.5 DER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Evangelina
"Latar belakang: Baku emas diagnosis onikomikosis adalah pemeriksaan biakan dan histopatologi, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan sediaan langsung kalium hidroksida (KOH) merupakan pemeriksaan yang sudah dilakukan dalam praktik sehari-hari. Dermoskopi memiliki potensi sebagai alat skrining dan atau diagnostik onikomikosis. Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan dermoskopi dan sediaan langsung KOH 30% sebagai alat bantu diagnosis onikomikosis subungual distal lateral dibandingkan dengan baku emas biakan atau histopatologi. Metode: Uji diagnostik potong lintang terhadap kuku dengan kecurigaan onikomikosis subungual distal lateral di RSCM Jakarta. Pemeriksaan dermoskopi, KOH, biakan, dan histopatologi dilakukan secara tersamar. Hasil: Penelitian terdiri dari 60 kuku. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan KOH sebesar 89,6% dan 66,7%. Pada dermoskopi, sensitivitas gambaran jagged edged with spikes, longitudinal striation, dan perubahan warna 89,6%, 93,8%, dan 97,9%. Spesifisitas paling baik dimiliki gambaran aurora borealis, yaitu 91,7%. Nilai duga positif keempat gambaran dermoskopi tersebut 75,0%-79,7%. Kombinasi pemeriksaan KOH dengan dermoskopi pada keempat gambaran tersebut meningkatkan spesifisitas dan nilai duga positif dermoskopi. Kesimpulan: Pemeriksaan KOH dan dermoskopi merupakan alat penapis yang baik. Dermoskopi dapat membantu diagnosis pada kondisi pemeriksaan mikologis tidak tersedia dan dapat digunakan sebagai penapis kasus yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.

Background: Gold standards for onychomycosis are culture and histopathological examination. However, they have limitations. Dermoscopy has the potential to become promising onychomycosis diagnostic tool. Direct examination of potassium hydroxide (KOH) also has the same advantages as dermoscopy. Knowing the accuracy of both examination can help clinical decision making. Objective: To asses diagnostic value of dermoscopic and KOH examination for distal lateral subungual onychomycosis compared to culture or histopathology. Methods: A cross-sectional diagnostic study of nails with suspected distal lateral subungual onychomycosis from RSCM outpatient, Jakarta. Dermoscopy, KOH, culture, and histopathology were assessed independently. Results: This study were done to 60 nails. Sensitivity and specificity of KOH examination were 89.6% and 66.7%. On dermoscopy, the sensitivity of jagged edged with spikes, longitudinal striation, and color discoloration were 89,6%, 93,8%, and 97,9%. Aurora borealis has the best specificity. The positive predictive value of these four features were 75.0% -79.7%. Combination with KOH examination increased the specificity and positive predictive value of dermoscopy. Conclusion: Dermoscopy and KOH examination are good screening tools. These procedures can also help diagnosis in condition where mycological examination are not available."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rimonta F. Gunanegara
"Latar belakang: Self directed learning (SDL) merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Kurikulum berbasis kompetensi dengan pendekatan problem based learning (PBL) didukung dengan motivasi diri mahasiswa yang tinggi akan meningkatkan kesiapan penerapan SDL mereka. Penelitian dilakukan untuk mengetahui tingkat motivasi diri, kesiapan penerapan SDL pada mahasiswa kedokteran dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Penelitian dilakukan dengan mixed method pada kelompok mahasiswa tahun pertama dan kelompok mahasiswa kepaniteraan. Penelitian kuantitatif menggunakan kuesioner motivasi diri (MSLQ) dan kuesioner penerapan SDL (SDLRS). Responden dipilih dengan total sampling. Penelitian kualitatif dilakukan menggunakan Focus Group Discussion (FGD) pada mahasiswa dan tutor/preseptor. Informan dipilih secara purposive sampling.
Hasil: Hasil penelitian kuantitatif mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa kedokteran memiliki motivasi diri yang cukup baik tetapi dengan kesiapan penerapan SDL yang rendah. Nilai rerata kesiapan penerapan SDL pada kedua kelompok penelitian tidak berbeda bermakna. Penelitian kualitatif mengidentifikasi empat faktor yang berperan besar dalam kesiapan penerapan SDL mahasiswa yaitu karakteristik mahasiswa, proses pembelajaran, peran tutor/preseptor dan sarana penunjang pembelajaran.
Kesimpulan: Kesiapan penerapan SDL pada kelompok mahasiswa tahun pertama dan mahasiswa kepaniteraan tidak berbeda. Faktor yang berperan dalam kesiapan penerapan SDL pada mahasiswa yaitu karakteristik mahasiswa, proses pembelajaran, peran tutor/preseptor dan sarana penunjang pembelajaran.

Background: Self-Directed Learning (SDL) is an important skill that should be achieved by medical students. Competence-based curriculum with problem-based learning (PBL) as one of its learning approach, supported by high self-motivation of the students will enhance their readiness for SDL. The research is carried out to identify the level of self-motivation and SDL readiness in medical students as well as identify factors affecting SDL.
Methods: This research? design is a mixed method study. Samples were first-year and clinical year medical students. A quantitative research was conducted by distributing self-motivation (MSLQ) and SDL questionnaire (SDLRS). A total sampling was applied to select the respondents. Furthermore, focus group discussion (FGD) on students and tutors/preceptors was carried out. Informants were chosen by purposive sampling method.
Results: The quantitative research revealed that most of medical students had a good level of self-motivation but a low level of SDL readiness. Nevertheless, the mean scores of SDL readiness in both groups showed no significant differences. In addition, the qualitative research identified four major factors affecting the SDL readiness, which were the students? characteristics, learning process, the role of tutors/preceptors and supporting facilities for learning.
Conclusions: There was no significant difference between SDL readiness of the first-year and clinical year medical students. Students? characteristics, learning process, the role of tutors/preceptors and learning resources were found to be the mayor factors influencing SDL readiness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Rahmadika Akbar
"ABSTRAK
Lingkungan pembelajaran pada pendidikan kedokteran menentukan kesuksesan akademik mahasiswa. Akan tetapi, pendidikan kedokteran merupakan sumber terbesar yang menyebabkan mahasiswa stres, selain masalah pribadi, finansial ataupun masalah keluarga. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai hubungan antara persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran dengan tingkat stres mahasiswa. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilaksanakan mulai dari Desember 2016 sampai Juni 2017, melibatkan mahasiswa tingkat I, II, III dan IV Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah (FK UNBRAH), Padang, dengan total jumlah mahasiswa 595 orang. Persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran dinilai menggunakan kuesioner Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM) dan tingkat stres mahasiswa dinilai dengan kuesioner Depresion Anxiety Stress Scale (DASS) 42. Kedua kuesioner telah tervalidasi dan tersedia dalam Bahasa Indonesia. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 477 (80,1%). Persepsi seluruh mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran didapatkan nilai median 132(92-200), yang bermakna "lebih banyak positif dibandingkan negatif". Terdapat perbedaan bermakna persepsi mahasiswa tingkat I terhadap lingkungan pembelajaran dengan tingkat lainnya. Tingkat stres mahasiswa FK UNBRAH termasuk kategori normal. Hubungan persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran dan tingkat akademik bermakna dengan korelasi negatif sangat lemah (p<0,05). Semakin baik persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran, semakin rendah tingkat stres mahasiswa.

ABSTRACT
Learning environment in medical education is one of several aspect determine students' academic success. The medical education itself has been the biggest source of depression or stress for students, besides personal, financial, or family problems. The purpose of this study is to assess the correlation between students' perception about their learning environment and their stress levels. This study was a cross sectional study, conducted from December 2016 to April 2017, involving the 1st, 2nd, 3rd, 4th year students of the Faculty of Medicine, Baiturrahmah University (FK UNBRAH), Padang, with a total of 595 students. Students' perceptions on their learning environment were assessed using the Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM) questionnaire and the student stress level was assessed by the questionnaire of Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). Both questionnaires have been validated and available in Bahasa. Respondents involved in the study were 477 (80.1%). The median of the students's perceptions on their learning environment was 132 (92-200), which means "more positive than negative". Students' perceptions on learning environment between 1st year students with other academic year differed significantly. The median value of student stress level was categorized as normal. There was no statistically significant difference in stress level based on academic level and gender. The correlation between students' perception toward learning environment and academic level was found to be significant with very weak negative correlation (p<0,05). The better students' perception of the students to the learning environment, the lower the stress level."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parikesit Muhammad
"Salah satu faktor penyebab kulit kering pada lanjut usia adalah penurunan konsentrasi asam hialuronat pada epidermis dan dermis. Asam hialuronat berat molekul kecil dianggap lebih efektif melembapkan kulit dibandingkan asam hialuronat berat molekul besar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang dilakukan pada 36 orang berusia 60-80 tahun dengan kulit kering di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga lokasi di tungkai bawah, yang dioleskan dua kali sehari. Penilaian skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), dan skor SRRC dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Nilai SCap lebih tinggi pada area pengolesan asam hialuronat berat molekul kecil dibandingkan dengan asam hialuronat berat molekul besar (56,37 AU vs 52,37 AU, p=0,004) dan vehikulum (56,37 AU vs 49,01 AU, p<0,001). Tidak terdapat perbedaan nilai TEWL dan skor SRRC yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada ketiga kelompok perlakuan. Pelembap yang mengandung asam hialuronat berat molekul kecil meningkatkan SCap lebih tinggi secara bermakna daripada asam hialuronat berat molekul besar dan vehikulum serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi kulit kering pada populasi lansia.

A contributing cause to dry skin is a reduced concentration of hyaluronic acid (HA) in both the epidermis and dermis. Low molecular weight HA (LMWHA) is believed to be more effective in replenishing skin hydration in aging skin compared to High Molecular Weight HA (HMWHA). A double-blind, randomized controlled trial was conducted on 36 residents of a nursing home in Jakarta, aged 60 and 80 years with dry skin. Following a week of preconditioning, each test subject was administered three distinct, randomized moisturizing lotions, to be topically applied to three separate sites on the leg. Skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), and SRRC scores were measured at weeks 0, 2, and 4. After four weeks of therapy, area that was treated with LMWHA showed greater SCap values compared to the area treated with HMWHA (56.37 AU vs 52.37 AU, p=0.004) and vehicle (56.37 AU vs 49.01 AU, p<0.001). All groups did not show any significant differences in TEWL and SRRC scores. No side effects were found in all groups. The application of a moisturizer containing LMWHA to the dry skin of elderly resulted in significant improvements in skin hydration compared to moisturizers containing HMWHA and vehicle. Furthermore, these moisturizers demonstrated similar safety in treating dry skin in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Kurnia Pertiwi
"

Latar belakang: Pedikulosis kapitis merupakan masalah kesehatan yang umumnya terjadi pada anak-anak usia 3-12 tahun di seluruh dunia. Losio permetrin 1% merupakan terapi pilihan pertama untuk pedikulosis kapitis dan obat ini tersedia di Indonesia. Saat ini mulai ada laporan resistensi penggunaan permetrin 1% di beberapa negara. Di Indonesia belum ada data resistensi permetrin. Dilaporkan permetrin 5% dapat digunakan untuk pedikulosis kapitis yang resisten terhadap permetrin 1%. Sepengetahuan penulis belum pernah ada uji klinis dengan kontrol yang membandingkan losio permetrin 1% dengan 5% sebagai terapi pedikulosis kapitis.

Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan penggunaan losio permetrin 1% dan losio permetrin 5%.

Metode: Rancangan studi menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Subyek penelitian adalah santri perempuan di Pondok Pesantren di Cibinong. Subyek yang memenuhi kriteria penerimaan dialokasikan secara acak mendapatkan terapi losio permetrin 1% (LP1) dan losio permetrin 5% (LP5). Pengobatan dilakukan 2 kali dengan jarak 7 hari. Penilaian efektivitas dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14. Subyek dinyatakan sembuh bila tidak ditemukan kutu hidup saat evaluasi. Penilaian efek samping dinilai pada hari ke-0 yaitu 10 menit setelah pengolesan, 7 hari setelah pengobatan pertama, 7 hari setelah pengobatan kedua yaitu hari ke-14.

Hasil:

Sebanyak 48 subyek ikut dalam penelitian ini. Terdapat 1 SP drop out dari kelompok LP5. SP yang sembuh pada kelompok LP1 di hari ke-7 dan ke-14 adalah sebanyak 15 SP (62,5%) dan 23 SP (95,8%), sedangkan pada kelompok LP5 adalah 15 SP (65,2%) dan 22 SP (95,7%). Tidak terdapat perbedaan angka kesembuhan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok pada hari ke-7 dan ke-14 (p=1,000). Efek samping subyektif pada kedua kelompok yang paling banyak ditemukan adalah rasa panas di kelompok LP1 sebanyak 3 orang dan di kelompok LP5 sebanyak 2 orang.

Simpulan:

Efektivitas LP1 dan LP5 pada pedikulosis kapitis tidak berbeda bermakna. Angka kesembuhan yang didapatkan pada hari ke-7 dan hari ke-14 serupa antara kedua kelompok. Selain itu tidak didapatkan perbedaan keamanan antara LP1 dan LP5 yang bermakna secara statistik.


Background: In the worldwide pediculosis capitis is a community disease commonly affected among children 3 to 12 years of age.  Permethrin lotion 1% is drug of choice for pediculosis capitis and available in Indonesia. In many countries, there are reported resistency of permethrin 1%. There is no data of permethrin resistency in Indonesia. Permethrin 5% has been reported useful for resistance cases of permethrin 1%. As the author’s knowledge there is no previous clinical trial comparing permethrin lotion 1% and 5% as pediculosis capitis therapy.   

Objective: To know the effectivity and safety of permethrin lotion 1% and 5% in the treatment of pediculosis capitis.

Methods: A randomized control study of woman boarding school student in Cibinong. Patient who fulfilled inclusion criteria, allocated to receive permethrin lotion 1% and 5% accordance with randomization. Treatment is done twice with distance 7 days. The effectivity assest at day-7th and day-14th. Cure, if there is no life lice on subject at the evaluation. The adverse effect assest 10 minutes after first application, day-7th, and seventh day after second application at day-14th.

Results:

A total of 48 subjects were enrolled. One subject dropped out. On day-7th and day-14th there were 15 subject (62,5%) and 23 subject (95,8%) cured at group LP1, likewise at group LP5 there were 15 subject (65,2%) and 22 subject (95,7%) cured.  There was no statistical difference on the effectivity between both group on day-7th and day-14th (p=1,000). The most common subjective side effect on both group was burn, 3 subject on group LP1 and 2 subject on group LP5.

Conclusion:

There was no statistical differences on the effectivity between group LP5 and LP1. Cure rate on day-7th and day-14th on both group similar. There was no statistical differences on side effect between group LP1 and LP5.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>