Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Nurul Istiqomah
"Gangguan metabolisme mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) merupakan salah satu komplikasi yang ditemukan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis (PGK-HD). Manifestasi GMT-PGK dapat merupakan kelainan sistemik ataupun hanya ditemukan di tulang yang disebut sebagai renal osteodystrophy(ROD). Risiko kematian akibat GMT-PGK mencapai 17,5%. Di Indonesia, pemeriksaan penanda tulang terkait GMT-PGK belum secara rutin dikerjakan karena belum tercakup dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan penelitian ini menganalisis profil kalsium, fosfat, PTH, dan vitamin D 25(OH) pada pasien PGK-HD. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 124 pasien hemodialisis rutin di Unit Hemodialisis RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober 2022. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari semua pasien hemodialisis yang memiliki data jenis kelamin, usia, durasi HD, fosfat, kalsium total, vitamin D 25(OH), dan PTH. Profil parameter tulang di dominasi turnover tinggi (75,8%), normokalsemia (78%), hiperfosfatemia (57,3%), dan status defisiensi vitamin D (82,3%). Pada penelitian ini didapatkan korelasi hanya pada parameter durasi HD dan PTH. Profil kelainan tulang berdasarkan penelitian ini lebih didominansi kelainan turnover tinggi sehingga dapat menjadi dasar untuk pemberian suplementasi analog vitamin D dan atau kalsimimetik dalam pengendalian peningkatan PTH pada pasien HD. Hiperfosfatemia masih mendominasi proporsi pasien HD sehingga tatalaksana terhadap hiperfosfatemia perlu lebih ditingkatkan dan disarankan untuk pemeriksaan berkala.

Chronic kidney disease–mineral and bone disorder (CKD-MBD) is one of the complications found in CKD patients undergoing hemodialysis (CKD-HD). Manifestations of CKD-MBD can be a systemic disorder or only found in the bone which is known as renal osteodystrophy (ROD). The risk of death from CKD-MBD reaches 17.5%. In Indonesia, examination of bone markers related to CKD-MBD has not been routinely carried out because it has not been covered by the National Health Insurance financing. The aim of this study was to analyze the profile of calcium, phosphate, PTH, and vitamin D 25(OH) in patients with chronic kidney disease undergoing routine hemodialysis. This research is a cross-sectional study involving 124 routine hemodialysis patients at the Hemodialysis Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) which took place from June to October 2022. This study used secondary data from all hemodialysis patients who had data on gender, age, duration of HD, phosphate, total calcium, vitamin D 25(OH), and PTH. Bone parameter profile was dominated by high turnover (75.8%), normocalcemia (78%), hyperphosphatemia (57.3%), and vitamin D deficiency status (82.3%). In this study, correlation was found only on the HD and PTH duration parameters. The profile of bone abnormalities based on this study is more dominated by high turnover disorders so it can be a basis for administering supplementation of vitamin D analogues and or calcimimetics in controlling increased PTH in HD patients. Hyperphosphatemia still dominates the proportion of HD patients so that the management of hyperphosphatemia needs to be further improved and periodic checks are recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nafisah
"Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah menjadi masalah kesehatan utama saat ini. Selain gejala respiratorik, pada COVID-19 juga diyakini dapat menyebabkan gangguan pada ginjal dan menyebabkan gangguan asam basa dan elektrolit. Analisa gas darah, elektrolit, dan kreatinin adalah pemeriksaan laboratorium sederhana yang hampir selalu diperiksa pada saat pasien COVID-19 dirawat, tetapi peranannya dalam memprediksi luaran buruk COVID-19 belum banyak diketahui. Luaran buruk pada penelitian ini ialah subjek yang memiliki perawatan di intensive care unit (ICU) dan/atau menggunakan ventilator mekanik dan/atau meninggal. Penelitian ini memiliki desain kohort retrospektif, dengan jumlah sampel 136 subjek. Gangguan asam basa yang tersering adalah alkalosis respiratorik (), sedangkan kelainan elektrolit tersering adalah hiponatremia. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik pada parameter pH, pCO2, PO2, SO2, TCO2, dan kadar natrium. Parameter pH, pCO2, PO2, SO2, TCO2, dan kadar natrium memiliki luas Area Under the Curve secara berurutan sebesar 62,8%; 61,7%; 64,8%; 69,7%; 60,6% dan 73%. Pada analisis regresi logistik, didapatkan suatu model prediksi luaran buruk dengan menggunakan parameter pH, PO2, TCO2, kadar natrium, dan riwayat kardiovaskular.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pandemic has become a major health problem. COVID-19 cause respiratory and kidney problems and cause acid-base and electrolyte disturbances. Blood gas analysis, electrolytes, and creatinine are basic laboratory test that always be examined when a COVID-19 hospitalized, but it’s role in predicting COVID-19 poor outcome is still not clear. The poor outcome in this study was the intensive care unit (ICU) admission and/or using mechanical ventilator and/or died. This study has a retrospective cohort design, with a sample size of 136 subjects. The most common acid-base disorder is respiratory alkalosis, while the most common electrolyte abnormality is hyponatremia. In this study, we found statistically significant association between pH, pCO2, PO2, SO2, TCO2, and sodium levels with COVID-19 poor outcome. The parameter pH, pCO2, PO2, SO2, TCO2, and sodium content have an area under the curve respectively ​​62.8%; 61.7%; 64.8%; 69.7%; 60.6% and 73%. In logistic regression analysis, a model for poor prediction was obtained using pH, PO2, TCO2, sodium levels, and cardiovascular history."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Corry
"Penyakit ginjal kronik (PGK) sudah menjadi masalah kesehatan global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat dan memberikan prognosis buruk. Salah satu penyebab beratnya morbiditas pada PGK adalah terjadinya disbiosis mikroflora usus yaitu peningkatan flora patogen dibandingkan dengan flora normal pada pasien PGK dengan hemodialisis (PGK-HD). Studi ini bertujuan untuk mendapatkan pola mikrobiota usus pada pasien PGK dengan hemodialisis dengan metode kuantitatif PCR dengan pendekatan analisis ΔCt. Desain penelitian potong lintang dengan 71 subjek pasien PGK usia >18 tahun dengan hemodialisis rutin di RS. Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangukusumo. Sampel berupa feses yang disimpan di suhu -20oC selama kurang dari setahun. Ekstraksi dan purifikasi DNA dengan teknik pengikatan silika dan metode buffer kit Exgene Stool DNA, Bioneer. Pengukuran konsentrasi DNA dengan spektrofotometer NanoVue dilanjutkan dengan standarisasi konsentrasi DNA dengan pengenceran sampel berdasarkan konsentrasi DNA terkecil. Pemeriksaan real-time q-PCR mesin Bioneer ExicyclerTM 96 dengan menggunakan 13 macam primer yaitu E.coli, Parasuterella excrementihominis, Prevotella, Bacteroides, Bifidobacterium, L.casei, L.acidophillus, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Clostridium difficile, Clostridium cocoides, Akkermansia muciniphila dan Beta-actin sebagai housekeeping gene (HKG). Hasil penelitian didapatkan dominasi mikrobiota usus E. coli dan rasio F/B pasien PGK-HD 2,76. Terdapat hubungan bermakna antara hipertensi dengan rasio F/B 9,35 4,0. Penelitian ini merupakan penelitian pertama tentang disbiosis mikrobiota usus pada pasien PGK dengan hemodialisis di Indonesia dengan menggunakan sampel feses dengan metode PCR kuantitatif pendekatan analisis ΔCt. Dengan diketahui profil mikrobiota usus pada PGK dapat dijadikan saran pemberikan suplementasi probiotik Bifidobacteria, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi mikrobiota filum Bacteroides.

Chronic kidney disease (CKD) has become a global health problem with increasing in prevalence and incidence of kidney failure. One of the causes of severe morbidity in CKD is the occurrence of intestinal microflora dysbiosis, an increase in pathogenic flora compared to normal flora in CKD patients with hemodialysis (CKD-HD). This study aims to obtain patterns of gut microbiota in CKD patients on hemodialysis by quantitative PCR method with Ct approach analysis The design was a cross-sectional study with 71 CKD patients aged >18 years with routine hemodialysis in the hospital. General National Center Dr. Cipto Mangukusumo. Samples are feces that are stored at -20oC for less than one year. Extraction and purification of DNA with silica binding techniques using Exgene Stool DNA buffer kit method, Bioneer. Measurement of DNA concentration with the NanoVue spectrophotometer, followed by standardization of DNA concentration by diluting the sample based on the smallest DNA concentration. Real-time q-PCR examination of the Boneer ExicyclerTM 96 machine using 13 kinds of primers, namely E.coli, Parasuterella excrementihominis, Prevotella, Bacteroides, Bifidobacterium, L.casei, L.acidophillus, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Clostridium difficile, Clostridium cocoides, Akkermansia muciniphila and Beta-actin as a housekeeping gene (HKG). There was the dominance of the gut microbiota of E. coli and the F/B ratio of CKD-HD patients 2.76. There is a significant relationship between hypertension and the F/B ratio of 9.35 ± 4.0. This study is the first study on gut microbial dysbiosis in CKD patients on hemodialysis in Indonesia using stool samples using quantitative PCR method with Ct approach analysis. Knowing the gut microbiota profile in CKD, can be used as a suggestion for Bifidobacteria probiotic supplementation, as is expected to increase the concentration of the Bacteroides phylum microbiota."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Umboh, Rilano Viktorison Sondakh
"Kanker kolorektal (KKR) adalah kanker tersering nomor tiga di dunia yang memiliki angka mortalitas tinggi terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Angka mortalitas yang tinggi disebabkan penegakan diagnosis sudah pada stadium lanjut. Kolonoskopi merupakan baku emas diagnosis KKR, namun bersifat invasif, tidak nyaman, dan berisiko komplikasi. Inflamasi kronis diketahui terjadi pada KKR dan berperan pada perkembangan dan metastasis sel kanker. Parameter hematologi seperti red cell distribution width (RDW), Rasio Hemoglobin-RDW (RHR), dan Rasio RDW-Trombosit (RRT) memberi informasi yang bermakna pada pasien KKR. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran RDW, RHR, dan RRT dalam membedakan kelompok KKR dan non-KKR. Desain penelitian potong lintang dengan total 78 pasien tersangka KKR, terdiri dari 39 kelompok KKR dan 39 kelompok non-KKR yang dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan histopatologi. Didapatkan perbedaan bermakna nilai RDW, RHR, dan RRT pada kelompok KKR dan non-KKR. Titik potong nilai RDW, RHR, dan RRT untuk membedakan kelompok KKR dari non-KKR berturut-turut adalah 14,5 (sensitivitas 74,4% dan spesifisitas 66,7%), 0,77 (sensitivitas 76,9% dan spesifisitas 66,7%), 0,045 (sensitivitas 61,5% dan spesifisitas 66,7%). Berdasarkan analisis multivariat, model kombinasi parameter laboratorium RHR dan RRT dengan parameter klinis penurunan berat badan memiliki probabilitas 90,44% dalam diagnosis KKR pada pasien tersangka KKR.

Colorectal cancer (CRC) is the third most common cancer in the world with high mortality rate, especially in developing countries including Indonesia. The high mortality rate is due to the late diagnosis at advanced stage. Colonoscopy is the gold standard for CRC diagnosis, but invasive, uncomfortable and carries a risk of complications. Chronic inflammation is known to occur in CRC and plays a role in the development and metastasis of cancer cells. Hematological parameters such as red cell distribution width (RDW), Hemoglobin-RDW Ratio (HRR), and RDW-Platelet Ratio (RPR) provide significant information in CRC patients. This study aims to assess the role of RDW, RHR, and RRT in differentiating CRC from non-CRC groups. Cross-sectional study was conducted in 78 suspected CRC patients, consisting of 39 CRC and 39 non-CRC subjects who underwent colonoscopy and histopathology examinations. Significant differences were found in RDW, HRR, and RPR between the CRC and non-CRC groups. The cut-off points for RDW, HRR, and RPR to distinguish the CRC from non-CRC groups were 14.5 (sensitivity 74.4% and specificity 66.7%), 0.77 (sensitivity 76.9% and specificity 66.7%), 0.045 (sensitivity 61.5% and specificity 66.7%), respectively. Based on multivariate analysis, a diagnostic model based on the combination of laboratory parameters such as HRR and RPR with clinical parameter of weight loss has a 90.44% probability in diagnosing CRC in suspected CRC patients."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Najib Ali
"Kanul trakeostomi merupakan salah satu alat medis yang umum diaplikasikan pada pasien. Pemasangan kanul trakeostomi berisiko menyebabkan pembentukan biofilm, terutama pada pemasangan jangka panjang. Pembentukan biofilm pada kanul trakeostomi dapat menimbulkan infeksi kronis dengan angka kekambuhan yang tinggi dan tata laksana yang sulit. Keberadaaan biofilm ini dapat diperiksa dengan beberapa metode, misalnya metode tabung dan microtiter plate (MTP). Penelitian ini bertujuan untuk menilai performa diagnostik metode tabung menggunakan media tryptic soy broth (TSB) dengan dan tanpa suplementasi glukosa 1% terhadap metode MTP sebagai baku emas. Diperoleh 100 isolat bakteri hasil biakan spesimen swab kanul trakeostomi yang berasal dari pasien dewasa Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni-Juli 2020. Total isolat bakteri yang menghasilkan biofilm berdasarkan metode MTP adalah 25%. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri dengan tingkat produksi biofilm yang paling tinggi (66,7%). Metode tabung TSB murni dan TSB glukosa 1% memiliki sensitivitas yang sama (96%), namun metode TSB glukosa 1% lebih unggul dalam hal spesifisitas (29,3% berbanding 24%), nilai duga positif (31,2% berbanding 29,6%), nilai duga negatif (95,6% berbanding 94,7%), dan akurasi (46% berbanding 42%). Nilai kappa metode tabung TSB murni adalah 0,893 (IK 0,791-0,995) sedangkan TSB glukosa 1% adalah 0,890 (IK 0,785-0,995). Berdasarkan hasil tersebut, pemeriksaan biofilm metode tabung TSB glukosa 1% dapat digunakan sebagai skrining deteksi biofilm pada kanul trakeostomi.

Tracheostomy cannula is one of the medical devices commonly applied to patients. Application of tracheostomy cannula is at risk of causing biofilm formation, especially in long-term use. Biofilm formation in the cannula may cause chronic infection, which has a high relapse number and difficult treatment. The presence of biofilm can be detected by several methods, including the tube method and the microtiter plate (MTP) method. This study aimed to assess the diagnostic performance of the tube method using tryptic soy broth (TSB) with or without glucose supplementation to the MTP method as the gold standard. There were 100 bacterial isolates obtained from tracheostomy cannula swab culture from adult patients in Otorhinolaryngology Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital from June to July 2020. Twenty-five percent of isolates were biofilm-producing bacteria. Pseudomonas aeruginosa had the highest biofilm production rate (66,7%). Both tube methods using TSB with or without 1% glucose supplementation had the same sensitivity (96%); however, TSB with 1% glucose supplementation was better in specificity (29,3% versus 24%), positive predictive value (31,2% versus 29,6%), negative predictive value (95,6% versus 94,7%), and accuracy (46% versus 42%). Kappa value of tube method of TSB only was 0,893 (CI 0,791-0,995) while TSB with 1% glucose supplementation was 0,890 (CI 0,785-0,995). Based on those results, the tube method of TSB with 1% glucose supplementation can be used as a screening tool to detect biofilm in tracheostomy cannula"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dayu Satriani
"Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan tumor ganas saluran cerna dan menjadi penyebab kematian keempat terbanyak akibat penyakit keganasan di seluruh dunia. Gejala klinik KKR sering tidak spesifik mengakibatkan sebagian besar kasus terdiagnosis pada stadium lanjut. Kolonoskopi masih digunakan sebagai baku emas penegakan diagnosis KKR, namun terdapat kendala akses pasien untuk kolonoskopi akibat keterbatasan fasilitas. Pemeriksaan darah samar merupakan metode penapisan awal KKR yang relatif murah dan tidak invasif. Pemeriksaan darah samar yang sering dilakukan menggunakan metode guaiac-based FOBT (gFOBT) atau Fecal Immunochemical Tes (FIT). Sistem skoring Asia Pasific Colorectal Cancer Screening (APCS) merupakan suatu cara untuk meningkatkan efisiensi penapisan pasien berdasarkan data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita neoplasma kolorektal, dan riwayat merokok. Saat ini di Indonesia belum diketahui peran kombinasi sistem skoring APCS dan pemeriksaan darah samar feses untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penapisan karsinoma kolorektal di Indonesia. Penelitian ini menganalisis kombinasi pemeriksaan darah samar feses dan skor APCS dibandingkan dengan histopatologi sebagai baku emas. Penelitian ini memeriksa 78 pasien tersangka KKR yang diperiksa darah samar feses metode gFOBT dan FIT, dihitung skor APCS dan dilakukan biopsi kolonoskopi. Pemeriksaan FIT memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi dibandingkan metode gFOBT. Hasil uji diagnostik kombinasi pemeriksaan darah samar feses dengan skor APCS ≥ 2 menunjukkan kombinasi skor APCS dengan metode FIT memiliki nilai spesifisitas, prediksi positif, prediksi negatif yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi metode gFOBT dan skor APCS ≥ 2.

Colorectal carcinoma (CRC) is a malignant tumor of the digestive tract and the fourth cause of death due to malignancy throughout the world. The clinical symptoms of CRC are not specific resulting in advanced stage when first diagnosed. Colonoscopy is used as the gold standard for the diagnosis of CRC, but there are difficulties for patient to access colonoscopy due to limited facilities. Occult blood test is relatively cheap and non-invasive initial screening methods. Occult blood test is often done using the guaiac-based (gFOBT) or Fecal Immunochemical Test (FIT) methods. The Asia-Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) scoring system is a tool to increase patient screening efficiency based on risks factor developed in the Asia-Pacific region, including age, sex, family history of colorectal neoplasm, and smoking history. At present the role of the APCS scoring system and fecal occult blood test to increase effectiveness and efficiency of colorectal carcinoma screening in Indonesia is still unknown. This study was aimed to analyze the combination of feccal occult blood test with APCS score showed in accordance with histopatology results. FIT has better predictive value compared to gFOBT. Combination of APCS score ≥ 2 and FIT is also gives higher specificity, positive predictive value, and negative predictive value compared when combined with gFOBT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Nugroho Putri
"Asfiksia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatus. Deteksi dini asfiksia penting untuk mencegah keluaran buruk jangka pendek. Analisis gas darah tali pusat merupakan metode objektif untuk menilai hipoksia-asidosis janin yang merupakan dasar patologi asfiksia. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama merupakan penelitian comparative cross-sectional untuk menilai hubungan pO2 vena, pCO2 arteri, ΔpO2 vena-arteri, ΔpCO2 arteri-vena tali pusat, dan fractional tissue oxygen extraction dengan keluaran sekunder, yaitu dengan skor Apgar <7 pada menit ke-5. Tahap kedua menggunakan desain nested case-control untuk menilai keluaran primer, yaitu keluaran buruk jangka pendek, meliputi perdarahan intraventrikular, ensefalopati hipoksik-iskemik, perawatan neonatal intensive care unit, serta kematian neonatal dini. Total subjek adalah 47 subjek. Tahap pertama penelitian hanya mendapatkan empat kasus sehingga tidak dapat dinilai hubungan dengan skor Apgar rendah menit ke-5. Tahap kedua penelitian mendapatkan 10 kasus dan 37 kontrol. Delta pO2 vena-arteri tali pusat lebih rendah bermakna (p=0,041), sedangkan fractional tissue oxygen extraction lebih rendah namun tidak bermakna (p=0,059) pada neonatus yang mengalami keluaran buruk jangka pendek dibanding tanpa keluaran buruk. Ketiga parameter lain tidak berhubungan dengan keluaran buruk jangka pendek. Titik potong optimal untuk memprediksi keluaran buruk jangka pendek neonatus adalah ≤3,35 mmHg (Sn=83,8%; Sp=60,0%) untuk ΔpO2 vena-arteri tali pusat dan ≤16,2% (Sn=81,1%; Sp=60,0%) untuk FTOE. Delta pO2 vena-arteri tali pusat (OR=7,75 (p=0,010; IK95% 1,66 – 36,01) maupun FTOE (OR=6,43; p=0,017; IK95% 1,42 – 29,08) prediktif terhadap keluaran buruk jangka pendek neonatus. Model prediksi dibuat menggunakan parameter FTOE.

Asphyxia remains one of the most common cause of morbidity and mortality in neonates. Early detection is crucial to prevent asphyxia-related short-term adverse outcomes. Umbilical cord blood gas analysis provides objective measurement of fetal hypoxia and acidosis which define asphyxia. This study aimed to evaluate association of umbilical cord venous pO2, arterial pCO2, arterio-venous ΔpCO2, veno-arterial ΔpO2, and fetal fractional tissue oxygen extraction (FTOE) ratio with neonatal short-term adverse events, including intracranial hemorrhage, hypoxic-ischemic encephalopaty, admission to neonatal intensive care unit, and early neonatal death, as primary outcomes, and low 5-minute Apgar score as secondary outcomes. We used nested case-control design to evaluate primary outcomes and comparative cross-sectional design for the latter. A total of 47 subjects were recruited. Low 5-minute Apgar scores were found in four subjects, which did not fulfill the minimum sample size requirement for analysis. Short-term adverse outcomes were found in 10 cases. Delta pO2 was significantly lower (p=0,041), while FTOE was lower albeit not statistically significant (p=0,059) in case compared to control group. The other three parameters failed to show any significant associations. Optimal cutoff value for pO2 was ≤3,35 mmHg with 83,8% sensitivity dan 60,0% specificity, and ≤16,2% for FTOE (Sn=81,1%; Sp=60,0%). Either umbilical veno-arterial ΔpO2 (OR=7,75; p=0,010; 95%CI 1,66 – 36,01) or FTOE (OR=6,43; p=0,017; IK95% 1,42 – 29,08) was predictive for neonatal short-term adverse outcomes. A prediction model was developed for FTOE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti Pranoto
"Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik (infark miokard) merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Tindakan reperfusi miokardium merupakan tatalaksana utama PJK. Cedera iskemia-reperfusi (IRI) merupakan cedera lanjutan otot jantung akibat disfungsi seluler yang dapat terjadi setelah reperfusi. Transforming growth factor-beta (TGF-β) merupakan sitokin anti-inflamasi yang berperan dalam resolusi inflamasi dan inisiasi perbaikan infark, namun TGF-β juga mengaktivasi jalur fibrogenik yang menyebabkan fibrosis, hipertrofi dan percepatan gagal jantung. Kolkisin dosis rendah diketahui menurunkan ekspresi TGF-β. Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap perubahan kadar TGF-β pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen ST (IMA-EST) sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi. Penelitian dilakukan menggunakan desain uji klinik tersamar ganda (double blinded randomized clinical trial) yang melibatkan 64 subjek. Pada hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar TGF-β yang lebih tinggi pada 48 jam pasca reperfusi, terutama pada kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada analisis perubahan (delta) kadar TGF-β sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi antara kedua kelompok. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap kadar TGF-β pada pasien IMA-EST pasca reperfusi. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lanjutan untuk menilai perubahan kadar TGF-β dengan pemberian kolkisin dalam jangka panjang.

Coronary heart disease or ischemic heart disease (myocardial infarction) is one of the leading causes of death worldwide. The primary management for CHD is myocardial reperfusion. Ischemia-reperfusion injury is a type of secondary cardiac muscle injury induced by cellular dysfunction following reperfusion. Transforming growth factor-beta (TGF-β) is an anti-inflammatory cytokine that aids in inflammatory resolution and initiation of infarct healing, but it also stimulates fibrogenic pathways that promote fibrosis, hypertrophy and accelerated heart failure. Low doses of colchicine have been shown to inhibit TGF-β expression. The purpose of this study is to see how colchicine affects TGF-β serum levels in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction (IMA-EST) before and 48 hours after reperfusion. This study used a double blinded randomized clinical trial design involving 64 subjects. This study’s findings revealed a larger increase in TGF-β levels 48 hours after reperfusion, particularly in the study group. There was no significant difference in TGF-β level changes before and 48 hours after reperfusion between the two groups. This is the first study to evaluate the effect of colchicine on TGF-β levels in IMA-EST patients and can be used to guide future research into the effects of long-term colchicine administration on TGF-β levels

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Wirya Atmaja
"Penyakit kardiovaskular menjadi masalah kesehatan global dan menempati urutan pertama penyebab kematian. Prevalensinya semakin meningkat seiring peningkatan faktor risiko diabetes melitus (DM), hipertensi, dislipidemia, dan merokok. Infark miokard akut (IMA) merupakan iskemia miokard yang disebabkan oleh ruptur plak arteri koroner yang menyebabkan trombosis dan oklusi. Upaya penanganan IMA dapat dilakukan dengan tindakan revaskularisasi, namun tindakan tersebut berpotensi menyebabkan cedera miokard ireversibel dan kematian kardiomiosit yang dikenal sebagai cedera iskemia reperfusi miokard. Mekanisme cedera iskemia reperfusi miokard menginduksi respons inflamasi yang memicu pembentukan inflamasom NLRP3 sehingga terjadi aktivasi kaspase-1 yang berperan pada maturasi dan pelepasan interleukin (IL)-18. Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang sederhana, murah, dengan masa kerja cepat yang dapat menghambat inflamasom, sehingga tidak terjadi aktivasi dan pelepasan IL-18. Penelitian mengenai efektivitas kolkisin terhadap penyakit kardiovaskular telah banyak dilakukan, namun penelitian mengenai perubahan kadar IL-18 pada pasien IMA belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan kadar IL-18 pada 48 jam pasca IKPP pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST (EST) dengan pemberian kolkisin. Desain penelitian uji klinik tersamar ganda,  dengan total 60 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdiri dari 30 subjek kelompok kolkisin dan 30 subjek kelompok plasebo. Penurunan kadar IL-18 pada 48 jam pasca IKPP pada kelompok kolkisin lebih besar daripada kelompok plasebo, namun tidak didapatkan perbedaan bermakna antara keduanya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai rentang waktu untuk menilai penurunannya. 

Kata Kunci : IMA-EST, cedera iskemia reperfusi miokard, IL-18, kolkisin, penurunan kadar


Cardiovascular diseases have become a global health problem and are the leading cause of death. The prevalence is increasing due to the rise in risk factors such as diabetes mellitus (DM), hypertension, dyslipidemia, and smoking. Acute myocardial infarction (AMI) is myocardial ischemia caused by the rupture of a coronary artery plaque, leading to thrombosis and occlusion. The management of AMI can be done through revascularization procedures, but these interventions have the potential to cause irreversible myocardial injury and cardiomyocyte death, known as ischemia-reperfusion myocardial injury. The mechanism of ischemia-reperfusion myocardial injury induces an inflammatory response that triggers the formation of the NLRP3 inflammasome, leading to caspase-1 activation involved in interleukin (IL)-18 maturation and release. Colchicine is a simple, inexpensive, fast-acting anti-inflammatory drug that can inhibit the inflammasome, thus preventing the activation and release of IL-18. Studies on the effectiveness of colchicine in cardiovascular diseases have been conducted extensively, but research on changes in IL-18 levels in AMI patients is limited. This study aims to assess the changes in IL-18 levels within 48 hours post-primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) patients treated with colchicine. The study design is a double-blinded, randomized clinical trial, involving a total of 60 STEMI patients undergoing PPCI, with 30 subjects in the colchicine group and 30 subjects in the placebo group. The reduction in IL-18 levels at 48 hours post-PPCI in the colchicine group was greater than in the placebo group, although no significant difference was observed between the two groups. Further research with different time intervals is needed to assess the extent of IL-18 reduction.

Keyword : STEMI, ischemia-reperfusion myocardial injury, IL-18, colchicine, reduction levels"

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charlie Windri
"Penyakit jantung koroner (PJK) atau infark miokard (IMA) adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Tindakan reperfusi miokardial merupakan pendekatan utama dalam penanganan PJK. Cedera iskemia-reperfusi (IRI) mewakili cedera tambahan pada otot jantung yang terjadi akibat disfungsi seluler setelah proses reperfusi. Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan protein yang berperan dalam induksi angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. VEGF penting dalam pembentukan pembuluh darah kolateral pasca IMA, namun kadar VEGF yang terlalu tinggi diketahui mengakibatkan restenosis pasca tindakan intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kolkisin dosis rendah diketahui menurunkan kadar VEGF. Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap penurunan kadar VEGF pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen ST (IMA-EST) sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi. Penelitian dilakukan menggunakan desain uji klinik tersamar ganda (double blinded randomized clinical trial) yang melibatkan 63 subjek. Pada hasil penelitian didapatkan penurunan kadar VEGF pada 48 jam pasca reperfusi namun tidak didapatkan perbedaan bermakna pada analisis perubahan (delta) kadar VEGF sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi antara kedua kelompok. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap kadar VEGF pada pasien IMA-EST pasca reperfusi. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lanjutan untuk menilai penurunan kadar VEGF dengan pemberian kolkisin dalam jangka panjang.

Coronary heart disease (CHD) or acute myocardial infarction (AMI) is one of the major causes of death throughout the world. Myocardial reperfusion is the main approach in treating CHD. Ischemia-reperfusion injury (IRI) represents additional injury to the heart muscle that occurs due to cellular dysfunction following the reperfusion process. Vascular endothelial growth factor (VEGF) is a protein that plays a role in inducing angiogenesis and increasing vascular permeability. VEGF is important in the formation of collateral blood vessels after MI, but higher levels of VEGF are known to result in restenosis after primary percutaneous coronary intervention (IKPP). Low-dose colchicine is known to reduce VEGF levels. This study aims to assess the effect of colchicine administration on reducing VEGF levels in the serum of patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction (IMA-EST) before and 48 hours after reperfusion. The research was conducted using a double-blinded randomized clinical trial design involving 63 subjects. The study result showed the decrease in VEGF levels at 48 hours after reperfusion, but there was no significant difference in the analysis of changes (delta) in VEGF levels before and at 48 hours after reperfusion between the two groups. This study is the first study to assess the effect of colchicine administration on VEGF levels in post-reperfusion IMA-EST patients. This research can be used as a basis for further research to assess the reduction in VEGF levels with long-term administration of colchicine."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>