Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widarso
Abstrak :
ABSTRAK
Program pemberantasan rabies telah dilaksakan secara terpadu lintas sektoral sejak Pelita V, yang tertuang dalam SKB Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri, tahun 1978 dengan peran dan tanggung jawab sesuai masing-masing sektor. Rabies tersebar di 20 propinsi, dengan terdapat kematian karena rabies setiap 3 hari 1 orang meninggal (1986-1989). Penyakit ini bersifat fatal. Hanya dengan cara memberikan vaksin anti rabies/serum anti rabies sesuai dengan SOP terhadap orang digigit hewan penular rabies dapat mencegah tidak terjadi kasus rabies pada manusia. Propinsi Jawa Barat menempati urutan ke dua setelah Sumatera Barat (1992). Penderita gigitan per-tahun di Jawa Barat rata-rata 2571 orang, kematian karena rabies 4,3 per 1000 gigitan. Lokasi penelitian adalah Kotamadya dan Kabupaten Bandung, sample diambil secara total populasi.

Penelitian ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian VAR/SAR sesuai dengan SOP terhadap penderita gigitan hewan penular rabies. Metode yang dipergunakan adalah survai retrospektif dengan menggunakan data sekunder sejak 5 tahun yang lalu (1989-1993). Hasil penelitian didapatkan 2 variabel yang sangat berpengaruh terhadap pemberian VAR/SAR sesuai SOP dan terhadap kematian karena rabies. Variabel tersebut adalah jenis luka gigitan dan keadaan hewan. Penular utama adalah hewan anjing. Jenis luka gigitan sangat menentukan indikasi pemberian VAR/SAR sesuai dengan SOP secepat mungkin. Demikian juga keadaan hewan penggigit, bila keadaan hewan lari/mati/dibunuh tanpa pemeriksaan laboratorium/diobservasi/ laboratorium positif maka ini merupakan indikasi kuat untuk pemberian VAR/SAR. Dari pengamatan sebanyak 4708 kasus gigitan hewan penular rabies yang terjadi/tercatat selama periode 1989-1993 di Kodya dan Kab. Bandung ternyata hanya didapat 11 kematian. Keadaan ini menunjukkan tingkat efektivitas yang sangat tinggi didalam penatalaksanaan kasus gigitan hewan penular

rabies. Penerapan pemberian VAR/SAR sesuai S0P (yang mengaca pada SOP yang dibuat WHO) menunjukkan efektivitas sebesar 99,76% dalam menekan kematian karena rabies. Padahal kegagalan penetapan indikasi pemberian VAR/5AR dapat menyebabkan kematian 100X. Penerapan pemberian VAR/SAR sesuai SOP secara tepat dalam penanganan kasus gigitan hewan penular rabies, dapat menekan angka kematian sampai dengan 0,0055%.

Para petugas kesehatan (dokter/paramedis) di Kodya dan Kab. Bandung telah mengenai dan mengetahui dengan melaksanakan SOP dengan benar. Namun demikian agar petugas tetap segar tentang pengetahuan rabies maka perlu dilakukan pelatihan/penyegaran secara teratur.

Hasil yang sudah dapat dicapai di Kodya dan Kab. Bandung dapat dijadikan model serta direplikasikan kedaerah endemic lain.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siane Nursianti Tanuwidjaja
Abstrak :
Pelayanan antenatal, merupakan salah satu komponen penting dalam program kesehatan ibu dan anak, pemanfaatan pelayanan antenatal oleh seorang ibu secara kualitas, dalam penelitian ini diukur dengan melihat jumlah kunjungan, umur kehamilan pada kunjungan pertama serta usia kehamilan saat penelitian dilakukan. Komponen predisposing, enabling, need dan reinforcing diduga merupakan faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal di Kabupaten Bogor, yang mempunyai kuantitas sudah cukup baik namun kualitasnya masih kurang. Metoda penelitian survey, dengan populasi penelitian ibu hamil dan petugas antenatal puskesmas, penarikan sampel dengan cara: Stratified Cluster Random Sampling. Hasil yang diperoleh, ternyata derajat .pemanfaatan antenatal baik di Kabupaten Bogor baru mencapai 28%, ibu hamil yang datang ke pelayanan antenatal. 19% masih ada dalam kelompok umur resiko tinggi (<20 atau >35 tahun), dengan pendidikan kurang dari enam tahun 61%, jumlah kehamilan lebih dari tiga kali masih ada 25%, pekerjaan suami terbanyak sebagai buruh, pengetahuan ibu tentang antenatal yang baik baru 41%. Dari segi pembiayaan ternyata 56% ibu hamil mengeluarkan biaya antenatal sekali periksa >=Rp 1000, kondisi ibu waktu datang ke antenatal 46% kondisi sakit dan dilayani 80% oleh puskesmas dengan praktek petugas antenal rata-rata baik. Sumber informasi kesehatan, yang sering diterima dan dipercayai oleh ibu hamil selain petugas adalah orang tua. Faktor yang besar hubungannya dengan pemanfaatan pelayanan antenatal adalah biaya antenatal, dan pengetahuan ibu. Saran: pengembangan dana sehat untuk menanggulangi masalah biaya pelayanan, dan peringkatan pengetahuan ibu melalui penyuluhan dengan penajaman sasaran (pendidikan kurang dari enam tahun, jumlah kehamilan lebih dari tiga), oleh sumber yang efektif misalnya oleh orang tua.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Resmiati
Abstrak :
Sampai saat ini angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan negaranegara tetangga Asean. Tetanus neonatorum merupakan penyebab urutan kedua (± 20%) kematian bayi di Indonesia. Berbagai upaya dalam menurunkan angka kematian bayi telah banyak dilakukan, yang menjadi prioritas program dalam Repelita V adalah Eliminasi Tetanus Neonatorum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan praktek pencegahan tetanus neonatorum, dengan lokasi di Kabupaten Bogor. Hasil-hasil penelitian diharapkan sebagai sumbangan pemikiran untuk pengelola program maupun pengambil keputusan dalam kegiatan penanggulangan tetanus neonatorum. Metoda penelitian dengan rancangan Cross sectional, dimana pengumpulan data dilakukan sekaligus pada suatu saat. Analisis yang dipergunakan adalah tabulasi silang dan regresi logistic. Faktor-faktor yang diteliti adalah umur ibu, paritas ibu, pendidikan ibu, pekerjaan suami, pengetahuan ibu dan sikap ibu mengenai tetanus neonatorum, serta tersedianya tenaga kesehatan sebagai variabel bebas. Sebagai variabel terikat adalah praktek pencegahan tetanus neonatorum yang meliputi imunisasi tetanus toxoid lengkap, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan perawatan tali pusat bayi yang steril. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua faktor tersebut mempunyai hubungan yang bermakna dengan praktek pencegahan tetanus neonatorum. Pengetahuan dan sikap ibu terbukti mempunyai hubungan yang bermakna dengan praktek pertolongan persalinan dengan nilai OR 2.9 dan dengan praktek perawatan tali pusat dengan nilai OR 22.9. Umur dan paritas ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan praktek imunisasi tetanus toxoid dengan nilai OR 2.2 dan OR 2.1. Pendidikan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan praktek pertolongan persalinan dengan nilai OR 4.4. Pekerjaan suami menunjukkan kecenderungan untuk mencegah praktek perawatan tali pusat dengan nilai OR 0.3. Demikian pula dengan tenaga kesehatan menunjukkan kecenderungan untuk mencegah praktek imunisasi tetanus toxoid dan perawatan tali pusat bayi dengan nilai OR 0.4 dan OR 0.2. Disamping itu diketahui pula bahwa sekitar 65.7% responder, tingkat pengetahuannya kurang mengenai tetanus neonatorum walaupun yang mempunyai sikap positif cukup banyak yaitu 87.8%. Responden yang melaksanakan praktek imunisasi TT dan perawatan tali pusat sudah cukup baik, namun praktek pertolongan persalinan oleh dukun bayi masih cukup tinggi yaitu 65%. Mengingat hal-hal yang telah diuraikan diatas, disarankan untuk : (1) meningkatkan pengetahuan ibu mengenai tetanus neonatorum beserta upaya pencegahannya melalui penyuluhan oleh kader kesehatan khususnya kader KIA, dan (2) pembinaan terhadap dukun bayi baik terlatih maupun tidak terlatih.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Supriyono
Abstrak :
Hukum lingkungan merupakan hukum fungsional, sehingga pengembangannya membutuhkan kajian dengan pendekatan yang utuh menyeluruh, multi-disipliner, dan inter-disipliner. Demikian pula pendekatan hukum dalam pengendalian dampak lingkungan juga tidak sekedar pendekatan command and control yang berujung kepada sanksi bagi pelanggar, tetapi juga kombinasi pendekatan lain yang mendorong ketaatan lingkungan melalui promosi penaatan dan penaatan sukarela. Untuk itu penegakan hukum lingkungan tidak hanya sekedar sebagai sistem norma, tetapi juga harus diarahkan sebagai instrumen kebijakan negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu khususnya pencegahan dan perbaikan, serta mendorong pada pemberdayaan sarana penaatan lingkungan dan instrumen hukum administrasi negara menjadi sistem yang terpadu. Untuk membangun ke arah keterpaduan sistem telah diusahakan sejak Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pertama melalui UU No. 4 Tahun 1982, dilanjutkan dengan UU No. 23 Tahun 1997, dan terakhir pada saat ini adalah UU No. 32 Tahun 2009. Melalui kajian yuridis doktrinal dengan pendekatan analisis kesenjangan yang multi-disiplin dan inter-disiplin, sehingga dalam disertasi ini dapat diungkap berbagai persoalan dalam upaya mencapai sistem yang terpadu bagi penaatan dan penegakan hukum lingkungan administratif. Berbagai persoalan tersebut seperti, pengaturan instrumen perizinan dan pertimbangan lingkungan (analisis mengenai dampak lingkungan) yang integratif, pengawasan lingkungan, audit lingkungan, insentif dan disinsentif, dan sanksi hukum administrasi termasuk mekanisme upaya hukum administrasi. Di samping itu, instrumen hukum administrasi negara masih mengalami masa uji dan coba kedudukannya dalam penerapan asas subsidiaritas (ultimum remidium). Karenanya apabila tidak dilakukan pembenahan yang tepat, maka akan dapat berpotensi tidak efektifnya hukum sebagai instrumen pengendalian dan perlindungan lingkungan maupun perlindungan masyarakatnya. Bertolak dari temuan yang ada, sebaiknya dilakukan beberapa perbaikan yaitu: pertimbangan lingkungan harus ditempatkan sebagai alat pengambilan keputusan izin lingkungan secara langsung dan pengujiannya hanya dapat dilakukan melalui upaya keberatan dan/atau banding administrasi, pengaturan sanksi administrasi menyeluruh yang meliputi tujuan perbaikan (reparatoir), penundaan pelayanan (regressieve), dan menghukum (punitieve), serta upaya instrumen ekonomi, izin, pengawasan, dan sanksi administratif sebagai garda terdepan dalam sistem penegakan hukum lingkungan. Karenanya asas subsidiaritas harus diterapkan terhadap pelanggaran yang bergantung pada instrumen hukum administrasi negara dan/atau akibat perbuatannya terhadap lingkungan hidup relatif kecil dan di satu sisi dengan sanksi administrasi sudah dianggap cukup efektif. ......The environmental law belongs to functional law, of which the development needs analysis with holistic, multi-disciplinary, and inter-disciplinary approaches. In the efforts of controlling environmental impact, legal as well as command and control approaches are also needed. These approaches are ended by giving sanction to the law breaker and also combined with other approaches which instigate the environmental compliance through the promotional and voluntary methods. Thus, law enforcement does not only function as norm system, but must also be directed toward state policy instruments to achieve certain objectives, especially prevention and renovation. It also motivates the enforcement of integrated environment compliance facilities and state administration instruments system. The effort to prepare for this integrated system has been carried out since the issuance of the first Act on Environmental Management that is Act No. 4 Year 1982, which is continued by Act No. 23 Year 1997, and Act No. 32 Year 2009. The research adopts doctrinal juridical analysis to analyze multi-discipline and interdisciplinary discrepancy, so that in this dissertation some problems in the effort of achieving integrated system for the compliance and law enactment of administrative environment are discussed. Some of these problems are the arrangement of integrated instruments for license and environmental consideration (environmental impact analysis), environmental watch, environmental audit, incentive and disincentive, and administrative legal sanction including the mechanism of administrative legal measures. Besides, the state administrative legal instruments are experiencing the trial period of its position in the implementation of subsidiarity principle (ultimum remidium). Thus, appropriate improvement needs to be done. Otherwise, it is likely to result in inefficient law as the instrument of control and protection for the environment and its people. From the findings, there are some improvements need to be carried out: environmental consideration must be placed as a means of decision making in direct environmental license and its test can only be carried out through objection and/or administrative appeal and the arrangement of holistic administrative sanction must include the goal of correction (reparatoir), service postponement (regressieve), and punishment (punitieve), as well as the effort on the instruments of economics, license, control, and administrative sanction as the front guard in the enforcement system of environmental law. Thus, subsidiarity principle must be applied toward violation which depends on the instruments of state administrative law and/or the fact that administrative sanction is regarded effective to overcome the problem when the impact of the violation on the environment is relatively insignificant.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
D1281
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library