Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Najatullah
"Studi ini brtujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh kehadiran di tempat dokter spesialis Anestesi terhadap mutu pelayanan label merah melalui pendekatan studi kuantitatif observasional prospektif dan studi kualitatif untuk menilai kepuasan pelanggan dan pendapat DPJP Aneatesi terhadap implementasi kebijakan jaga onsite. Indikator yang dinilai dalam kaitannya dengan mutu pelayanan adalah angka/jumlah kematian, waktu asesmen medis, biaya pelayanan dan kepuasan pelanggan. Di dapatkan hasil, kehadiran di tempat DPJP spesialis Anestesi di label merah IGD berpengaruh terhadap jumlah kematian kurang dari 24 jam sebanyak 12 kematian dari 24 kematian, berpengaruh terhadap lamanya waktu asesmen medis awal rata-rata 21 menit dibanding 45 menit dengan p<0,05 dan berpengaruh terhadap biaya pelayanan. Untuk kasus CKB rata-rata biaya pelayanan 1,8 juta dibanding 2,7 juta dengan p<0,05. Didapatkan pula tingginya kasus stroke dan infark myokard pada kelompok non trauma. Untuk kepuasan pelanggan tidak dapat ukur pengaruhnya karena responden tidak dapat membedakan pelayanan oleh DPJP dan asisten DPJP tapi mereka menilai bahwa pelayanan cepat dan teliti dan akan merekomendasikan pelayanan untuk kerabat. Pendapat dokter penanggung jawab pelayanan terhadap implementasi kebijakan jaga di tempat baik tetapi mereka menilai sebagai lini depan pelayanan adalah seorang residen atau asisten DPJP karena dianggap memiliki kompetensi untuk memberikan pelayanan life saving. Kebijakan ini diteruskan dan dikembangkan untuk bidang spesialis jantung dan neurologi untuk pelayanan IGD level IV.

The Objective of this study is to achieve the influence of doctor on duty anaesthesiologist according to the service quality in red label area. Both quantitative and qualitative study are designed to observed prospectively to analyzed the presence of anaesthesiologist in red label area on death number, time to initial assasment, cost per case and customer satisfaction. This study also want to know the perception of anaesthesiologist on the implementation of doctor on duty onsite. Result of this study, influence of doctor on duty anaesthesiologist onsite will impact on death number, 12 compare to 24 death cases, time to initial assasment 21 minutes compare to 45 minutes with p<0,05 and more lower cost 1,8 billion rupiah compare to 2,7 billion rupiah for Severe Head Injury case. The customer satisfaction not reflected to the influence of anaesthesiologist because they do not know the position of the examiner. But they will recommend this service to the family or friend. All the anaesthesist said that the implementation of doctor on duty onsite is good but they still suggested that the resident as a front line. We suggested that implementation of doctor on duty onsite for five specialities can be continued and widened for cardiologist and neurologist because stroke and myocardial infarction became the most death cause for non trauma patient."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mike Kumara Adhitama
"Fast track adalah sistem antrian pasien rawat inap yang telah diberlakukan di RSUP Dr kariadi dengan tujuan untuk mengurangi lama antrian pasien rawat inap dan mengurangi waktu tunggu antrian. Setelah di berlakukan sistem antrian fast track, jumlah pasien yang belum mendapatkan tempat tidur masih cukup tinggi yaitu sebanyak 1.080 pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi pemberlakukan antrian fast track terhadap waktu tunggu antrian rawat inap di RSUP Dr Kariadi Semarang. Jenis penelitian ini adalah penilitian deskriptif dengan menerapkan pendekatan sistem. Data yang dikumpulkan adalah periode Agustus 2014 sampai Nopember 2014.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang sebagian besar kasus tidak kriteria diagnosis dari sistem fast track sejumlah 77,01%, 48,85 % karena memiliki diagnosis sekunder, dan 66,09% tidak lengkap pemeriksaan penunjangnya. Disarankan untuk merevisi SOP verifikasi dari petugas RPPRI dan sosialisasi pada staf terkait.

Fast track is a queue system for inpatient services implemented in Dr Kariadi Hospital, with the aim is to reduce the queue length of hospitalization and reduce the waiting time of inpatients queuing. After fast track queuing system implemented, the number of patients who do not get the bed is still high enough that reach 1,080 patients. The purpose of this study was to evaluate the queue fast track implementation to inpatients? queue waiting time in Dr Kariadi Hospital. Data was collected in the period of August to November 2014.
The results showed that many cases did not meet the three criteria for fast track implementation which are 77.01% of cases have diagnosis which can not use fast tract system (should use regular tract system), 48.85% have secondary diagnosis or complication of illness, and 66.09% have not been completed by supporting medical test. This study suggested to revise the standard operational procedures, verification by the staff at inpatients registration room (RPPRI) and dissemination to physicians and related personnel.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Kalsum Supardi
"Pendahuluan : Tuberkulosis merupakan permasalahan kesehatan global yang telah menjadi perhatian dunia selama 2 dekade terakhir (WHO, 2015). Indonesia merupakan penyumbang TB nomor dua sedunia dengan estimasi insiden 1.020.000 dan estimasi kematian 110.000 (WHO, 2017). Penyakit menular ini menginfeksi hampir seluruh dunia dan menyerang seluruh kelompok umur baik anak-anak, dewasa, maupun lansia. Proporsi kasus pada kelompok umur ≥15 tahun sebesar 90% selebihnyanya 10% kasusnya pada anak-anak (Kemenkes RI 2013). Determinan penyakit TB paru adalah kependudukan dan faktor lingkungan. Kependudukan meliputi jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban (Achmadi UF, 2008). Berdasarkan data secara nasional menunjukkan sebesar 24,9% rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat (RISKESDAS 2010). Tingginya beban penyakit TB paru masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama Indonesia. Namun faktor risiko penularan dari segi lingkungan belum banyak diperhatikan. Hal ini di indikasi dengan kurangnya keberadaan rumah sehat (Mahmuda, 2010). Prevalensi TB ditemukan menjadi yang tertinggi di antara orang tua, tidak ada pendidikan dan anggota keluarga yang secara teratur terpapar asap rokok di dalam rumah lebih rentan terkena TB dibandingkan dengan rumah tangga di mana orang tidak merokok di dalam rumah. Ada beberapa faktor risiko yang sangat terkait dengan TB : asap di dalam rumah, jenis memasak bahan bakar, dapur terpisah, lantai, atap dan bahan dinding, jumlah orang yang tidur di kamar, berbagi toilet dan minum air dengan rumah tangga lain; dan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, pencapaian pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal dan indeks kekayaan. Inilah mengapa lingkungan yang bersih harus dipromosikan untuk menghilangkan TB (Singh, Kashyap, and Puri 2018). maka peneliti merasa perlu mengkaji hubungan lingkungan rumah terhadap kejadian TB paru pada individu usia ≥15 tahun dengan mempertimbangkan peranan faktor risiko lain yang tidak dapat dikesampingkan yang juga berhubungan terhadap kejadian TB paru. Metode : Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Sebanyak 56.198 individu usia ≥15 tahun menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh dari Mandat Litbangkes RI dan dianalisis menggunakan uji Regresi Logistik. Hasil : Risiko lingkungan rumah tidak sehat 1,3 kali lebih besar terhadap kejadian TB paru pada individu Usia ≥15 tahun dibandingkan dengan individu yang memiliki lingkungan rumah sehat (POR=1,3 : 95% CI 1,010-1,560). Kesimpulan : Kolaborasi jangka panjang (Subdit TB dengan Dinas PUPNR) mengenai kebijakan dan pemberian (IMB) diperlukan untuk mengurangi pembangunan tanpa didahului studi kelayakan berwawasan lingkungan rumah sehat seperti penerapan (AMDAL), rancangan Plan Of Action/framework dan Kolaborasi layanan di tingkat kader TB yang selanjutnya ke tingkat FKTP semakin diperkuat, serta perlu dipertimbangkan kembali untuk melaksanakan program penemuan active case finding khususnya pada individu yang memiliki lingkungan rumah tidak sehat.

Introduction : Tuberculosis is a global health problem that has become a worldwide concern for the past 2 decades (WHO, 2015). Indonesia is the number two contributor to TB worldwide with an estimated incidence of 1,020,000 and estimated deaths of 110,000 (WHO, 2017). This infectious disease infects almost the entire world and attacks all age groups both children, adults, and the elderly. The proportion of cases in the ≥15 year age group is 90%, the remaining 10% of cases are in children (Ministry of Health RI, 2013). Determinants of pulmonary TB disease are population and environmental factors. Population includes gender, age, nutritional status, socio-economic conditions. While environmental factors include occupancy density, house floors, ventilation, lighting, humidity (Achmadi UF, 2008). Based on national data, 24.9% of the houses in Indonesia are classified as healthy houses (RISKESDAS 2010). The high burden of pulmonary TB disease is still a global health problem, especially in Indonesia. However, the risk factors for transmission in the environment have not been much noticed. This is indicated by the lack of a healthy home (Mahmuda, 2010). The prevalence of TB is found to be the highest among parents, there is no education and family members who are regularly exposed to cigarette smoke in homes are more susceptible to TB than households where people do not smoke inside the house. There are several risk factors that are strongly associated with TB: smoke in the house, type of cooking fuel, separate kitchens, floors, roofs and wall
materials, the number of people sleeping in rooms, sharing toilets and drinking water with other households; and individual characteristics such as age, gender, educational attainment, marital status, place of residence and wealth index. This is why a clean environment must be promoted to eliminate TB (Singh, Kashyap, and Puri 2018). the researchers felt that it was necessary to examine the relationship of the home environment to the incidence of pulmonary TB in individuals aged ≥15 years taking into account the role of other risk factors that cannot be excluded which also relate to the incidence of pulmonary tuberculosis. Method : This study used cross-sectional design. Sample were 56,198 Individuals ≥15 Years Old. Data was obtained from the Indonesian Litbangkes and analyzed using the Logistic Regression. Result : The risk of unhealthy home environment is 1.3 times greater for the incidence of pulmonary tuberculosis in individuals ≥15 years of age compared to individuals who have a Long-term collaboration (TB Sub district with Public Works Agency) on policies and grants (IMB) is needed to reduce development without preceding healthy environment-oriented feasibility studies such as implementation (AMDAL), Plan Of Action/framework and collaborative services at TB cadre Levels. FKTP levels are increasingly strengthened, and need to be reconsidered to implement a program to find active case finding especially for individuals who have an unhealthy home environment.healthy home environment (POR=1,3 : 95% CI 1,010-1,560). "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriya Wardhani
"Tuberkulosis merupakan salah satu dari 9 penyebab kematian di dunia pada tahun 2015. Sebanyak 62% kasus tuberkulosis di dunia pada tahun 2017 berada di Wilayah SEAR (South-East Asia Region). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 tahun 2014 dan memakai desain penelitian studi longitudinal. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 31.916 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis multivariat yang digunakan adalah Cox Regression. Insiden tuberkulosis pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia tahun 2014 sebesar 1% (327 orang) responden. Hasil Multivariat yaitu: Usia ≥ 65 tahun (RR= 3,86; 95% CI 2,46-6,06), pendidikan (RR=0,76; 95% CI 0,60-0,98), malnutrisi (RR=1,30; 95% CI 1,02-1,62), merokok (RR= 0,62; 95% CI 0,46-0,82), lantai rumah (RR= 0,26; 95% CI 0,06-1,04), bahan bakar memasak (RR= 0,54; 95% CI 0,36-0,79), dan kontak serumah dengan penderita (RR= 69,68; 95% CI 34,07-142,49). Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap tuberkulosis pada usia ≥ 15 tahun dan lebih akurat yaitu usia baik hubungan langsung (bivariate) maupun hubungan dengan tuberkulosis setelah dikontrol dengan variabel lainnya (multivariate) (RR= 3,86; 95% CI 2,46-6,06 untuk responden yang berusia ≥ 65 tahun.

Tuberculosis is one of the nine causes of death in the world by 2015. 62% of tuberculosis cases in the world in 2017 is in the Region SEAR (South-East Asia Region). This study aims to determine the risk factors associated with tuberculosis at age ≥ 15 years in Indonesia. This study uses secondary data from the Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 in 2014 and put on a longitudinal study research design.The sample used in this study amounted to 31.916 respondents who meet the inclusion and
exclusion criteria. Multivariate analysis used is the Cox Regression.The incidence of tuberculosis at the age ≥ 15 years in Indonesia in 2014 amounted to 1% (327 people) of the respondents. Results Multivariate namely: age ≥ 65 years (RR = 3.86; 95% CI 2.46 to 6.06), education (RR = 0.76; 95% CI 0.60 to 0.98), malnutrition (RR = 1.30; 95% CI 1.02 to 1.62), smoking (RR = 0.62; 95% CI 0.46 to 0.82), floor of the house (RR = 0.26; 95% CI 0 , 06-1.04), cooking fuel (RR = 0.54; 95% CI 0.36 to 0.79), and household contact with patients (RR = 69.68; 95% CI 34.07 to 142 , 49). The factors that most influence on tuberculosis at the age ≥ 15 years and more accurately the age group either direct connection (bivariate) and relations with tuberculosis after controlling for other variables (multivariate) (RR = 3.86; 95% CI 2.46 to 6 06 for respondents aged ≥ 65 years)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joni Karjono
"Mutu pelayanan kesehatan yang tinggi memerlukan kerjasama tim interdisiplin. Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap terlaksananya kerjasama tim interdisiplin berjalan dengan baik yaitu faktor interaksional, faktor organisasional dan faktor sistemik. Pada penelitian ini ingin diketahui hubungan antara faktor interaksional dan organisasional terhadap kerjasama tim interdisiplin. Penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain cross sectional. Alat pengumpul data berupa kuesioner pertanyaan tertutup. Pada penelitian ini diperoleh 43 responden. Menunjukan bahwa hubungan antar faktor interaksional dan kerjasama interdisiplin sangat kuat sedangkan hubungan antara faktor organisasional dan kerjasama interdisiplin lebih lemah. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor interaksional dan organisasional diakui oleh para dokter spesialis sebagai faktor yang sangat penting dalam mewujudkan kerjasama interdisiplin.

High quality of health care requires interdisciplinary teamwork. There are three factors that contribute to the good implementation of interdisciplinary teamwork which are interactional factors, organizational factors and systemic factors. This study wanted to know the relationship between interactional and organizational factors on interdisciplinary teamwork. This is quantitative study with cross-sectional design. The instrument was a closed questionaire. Total respondents are 43. This research showed that the relationship between interactional factors and interdisciplinary teamwork very strong while the relationship between organizational factors and interdisciplinary teamwork is less strong. This study concluded that interactional and organizational factors recognized by specialists as a very important factor in realizing interdisciplinary teamwork."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Annisa
"

ABSTRAK

Nama : Nur Annisa
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Pengaruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Keberhasilan
Pengobatan Pasien Tuberkulosis Resisten Obat di Indonesia Tahun
2014 - 2016
Pembimbing : Dr. Sutanto Priyo Hastono., M. Kes
Resistensi obat merupakan masalah baru dalam program eliminasi TB yang disebut TB
resisten obat. Pengobatan TB resisten obat di Indonesia dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan dan fasilitas pelayanan kesehatan satelit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh fasilitas pelayanan kesehatan terhadap keberhasilan pengobatan
pasien TB resisten obat di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2019 di
Subdit-TB, Direktorat P2PML, Kementerian Kesehatan RI. Desain studi penelitian ini
adalah kohort restrospektif. Jumlah sampel sebanyak 4288 orang, diseleksi menggunakan
teknik total sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menyelesaikan
pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan satelit sebanyak 97,20% dan di fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan sebanyak 2,8%. Proporsi keberhasilan pengobatan sebesar
53,2% dengan kumulatif hazard keberhasilan pengobatan sebesar 5,43 di akhir
pengamatan selama 36 bulan pengamatan. Hazard rate keberhasilan pengobatan
36,42/1000 orang-bulan. Hasil analisis multivariat menggunakan regresi cox timeindependet
menunjukkan bahwa pasien yang menyelesaikan pengobatan di fasilitas
pelayanan kesehatan satelit meningkatkan kecepatan terjadinya keberhasilan pengobatan
sebesar 54% (HR 2,17; 95% CI 1,66 – 2,82) dengan kondisi riwayat pengobatan sama.
Penambahan fasilitas pelayanan kesehatan satelit dan tenaga ahli dibutuhkan untuk
membantu proses pengobatan berjalan lebih baik. Peran serta masyarakat dan kesadaran
pasien perlu ditingkatkan dengan melakukan promosi kesehatan tentang TB resisten obat
secara rutin.
Kata Kunci: Fasilitas Pelayanan Kesehatan; Keberhasilan Pengobatan; TB Resisten
Obat


ABSTRACT

Name : Nur Annisa
Study Program : Public Health
Title : The Effect of Health Care Unit on The Success in Treatment of
Drug Resistant-Tuberculosis Patient in Indonesia, 2014 - 2016
Counsellor : Dr. Sutanto Priyo Hastono., M. Kes
Drug resistant is a new problem in TB elimination program, it’s called Drug-Resistat TB.
Treatment of drug-resistant TB in Indonesia is carried out in rujukan health care and
satelite health care. The aims of this study is increasing the successful treatment of Drug-
Resistant TB patients in Indonesia by health care unit. This research was conducted in
May 2019 at the TB Sub-Directorate, Directorate of P2PML, Ministry of Health of the
Republic of Indonesia. The design of this study is a retrospective cohort. Total sample
were 4288 patient, selected by using total sampling technique. The results showed that
patients who completed treatment in satelit health care were 97.20% and 2.8% in the
rujukan health care. The proportion of treatment success was 53.2% with a cumulative
hazard of treatment success 5.43 at the end of the observation for 36 months observation.
Treatment success rate was 36.42/1000 person-month. The results of multivariate
analysis using cox time-independent regression showed that patients who completed
treatment at satelit health care increased the speed of treatment success 54% (HR 2.17;
95% CI 1.66 - 2.82) with the same treatment history. The addition of satellite health
service facilities and experts is needed to help the treatment process run better.
Community participation and patient awareness need to be improved by conducting
routine health promotion about Drug-Resistant TB.
Key words: Drug-Resistant Tuberculosis; Health Care Unit; Treatment Success.

"
2019
T52798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library