Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oentoeng Iskandar
Abstrak :
ABSTRAK
Sel limfosit darah perifer dan sel fibroblast kulit manusia, yang telah dibenihkan dapat dipakai untuk penelitian mutagenita in vitro. Begitu pula SCE dapat digunakan sebagai titik akhir biologik untuk mengukur mutagenitas beberapa agens. Pambenihan sel limfosit darah perifer mudah dan sederhana. Oleh karena itu sel limfosit merupakan bahan pilihan terbaik untuk menganalisa kromosom dalam pemeriksaan rutin diagnostik sitogenetik. Pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya pada pemeriksaan ?point mutation" pembenihan sel fibroblast sangat diperlukan. Penelitian-penelitian yang dikemukakan dalam tesis ini diawali dengan usaha untuk mengembangkan suatu metoda baru yang lebih baik, untuk mendeteksi micronucleus didalam sel darah limfosit perifer, sehingga dapat digunakan untuk mengukur efek-efek mutagen. Karena micronucleus itu berasal dari fragmen kromosom yang tidak mengandung sentromir, sehingga ditinggalkan di dalam sitoplasma ?daughter cell" pada mitosis, maka adalah penting pada metoda yang diperbaiki itu, untuk mempertahankan keutuhan sitoplasma sel limfosit. Pencampuran sel darah limfosit perifer dengan suatu larutan hipotonik lemah, merupakan suatu langkah penting untuk mempertahankan agar sitoplasma itu tetap utuh. Secara eksperimental dapat ditemukan bahwa larutan hipotonik lemah tersebut ialah suatu campuran garam faali (0,9 8 natriu klorida) dan 5,6 gr/1 kalium klorida dengan perbandingan 10 dan 1. Campuran ini ternyata mempunyai tekanan osmotik sebesar 285 milliosmol. Bila metoda ini digunakan, maka membedakan suatu struktur yang mirip micronucleus (umpama fragmen dari sel yang sedang mengalami kemunduran dan akan mati) dan micronucleusnya sendiri tidaklah sukar lagi. Ternyata metoda yang telah diperbaiki ini dapat pula diterapkan pada sel fibroblast manusia, untuk mempertahankan agar sitoplasma itu utuh, sehingga micronuoleus yang terletak didalamnya dapat dideteksi. (lihat karangan IV dan gambar 16). Sel fibroblast itu berubah menjadi hulat, dengan sitoplasma yang utuh. Bila didalamnya terdapat micronucleus, akan tampak jelas. Frekuensi micronucleus spontan pada penderita "chromosomal breakage disease" (Fanconi'S anemia, karangan IV; Blackfan Diamond, karangan II; Down?s syndrome, karangan VI) dengan mudah dapat ditentukan. Ternyata freknensi spontan pada penderita penyakit tersebut lebih tinggi daripada pada orang normal. Karena micronucleus ltu didalam sitoplasma dapat tinggal lama, maka sel yang mengandunqnya dapat diperiksa dari pembenihan, pada saat mana saja setelah proses tersebut dimulai. (Yang optimum adalah 72 jam setelah dibenihkan). Dari panelitian dapat disimpulkan bahwa frekuensi micronucleus spontan dapat digunakan untuk mandeteksi adanya suatu "chromosome breakage syndrome". Kesederbanaan atau mudahnya tehnik yang diperbaiki ini sehagai metoda untuk pemeriksaan atau pengukuran efek-efek mutagen dapat dilihat dari makalah II dan VI untuk MMC dan sinar X, makalah III untuk Aflatoxin B1, serta karangan IV untuk acataldehida dan akhirnya karangan V untuk EMS dan MMC. Peningkatan efek-efek mutagen Aflatoxin B1 olah ?S9 mix" dapat diukur dengan frekuensi MN yang meningkat, hal mana dapat dipelajari di makalah III. Analisa kelainan atruktur kromosom dan frékuensi MN (yang timbul karena dirangsang) pada yenderita Down's syndrome dan pada orang normal disajikan dalam tulisan VI. Didalam eksperimen ini ditunjukkan pula kepekaan sel limfosit darah penderita Down's syndrome pada sinar X. yang mennnjukkan adanya hubungan dengan umur, serta refleksinya dapat terlihat pada frekuensi disentrik dan M yang meninggi. Data yang diperoleh, memperkhat pula kesimpulan-kesimpulan Hedrile yang menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi MN lebih merupakan refleksi kelainan jenis "exchanges" daripada frekuensi " chromosome breaks ". Suatu kesan yang kuat tentang kemungkinan adanya suatu respons in vitro yang berbeda dan bersangkut-paut dengan sex, disajikan dalam karangan VI. Tldak adanya perbedaan respons semacam itu untuk MMC, juga disajikan dalam karangan tersebut. Pada penelitian ini meningkatnya frekuensi M yang berbeda antara pria dan wanita akibat exposure pada EMS, merupakan hukti adanya perbedaan yang herkaitan dengan sex. Kesimpulan ini diperkuat dengan analisa dari frekuensi SCE yang meninggi pada wanita, akibat pemaparan sel limfosit A nya pada BMS. Frekuensi MN akibat pemaparan pada EMS, nenunjukkan perbedaan yang menyolok antara pria dan wanita, tetapi tidaklah demikian halnya dengan response terhadap MMC. Karena data SCE tidak dapat dihasilkan untuk donor VI, suatn kesimpulan yang tegas belumlah dapat dibuat. Tetapi penemuan lain, menimbulkan dugaan yang kuat tentang adanya suatu respons yang herbeda terhadap EMS bagi pria dan wanita, tetapi tidak untuk MMC. Hasil-hasil yang didapat dari semua eksperimen menunjukkan bahwa metoda yang diperbaiki untuk mendeteksi MN dalam sel limfosit manusia dan sel fibroblast itu mudah, cepat dan dapaf disesuaikan dengan tujuan suatu penelitian. Karenanya faedah dari etoda ini dihari kamudian nampaknya besar. Jadi apa yang diramalkan dalam hipotesa itu ternyata benar.
ABSTRACT
Peripheral blood lymphocytes and cultured skin fibroblasts can be used as materials for in vitro mutagenicity studies, using chromosomal aberrations, micronuclei, as well as SCEs as biological endpoints for assessing mutagenicity of diverse agents. However, for routine diagnostic cytogenetic work, in clinics culture of peripheral blood lymphocytes is really the material of choice, in view of the ease and simplicity with which they can be cultured and processed for chromosomal analysis. In some situations, such as point mutation studies, culture of fibroblasts is essential. The studies in this thesis were initiated to develop an improved method for the detection of MN in peripheral human lymphocytes, which can be used for assaying effects of mutagens. As a micronucleus is left behind in the cytoplasm of a daughter cell following cell division, it should be important in an improved method to preserve the cytoplasm of the lymphocytes intact. Mild hypotonic treatment was found to be the important step in preserving cytoplasm. This mild hypotonic solution consists of a mixture of physiological saline (0.9% sodium chloride) and 5,6 gr/l potassium chloride with a proportion of 10 to 1, of which the osmotic pressure was found to be 285 milliosmol.

To distinguish an intracytoplasmic localized micronucleus and other structures resembling M is very easy by this method. This improved method seems also to be applicable for human fibroblasts, with regard to preserving the cytoplasm intact for detecting a micronucleus (see paper IV and figure 16), The fibroblasts are transformed to a spherical shaped cell with an intact cytoplasm and a micronucleus inside when present. The frequencies of spontaneous M in normal individuals, and in patients with chromosomal breakage disease (Fanconi's anemia, paper IV; Blackfan Diamond, paper II; and Down's syndrome paper VII), can be easily determined. The frequencies are higher in chromosomal breakage syndrome when compared to normal. Since MN persists for a long time, a larger number of cells carrying them can be scored in the culture at any time following initiation. From these studies we can conclude that the frequencies of spontaneous MN can be used easily for detection of a chromosome breakage syndrome. The ease with which the improved method can be used as a method of assay for effects of mutagens are also demonstrated in papers II, VI, VII for MMC and X-ray irradiation, paper III for Aflatoxin Bl, paper IV for acetaldehyde, paper VI for EMS and MMC.

The enhancement of effect of Aflatoxin B1 by S9 mix, assessed by the frequencies of induced MN, is.also shown in paper III.

An analysis of the induced chromosomal aberrations and micronuclei in Down's syndrome patients and in normal individuals is presented in paper VII. In this experiment is shown the age related sensitivity the patients to X-ray, which is reflected in the yield of both dicentrics and micronuclei: Our data also support Heddle's conclusion that the increase of frequencies of micronuclei is more a reflection of the exchange type of aberrations, than the frequencies of chromosome breaks.

A strong.suggestion about the possible existence of a sex related difference of in vitro responses between male and female to aus is presented in paper VI. The absence of such difference for MMC is also shown in that paper. In this study, the differential increase of frequencies of induced M , following exposure to EMS between male and female, provides some evidence to conclude a sex related difference of responses. This conclusion is supported by the analysis of the frequencies of induced SCEs (for each treatment as well as controls) The frequencies of induced HN, show a considerable difference between male and female donors, which is not the case following exposure to MMC. As SCE data are not available for donor VI, a firm conclusion cannot be reached as yet. But the other findings, strongly suggest the existence of a sex related response to EMS, but not for MMC.

The results obtained from all experiments indicate that the improved method for the detection of MN in human lymphocytes and fibroblasts, is easy, fast amdadaptable to the aim of an investigation. Therefore the utility of this method in the future investigations appears to be high, It is clear, that what is stated in the hypothesis is true.
1981
D1102
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monty P. Satiadarma
Abstrak :
ABSTRAK
Penampilan puncak adalah perilaku seseorang yang lebih superior daripada perilakunya pada umumnya. Dalam bidang olahraga, indikator penampilan puncak seorang atlet adalah prestasi terbaiknya yang paling sesuai dengan hasil latihan dan potensi yang dimilikinya. Dimensi penampilan puncak meliputi perasaan a)relaks fisik dan b) mental, c) optimis, d) terpusat pada kekinian, e) merasa tergugah, f) waspada, g) terkendali h) in the cocoon (terseludang). Selama ini hanya sebagian kecil atlet yang berhasil mencapai penampilan puncak dan usaha untuk membantu atlet mencapai penampilan puncak dilakukan antara lain dengan latihan self hypnosis dan visualisasi yang diselenggarakan secara terpisah. Self hypnosis bersifat konvergen, dan bersifat divergen. Padahal, dalam gelanggang pertandingan, aspek konvergen dan divergen berlangsung secara simultan. Oleh karena itu latihan self-hypnosis dan visualisasi harus dijalankan secara simultan dan terintegrasi agar mampu membantu lebih banyak atlet mencapai penampilan puncak.

Penelitian kualitatif ini diikuti oleh 10 atlet nasional (7 atlet panahan dan 3 atlet angkat besi). Para atlet diberikan pelatihan self-hypnosis dan visualisasi. Mereka diminta uniuk menjelaskan pengalaman mereka selama menjalani latihan tersebut. Enam dari 10 atlet mengalami delapan dimensi penampilau puncak dan semua atlet menunjukkan peningkatan prestasi. Tiga atlet angkat besi yang melanjutkan sendiri latihan tersebut memecahkan rekor nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa latihan self hypnosis dan visualisasi harus dilakukan secara simultan dan terintegratif guna membantu atlet untuk mencapai penampilan puncak.
Abstract
Peak performance is behavior which exceeds one's average performance (Privette, 1982) or an episode of superior functioning (Privette, 1983). The highest sport achievement obtained based on the athlete?s optimum capacity and training program indicates athlete?s peak performance. An athlete?s peak performance contains eight aspects which are (a) physically relaxed, (13) mentally relaxed, (c) feeling optimist, (d) feeling at present, (e) feeling (f) alert, (g) in control, and (h) in the cocoon. Currently only small numbers of athletes experience peak performance. Many athletes try to experience peak performance by engaging- in self-hypnosis or visualization training separately. These two training programs are usually conducted separately since the characteristic of self-hypnosis is convergent, and visualization is divergent. Self-hypnosis converts one?s sensation and cognition into a particular-spot within the self; and visualization expands one's) imagination into alternatives of action. However, in sport competition these convergent and divergent aspects interact simultaneously. Therefore, for the sake of peak performance in sport, self-hypnosis and visualization training should not be given and practiced separately.

These two training programs must be integrated. In order to help more athletes to achieve peak performance. Ten (10) national athletes (7 archers and 3 weight-lifters) participate in this research. All participants practice the integrated program of self-hypnosis and visualization. They were asked to explain their subjective -during the All athletes improved their score in sport achievement 'Six (6) of 10 athlete experienced the 8 aspects of peak performance. All 3 weight-litters break records. These conditions indicate that the integrated program of self hypnosis and visualization is necessary to help athletes achieve peak performance.
2006
D1240
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Maksum
Abstrak :
ABSTRAK
Olahraga, khususnya pada olahraga prestasi, adalah arena dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi Individu yang berhasil pada dasarnya adalah mereka yang Inemiliki keunggulan, tidak saja dalam hal fisik tetapi juga mental. Menurunnya prestasi olahraga Indonesia secara makro dewasa ini diyakini karena kita lemah, terutama pada faktor mental, atau karakteristik mental seperti apakah yang pada dasarnya dibutuhkan untuk meraih prestasi tinggi? Bagaimana menumbuh kembangkan ciri atau karakteristik tersebut? Lingkungan seperti apakah yang kondusif untuk memunculkan atlet berprestasi tinggi? Inilah sebetulnya yang menjadi titik tolak penulisan disertasi ini. Sudah barang tentu, mengingat ini disertasi psikologi, maka kajian ditinjau dari disiplin psikologi dengan menjadikan teori kepribadian sebagai kerangka berpikir yang utama.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap I untuk mendapatkan jawaban tentang ciri kepribadian yang menunjang pencapaian prestasi dan lingkungan yang mempengaruhi atlet yang bersangkutan dalam meraih prestasi. Pada tahap ini penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan subjek sebanyak 10 atlet Indonesia yang memiliki prestasi tingkat dunia. Pengumpulan data diiakukan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada atlet yang bersangkutan dan orang-orang yang memiliki interaksi intensif dengan atlet seperti pelatih dan orang tua; Serta didukung dengan data sekunder seperti autobiografi, artikel berita media masa, dan dokumen lain yang relevan. Pada tahap II, penelitian dilakukan untuk mendapatkan jawaban tentang sejauhmana ciri kepribadian yang oleh atlet yang berprestasi tinggi berbeda dengan atlet yang berprestasi rendah atau mereka yang bukan atlet. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Inventori Kepribadjan Atlet yang dikembangkan berdasarkan hasil studi kualitatif dan teori kepribadian dari Allport. Pengolahan data dilakukan dengan analisis faktor dan Analisis Varian Multivariat.

Secara umum, hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Terdapat tujuh ciri kepribadian yang menunjang prestasi atlet, yakni: ambisi prestatif, kerja keras, gigih, mandiri, komitmen, cerdas dan swakendali. (2) Ketujuh ciri kepribadian tersebut juga telah diuji secara empirik dan terbukti merupakan prediktor keberhasilan atlet meraih prestasi tinggi. Secara berturut-turut, peringkat kontribusi dari sangat menentukan ke kurang menentukan adalah komitmen, ambisi prestatif, gigih, kerja keras, mandiri, cerdas dan swakendali. (3) Lingkungan keluarga dan lingkungan olahraga memiliki pengaruh besar pada terbentuknya ciri kepribadian dan munculnya prestasi atlet. Di lingkungan keluarga, individu yang memiliki pengaruh besar adalah orang tua, terutama ayah. Sementara itu, di lingkungan olahraga, individu yang berpengaruh besar adalah pelatih dan sesama atlet. (4) Pengaruh orang tua dilakukan melalui pembudayaan olahraga di lingkungan keluarga, pola asuh, pelatihan, dukungan sosial, dukungan finansial dan model. Pengaruh pelatih dilakukan melalui pola asuh, pelatihan, dukungan sosial, model dan pemberian kesempatan. Sementara itu pengaruh sesama atlet dilakukan melalui dukungan sosial, model dan sparring partner.

Sehubungan dengan temuan studi ini, perlu disarankan hal-hal berikut. Pertama, ketujuh ciri kepribadian di atas perlu dijadikan rujukan dalam pembinaan atlet Indonesia ke depan dan pada saat yang sama juga dijadikan inclikator psikologis dalam melakukan seleksi atlet Indonesia. Kedua, lingkungan keluarga dan lingkungan olahraga yang merupakan lingkungan utama atlet perlu dioptimalkan fungsi dan perannya untuk menumbuh-kembangkan ciri-ciri kepribadian dan prestasi atlet. Ketiga, budaya olahraga yang berintikan partisipasi perlu dibangkitkan dalam masyarakat yang dimulai dari institusi keluarga. Keempat, atlet perlu diberikan pembinaan kepribadian. Kelima, pembinaan atlet perlu dilakukan dengan menempatkan atlet sebagai individu yang utuh, bukan sekadar menuntut mereka untuk berlatih dan berprestasi, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka.
2006
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library