Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Yogyakarta: IREpress, [date of publication not identified]
658 MEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Afian
Abstrak :
Latar belakang: Tekanan darah tinggi diantara pilot sipil akan menyebabkan gangguan kardiovaskular sehingga akan mengganggu kelangsungan dan kelancaran penerbangan serta bagi perusahaan maskapai juga akan kekurangan pilot. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui faktor-faktor dominan terhadap tekanan darah sistolik tinggi pada pilot sipil. Metode: Penelitian potong lintang dengan metode sampling purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 18-29 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan menggunakan formulir khusus untuk penelitian ini. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, klinis, kebiasaan olahraga, kebiasaan makan, indeks massa tubuh dan riwayat penyakit. Tekanan darah sistolik tinggi ialah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg. Hasil: Dari 690 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala, 428 pilot laki-laki bersedia berpartisipasi mengikuti penelitian ini. Usia dan riwayat penyakit hipertensi merupakan faktor risiko dominan yang berhubungan dengan tekanan darah sistolik tinggi. Jika dibandingkan dengan pilot usia 19-39 tahun, yang berusia 40-65 tahun mempunyai 15,1 kali lipat lebih besar risiko terkena tekanan darah sistolik tinggi [rasio odds suaian (ORa)= 15,12; p= 0,001]. Pilot dengan riwayat penyakit hipertensi dibandingkan dengan yang tidak ada riwayat memiliki risiko tekanan darah sistolik tinggi 93,2 kali lipat lebih besar (ORa= 93,21; p= 0,001). Kesimpulan: Usia 40-65 tahun dan memiliki riwayat hipertensi meningkatkan risiko tekanan darah sistolik tinggi di antara pilot sipil di Indonesia.
Background: High blood pressure among civilian pilot will cause cardiovascular disease and this condition will disrupt the flight and for the airline company will have problem with pilot shortage. The purpose of this study was to identified the dominant factors related to high systolic blood pressure on the civilian pilot. Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling method on a pilot who perform periodic medical examinations in the Civil Aviation Medical Center on 18 to 29 May 2015. Data were collected using a special form for this study. The data collected were demographic and job characteristics, clinical, exercise habits, eating habits, body mass index and history of the disease. High systolic blood pressure is systolic blood pressure ≥ 140 mmHg. Results: Of the 690 pilots who conduct periodic health examinations, 428 male pilots willing to participate to follow this study. Age and history of hypertension is the predominant risk factor associated with high systolic blood pressure. When compared with the pilot age 19-39 years, 40-65 years old have a 15.1-fold greater risk of high systolic blood pressure [odds ratio (adjusted ORa)= 15.12; p= 0.001]. Pilot with a history of hypertension compared to those without a history of having high systolic blood pressure risk 93.2 times larger (ORa= 93.21; p= 0.001). Conclusion: Age of 40-65 years and had history of hypertension increased the riskj of systolic blood pressure among civilian pilot in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Devi
Abstrak :
Biaya pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit sekitar 70% sampai 75 % terdiri dari biaya obat, pesonil dan biaya investasi alat kedokteran canggih. Penggunaan alat kedokteran canggih dalam pelayanan kesebatan akan membawa konsekuensi pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan sehingga akan meningkatkan tarif pelayanan kesehatan. Cholecystolithiasis adalah penyakit batu kandung empedu yang banyak menyerang orang yang berumur di ataS 40 tahun. Di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo ada dua metode yang dilakukan pada penata laksanaan Cholecystolithiasis yaitu dengan open cholecystectomy (konvensional) dan dengan laparasacopic cholecystectomy (minimal invasif) menggunakan alat kedokteran canggih, dimana tarif tindakan open cholecystectomy lebih murah di bandingkan dengan tindakan loparascopic cholecystectomy. Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang metode mana yang paling cost effective dan efisien dalam penata laksanaan cholecystolithiasis antara metode open cholecystectomy (open chole) dengan metode loparascopic cholecystectomy (lap chole) dengan menggunakan biaya per DRG's. Jenis penelitian ini adalah descriptive-comparative menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kombinasi kuantitatif dan kualitatif yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan dari bulan April sampai JUni 2008, menggunakan data sekunder dan Unit Rekam medik pasien rawat inap dengan diagnosa utama cholecystolithiasis dari bulan Januari-Desembec 2007, keuangan, asset untuk mendapatkan data biaya, serta data primer dari wawancara dengan dokter, paramedis dan petugas yang terlibat da1am penata laksanaan cholecystolithiasis. Unit cost dihitung berdasarkan direct cost dengan activity Based Costing (ABC) dan indirect cost dengan simple distribution. Pengelompokan penata laksanaan cholecystolithiasis dengan open chole di RSCM, yaitu 1) Open choIe murni, 2) Open chole dengan penyulit, 3) Open chole dengan penyerta dan penyulit. Pengelompokan penata laksanaan cholecystolilhiasis dengan lap coole di RSCM, yaitu: 1) Lap coole murni, 2) Lap coole dengan penyerta, 3) Lap chole dengan penyulit, 4) Lap chole dengan penyerta dan penyulit. Clinical pathwary penata laksanaan chOlecystolithiasis dengan open chole dan lap chole yang di dapatkan terdiri ataS tujuh (7) tahap, yaitu: pendaftaran, penetapan diagnosa, admission rawat inap (P3RN), pra operasi, operas, post operasi, dan pulang. Cost of treatment penata laksana Cholecystolithiasis dengan open chole di RSCM tahun 2007, yaitu : Open chole murni dengan rata-rata lama hari rawat 8 hari, biaya Rp.6.454.003, open chole dengan penyulit rata-rata lama hari rawat 11 hari, biaya Rp.8.863.527, open chole dengan penyerta dan penyulit rata-rata lama hari rawat 23 hari, biaya Rp.17.060.543. Cost of treatment penata laksanaan cholecystolithiasis dengan lap chole di RSCM tahun 2007, yaitu; lap chole murni dengan lama hari rawat 6 bali, biaya Rp.7.278.891, lap chole dengan penyerta rata-rata lama hari rawat 13 bali, biaya Rp. 13.004.740, lap chole dengan penyulit rata-rata lama hari rawat 10 hari, biaya Rp.9.246.148, lap chole dengan penyerta dan penyulit rata-rata lama hari rawat 19 hari, biaya Rp.l5.9S0.l93. Effektifitas output cakupan untUk open chole murni 1 orang, open choIe dengan penyulit 2 orang, open chole dengan penyerta dan penyulit 1 orang. Untuk lap chole murni 28 orang, lap ckole dengan penyerta 13 orang, lap chole dengan penyulit 6 orang dan lap choIe dengan penyerta dan penyulit 4 orang. Rata-rata waktu operasi dan rata-rata hari kesembuhan untuk open chole murni 100 menit dan 3 hari, open chole dengan penyulit 110 menit dan 6 hari, open chole dengan penyerta dan penyulit 135 menit dan 7 hari. Rata-rata waktu operasi dan rata-rata hari kesembuhan untuk lap chole murni 92,86 menit dan 2 hari, lap chole dengan penyulit 105 menit dan 5 hari, lap chole dengan penyerta dan penyulit 118,75 menit dan 5 hari. Cost effectiveness analysis dan kedua metode secara keseluruhan didapatkan biaya per pasien dalam setiap episode perawatan lebih mahal pada metode lap chole dibandingkan dengan open chole, dari effektivitas/output didapatkan rata-rata waktu operasi dan rata-rata hari kesembuhan lebih cepat pada metode lap chole dibandingkan dengan metode open chole, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode lap chole lebih cost effective dibandingkan dengan metode open chle pada penata laksanaan Cholecystolithiasis. Perlu dibuat clinical pathway dan perhitungan biaya perawatan pasien di rumah sakit secara nasional berdasarkan DRG"s untuk setiap penyakit, dan perlu dilakukan penelitian evaluasi ekonomi leblh lanjut terhadap alat kedokteran canggih lainnya. ......Health care cost, specially in hospital is about 70 to 75 percent consisted of medicines. staff and modern medical equipment investation costs. Utilization of modern medical equipment in health care will take a consequence to increased health care cost, thus will result in increased health care charge. Cholecystholithiasis is a disease of gallstones formation, commonly occure over 40 ages. There are two types of Cholcystolithiasis management at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, open cholecystectomy (conventional) and laparoscopic cholecystectomy (minimal invasive) using modern medical equipment, and open cholecystectomy cost is lower compared to laparoscopic cholecystectomy. This research was economic evaluation aimed to examine the most cost effective and efficient in cholcystolithiasis management between open cholecystectomy method (open chole) and laparoscopic cholecystectomy method (lap chole) using per DRG's cost. The research design was descriptive-comparative using case study method with quantitative and qualitative combination approach, conducted at dr. Cipto Mangukusumo Hospital from April to June 2008. Data used were secondary data obtained from Inpatient Medical Record Unit from January to December 2007 with primary diagnosis of Cholecystolithiasis, financial, asset to obtain cost data, and primary data from interview with medical, paramedic and staff related to Cholcystolithiasis management. Unit cost was calculated by direct cost with Activity Base Costing (ABC) and indirect cost by simple distribution. Grouping of cholcystolithiasis management with open chole at dr. Cipto Mangukusumo Hospital are 1) Pure open chole, 2) Open chole with complication, 3) Open chole with commorbidity and complication. Grouping of cholcystolithiasis management with lap chole are 1) Pure lap chole, 2) Lap cho1e with commorbidity, 3) Lap chofe with complication, 4) Lap chofe with commorbidity and complication. Clinical Pathway of Cholcystolithiasis management with open chole and lap chole consisted of 7 steps, registration, diagnosis, admission (P3RN), pre operative, operative, post operative and discharge. Cost of treatment of chofcystolithiasis management with open chofe at dr. Cipto Mangukusumo Hospital in 2007 were pure open chole with length of stay 8 day, the cost was Rp. 6.454.003, open chole with complication with length of stay 11 days, the cost was Rp. 8.863.527, Open chole with commorbidity and complication with length of stay 23 days, the cost was Rp. 17.060.543. Cost of treatment of cholcystolithiasis management with lap chole at dr. Cipto Mangukusumo Hospital in 2001 were for pure lap chole with length of stay 6 days, the cost was Rp. 7.278.891, lap chole with commorbidity with length of stay 13 days, the cost was Rp. 13.004.740, lap chole with complication with length of stay 10 days, the cost was Rp. 9.245.148, lap chale with commorbidity and complication with length of stay 19 days, the cost was Rp. 15.950.193. Coverage effectiveness or output for pure open chole was 1 patient, open chole with complication 2 patients, open chole with commorbidity and complication 1 patient. For pure lap chole was 28 patients, lap chole with cemmorbidity 13 patients, lap chole with complication 6 patients and lap chole with commotbidity and compacation 4 patients. Operation prosedure time mean and recovery day mean for pure open chole were 100 minutes and 3 days respectively. Open chole with complication were 110 minutes 6 days respectively, open chole with commorbidity and complication were 135 minutes and 7 days respectively. Opetation procedure time mean and recovery day mean for pure lap chole were 92,86 minutes and 2 day respectively, lap chole with complication were 1O5 minutes 5 days respectively, lap chole with commorbidity and complication were 118,7 minutes and 5 days respectively. Total cost effectiveness analysis from both methods showed that cost per patient in evety management episode for lap chole was higher compared to open chole, and from effectiveness or output, it is showed that operation prosedur time and recovery day mean of lap chole was shorter compared to open chole. It is concluded that lap chole was more cost effective than open chole method in cholcystolithiasis management. It is suggested to built national clinical pathway and patient charge calculation in hospital based on DRG's for every disease, and it is neaded to conduct future economic evaluation study in other modern medical equipments.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T21201
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alvira Rozalina
Abstrak :
Latar Belakang: Panjang interval QTc dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya oleh inflamasi. Pada pasien COVID-19 sering terjadi badai sitokin sehingga menyebabkan peningkatan signifikan dari sitokin inflamasi, termasuk interleukin 6. Peningkatan interleukin 6 menyebabkan perubahan pada kanal ion kardiomiosit sehingga menyebabkan pemanjangan interval QTc yang berisiko aritmia. Tujuan: Mengetahui korelasi dengan melihat beda rerata kadar interleukin 6 dan panjang interval QTc, nilai titik potong kadar interleukin 6 terhadap panjang interval QTc > 500 ms dan kekuatan kadar interleukin 6 dalam menilai risiko aritmia ventrikular. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan mengambil data sekunder rekam medik pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap di RSCM Kiara sejak November 2020 hingga Maret 2021. Pada penelitian ini dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Spearman. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap beda rerata kadar interleukin 6 pada kelompok subyek dengan panjang interval QTc > 500 ms dan kelompok subyek dengan panjang interval QTc normal. Dilakukan analisis dengan Receiver Operating Curve (ROC) untuk melihat Area under curve (AUC) dan menentukan titik potong kadar interleukin 6 terhadap panjang interval QTc > 500 ms. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan korelasi kadar interleukin 6 dan panjang interval QTc (r=0,72). Median kadar interleukin 6 pada kelompok subyek dengan interval QTc > 500 ms yaitu 99,36 pg/ml sedangkan pada kelompok subyek dengan interval QTc normal yaitu 19,51 pg/mL. Didapatkan AUC=0,852 untuk menentukan titik potong kadar interleukin 6 terhadap panjang interval QTc > 500 ms dengan nilai 59 pg/ml, dengan sensitivitas 80,6% dan spesifisitas 80%. Kejadian aritmia ventrikular tidak ditemukan sehingga tidak dapat dilakukan analisis untuk menilai kekuatan kadar interleukin 6 untuk menentukan risiko aritmia ventrikular. Kesimpulan: Terdapat korelasi kadar interleukin 6 dan panjang interval QTc dengan beda rerata kadar interleukin 6 pada subyek dengan interval QTc > 500 ms 5 kali lebih besar dibandingkan kelompok subyek dengan panjang interval QTc normal. Kadar interleukin 6 59 pg/mL ditentukan sebagai nilai titik potong terhadap panjang interval QTc > 500 ms. ......Background: The length of the QTc interval is influenced by various factors, one of which is inflammation. In COVID-19 patients, cytokine storms often occur, causing a significant increase in inflammatory cytokines, including interleukin 6. An increase in interleukin 6 can cause changes in the ion channels of cardiomyocytes, which can lead to prolonged QTc interval which is at risk of arrhythmias. Objective: Knowing the correlation by looking at the differences in interleukin 6 levels and the length of the QTc interval, the cut-off value of interleukin 6 levels to the length of the QTc interval > 500 ms and the strength of interleukin 6 levels in assessing the risk of ventricular arrhythmias. Method: This study used a cross-sectional study design by taking secondary data from the medical records of COVID-19 patients who were hospitalized at RSCM Kiara from November 2020 to March 2021. In this study, a bivariate analysis was carried out using the Spearman test. Furthermore, an analysis of the mean difference in interleukin 6 levels was carried out in the subject group with a QTc interval length> 500 ms and the subject group with a normal QTc interval length. Analyzes were performed using the Receiver Operating Curve (ROC) to see the area under curve (AUC) and determine the interleukin 6 cutoff point for the QTc interval length> 500 ms. Result: The correlation between interleukin 6 levels and the length of the QTc interval (r=0.72) was found. The median level of interleukin 6 in the group of subjects with a QTc interval > 500 ms was 99.36 pg/ml while in the group of subjects with a normal QTc interval it was 19.51 pg/mL. AUC = 0.852 was obtained to determine the cut-off point for interleukin 6 levels to the QTc interval length > 500 ms with a value of 59 pg/ml, with a sensitivity of 80.6% and specificity of 80%. The incidence of ventricular arrhythmias was not found so that an analysis could not be performed to assess the power of interleukin 6 levels to determine the risk of ventricular arrhythmias. Conclusion: There is a correlation between levels of interleukin 6 and the length of the QTc interval. The mean difference of interleukin 6 levels in subjects with QTc intervals> 500 ms was 5 times greater than those in groups of subjects with normal QTc interval lengths. The level of interleukin 6 59 pg / mL was determined as the cutoff value for the QTc interval length> 500 ms.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryatun
Abstrak :
Latar Belakang: Penggunaan terapi antiretroviral (ARV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS. Namun penggunaan ARV juga sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dalam berbagai manifestasi dan gradasi, mulai dari yang ringan sampai potensial mengancam nyawa. Pemahaman tentang prediktor kejadian reaksi hipersensitivitas dapat membantu klinisi dalam menatalaksana pasien HIV/AIDS sehingga memberikan luaran klinis yang lebih baik. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya reaksi hipersensitivitas pada penggunaan obat nevirapin dan efavirenz pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien HIV/AIDS rawat jalan di UPT HIV RSCM selama Januari 2004 sampai Desember 2013. Status demografik, data klinis dan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada prediktor dengan data nominal dan Uji Mann Whitney pada prediktor dengan data numerik. Adanya data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Semua variabel yang memenuhi syarat akan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil: Total subjek yang mendapat terapi ARV baik sebagai terapi pertama kali (naïve patient) atau substitusi pada kelompok nevirapin berjumlah 2.071 subjek dan efavirenz 1.212 subjek. Insiden terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin dan efavirenz adalah sebesar 14%, dan 4,5%. Insiden kejadian reaksi hipersensitivitas silang adalah 5%. Prediktor reaksi hipersensitivitas yang bermakna pada analisis multivariat adalah prediktor terkait penggunaan nevirapin, yaitu jenis kelamin perempuan (OR=1,622; IK95% 1,196-2,199; p=0,002), CD4+ awal >200 sel/mm3 (OR=1,387; IK95% 1,041-1,847; p=0,025), koinfeksi dengan hepatitis C (OR=1,507; IK95% 1,138-1,995; p=0,004), dan kadar SGPT awal >1,25 kali batas atas nilai normal (OR=1,508; IK95% 0,998-2,278; p=0,051). Sedangkan prediktor reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan efavirenz tidak ada yang memiliki kemaknaaan secara statistik. Simpulan: Jenis kelamin perempuan, jumlah CD4+ awal >200 sel/mm3, koinfeksi dengan hepatitis C dan kadar SGPT awal yang abnormal merupakan prediktor independen terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin pada pasien HIV/AIDS.
Background: ARV therapy decreases morbidity and mortality in AIDS/HIV patients. Beside its benefits, ARV therapy induces hypersensitivity reactions manifesting in various level of severity from mild to life threatening symptoms. Understanding the predictors of hypersensitivity reaction will help clinicians to manage HIV/AIDS patients particularly in anticipating the risks that will give better clinical outcomes. Objectives: To determine the predictors of hypersensitivity reactions in nevirapine and efavirenz administration among HIV/AIDS patients in RSCM . Methods: This is a cohort retrospective study in patients with HIV/AIDS in UPT HIV RSCM during January 2004 to December 2013. Demographic status, clinical and laboratory data are obtained from medical records. Bivariate analysis using Chi-Square test performed on nominal data and Mann Whitney test on numeric data. Incomplete data is resolved by multiple imputation techniques. All eligible variables analyzed with multivariate analysis using logistic regression. Results: There are 2.071 naïve patients or substitution regiment in nevirapine group and 1.212 subjects in efavirenz group. Hypersensitivity reaction incidence in nevirapine and evafirenz group are 14% and 4.5% consecutively. Cross hypersensitivity reaction incidence between these drugs is 5%. Hypersentivity reaction predictors associated with nevirapine administration are female gender (OR=1,622; 95%CI 1,196-2,199; p=0,002), baseline CD4+ absolute count >200 cells/mm3 (OR=1,387; 95%CI 1,041-1,847; p=0,025), hepatitis C coinfection (OR=1,507; 95%CI 1,138-1,995; p=0,004), and baseline ALT level > 1.25 x ULN (OR=1,508; 95%CI 0,998-2,278; p=0,051), but there is no predictors associated statistically significant with efavirenz hypersensitivity reaction. Conclusion: Female gender, baseline CD4 absolute count >200 cells/mm3, hepatitis C coinfection and baseline ALT level > 1.25 x ULN are independent predictors for hypersensitivity reaction due to nevirapine usage in HIV/AIDS.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauna Herawati
Abstrak :
Disertasi ini menghasilkan temuan bahwa clinical pathway yang disusun oleh berbagai profesi sesuai kompetensi, peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing profesi dalam perawatan pasien dapat digunakan sebagai media komunikasi, bekerja sama, berkoordinasi dalam praktek kolaborasi interprofesional. Praktek kolaborasi interprofesional dengan menggunakan clinical pathway dapat mengoptimalkan penggunaan antibiotik untuk mencegah terjadinya resistensi bakteri. Penelitian ini adalah kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan desain deskriptif analitik. Hasil penelitian menyarankan bahwa penyusunan clinical pathway tidak hanya berbasis bukti tetapi juga merupakan kesepakatan perawatan bersama oleh beberapa profesi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, terutama penggunaan antibiotik rasional. ......The finding of this dissertation is clinical pathways prepared by various professions according to the competencies, roles, values, and responsibilities of each profession in patient care. A clinical pathway is a tool for communication, working together, and coordination in interprofessional collaborative practices. Interprofessional collaboration practices using clinical pathways can optimize the use of antibiotics to prevent bacterial resistance. This research is quantitative and qualitative research that analyzes analytics descriptively. The study suggests that the development of a clinical pathway is not only evidence based practice but also a joint agreement by several healthcare professionals to improve the quality of services, especially the rational use of antibiotics.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Todung Donald Aposan
Abstrak :
Intervensi koroner perkutan (IKP) terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit jantung koroner (PJK). Cedera pembuluh darah akibat IKP dapat menyebabkan timbulnya inflamasi dan stress oksidatif. Studi ini menunjukkan bahwa kurkumin memiliki efek menekan inflamasi dan antioksidan pada penderita PJK stabil pasca-IKP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas suplementasi kurkumin per oral dalam menurunkan kadar inflamasi dan stres oksidatif pasca-IKP pasien PJK stabil. Pasien dewasa PJK stabil dilakukan IKP, dirandomisasi secara acak tersamar ganda ke dalam kelompok kurkumin atau plasebo. Kurkumin (45 mg/hari) atau plasebo diberikan selama 7 hari sebelum IKP hingga 2 hari setelah IKP. Kadar marker inflamasi (hsCRP dan sCD40L) dan marker oksidatif (MDA dan GSH) dalam serum dinilai dalam 3 fase, 7 hari pra-IKP, 24 jam pasca-IKP, dan 48 jam pasca-IKP. Selama periode April–Juni 2015, terdapat 50 pasien yang direkrut (25 kurkumin dan 25 plasebo) di RSUP Cipto Mangunkusumo dan RS Jantung Jakarta. Konsentrasi hsCRP dan sCD40L pada kelompok kurkumin dalam 3 fase cendrung menurun (p < 0,05) dibanding kelompok plasebo, tetapi konsentrasi hsCRP dan sCD40L pada tiap fase tidak berbedaan bermakna, sedang kadar MDA dan GSH tidak berbeda bermakna setiap fase, namun menunjukkan kecenderungan penurunan kadar MDA (p = 0,6) dan GSH (p = 0,3). Pemberian kurkumin mempunyai kecenderungan menurunkan respons inflamasi pasca-IKP dan cenderung menghambat pembentukan stress oksidatif yaitu MDA serum melalui mekanisme peningkatan penggunaan antioksidan internal yaitu GSH serum. ......Background: Percutaneous coronary intervention (PCI) has been proven to improve morbidities and mortalities in stable coronary heart disease (CHD). However, ischemia-reperfusion injury resulted from PCI might induce inflammation and oxidative stress. Several studies suggested that curcumin exerts anti-inflammatory and antioxidant properties that may be beneficial in post-PCI stable CHD patients. Objectives: To determine the efficacy of orally administered curcumin in reducing inflammatory response and oxidative stress in post-PCI of stable CHD patients. Methods: A double-blind randomized controlled trial consisting of 50 adult patients of both sexes with stable CHD who underwent PCI were treated with curcumin or placebo. Either curcumin (45 mg/day) or placebo was given 7 days prior to PCI until 2 days after PCI. Inflammatory markers (hsCRP and sCD40L) and oxidative stress assessment (MDA and GSH) were measured in 3 phases (7 days pre-PCI, 24 hours post-PCI, and 48 hours post-PCI). Results: During April–June 2015, 50 patients were recruited (25 curcumin and 25 placebo) from Cipto Mangunkusumo General Hospital and Jakarta Heart Center. The serum concentrations of hsCRP and sCD40L in curcumin group (p < 0.05) in all observation phases were significantly lower compared with placebo group; however, there were no significant differences between groups. No significant difference was observed among phases in MDA and GSH, but there was a trend of decreasing MDA and GSH levels (p = 0.6 and p = 0.3, respectively) in curcumin group. Conclusion: Curcumin tends to reduce inflammatory response following PCI by decreasing oxidative stress (MDA) through the increase of internal antioxidant utilization (GSH).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vesri Yoga
Abstrak :
Latar Belakang: Kolangitis akut merupakan penyakit dengan tingkat mortalitas tinggi sehingga diperlukan diagnosis dan tatalaksana segera. Tokyo Guidelines 2018 (TG18) sebagai modalitas diagnostik perlu dinilai sensitivitasnya. Serta prediktor mortalitas kolangitis akut di Indonesia masih belum pernah diteliti.  Tujuan: Menilai performa diagnostik TG18 dan prediktor mortalitas pasien kolangitis akut dewasa di Indonesia. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan menggunakan rekam medis pasien kolangitis RSCM dari tahun 2019-2022. Perbandingan dengan baku emas ERCP dilakukan untuk TG18. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk menilai prediktor mortalitas.  Hasil: Subjek penelitian 163 orang dengan 51,5% laki-laki dengan rerata usia 51,0 ±12,81 tahun. Tingkat mortalitas selama di rumah sakit mencapai 11,6%. Sensitivitas TG18 dengan ERCP adalah 84,05% (95%CI 77,51-89,31%). Prediktor mortalitas yang bermakna pada analisis univariat adalah TG18 derajat III (RR 13,846 (3,311-57,897), p<0,001), riwayat keganasan (RR 4,400 (1,525-12,687), p=0,006), pemilihan antibiotik tidak sesuai pedoman (RR 3,275 (1,366-7,851), p=0,008) dan kadar prokalsitonin ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,440 (1,056-5,638), p=0,037). Pada analisis multivariat prediktor yang bermakna adalah TG18 derajat III (RR 10,670 (2,502-45,565), p=0,001), penggunaan antibiotik tidak sesuai pedoman (RR 2,923 (1,342-6,367), p=0,007), dan kadar prokalsitonin ≥2.0 ng/mL (RR 2,371 (1,183-4,753), p=0,015).  Simpulan: Sensitivitas TG18 cukup tinggi sehingga bisa digunakan untuk membantu diagnosis kolangitis akut. Prediktor mortalitas kolangitis akut mencakup derajat III berdasarkan TG18, pengguaan antibiotik tidak sesuai pedoman, dan kadar prokalstionin ≥2.0 ng/mL. ......Background: Acute cholangitis is a disease with a high mortality rate that requires prompt diagnosis and treatment. Tokyo Guidelines 2018 (TG18) as a diagnostic modality need to be assessed for sensitivity. Predictors of acute cholangitis mortality in Indonesia are still unknown. Objective Assessing the diagnostic performance of TG18 and predictors of mortality in adult acute cholangitis patients in Indonesia. Methods A retrospective cohort study was conducted using the medical records of RSCM cholangitis patients from 2019-2022. Comparisons with the ERCP gold standard were made for TG18. Bivariate and multivariate analyzes were performed to assess predictors of mortality. Results The research subjects were 163 people with 51.5% male with a mean age of 51.0 ± 12.81 years. The mortality rate during hospitalization reached 11.6%. The sensitivity of TG18 with ERCP as the gold standard were 84.05% (95%CI 77.51-89.31%). Significant predictors of mortality in Univariate analysis was TG18 grade III (RR 13,846 (3,311-57,897), p<0,001), history of malignancy (RR 4,400 (1,525-12,687), p=0,006), the use of antibiotics did not comply with the guidelines (RR 3,275 (1,366-7,851), p=0,008) and procalcitonin level ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,440 (1,056-5,638), p=0,037) In multivariate analysis the significant predictors were TG18 degree III (RR 10,670 (2,502-45,565), p=0,001), the use of antibiotics did not comply with the guidelines (RR 2,923 (1,342-6,367), p=0,007) and procalcitonin level ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,371 (1,183-4,753), p=0,015). Conclusions: The sensitivity of TG18 is high enough that it can be used to help diagnose acute cholangitis. Predictors of acute cholangitis mortality included grade III based on TG18, inappropriate use of antibiotics and procalcionine level  ≥ 2.0 ng/mL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library