Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ihya Fakhrurizal Amin
"Pendahuluan: Peningkatan karbondioksida pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi tubuh manusia terutama pada sistem imun manusia, yang diketahui dapat menurunkan produksi sel T. Pada penelitian ini menggunakan subjek berupa sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) yang menjadi representatif dari sistem imun manusia. Berbagai respon mungkin akan ditunjukkan jika PBMC dipaparkan karbon dioksida dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal, tetapi pada penelitian ini hanya spesifik melihat pada kadar hidrogen peroksida melalui pengukuran kadar DCFH-DA. Metode: PBMC yang sudah diisolasi dari subjek dipaparkan karbon dioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji. Waktu pemaparan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Pada waktu akhir waktu inkubasi untuk masing-masing kelompok akan dilakukan pengukuran kadar DCFH-DA dengan fluorometri. Hasil yang didapat berupa absorbansi/sel yang akan dianalisis lebih lanjut melalui SPSS versi 24. Hasil: Didapatkan jumlah hidrogen peroksida lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (p<0.05) saat diinkubasi selama 24 jam tetapi tidak signifikan pada waktu inkubasi 48 jam. Perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida antara 24 dan 48 jam menunjukkan penurunan secara signifikan konsentrasi saat diinkubasi 48 jam jika dibanding 24 jam. Kesimpulan: Paparan karbon dioksida selama 24 jam dapat meningkatkan produksi hidrogen peroksida dibandingkan kontrol, namun hal ini tidak terjadi pada PBMC yang dipaparkan karbondioksida selama 48 jam.
......Introduction: Increased carbon dioxide in the atmosphere has an impact on climate change. Increased carbon dioxide can affect the human body, especially in the human immune system, which is known to reduce the production of T cells. So as to represent the human immune system, this study uses the subject of Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells. Various responses might be demonstrated if PBMCs were exposed to carbon dioxide concentrations higher than normal, but in this study only specifically looked at hydrogen peroxide levels by measuring DCFH-DA levels. Method: PBMC which had been isolated from the subject were exposed to 5% carbon dioxide as a control and 15% as a test. Exposure time is 24 hours and 48 hours. At the end of the incubation time for each group, measurement of DCFH-DA with fluorometry will be carried out. The results obtained in the form of absorbance / cells will be further analyzed through SPSS version 24 Result : There was a significant increase in the amount of hydrogen peroxide compared to the control (p <0.05) when incubated for 24 hours but not significantly at 48 hours incubation time. Comparison of hydrogen peroxide concentrations between 24 and 48 hours shows a significant decrease in concentration when incubated 48 hours when compared to 24 hours (p<0.05). Conclusion: Exposure to carbon dioxide for 24 hours can increase hydrogen peroxide production compared to control, but there is no significant change in hydrogen peroxide production was observed in 48 hours of carbon dioxide exposure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfian Aby Nurachman
"Latar Belakang : Global warming atau peristiwa meningkatnya suhu rerata bumi disebabkan oleh peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) pada atmosfer bumi. Peningkatan kadar karbondioksida ini berpengaruh terhadap kesehatan melalui berbagai cara. Dalam tubuh kondisi kadar karbondioksida yang tinggi atau hiperkapnea dapat memberikan pengaruh pada tubuh salah satu nya adalah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Dengan menggunakan sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC), kadar ROS terutama superoksida yang diproduksi akibat paparan CO2 tinggi dapat dideteksi dengan menggunakan dihydroethidium (DHE) assay.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemaparan pada kadar CO2 tinggi terhadap perubahan produksi superoksida pada sel PBMC.
Metode : Sel PBMC diinkubasi pada kadar CO2 yang berbeda yaitu kadar tinggi sebesar 15% dan kontrol 5% CO2. Produksi superoksida pada sel tersebut dapat dilihat menggunakan DHE assay dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada fluorometer. Hasil yang didapatkan adalah nilai absorbansi per sel yang menggambarkan kadar superoksida untuk tiap satu sel PBMC.
Hasil : Pemaparan sel PBMC pada kondisi tinggi CO2 (15% CO2) selama 24 jam dan 48 jam secara signifikan meningkatkan produksi superoksida bila dibandingkan dengan kontrol (5% CO2) pada sel PBMC. Namun terdapat penurunan yang signifikan antara paparan tinggi CO2 selama 48 jam bila dibandingkan dengan paparan tinggi CO2 selama 24 jam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa paparan tinggi CO2 dapat meningkatkan laju produksi superoksida pada sel PBMC. Selain itu terdapat penurunan kadar superoksida pada sel PBMC apabila lama paparan CO2 tinggi lebih dari 24 jam.
Kesimpulan : pemaparan kadar CO2 tinggi pada sel PBMC selama 24 jam dan 48 jam akan meningkatkan laju produksi ROS terhadap kontrol. Penurunan kadar superoksida pada inkubasi CO2 tinggi selama 48 jam menunjukan ada nya pengurangan kadar superoksida apabila lama inkubasi lebih dari 24 jam.
......Background: Global warming or the increase in the average temperature of the earth is caused by an increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) in the earth's atmosphere. Increased levels of carbon dioxide affect health in various ways. In the body of conditions high carbon dioxide levels or hypercapnea can give effect to the body one of them is an increase in the production of Reactive Oxygen Species (ROS) which can cause oxidative stress. By using Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells, ROS levels, especially superoxide produced due to high CO2 exposure can be detected using dihydroethidium (DHE) assay.
Objective: This study was conducted to see the effect of exposure to high CO2 levels on changes in superoxide production in PBMC cells.
Methods: PBMC cells were incubated at different CO2 levels, namely a high level of 15% and a control of 5% CO2. Superoxide production in these cells can be seen using the DHE assay by looking at changes in absorbance values on the fluorometer. The results obtained are absorbance values per cell that describe the levels of superoxide for each one PBMC cell.
Results: Exposure of PBMC cells under high CO2 conditions (15% CO2) for 24 hours and 48 hours significantly increased superoxide production when compared to controls (5% CO ¬ 2) on PBMC cells. However, there was a significant decrease between 48 hours of high CO2 exposure compared to 24 hours of high CO2 exposure. From this it follows that high exposure to CO2 can increase the rate of superoxide production in PBMC cells. In addition there is a decrease in superoxide levels in PBMC cells if the duration of high CO2 exposure is more than 24 hours.
Conclusion: exposure to high CO2 levels in PBMC cells for 24 hours and 48 hours will increase the rate of superoxide production to control. Decrease in superoxide levels in incubation of high CO2 for 48 hours shows that there is a reduction in superoxide levels if the incubation time is more than 24 hours."
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Auliani
"Latar Belakang: Penggunaan cardiopulmonary bypass dalam bedah jantung terbuka pada anak yang berkepanjangan dapat memicu koagulopati dan hemodilusi, serta menyebabkan perdarahan pasca operasi. Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko lebih tinggi karena sistem koagulasi darah mereka yang imatur. Meskipun demikian, tidak ada penelitian serupa yang betujuan untuk menilai hubungan antara keduanya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi jantung terbuka pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Metode: Penelitian ini bersifat descriptive-analytical dengan metode cross- sectional. Rekam medis 100 pasien anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2016 sampai dengan Maret 2018 digunakan sebagai sampel. Pasien anak berusia 0 sampai 17 tahun dengan penyakit jantung bawaan sianotik, yang telah melalui bedah jantung terbuka elektif digunakan sebagai sampel. Korelasi Spearman digunakan untuk meneliti hubungan antara CPB time dengan perdarahan pasca operasi.
Hasil: Dari 100 data yang diperoleh, tidak terdapat korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi (p = 0.087). Median dari CPB time adalah 87 menit (29 – 230). Perdarahan pasca operasi pasien memiliki median 15.3/kgBB dalam 24 jam (3.0 – 105.6).
Konklusi: Tidak ada hubungan antara CPB time dan post-operative bleeding pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Faktor lain dapat mempengaruhi kedua variabel diteliti, termasuk dari pasien sendiri dan dari tindakan operasi, seperti kemampuan operator menangani perdarahan serta jenis prosedur operasi. Maka dari itu, CPB time tidak dapat dianggap sebagai faktor tunggal yang dapat mempengaruhi perdarahan pasca operasi.

Background: Prolonged use of cardiopulmonary bypass during open heart surgery can induce coagulopathy and hemodilution, contributing towards post-operative bleeding. Pediatric patients with cyanotic congenital heart disease are susceptible due to presence of immature coagulation system. However, no similar studies have been done to assess the relationship between the two.
Aim: This study aims to assess correlation between CPB time and post-operative bleeding in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease undergoing open heart surgery.
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Medical records of 100 pediatric patients from Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2016 to March 2018 were used. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, who underwent elective open heart surgery were included as sample. Spearman’s correlation was used to determine correlation between CPB time and post-operative bleeding.
Result: Data from 100 patients were obtained. No correlation was observed between CPB time and post-operative bleeding (p = 0.087). Patients’ CPB time has a median of 87 minutes (29 – 230). Patients’ post-operative bleeding has a median of 15.3 ml/kgBW in 24 hours (3.0 – 105.6).
Conclusion: CPB time and post-operative bleeding has no correlation in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease. Presence of various factors can influence both variables, including from the patients or operative factors, including dexterity of operator and applied procedure. Thus, CPB time cannot be held responsible as a single determining factor for post-operative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Ngadiono
"Pendahuluan: Ekspresi berlebih suatu molekul bernama survivin dapat mencegah terjadinya apoptosis dengan menghambat caspase 9 dan mempertahankan keganasan pada sel glioblastoma. Penggunaan secretome sel punca tali pusat dapat mencegah perkembangan glioblastoma meskipun penggunaanya masih kontroversial. Untuk menguji efektifitas apoptosis secretome sel punca tali pusat pada glioblastoma, dapat dilakukan pengukuran survivin dan caspase 9 yang merupakan komponen penting pada jalur apoptosis intrinsik. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sekretom sel punca tali pusat terhadap ekspresi survivin dan caspase9 sebagai molekul yang mempengaruhi pertumbuhan glioblastoma
Metode: Desain eksperimental in vitro dengan menggunakan galur sel glioblastoma T98G. Conditioned medium (CM) yang mengandung secretome sel punca tali pusat diperoleh dari medium sel punca  tali pusat yang dikultur selama 24 jam dengan  Î±MEM yang tidak mengandung serum. CM diencerkan 2 kali  dengan  medium tinggi glukosa Dulbecco's Modified Eagle Medium (DMEM) (50% konsentrasi). Perlakuan Sel glioblastoma T98G yang diberikan CM 50% dilakukan selama 24 jam, kemudian dilakukan ekstraksi RNA total dari sel T98G tersebut. RNA total digunakan untuk analisis ekspresi gen dengan menggunakan real-time quantitative reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR). Metode Livak dilakukan untuk menghitung ekspresi relatif  caspase 9 dan survivin dengan 18srRNA sebagai gen referensi.

Hasil: Ekspresi mRNA survivin meningkat 3.5 kali (p=0.002) dan ekspresi mRNA caspase 9 meningkat 1.6 kali (p=0.017) pada sel T98G yang diberikan CM50% dibandingkan sampel kontrol.
Kesimpulan : CM  sel punca pada tali pusat meningkatkan ekspresi survivin dan caspase 9 pada sel glioblastoma T98G. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui pengaruh peningkatan ekspresi gen tersebut terhadap proliferasi sel glioblastoma serta mekanisme molekulernya.
......Introduction: Aberrant expression of a molecule called survivin has been suspected to prevent apoptosis by indirectly inhibits a critical apoptosis enzyme called caspase 9, maintaining tumorigenicity of glioblastoma. Umbilical cord mesenchymal stem cells (UCMSC) has been discovered to inhibit glioblastoma growth but its usage is still controversial. To measure the apoptosis effectiveness of UCMSC-CM secretome against glioblastoma, measuring survivin and caspase 9, as essential components in intrinsic apoptosis pathway, are required. Therefore, this research aims to analyze the effect of UCMSC-CM against survivin and caspase 9 expression as the molecules that affect the growth of glioblastoma.
Method: In vitro experimental design by using glioblastoma cell line T98G. Conditioned medium (CM) which contain umbilical cord mesenchymal stem cell (UCMSC) secretome was obtained from UCMSC-CM that was cultured for 24 hours with αMEM that does not contain serum. CM was diluted twice with high glucose Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM) (50% concentration). The treatment of T98G glioblastoma cell, that had been exposed to 50% CM, was performed for 24 hours, then total RNA extraction was carried out from the T98G cells. Total RNA was used to analyze genetic expression by using real-time quantitative reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR). Livak’s method was used to calculate relative expression of Survivin and Caspase 9 expression with 18srRNA as reference gene.
Results: Survivin mRNA expression increased 3.5-fold (p=0.002) while caspase 9 mRNA expression increased 1.6-fold (p=0.017) in T98G cell that was given CM50% compared with control sample.
Conclusion: UCMSC-CM increases survivin and caspase 9 expression in glioblastoma T98G cells. Future researches are required to identify the effect of the elevated genetic expressions against glioblastoma cell proliferation as well as their molecular mechanisms."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Anthony Halim
"Latar belakang: Azoxymethane AOM dan dextran sodium sulfate DSS adalah senyawa kimia yang sering digunakan untuk menginduksi kanker kolorektal pada tikus. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa azoxymethane dan DSS juga menyebabkan nefrotoksisitas. Omega 3 yang ditemukan pada minyak ikan diketahui memiliki efek protektif pada ginjal. Namun, omega 3 minyak ikan kaya masih sangat kurang dimanfaatkan di Indonesia. Untuk mempelajari fitur histopatologi ginjal pada tikus yang diinduksi AOM DSS setelah pemberian omega 3 minyak ikan kaya.
Metode: Mencit eksperimental yang telah diinduksi menggunakan AOM 10 mg kg dan DSS 2 selama 2 minggu dialokasikan secara acak ke dalam 4 kelompok sebagai berikut. Kelompok Kontrol tikus tidak menerima minyak ikan, tikus Kelompok Dosis Rendah menerima 1,5 mg minyak ikan, tikus kelompok Dosis Menengah menerima 3 mg minyak ikan, tikus Kelompok Dosis Tinggi menerima 6 minyak ikan mg hari. Minyak ikan kaya omega 3 diberikan selama 12 minggu. Pemeriksaan patologi dilakukan untuk menilai degenerasi tubular dan kongesti vaskular.
Hasil: Gambaran histopatologis yang ditemukan di ginjal adalah peradangan, degenerasi tubular, nekrosis, dan kongesti vaskular. Persentase 3 tubular degenerasi berat pada kelompok yang diberi minyak zaitun kaya omega 3 rendah, menengah, dan tinggi lebih rendah sebesar 17,5, 25, dan 37,5 masing-masing dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian omega 3 minyak ikan kaya menunjukkan persentase yang lebih sedikit dari tingkat kongesti 2 pembuluh darah moderat dibandingkan dengan kelompok kontrol namun, peningkatan dosis omega 3 minyak ikan kaya tidak menunjukkan persentase yang berbeda dari kemacetan pembuluh darah moderat di antara kelompok-kelompok.
Kesimpulan: Hasil menunjukkan efek omega 3 minyak ikan kaya untuk mencegah nefrotoksisitas pada tikus yang diinduksi oleh azoxymethane dan DSS.
......Background: Azoxymethane AOM and dextran sodium sulfate DSS are chemical compounds frequently used to induce colorectal cancer in mice. Previous studies have shown that azoxymethane and DSS also cause nephrotoxicity. Omega 3 found on fish oil is known to have protective effect on kidney. However, omega 3 rich fish oil is still very underutilized in Indonesia.Aim To study the histopathologic features of kidney on mice induced AOM DSS after the administration of omega 3 rich fish oil.
Method: The experimental mice that had been induced using AOM 10 mg kg and DSS 2 for 2 weeks were allocated randomly into 4 groups as follows Control Group mice recieved no fish oil, Low Dose Group mice recieved 1.5 mg day fish oil, Medium Dose Group mice recieved 3 mg day fish oil, High Dose Group mice recieved 6 mg day fish oil. The omega 3 rich fish oil were given for 12 weeks. Pathology examination was done to grade tubular degeneration and vascular congestion.
Result: The histopathologic features found in the kidney were inflammation, tubular degeneration, necrosis, and vascular congestion. The percentage of severe 3 tubular degeneration on groups given low, medium, and high dose omega 3 rich olive oil were lower by 17.5 , 25 , and 37,5 respectively compared to control group. The administration of omega 3 rich fish oil showed less percentage of moderate 2 vascular congestion degree compared to control group however, increasing dose of omega 3 rich fish oil did not show different percentages of moderate vascular congestion among groups.
Conclusion: The result indicates the effect of omega 3 rich fish oil on preventing nephrotoxicity in mice induced by azoxymethane and DSS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filbert Kurnia Liwang
"ABSTRACT
Pembelajaran neuronatomi sangat membutuhkan kadaver terutama organ otak sebagai sarana pembelajaran. Hingga saat ini, pengawet paling umum yang digunakan adalah menggunakan cairan berbahan dasar formalin. Akan tetapi, kandungan formalin pada kadaver dapat menimbulkan berbagai efek yang merugikan bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dekomposisi otak mencit yang diawetkan dengan cairan fiksatif formalin 4% dengan dan tanpa penambahan penetral formalin berbahan dasar gliserin. Penelitian ini menggunakan 18 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi secara acak menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (tanpa pengawetan), kelompok yang hanya diawetkan dengan formalin 4%, dan kelompok yang diawetkan dengan formalin 4% ditambah dengan penetral gliserin. Penilaian tahapan dekomposisi dilakukan dengan skoring serta pengukuran massa total dan massa otak mencit yang dilakukan setiap minggu. Pada selisih massa otak mencit, didapatkan hasil berbeda bermakna pada minggu ke-2 pengukuran. Pada persentase selisih massa otak, didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok formalin 4% dan gliserin dari seluruh waktu pengukuran. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dekomposisi antara otak mencit yang diawetkan dengan formalin 4% dengan dan tanpa penambahan cairan penetral formalin berbahan dasar gliserin dimana kelompok gliserin terdekomposisi lebih cepat.

ABSTRACT
Neuroanatomy learning requires cadaver, especially the brain, as a learning tool. Until now, the most common preservertive used was using formalin-based fixative liquids. However, formalin can cause various adverse effects to human health and to the environment. Therefore, we will compare the brain decomposition rate the mice preserved with of 4% formalin fixative liquid with and without addition of glycerin-based formalin neutralizer. This study used 18 mice (Mus musculus) which were randomly divided into 3 groups: control group with no additional fixative, group preserved with 4% formalin, and group preserved with 4% formalin, then neutralized with glycerin. Assessment of the stages of decomposition is done by scoring as well as measuring the total mass and brain mass of mice that are carried out every week. Difference in brain mass of mice only obtain significantly different results on the second week of measurement. In the percentage difference in brain mass, there were significant differences between the 4% formalin and glycerin in all measurement times. Therefore, there is a difference in the level of decomposition between the brains of mice preserved with 4% formalin with and without additional formalin neutralizer with glycerin content, whereas decomposition in glycerin group is faster."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Chrisantha Yogawisesa
"ABSTRACT
Penggunaan kadaver sebagai alat bantu pembelajaran di pendidikan kedokteran menimbulkan masalah ketika kadaver tersebut telah selesai digunakan dan hendak dikebumikan kembali dengan metode deep burial karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan. Penggunaan cairan fiksatif formalin 10% merupakan konsentrasi standar. Penelitian dengan mengurangi konsentrasi formalin yang digunakan menjadi 4% dilakukan dengan harapan akan mempercepat proses dekomposisi ketika kadaver sudah dikebumikan. Penelitian ini menggunakan mencit Mus musculus, terutama otot tungkai belakangnya, yang diawetkan dengan cairan fiksatif formalin 10% dan 4% dan membandingkan kecepatan proses dekomposisi yang terjadi perminggu selama 6 minggu penguburan deep burial. Kecepatan dekomposisi dinilai dengan mengukur massa otot tungkai dan massa total mencit perminggu penguburan. Didapatkan hasil penurunan massa total yang berbeda secara signifikan yang terjadi antara kelompok Formalin 10% dan 4%, pada minggu 3-5. Hal ini diduga karena dekomposisi otot yang memang baru terjadi pada tahap lanjut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya sebelum dapat diterapkan sebagai dasar pengelolaan kadaver manusia yang telah digunakan untuk kepentingan pendidikan dokter

ABSTRACT
.use of human cadaver as an educational tool in medical education may cause many problems when the cadaver is no longer being used and is to be buried, such as environmental problems and health problems. Cadavers are preserved in standardized 10% formalin solution. This research aims to reduce the concentration of formalin solution used to be a solution of 4% to accelerate the decomposition process of the deep buried cadaver, using Mus musculus mice as the samples, specifically the lower limb muscle. The lower limb muscle of the mice is preserved in 10% and 4% formalin solution, and are deep buried. The samples are compared by the decrease of the mass of lower limb muscle and the total mass of the mice per week in a total of 6 weeks period. Significant different results of comparasion are obtained in the total mass of the mice in 10% and 4% formalin solution. The decrease of lower limb muscle mass only significantly differs in week 3-5, presumably due to the decomposition process of muscle tissues that happens in the latter stages of decomposition. This research is expected to be the foundation of further research of comparasion of 10% and 4% formalin solution, before is able to be done in medical education human cadaver."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictus Krisna
"ABSTRAK
Jenazah untuk pendidikan anatomi kedokteran (kadaver) umumnya diawetkan dengan formalin untuk mencegah proses pembusukan selama rentang waktu penggunaannya. Namun, karena formalin merupakan pengawet yang poten, tanpa netralisasi, setelah dikebumikan, kadaver akan sulit diuraikan sehingga berpotensi menjadi polutan. Larutan amonium karbonat telah diketahui dapat menetralkan larutan formalin, tetapi belum pernah dilaporkan apakah amonium karbonat dapat digunakan untuk menetralkan formalin dalam tubuh kadaver sehingga jasad dapat mengalami dekomposisi sempurna. Oleh karena itu, dilakukan percobaan dengan hewan coba mencit (Mus musculus) untuk mengetahui apakah berbagai organ mencit berformalin dapat dinetralkan dengan amonium karbonat dan mengalami dekomposisi setara dengan organ-organ mencit tanpa formalin. Pada penelitian eksperimental ini mencit (n=18) dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tidak diawetkan (tanpa formalin; n=6), diawetkan dengan formalin (konsentrasi awal 10%, konsentrasi lanjut 4%; n=6), dan diawetkan formalin lalu dinetralkan dengan amonium karbonat (konsentrasi 25%; n=6). Agar menyerupai proses pemakaman pada manusia, sebelum dikebumikan mencit beserta organnya dimandikan dengan air dan dibungkus kain kafan. Pengamatan proses dekomposisi, yaitu skor tahapan dekomposisi dan persentase penurunan berat organ (usus, hati, otot, jantung, paru, dan otak) dilakukan setiap minggu. Dari total enam minggu pengamatan, diketahui bahwa skor tahapan dekomposisi dan persentase penurunan berat organ-organ mencit kelompok amonium karbonat lebih besar dari kelompok formalin, tetapi lebih kecil dari kelompok tanpa formalin. Disimpulkan bahwa penetralan berbagai organ mencit berformalin dengan 25% amonium karbonat mampu meningkatkan proses dekomposisi organ-organ tersebut, walaupun belum setara dengan jasad mencit tanpa formalin (tanpa diawetkan).

ABSTRACT
Corpse for medical anatomy education (cadaver) is generally preserved by formalin to prevent the decay process during the period of its use. However, because formalin is a potent preservative, without neutralization, after being buried, cadavers will be difficult to decompose and potentially become pollutants. Ammoniumcarbonate solutions have been known to neutralize formalin solutions, but it has never beenreported whether ammoniumcarbonate can be used to neutralize formalin in cadaveric bodies so that the body can experience perfect decomposition. Therefore, experiments with mice (Mus musculus) were conducted to determine whether the organ of formalin mice can be neutralized with ammoniumcarbonate and experience decomposition equivalent to the organs of mice without formalin. In this experimental study mice (n = 18) were divided into three groups, namely not preserved (without formalin n = 6), preserved with formalin (initial concentration 10%, following concentration 4%; n = 6), and preserved formalin then neutralized with ammoniumcarbonate (25% concentration; n = 6). In order to resemble the process of funeral in humans, before being buried miceswith their organs are bathed with water and wrapped in kafan cloth. Observation of the decomposition process, which is decomposition stage score and weight loss percentageof organs(intestine, liver, muscle, heart, lung, and brain) is carried out every week. From a total of six weeks ofobservation, it was found that the decomposition stage scores and the weight losspercentage of the ammoniumcarbonate group were greater than the formalin group, but smaller than the formalin-free group. It was concluded that neutralizing the organs of formalin mice with 25% ammoniumcarbonate was able to improve the decomposition process of those organs, although not equivalent to the organsof mice without formalin (without preserving)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annada Sofia
"Latar Belakang: Prevalensi kanker di Indonesia meningkat menjadi 1,8 per 1000 penduduk pada 2018. Diagnosis dini yang tepat dibutuhkan untuk mengurangi angka mortalitas. Salah satu cara diagnosis tumor berupa pemeriksaan penanda tumor, seperti vanillylmandelic acid (VMA). Penanda tumor tersebut termasuk metabolit katekolamin yang akan meningkat produksinya pada beberapa tumor neuroendokrin. Kadar katekolamin sendiri dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Belum ada data proporsi VMA positif dalam urin pada pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungan VMA dalam urin dengan usia dan jenis kelamin. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Data sekunder dikumpulkan berupa lembar hasil serta formulir pemeriksaan VMA pasien dugaan tumor neuroendokrin pada periode 2010 hingga April 2019. Data didapatkan dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, FKUI. Pengambilan data sekunder dilakukan pada Oktober 2019 dengan total subjek penelitian 295. Pemeriksaan kualitatif VMA dalam urin dilakukan dengan metode spot test. Hasil pemeriksaan positif menunjukkan kadar VMA dalam urin > 8 mg/24 jam, sedangkan hasil negatif menunjukkan kadar VMA dalam urin  8 mg/24 jam. Kriteria inklusi berupa data subjek dengan diagnosis sementara neuroblastoma, pheochromocytoma, dan paraganglioma. Hasil: Proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin dalam penelitian ini adalah 14,2% (IK95%, 10,2 – 18,2%). Analisis hubungan VMA dalam urin dengan usia memberikan hasil p 0,023. Analisis hubungan VMA dalam urin dengan jenis kelamin menunjukkan hasil p 0,885. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan usia dan tidak terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan jenis kelamin.

Kata kunci: Vanillylmandelic Acid, Tumor Neuroendokrin, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.

......Background: Cancer prevalence in Indonesia increased to 1.8 per 1000 population in 2018. Early diagnosis is needed to reduce mortality rate. One of the ways to diagnose tumors is by examining tumor markers, such as vanillylmandelic acid (VMA). VMA is catecholamine metabolites which will increase their production in several neuroendocrine tumors. Catecholamine level can be influenced by age and gender. There is no data about proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors in Jakarta and the association of VMA in urine with age and gender. Objective: The objective of this study was to determine the proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors and its association with age and gender. Methods: This study used a cross-sectional study design. Secondary data were collected in the form of VMA examination forms and result sheets from patients with suspected neuroendocrine tumors in the period 2010 to April 2019. Data were obtained from the Department of Biochemimstry and Molecular Biology, FKUI. Collection of secondary data conducted in October 2019 with a total of 295 study subjects. Qualitative examination of urinary VMA used spot test method. Positive examination result  showed levels of VMA in urine >8mg/24 hours, while negative result showed levels of VMA in urine  8mg/24 hours. Inclusion criteria were subject data with a provisional diagnosis of neuroblastoma, pheochromocytoma, and paraganglioma. Results: The proportion of positive VMA in urine of suspected neuroendocrine tumor patients in this study was 14,2% (CI95%, 10,2 – 18,2%). Analysis of the association between VMA in urine and age result was p value 0,023. P value form analysis of the association between VMA in urine and gender was 0,885. Conclusion: There is an association between VMA in urine with age and there is no association between VMA in urine with gender.

Keywords: Vanillylmandelic Acid, Neuroendocrine Tumors, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Retno Yova Meidina
"Latar Belakang: Batu empedu merupakan penyakit yang sering dijumpai di negara-negara Barat. Namun dengan adanya perubahan sosial ekonomi, penyakit ini mulai ditemukan juga di negara berkembang. Komposisi batu empedu dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.
Tujuan: Mengetahui distribusi komposisi batu empedu dan hubungannya dengan umur dan jenis kelamin di Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan jumlah sampel 230 sampel data analisis komposisi batu empedu di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI. Data dianalisis menggunakan SPSS tipe 20 menggunakan uji Mann Whitney untuk melihat hubungan antara kelompok umur terhadap komposisi Fe, pigmen empedu, dan fosfat serta uji chi square untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan komposisi batu empedu dan untuk melihat hubungan antara kelompok umur dengan komposisi. kolesterol, kalsium, dan karbonat.
Hasil: Batu empedu paling banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria (1,7:1) dan pada kelompok usia 40-49 tahun (27,00%). Komposisi yang paling banyak ditemukan adalah kolesterol (83,91%). Hubungan antar kelompok umur terhadap komposisi kolesterol menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05) tetapi tidak signifikan (p>0,05) terhadap komposisi lainnya. Hubungan antara jenis kelamin dan komposisi batu empedu menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0,05).
Kesimpulan: Kolesterol merupakan komposisi batu empedu yang paling umum. Wanita dan kelompok usia yang lebih tua adalah orang-orang yang paling menderita dari batu empedu. Ada hubungan antara kelompok umur dengan komposisi kolesterol tetapi tidak pada komposisi lainnya. Juga tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan komposisi batu empedu.
Background: Gallstones are a disease that is often found in Western countries. However, with the socio-economic changes, this disease began to be found also in developing countries. The composition of gallstones can be affected by age and gender.
Objective: To determine the distribution of gallstone composition and its relationship with age and sex in Jakarta.
Methods: This study was a cross-sectional study with a total sample of 230 samples of gallstone composition analysis data at the Laboratory of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine, Faculty of Medicine. Data were analyzed using SPSS type 20 using the Mann Whitney test to see the relationship between age groups on the composition of Fe, bile pigments, and phosphates and the chi square test to see the relationship between gender and gallstone composition and to see the relationship between age groups and composition. cholesterol, calcium, and carbonate. Results: Most gallstones were found in women compared to men (1,7:1) and in the 40-49 year old group (27.00%). The most common composition found was cholesterol (83.91%). The relationship between age groups on cholesterol composition showed significant results (p<0.05) but not significant (p>0.05) against other compositions. The relationship between gender and gallstone composition showed insignificant results (p>0.05). Conclusion: Cholesterol is the most common composition of gallstones. Women and older age groups are the ones who suffer the most from gallstones. There is a relationship between age group with cholesterol composition but not on other compositions. There was also no relationship between gender and gallstone composition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>