Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizkina Aliya
Abstrak :
Penelitian ini bermaksud untuk menelisik apakah norma hukum Indonesia yang ada mampu mengakomodasi dan mengamankan perempuan dari manifestasi kekerasan seksual yang lahir dari perkembangan teknologi. Suatu bentuk kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi adalah non-consensual pornography, yakni penyebaran konten bermuatan seksual tanpa persetujuan dari pemilik, pembuat, dan/atau subyek yang berada dimuat dalam konten tersebut. Terbilang bahwa peraturan perundang-undangan yang sekarang ada berkaitan dengan penyebaran konten pornografi tanpa persetujuan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang- Undang Nomor 19 tahun 2016 (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Dengan menggunakan teori hukum feminis untuk membedah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, beberapa putusan pengadilan serta pengalaman para korban pornografi tanpa persetujuan, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah produk hukum yang ada telah menginternalisasi pengalaman para korban perempuan dan memungkinkan mereka untuk mengakses keadilan secara substantif. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun Indonesia sudah memiliki regulasi terkait penyebaran muatan pornografi tanpa persetujuan, namun hukum belum bisa menjamin akses pada keadilan yang berkelanjutan bagi perempuan korban sebab hukum yang ada masih acuh terhadap konsep “persetujuan”, “privasi” serta trauma yang dirasakan oleh korban dan memandang tindakan tersebut sebagai pelanggaran rasa kesusilaan masyarakat belaka. Kerangka hukum yang demikian belum bisa memulai perubahan sikap yang bersifat strategik dan berjangka panjang untuk menghapus ketidakadilan sistemik yang dihadapi oleh para perempuan korban kekerasan. ......This research aims to explore whether or not existing Indonesian law can accommodate and protect women from forms of sexual violence that are born from technological development, such as non-consensual pornography. As a form of technology facilitated sexual violence, non-consensual pornography is the dissemination/distribution of sexually explicit content without the consent of the owner, producer and/or subject portrayed within the content. Indonesian regulations relevant within the discourse include the Indonesian Penal Code (KUHP), Law No. 11 of 2008 as has been revised by Law No. 19 Year 2016 on Electronic Information and Transactions (UU ITE), and Law No. 44 of 2008 on Pornography (UU Pornografi). By utilizing feminist legal theories and methodologies to analyze laws, court decisions, and victims’ experiences, this research aims to discover whether the law has successfully internalized the experiences of women victims and enabled them to access substantive justice. This research found that although Indonesia already has a number of different regulations pertaining to non-consensual pornography, it is unable to ensure that women have sustainable access to justice as the law still ignores the concept of “consent”, “privacy”, as well as the harms sustained by the victim, and continues to perceive it as a violation of society’s standards of decency as opposed to an act of sexual assault. Such a legal framework is unable to initiate strategic long-term norm changes to eradicate the systemic injustice experienced by sexual violence victims.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ricky Trianto
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh kompensasi, pengembangan karir, dan kepuasan kerja terhadap aircrew turnover intention pada direktorat kepolisian udara. Personel aircrew meliputi pilot, pramugari, dan mekanik yang keberadaannya sangat penting untuk mendukung fungsi operasional kepolisian di Indonesia. Aircrew turnover intention dapat mempengaruhi efektivitas direktorat kepolisian udara khususnya dalam memberikan pelayanan kepada unit operasional di lingkungan organisasi kepolisian. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 222 aircrew yang terdiri dari pilot,pramugari dan tenaga mekanik di direktorat kepolisian udara. Sampel tersebut dipilih menggunakan Teknik purposip random sampling sederhana dari populasi total aircrew yang ada pada direktorat kepolisian udara. Pengumpulan data untuk kompensasi, pengembangan karir, kepuasan kerja dan turnover intention menggunakan skala Likert dengan 5 skala. Analisis regresi berganda digunakan untuk menguji pengaruh kompensasi, pengembangan karir dan kepuasan kerja terhadap turnover intention pada direktorat kepolisian udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan karir mempunyai korelasi yang paling kuat terhadap turnover intention(r= 0.619;p <0.05). Sementara kompensasi menunjukkan korelasi yang lemah terhadap turnover intention (r= 0.243; p<0.000) dan kepuasan kerja juga menunjukkan pengaruh yang lemah terhadap turnover intention (r=0.090; p<0.06). Secara keselurhan kompensasi, pengembangan karir dan kepuasan kerja memberikan kontribusi sebesar 79.7% terhadap aircrew turnover intention (R adjusted square= 0.797; p< 0.05). Kesimpulan bahwa kebijakan pengembangan karir dan kompensasi untuk aircrew perlu dikembangkan yang berbeda dengan karakteristik peraturan pegawai negeri pada umumnya. Untuk menghindari turnover intention, kebijakan pengembangan karir dan kompensasi harus menarik dan kompetitip untuk menjaga agar tenaga aircrew dapat dipertahankan bekerja pada direktorat kepolisian udara. Kebijakan pengembangan karir aircrew dan kompensasinya akan berpengaruh terhadap peningkatan kepuasan kerja dan kompetensi aircrew. ......This research was undertaken to investigate the effect of compensation, career development and job satisfaction toward the aircrew turnover intention at directorate of air police. Aircrew consists of pilots, stewardess and mechanics were important to support the operational function of the police within the country. Aircrew turnover intention could affect the effectiveness the directorate of air police especially to serve the other unit operational functions within the police organization. The sample involved 222 aircrew which consisted of pilot, stewardess and mechanics at the directorate of air police. The samples were selected using simple purposive random sampling technique. The collection of data for compensation, career development, job satisfaction and turnover intention used questionnaire with Likert five scales. Multiple regression analysis was employed to examine the effect compensation, career development, and job satisfaction to the aircrew turnover intention at directorate of air police. The results showed that career development had the strongest significant correlation with the aircrew turnover intention (r=0.619; p< 0.05). While the compensation indicated a weak correlation to the aircrew turnover intention (r= 0.243; p< 0.000) and the job satisfaction had also weak correlation to the aircrew turnover intention (r= 0.090; p< 0.006). The overall contribution of compensation, career development and job satisfaction to the aircrew turnover intention was 79.7% (R adjusted square= 0.797; p< 0.05). It could be concluded that career development and compensation policy for aircrew should be developed which is different from the characteristic of public employees in general. To avoid the aircrew turnover intention, the career development and compensation policy should be attracted and competitive to retain the aircrew working at directorate of air police. The overall policy for aircrew career development and compensation will lead to the improvement of aircrew job satisfaction.
Jakarta: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T55476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roirlke Mardiana Bewinda
Abstrak :
Kehidupan di kota Jakarta begitu kontras. Bahkan bila kita melihat grafik atau data di kantor milik aparat keamanan, di tiap sudut kota maka akan terlihat, bagaimana tingkat kriminalitas begitu tampak nyata hadir dalam kehidupan masyarakat kota metropolitan ini. Michel Faucault, seorang ahli sosiologi mengatakan bahwa 'No crime mean no police'. Keduanya saling membutuhkan kehadiran satu dan yang lain, tetapi juga saling bertolak belakang berlawanan. Lalu bagaimana mungkin mewujudkan tindak kriminalitas yang sama sekali bersih di lingkungan masyarakat, bila dalam artikel pemberitaan dan televisi masih tersiar kabar setiap hari tentang krimalitas yang berbahaya di sisi lain yang digambarkan oleh media. Bagi Bordieu komunikasi merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan simbolis di mana terwujud hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra atau lawan bicara dalam suatu komunitas (Bourdieu,1982:14). Dan hubungan sosial adalah hubungan dominasi yang ditandai oleh interaksi simbolis. Serta dalam komunikasi melibatkan pengetahuan dan kekuasaan(Haryatmoko,2010). Dan bagaimana masyarakat memaknai ini semua Pemalakan, perkelahian, penyiksaan, penghakiman warga oleh tetangga sendiri, kekerasan yang dipicu oleh pengunaan narkotika dan obat terlarang, tindakan sewenang-wenang aparat keamanan yang terjadi di sekitar lingkungan kita adalah juga tindakan kekerasan yang dapat membawa dampak pada tiap-tiap pribadi. Yang kemudian peristiwa-peristiwa itu tersimpan dalam ingatan masing-masing orang, lalu menimbulkan pemaknaan tersendiri sehingga hubungan antar sesama manusia menjadi berubah dari keadaan yang tertata sebelumnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana memahami budaya takut yang terjadi dalam kehidupan bertetangga dalam ingatan yang tersisa dari peristiwa kekerasan yang pernah dialami warga penghuni kompleks Permata dan bagaimana warga memaknainya. Penelitian ini dilakukan di Kompleks Permata, Jakarta Barat dari Juni 2009 hingga Mei 2010. Mengunakan metode penelitian kualitatif ethnography dan pelaksanaan partisipasi observasi di lapangan selama kurang lebih 2 bulan. Dari hasil penelitian ini diketahui, budaya takut yang didapat dari ingatan kolektif terhadap peristiwa kekerasan yang terjadi menjadikan masyarakat sebagai subordinate di lingkungan tersebut melakukan resistensi dalam beragam bentuk terhadap dominasi oleh pihak dominant, baik pada aparat keamanan maupun kepada tetangga di lingkungannya sendiri. Atau kompromi atas kehadiran kekerasan di lingkungannya. Untuk itulah diperlukan adanya perubahan untuk membantu masyarakat warga kompleks Permata dalam mengatasi permasalahannya.
The life in Jakarta city are so contrast, even if we looked at the charts or data in the security forces office it will shown that now the crime rate seemed truly has become a part of the lives of the metropolis people in every corner of the city. Michel Faucault, a sociologist said that no crime means no police that both needs each others presence, but always conflicting and in a contacting position to one another. But then how we achive a clean society without any acts of criminality, when everyday the media, both printed or televisions are broadcasting news about dangerous criminal and describing it from a bad angle. For Bordieu, communication is an exchange languanges that took place as symbolic of power relations where the true streght of the relationship between the speker and the partner or the other person within the community ( Bourdieu,1982:14). And that a social relations are characterized by the dominance relation of symbolic interaction. And that in communications involved both knowledge and power( Haryatmoko,2010). How does people interpret's it all? Robbery, fights,torture, citizens judgemented their own neighbors, violence triggered. By the used of drugs and narcotics, arbitrary actions by security forces that has an impact on each individuals. Which will be stored in each person's memories and it will developed its own meaning, so the relationship between fellow human beings changed from the orderly state it was. This study aimed to have an understanding about the culture of fear which accured in the neighborhood life of Kompleks Permata and the remaining memories of them experiencing violence incidents, and how they interpret it. This research was conducted in Kompleks Permata West od Jakarta starting June of 2009 until May of 2010. Using ethnography qualitative research methods and an implementation of participating field observation for an approximately two months. The results of this research noted that the scared cultures derived from the collective memories of the violent events that accured as a subordinate within the community to preforn in various forms of resistancy against the domination of the dominant party, from the security forces and as well from the neighborhood. Or compromising of presence of violent in the neighborhood. That's why it is necessary of transforming the environment to help the society of Kompleks Permata in addressing their problems.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27893
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Yovia
Abstrak :

Prostitusi merupakan permasalahan yang pelik di Indonesia. Di Indonesia, peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan prostitusi selalu dikaitkan dengan isu moral dan agama. Padahal seyogianya, prostitusi juga melibatkan pekerja seks sebagai pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, karena perempuan rentan dalam prostitusi. Kebijakan rehabilitasi sosial merupakan kebijakan yang muncul lebih atas dasar agama dan moralitas ketimbang perlindungan bagi perempuan. Dalam penelitian ini, pembahasan mencakup ditelaahnya prostitusi dalam segi peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga memberikan ruang bagi suara perempuan pekerja seks yang sedang menjalani rehabilitasi sosial. Hal ini untuk melihat dan pada akhirnya mengambil kesimpulan tepat atau tidak tepatnya kebijakan rehabilitasi sosial yang berlaku sekarang untuk menanggulangi prostitusi. Adapun konsep yang digunakan adalah feminist jurisprudence, khususnya sexual dominance model. Metode penelitian adalah yuridis-empiris. Hasil yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah bahwa rehabilitasi sosial bukan merupakan kebijakan yang tepat baik untuk menanggulangi atau menghapuskan prostitusi, maupun untuk menjaga ketertiban umum.


Prostitution is a complex problem in Indonesia. In Indonesia, regulations and policies relating to prostitution are always associated with moral and religious issues. Yet in fact, prostitution should also involve sex workers as stakeholders in policy making, because women are vulnerable in prostitution. Social rehabilitation policy is a policy that appears more on the basis of religion and morality than protection for women. In this study, the discussion includes the study of prostitution in terms of laws and regulations. The research also provides space for the voices of women sex workers who are undergoing social rehabilitation. This is to see and finally draw conclusions about the right or inaccurate social rehabilitation policies that apply now to tackle prostitution. The concept used is feminist jurisprudence, specifically the sexual dominance model. The research method is juridist-empiric. The results obtained from the writing of this thesis are that social rehabilitation is not an appropriate policy either to tackle or eliminate prostitution, or to maintain public order.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Valencia Katlea Rotua
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perlindungan hukum bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan modus Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) di Indonesia di tengah ketiadaan hukum yang secara spesifik mengaturnya. NCII merupakan tindakan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Tindakan ini merupakan bentuk KBGO yang kerap terjadi kepada anak perempuan di bawah umur. Motif dari NCII umumnya dimulai dengan jalinan hubungan romantis, perekaman konten intim tanpa konsen maupun dengan konsen, sehingga berujung dengan pengancaman serta penyebaran konten intim tersebut tanpa persetujuan korban. Di Indonesia NCII masih diatur dalam konteks yang terbatas, yaitu hanya pada Pasal 14 ayat (1) UU TPKS tentang perekaman konten intim tanpa persetujuan, dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang mentransmisikan konten bermuatan asusila. Melalui penelitian ini, Penulis menemukan bahwa walaupun undang-undang Indonesia telah mengatur mengenai unsur tindak pidana NCII, akan tetapi pelaksanaannya terkadang masih belum optimal. Dalam suatu perkara NCII, biasanya terdapat beberapa unsur perbuatan lain yang memenuhi kriteria sebagai tindak pidana. Namun, pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku hanya unsur tindak pidana penyebaran konten bermuatan asusilanya saja. Hal ini berpotensi merugikan korban dalam mendapat keadilan. Oleh karena itu, melalui metode socio-legal, penelitian ini mengkaji bagimana penanganan perkara NCII yang paling ideal dapat memberikan keadilan serta perlindungan bagi korban. Penyelesaian jalur hukum bukanlah hal yang mudah bagi korban, sebab terdapat stigma dari masyarakat, sekolah, bahkan APH yang memperburuk situasi korban. Oleh karena itu korban NCII, terutama anak di bawah umur membutuhkan perlindungan lebih dalam menempuh penyelesaian jalur hukum, mulai dari proses pelaporan, persidangan, hingga pemulihan. Dalam memberikan keadilan bagi korban, diperlukan peran APH yang berperspektif korban. Selain keadilan, korban NCII anak di bawah umur juga membutuhkan pemulihan dan penanganan pasca-kejadian agar korban dapat kembali beraktivitas layaknya anak pada umumnya. Selain itu, penanganan korban NCII juga membutuhkan sinergisitas antara lembaga-lembaga sosial terkait. Pemerintah, APH, dan lembaga sosial harus bahu-membahu dalam pencegahan dan penanganan perkara-perkara NCII yang dialami korban anak di bawah umur untuk mencapai keadilan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban. ......This research aims to explore how legal protection is for victims of Online Gender Based Violence (KBGO) using the Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) mode in Indonesia amidst the absence of laws that specifically regulate it. NCII is an act of distributing intimate content without consent. This action is a form of KBGO which often occurs to underage girls. The motives for NCII generally start with a romantic relationship, recording intimate content without consent or with consent, which ends with threats and distributing intimate content without the victim's consent. In Indonesia, NCII is still regulated in a limited context, namely only in Article 14 paragraph (1) of the TPKS Law concerning recording intimate content without consent, and Article 27 paragraph (1) of the ITE Law concerning transmitting immoral content. Through this research, the author found that although Indonesian law has regulated the elements of NCII criminal acts, its implementation is sometimes still not optimal. In an NCII case, there are usually several other elements of the act that meet the criteria for a criminal act. However, the punishment imposed on the perpetrator is only an element of the crime of spreading immoral content. This has the potential to harm victims in getting justice. Therefore, through socio-legal methods, this research examines how the most ideal handling of NCII cases can provide justice and protection for victims. Resolving legal action is not an easy thing for victims, because there is stigma from society, schools, and even law enforcement officers which worsens the victim's situation. Therefore, NCII victims, especially minors, need more protection in pursuing legal remedies, starting from the reporting process, trial, to recovery. In providing justice for victims, a law enforcement officer’s role with a victim perspective is needed. Apart from justice, minor NCII victims also need post-incident recovery and treatment so that victims can return to their activities like children in general. Apart from that, handling NCII victims also requires synergy between related social institutions. The government, law enforcement officers, and social institutions must work together in preventing and handling NCII cases experienced by minor victims to achieve justice, protection, and recovery for victims.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinawati Prihatiningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Fokus dari tesis ini adalah memaparkan perjuangan perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA) yang terdiskriminasi untuk akses hak atas tanah apabila tidak mempunyai perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan. Penelitian tesis ini menggunakan metodologi kualitatif berperspektif feminis yang diperkuat dengan tiga teori yaitu feminisme multikultural, teori hukum feminis dan teori akses keadilan. Ada tiga temuan penelitian. Temuan pertama, ketentuan syarat adanya perjanjian perkawinan akses hak atas tanah adalah diskriminatif dan menempatkan perempuan WNI dalam perkawinan campuran dalam posisi yang dilematis, untuk memilih akses pada hak tanah atau harta bersama. Kedua adalah ditemukan upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan dan hambatan akses hak atas tanah, ada yang disebut sebagai penyelundupan hukum dan atau ada yang menyebut sebagai terobosan hukum. Ketiga adalah perlu adanya rasa persaudaraan yang solid untuk bersatu dalam memperjuangkan tujuan politis organisasi, yaitu menghapuskan ketentuan hukum yang diskriminatif bagi perempuan WNI dalam perkawinan campuran dengan cara untuk terlibat dan dilibatkan terus dalam menyuarakan suara dan pengalaman perempuan untuk pemulihan ?persamaan hak di muka hukum?
ABSTRACT
This research aims to explore the struggles of Indonesian women who are discriminated because they marry to foreigners to access their rights to own land, unless they have established a notarized prenuptial agreement. This research adopts perspectives of multicultural feminism, feminist legal theory, and access to justice theory by applying qualitative methods. This research found three findings. First finding is that not all women knew the law stating a condition to have a notarized prenuptial agreement to access their rights to land ownerships. The prenuptial agreement is a discriminative act by the Indonesian government; it may put women in dilemmatic situation either to choose access to land ownership rights or access to joint marital property. The second finding is to face the obstacles, they make do things that some say illegal, but others consider a legal breakthrough. The third finding is as the principle of ?equality before the law? is not applicable in practice. They seek remedies for their rights, by making their voices heard and by establishing a solid sisterhood to strengthen one another for developing political solidarity for the movement to change discriminative laws.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library