Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitorus. Friyanka H. D.
"Skripsi ini membahas tentang hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki. Subyek penelitian berjumlah 87 mahasiswa laki-laki berusia 19 sampai 25 tahun. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara frekuensi kekerasan yang dilakukan dalam pacaran dan keterampilan sosial, dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.290 (p < 0.01). Kemudian, didapati juga hubungan negatif yang signifikan antara frekuensi kekerasan yang dialami dalam pacaran dan keterampilan sosial, dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.219 (p < 0.05). Dimensi - dimensi keterampilan sosial yang paling berkontribusi dalam kekerasan adalah emotional control dan social control.

The focus on this study is whether there is correlation between dating violence and social skills in male university students. Subjects were 87 male university students with age ranging from 19 to 25. This is a quantitative study with correlational design. The result of this study suggested that perpetration of dating violence have significantly negative correlation with social skills, in which r = 0.290 (p < 0.01). There is also found significantly negative correlation between victimization of dating violence and social skills, in which r = 0.219 (p < 0.05). Finally, the dimensions of social skills which have the biggest contribution to dating violence are emotional control and social control."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45455
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Amalina Aryani
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self-esteem pada mahasiswa laki-laki yang menjalankan hubungan heteroseksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan alat ukur Revised Conflict Tactics Scale 2 yang dikembangkan oleh Straus, dkk. (1996) untuk melihat kekerasan dalam pacaran yang terjadi dan alat ukur self-esteem, yaitu Rosenberg Self-Esteem Scale yang dikembangkan oleh Rosenberg (1965). Data penelitian diolah dengan menggunakan teknik statistik Pearson Product-Moment Correlation. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 87 orang mahasiswa laki-laki dengan rentang usia 18-25 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kekerasan dalam pacaran, baik yang dilakukan maupun dialami, dan self-esteem pada mahasiswa laki-laki.

This research was conducted to find the relationship between dating violence and self-esteem among male university student who have a heterosexual relationship. This research used a quantitative approach and using the Revised Conflict Tactics gauge 2 Scale developed by Straus et al. (1996) to see the violence that occurs in dating and measuring self-esteem by using the Rosenberg Self-Esteem Scale developed by Rosenberg (1965). Data was analyzed using Pearson Product-Moment Correlation technique. Participants in this research were 87 male students aged 18-25 years old.
The results showed that there is no significant correlation between dating violence, whether committed and experienced by participants, and self-esteem in male college students.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Regina Yolandasari
"Kecenderungan untuk menyalahkan korban perkosaan sebagai penyebab terjadinya perkosaan merupakan suatu hambatan besar bagi mereka untuk memperoleh keadilan. Rape myth acceptance, sebagai faktor mendasar yang memungkinkan kecenderungan tersebut tumbuh, dapat membuat pihak berwajib kehilangan objektivitasnya ketika menghadapi kasus, dan membuat dukungan orangtua terhadap anak yang menjadi korban berkurang. Dengan menggunakan nonequivalent group design, studi ini berusaha mencari tahu apakah terdapat perbedaan rape myth acceptance antara kelompok orangtua yang memiliki anak perempuan berusia dewasa muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Jakarta dan sekitarnya. Sebanyak 34 orang dari masing-masing kelompok partisipan tersebut diminta mengisi alat ukur yang merupakan adaptasi dari Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara kedua kelompok (t= -1,439, p>0,05). Temuan ini mengindikasikan bahwa intervensi sikap terhadap perkosaan, korban, dan pelakunya perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat rape myth acceptance baik pada orangtua maupun polisi. Jika tidak, korban perkosaan akan lebih sulit melaporkan kasusnya dan memperoleh keadilan hukum untuk tindak perkosaan yang menimpanya.

The tendency to blame rape victims as the cause of the rape itself is a big obstacle that prevent them to experience justice. Acceptance of rape myths, as the underlying factor that enable the tendency to grow, can make the authority to lose his objectivity in dealing with the case, and parents to be less supportive toward their victim daughter. Using the nonequivalent group design, this study is intended to find out if there is a difference in rape myth acceptance between parents of young adulthood daughter and police in women and children service unit (PPA) in Jakarta and the surrounding areas. As many as 34 subjects for each group were asked to fill the adaptation of Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS). Results show that there is no significance difference in the rape myth acceptance between the two groups (t= -1,439, p>0,05). This finding suggests that an intervention should be made to decrease the rape myth acceptance in both parents and police officers. Otherwise, rape victims may find it difficult to report their cases and also can not experience justice."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adista Salsabila Ghinathufailah Karnia
"TikTok semakin popular di kalangan mahasiswa di seluruh dunia. Tingginya frekuensi penggunaan TikTok disebabkan oleh konten yang terus muncul akibat dari algoritma berdasarkan isi konten yang diakses oleh pengguna. Penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara frekuensi mengakses TikTok dengan kondisi kesehatan mental mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara frekuensi penggunaan TikTok,selfesteem, dan conscientiousness pada mahasiswa internasional di Universitas Quenssland. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tipe korelasional dan desain crosssectional. Partisipan terdiri dari 381 mahasiswa internasional di Universitas Queensland, dengan rentang usia 18 hingga 24 tahun. Pengambilan data dilakukan secara daring dengan teknik sampling aksidental. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif yang signifikan secara statistik antara frekuensi penggunaan TikTok dan self-esteem . Selanjutnya, peneliti juga menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan secara statistik antara frekuensi konsumsi TikTok dan conscientiousness. Hasil ini memberikan gambaran tentang aspek psikologis yang relevan untuk memahami pengguna TikTok sebagai dasar intervensi.

TikTok's popularity among students globally is soaring due to its algorithm-driven content generation. Research has linked frequent TikTok use with students' mental health. This study investigated the link between TikTok use frequency, self-esteem, and conscientiousness among 381 international students (aged 18-24) at the University of Queensland. Using a qualitative, correlational, cross-sectional approach, data was collected online via accidental sampling. Results indicated a significant negative correlation between TikTok consumption and self-esteem. Similar result was also found significant negative correlation between TikTok consumption and conscientiousness. These findings provide prospective insights on psychological aspects crucial for interventions aimed at understanding TikTok users better."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Nurdiana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan lingkungan pengasuhan suportif dan abusif dengan penyalahgunaan narkoba pada pria dewasa awal. Penelitian dilakukan dengan membandingkan persepsi individu terhadap lingkungan pengasuhan orang tua antara kelompok penyalah guna narkoba dengan yang bukan penyalahguna. Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah 69 orang dengan komposisi sejumlah 29 orang untuk kelompok penyalah guna narkoba dan 40 orang untuk kelompok bukan penyalah guna. Alat ukur EASE-PI (The Exposure to Abusive and Supportive Environments Parenting Inventory) digunakan untuk melihat lingkungan pengasuhan suportif dan abusif yang diberikan oleh orang tua partisipan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada lingkungan pengasuhan suportif-baik dari ayah-antara kelompok penyalah guna narkoba dan bukan penyalah guna, di mana kelompok penyalah guna memiliki rata-rata skor lingkungan suportif yang lebih rendah dibanding dengan mereka yang bukan penyalah guna. Namun, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada skor lingkungan pengasuhan suportif dari ibu antara kedua kelompok. Selain itu, persepsi terhadap lingkungan abusif dari ayah dan ibu pada kelompok penyalah guna narkoba cenderung lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan kelompok bukan penyalah guna.

This study examined the relationship between the exposure to abusive and supportive parenting environments and substance abuse in a sample of emerging adults male. The study conducted by comparing individual's perceptions of parenting environments between substance abusers and non abusers. The participants involved in this study were 69 emerging adults which consisted of 29 substance abusers and 40 non abusers. The Exposure to Abusive and Supportive Environments Parenting Inventory (EASE-PI) was used to measure the level of exposure to supportive and abusive environments the participant's parent provided.
Results of the research show that there are significant differences in supportive parenting (paternal) between the two groups, where the mean score tend to be lower among substance abusers than among non abusers. Meanwhile there are no significant differences in maternal score for supportive parenting between the two groups. Moreover, both perceived paternal and maternal abusive parenting tend to be significantly higher among substance abusers than non abusers.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Maharani
"Coping stress merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi remaja untuk melakukan kekerasan seksual. Beberapa penelitian menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual memiliki coping stress yang tidak efektif dalam menghadapi stres yang dialaminya, sehingga
cenderung memilih untuk melakukan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk coping stress. Kemampuan coping stress yang tidak efektif ini dapat memperbesar kemungkinan seseorang melakukan residivisme di masa depan, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan yang mampu
memperbaiki kemampuan coping stress yang dimiliki remaja pelaku kekerasan seksual.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan intervensi berbasis Good Lives Model (GLM) yang menekankan pada kekuatan atau faktor protektif yang dimiliki oleh individu. Intervensi ini akan dilakukan dalam bentuk kelompok yang bertujuan untuk mengubah coping stress remaja pelaku kekerasan seksual yang tidak efektif (emotion-focused dan avoidance-focused) menjadi lebih efektif (task-focused). Hal ini kemudian diharapkan dapat mengurangi kemungkinan remaja pelaku kekerasan seksual akan melakukan re-offending di masa depan.
Desain penelitian ini adalah quasi experimental yang dilakukan pada 6 partisipan remaja laki-laki pelaku kekerasan seksual berusia 17-19 tahun. Intervensi dilakukan sebanyak 5 sesi dalam jangka waktu 1 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh partisipan mengalami perubahan coping stress yang dimilikinya, terutama secara kognitif dalam evaluasi kualitatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa intervensi dalam bentuk kelompok memberikan efek keterbukaan dan kebersamaan yang dirasakan oleh seluruh partisipan.

Coping stress is considered as one of the factor that contributes in juvenile sex offending. Several studies have found that juvenile sex offender have ineffective coping stress in dealing with stress they experienced. They tend to commit sexual violence as a form of coping with stress. One of the approach intervention that quite successful to change coping stress is Good Lives Model (GLM). This approach emphasizes the strengths or protective factors that are owned by individuals. Studies found that sex offender in strength-based intervention have lower rate of re-offending compared to sex offender in general risk-based intervention.
In this study, the GLM approach (Good Lives Model) will be conducted in the form of group intervention aimed to change ineffective juvenile sex offender’s coping stress (emotion focused and avoidance-focused) to be more effective (task-focused). It is then expected to reduce the likelihood of juvenile sex offenders will re-offending in the future.
This study design is quasi-experimental. Participants involves were six male prisoners aged 17-19. Interventions conducted in 5 sessions in a period of 1 month. Results in qualitative evaluation showed that all participants experienced a change in the coping stress, especially cognitively. This study also found that group intervention have therapeutic effect such as openness and togetherness that felt by all participants.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Rahayu
"ABSTRAK
Survei menunjukkan bahwa 15 dari 20 orang mahasiswa memilih tidak melaporkan free-rider dalam pengerjaan tugas kelompok meski diberikan keleluasaan dalam sistem peer evaluation. Motif melakukan tindakan yang tidak sesuai aturan demi melindungi orang lain ternyata juga terjadi dalam konteks legal berbentuk false confess. False confession diartikan sebagai pengakuan terhadap tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Innocence project (organisasi yang membantu orang-orang tidak bersalah yang terjerat kasus salah tangkap) mencatat bahwa 15-20% kasus yang mereka tangani terkait dengan insiden false confession. Perillo dan Kassin (2011) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor risiko yang melatar-belakangi seseorang untuk memberikan confession, pertama adalah kerentanan disposisional (psikologis), yaitu kerentanan yang merupakan bawaan dari tersangka, seperti usia atau kepribadian. Kedua, yaitu faktor situasional yang berkaitan dengan kondisi penahanan dan interogasi. Faktor situasional yang dimaksud salah satunya adalah alat bukti (Gudjonsson, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat apakah faktor disposisional (suggestibity) atau faktor situasional (false evidence) yang lebih mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam memberikan false confession pada konteks non legal. Dengan menggunakan Gudjonsson Suggestibility Scale (1984) dan computer-crash paradigm dari Kassin dan Kiechel (1999) yang telah dimodifikasi, didapatkan kesimpulan bahwa faktor situasional (false evidence) lebih kuat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memberikan false confession.

ABSTRACT
Survey shows that 15 of 20 students chose not to report the free-rider in the execution of the task group even if given the flexibility in the system through peer evaluation. Motives to protect other people also occured in legal context. False confession interpreted as confession of certain actions that do not correspond to the reality. Innocence Project (an organization that helps innocent people who are wrongfully convinced and imprisoned) noted that 15-20% of the cases they deal related to false confession incident. Perillo and Kassin (2011) states that there are two risk factors underlying people to give confession. First, the dispositional vulnerability (psychological), namely the vulnerability that is inherited from the suspect, such as age or personality. Second, the situational factors relating to the conditions of detention and interrogation. One of them is evidence (Gudjonsson, 2003). Therefore, this research wanted to see whether the dispositional factors (suggestibity) or situational factors (false evidence) influence a person's motive to give a false confession to the non-legal context. By using Gudjonsson Suggestibility Scale (1984) and modified computer-crash paradigm, it shows that the situational factors (false evidence) stronger to influence a person's tendency to give a false confession."
2016
S62760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Bona S.H.
"Latar Belakang: Mahasiswa yang memiliki self-esteem tinggi cenderung lebih mampu melakukan penyesuaian diri sehingga memiliki prestasi akademis yang lebih baik. Mereka juga akan lebih mampu mengatasi permasalahan dalam dunia perkuliahan sehingga secara otomatis menurunkan level distres psikologis.
Metode: Penelitian dilakukan secara quasi experimental. Delapan mahasiswa Universitas Indonesia berusia antara 18-23 tahun yang memiliki tingkat self-esteem di bawah 29 berdasarkan alat ukur Rosenberg Self-Esteem Scale dan memiliki level distres psikologis di atas 1.75 berdasarkan alat ukur HSCL-25 menjadi subyek penelitian. Kepada mereka diberikan intervensi pelatihan peningkatan self-esteem selama dua hari berturut-turut yang terdiri dari 5 sesi utama. Pelatihan dilakukan selama ± 6 jam per harinya. Empat minggu setelah pelatihan hari kedua, dilakukan wawancara dan pengukuran pasca intervensi menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale dan HSCL-25.
Hasil: Berdasarkan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi pelatihan, diketahui bahwa tujuh partisipan mengalami peningkatan self-esteem, satu partisipan mengalami penurunan self-esteem, tujuh partisipan mengalami penurunan level distres psikologis, dan satu partisipan mengalami peningkatan level distres psikologis.
Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan bahwa intervensi pelatihan dinilai berhasil dalam meningkatkan self-esteem dan menurunkan level distres psikologis mahasiswa Universitas Indonesia. Partisipan juga menyampaikan bahwa mereka memperoleh informasi baru mengenai self-esteem dan keterampilan baru berkomunikasi secara asertif dan berpikir positif.

Background: Undergraduate student with high self-esteem level tends to have a good adjustment to college world, therefore they can achieve greater academic performance. They will also have the ability to deal with college problems and automatically decreasing their psychological distress level.
Method: Quasi experimental research was conducted. Eight Universitas Indonesia?s undergraduate students aged 18-23 years who had self-esteem level below 29 as measured by Rosenberg Self-Esteem Scale and had psychological distress level above 1.75 as measured by HSCL-25 became the subject of this research. They were involved in self-esteem building training intervention within two days in a row (@ approximately 6 hours), consisted of 5 main sessions. Four weeks after the second day of training, the level of self-esteem and psychological distress were measured using Rosenberg Self-Esteem Scale and HSCL-25.
Result: The measurements before and after the training intervention found that seven participants had an increase in self-esteem level, one participant had a decrease in self-esteem level, seven participants had decreased psychological distress level, and one participant had increased psychological distress level.
Conclusion: This study proves that the training intervention is effective in increasing the level of self-esteem and decreasing the level of psychological distress for Universitas Indonesia?s undergraduate students. Participants also commented that they acquired new knowledge regarding selfesteem and new skills to communicate assertively and think positively.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T30962
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Ariyanto
"Setelah refomnasi kepolisian di Indonesia berjalan selama sam dekadc, pelanggaran yang dilakukan oleh polisi masih texjadi. Salah satu bentuknya adalah perilaku kekerasan yang dalam istilah psikologi disebut perilaku agresi (Myers, 2000). Salah sam faktor utama yang mempengaruhi keoenderungan seseorang berperilaku agresif adalah ciri kepribadiannya (Anderson; dalam Baron & Byrne, 2000). Karakteristik kepdbadian dazi seseorang yang oenderung stabil dan konsisten disebut trait (dalam Lawrence & Oliver, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran trait kepribadian dan perilaku agresi pada polisi reserse. Penelitian dilaksanaksn di Polres Metro Bekasi dengan sampel b6ljI.lID]3h 69 orang. Penelitian ini dilakukan dengan pendelcatan penelitian kuantitatif yang mengglmakan alat ukur NEO - PI umtuk mengukur trait kepribadian dan aggression questionnaire dari Buss dan Pen-y (1992) yang telah diadaptasi dan dimodiiikasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Widyastuli (1996).
Hasil penelitian menunjukkan hahwa trait agreeableness cukup dominan tampil pada polisi neserse. Hal ini berarti polisi reserse di Polres Metro Bekasi cendcnmg menampilkan perilaku mempercayai orang, dermawan, mudah menerima, dan tampil baik_ Pcnelitian ini juga menemukan bahwa tingkat perilaku agresi dari polisi reserse di Polres Metro Bekasi tergolong nendah. Hal ini berani polisi reserse di Polres Metro Bekasi tidak menampilkan pelilaku agresi. Dinamika antara trait kepribadian dan perilaku agtesi ditunjukkan dengan ragam hubungan yang ter'di antaxa kedua variabel tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa trait neuroticivm memiliki hubungan yang positif dengan pcrilaku agresi. Trait artraversion, agreeableness dan conscientiousness hubungan yang negatifdengan pcrilaku agnssi.

After police forces has been reformed for one decade, police?s violation still happen. Violence and its many other forms has been discussed in psychology under aggressive behavior topics. There are many factors that contribute to the incidence of aggressive behavior, one of them is personality factors as an input variable that eH`ect the occurrence of aggressive behavior. Anderson (rn Baron & Byme, 2000) explained that individual diherences revealed through personality Factors. Personality characteristic that tend to be stable over time and consistent so-called trait (in Lawrence & Oliver, 2001).
The purpose of research is to understand the dynamic of personality traits and aggessive behavior on police detective. The research was held at Polres Metro Bekasi with 69 subject. This research conducted in quantitatively approach by using NEO - PI personality inventory that measures personality traits and aggression questionnaire from Buss and Perry (1992) that was adapted and modified into Bahasa by Widyastuti (1996).
This research showed that the most dominant trait in police detective is agreeableness trait. It means that they tend to trust others, generous, acceptance and good perfor-rn. This research also found that the level of aggressive behavior in police detective at Polres Metro Bekasi is low. lt means that they tend to behave in a non aggressive ways of conduct There are some significant relationship between personality traits and aggrewive behavior. This research found that neuroticism trait has positive relationship with aggressive behavior. Extraversion, agreeableness and conscientiousness trait has negative relationship with aggression behavior whereas openness to experience trait has no significant.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
T32117
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Ananda
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki. Partisipan penelitian ini berjumlah 301 orang yang terdiri dari remaja laki-laki di komunitas umum dan remaja laki-laki di lembaga pemasyarakatan. Pengukuran paparan terhadap kekerasan menggunakan alat ukur KID-Screen for Adolescent Violence Exposure (KID-SAVE) (Flowers et al., 2000) dan pengukuran sikap terhadap kekerasan menggunakan alat ukur Attitudes Towards Violence Scale (ATVS) (Funk et al., 1999).
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki (r = 0.442; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya, semakin tinggi paparan terhadap kekerasan yang dialami seseorang, maka semakin positif sikapnya terhadap kekerasan. Analisis tambahan menemukan perbedaan paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan yang siginifikan antara partisipan yang berada di komunitas umum dan di lembaga pemasyarakatan.

This research was conducted to find the correlation between exposure to violence and attitude toward violence among adolescent boys. The participants of this research are 301 adolescent boys who lived in general community and correctional institution. Exposure to violence was measured using an adaptation of KID-Screen for Adolescent Violence Exposure (KID-SAVE) scale (Flowers et al., 2000) and attitudes toward violence was measured using an adaptation of Attitudes Towards Violence Scale (ATVS) (Funk et al., 1999).
The results showed that there is a significant correlation between exposure to violence and attitude toward violence (r = 0.448; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). That is, the higher the exposure to violence experienced, the more positive one’s attitude toward violence. Additional analysis also find significant differences in exposure to violence and attitude toward violence between participants who lived in general community and correctional institution.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46803
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>