Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Andriyati
"

Latar belakang: Ruptur plak dan pembentukan trombus merupakan karakteristik plak pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST). Karakteristik plak tersebut rentan untuk terjadi trombosis kembali dan dapat memperlambat proses penyembuhan endotel pasca implantasi stent Durable Polymer Drug-Eluting Stents (DP-DES). Biodegradable Polymer Drug-Eluting Stents (BP-DES) memiliki biokompatibilitas yang lebih baik. Studi yang membandingkan luaran klinis kedua jenis stent tersebut pada pasien IMA-EST masih terbatas.

 

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan luaran klinis pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) menggunakan BP-DES dibandingkan dengan DP-DES generasi kedua dalam kurun waktu dua tahun.

 

Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Luaran klinis primer berupa major adverse cardiovascular events (MACE) yang terdiri dari kejadian infark miokard berulang, total repeat revascularization dan kematian kardiovaskular. Luaran klinis sekunder berupa trombosis stent baik definit, probable maupun possible.

 

Hasil: Total terdapat 400 pasien yang dianalisis (197 kelompok BP-DES dan 203 kelompok DP-DES). BP-DES berasosiasi dengan kejadian MACE (adjusted OR 0,67, 95% IK 0,21 – 0,91, p 0,005) dan trombosis stent yang lebih rendah (adjusted OR 0,62, 95% IK 0,19 – 0,73, p<0,016) dalam waktu dua tahun. Luaran klinis infark miokard berulang dan total repeat revascularization yang merupakan bagian dari luaran klinis komposit MACE, tidak didapatkan hubungan bermakna.

 

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kejadian MACE dan trombosis stent antara kelompok BP-DES dengan DP-DES generasi kedua dalam kurun waktu dua tahun pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, dimana BP-DES berasosiasi dengan luaran klinis yang lebih rendah.



Background: Plaque rupture and thrombus formation are characteristic of plaque in patients with ST segment elevation myocardial infarction (STEMI). Characteristics of these plaques are those that are prone to recurrence of thrombosis and may aggravate delayed endothelial healing after Durable Polymer Drug-Eluting Stents (DP-DES) implantation. Biodegradable Polymer Drug-Eluting Stents (BP-DES) had better biocompatibility. Studies comparing the clinical outcomes of the these type of stents in STEMI patients are still limited.

 

Objective: This study aims to determine the comparison of clinical outcomes of STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) using BP-DES compared to the second generation DP-DES within two years.

 

Methods: This study is a retrospective cohort study in STEMI patients undergoing P. Primary clinical outcome was major adverse cardiovascular events (MACE) defined as recurrent myocardial infarction, total repeat revascularization and cardiovascular death. Secondary clinical outcome was stent thrombosis defined as definite, probable or possible.

 

Results: A total of 400 patients were analyzed (197 BP-DES groups and 203 DP-DES groups). BP-DES was associated with lower incidence of MACE (adjusted OR 0.67, 95% CI 0.21 - 0.91, p 0.005) and stents thrombosis (adjusted OR 0.62, 95% CI 0.19 - 0.73, p <0.016) within two years. Recurrent myocardial infarction and total repeat revascularization which is part of the MACE composite outcome, there were no significant association.

 

Conclusion: There were differences in the occurence of MACE and stent thrombosis between the BP-DES group and the second generation DP-DES within a period of two years in STEMI patients undergoing PPCI, whereas BP-DES was associated with better clinical outcomes.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Sakti Muliawan
"Latar Belakang : Disfungsi ventrikel kanan merupakan prediktor mortalitas dan morbiditas terburuk  pada pasien dengan hipertensi pulmonal (HP) prekapiler yang independen terhadap resistensi vaskular paru (RVP). Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian penghambat oksidasi asam lemak seperti trimetazidine dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada hewan coba HP prekapiler. Oleh karena itu, kami berhipotesa bahwa terapi trimetazidine dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada pasien HP prekapiler.
Tujuan Penelitian : Mengetahui efek trimetazidine terhadap fungsi ventrikel kanan pasien HP prekapiler.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda. Sampel diambil secara acak dari populasi terjangkau pasien HP prekapiler yang berobat di poliklinik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan mendapatkan tablet trimetazidine atau plasebo selama 3 bulan diatas terapi standar HP. Pasca terapi, kedua grup akan dilakukan evaluasi terhadap luaran berupa perubahan fungsi ventrikel kanan yang diukur melalui MRI kardiak pada bulan ke-3.
Hasil : Terdapat 26 subjek penelitian HP prekapiler diikutsertakan dalam penelitian ini dan dirandomisasi ke dalam grup plasebo atau trimetazidine. Sebanyak 10 pasien grup trimetazidine dan 10 pasien grup plasebo berhasil menjalani proses penelitian sampai selesai. Didapatkan perbaikan fungsi fraksi ejeksi ventrikel kanan (FEVKA) secara bermakna pada grup trimetazidine 3.87+1.5% dibandingkan dengan grup plasebo -2.76+1.6% (p0.008, IK 1.96-10.96). Terdapat pula perbaikan kapasitas fungsional secara bermakna pada grup trimetazidine 0.24+0.09 dibandingkan dengan plasebo -0.44+0.16 (p 0.002, IK 0.28 s/d 1.08).
Kesimpulan : Terdapat perbaikan fungsi FEVKA dan kapasitas fungsional secara bermakna pasca terapi trimetazidine selama 3 bulan dibandingkan dengan plasebo diatas terapi standar HP yang sudah rutin dikonsumsi.

RATIONALE: Right ventricular dysfunction is the worst mortality predictor in pulmonary arterial hypertension (PAH). Recent animal PAH studies have demonstrated the benefit of partial fatty acid inhibitor such as trimetazidine in improving right ventricular function. Therefore, we hypothesize that trimetazidine can improve right ventricular ejection fraction (RVEF) in PAH patients.
OBJECTIVE : Investigating the effect of  trimetazidine on right ventricle function in PAH patients.
METHODS: We conducted 3 months randomized double blind placebo controlled trial on PAH patients at outpatient clinic in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital Indonesia. Those who fulfilled the inclusion criteria will be randomized into trimetazidine or placebo group for 3 months on top of their standard PAH regime. The primary outcome of this study is the differences of RVEF.
MEASUREMENT AND MAIN RESULTS: We randomly enrolled 26 PAH patients equally to receive placebo or trimetazidine for 3 months on top of their standard PAH regime. Total of 10 patients in each group was able to finish the study. There was significant improvement of RVEF in trimetazidine group 3.78+1.5% compared to placebo 2.76+1.6% (p 0.008, CI 1.96 to 10.96). Furthermore, we also observed improvement of functional capacity in trimetazidine group 0.24+0.09 compared to placebo -0.44+0.16 (p 0.002, CI 0.28 s/d 1.08).
CONCLUSIONS: Trimetazidine therapy for 3 months on top of standard PAH regime significantly improve RVEF and functional capacity in PAH patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Acil Aryadi
"Latar Belakang : Keberhasilan pengobatan antihipertensi dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah faktor genetik, termasuk perbedaan ras dan aktivitas renin plasma (ARP). Perbedaan ras, berkaitan dengan ARP, mungkin dapat memberikan perbedaan respon terhadap obat antihipertensi. Aktivitas renan plasma dan perbandingan efektifitas obat antihipertensi (lisinopril dan amlodipin) pada ras melanesia di Provinsi Papua belum pernah diteliti.
Tujuan : Mengukur aktivitas renin plasma dan membandingkan efektifitas obat lisinopril dan amlodipin pada pasien hipertensi ras melanesia untuk menurunkan tekanan darah.
Metode : Pada awal penelitian, 68 subjek berhasil direkrut, dilakukan randomisasi dan dibagi ke dalam dua kelompok. Sebanyak 34 subjek mendapat lisinopril 5 mg dan 34 subjek mendapat amlodipine 2.5 mg. Tekanan darah, ARP dan karakteristik dasar lainnya diukur sebelum intervensi, dan kemudian di follow up tiap minggu. Subjek yang belum mencapai target tekanan darah akan diberikan peningkatan dosis obat, lisinopril 10 hingga 20 mg dan amlodipin 5 hingga 10 mg. Pada akhir penelitian (minggu keempat), tekanan darah diukur sebagai luaran klinis. Sebanyak 7 subjek drop out, 4 subjek pada kelompok lisinopril dan 3 subjek pada kelompok amlodipin.
Hasil : Aktivitas renin plasma pada populasi penelitian ini 1.6 ng/ml/jam (normal). Karakteristik dasar klinis tidak berbeda antara kedua kelompok, termasuk rerata tekanan darah sebelum intervensi dan ARP. Pada kedua kelompok didapatkan penurunan tekanan darah yang signifikan setelah intervensi, baik pada tekanan darah sistolik (TDS), distolik (TDD) dan tekanan nadi (TN). Namun, pada penelitian ini, perbedaan respon penurunan tekanan darah antara kelompok lisinopril dan amlodipin tidak berbeda (TDS 24.6 ± 9.3 vs 25.9 ± 8.9 mmHg, p=0.56; TDD 13.3 ± 5.5 vs 11.4 ± 4.8 mmHg, p=0.15; TN 17.1 ± 5.6 vs 16.3 ± 5.0 mmHg, p=0.55).
Kesimpulan : Aktivitas renin plasma pada pasien hipertensi ras melanesia normal dan pemberian lisinopril tidak menunjukkan perbedaan penurunan respon penurunan tekanan darah dibandingkan dengan amlodipin.

Background: The success of antihypertensive treatment are influenced by many factors, one of which are genetic factors, including differences in race and plasma renin activity (PRA). Racial differences, regarding PRA, may give different response to antihypertensive drugs. Plasma renin activity and comparison of the effectiveness of antihypertensive medications (lisinopril and amlodipine) in the Melanesian race in the province of Papua have not been investigated.
Objectives: To measure plasma renin activity and compare the effectiveness of lisinopril and amlodipine in melanesian hypertensive patients to reduce blood pressure.
Methods: Sixty eight subjects were randomly assigned into 2 groups, those receiving lisinopril 5 mg (34 subjects) and amlodipine 2.5 mg (34 subjects). Blood pressure, PRA and other baseline characteristics were measured before the intervention, and then evaluated every week. Dose of lisinopril and amlodipine will be increased in subjects who have not achieved blood pressure target, 10 mg to 20 mg and 5 mg to 10 mg, respectively. At the end of the fourth week, blood pressure is measured as the main clinical outcome. Seven subjects were drop out, four from lisinopril group and three from amlodipin group.
Results: Plasma renin activity in this study population was 1.6 ng/ml/h (normal). Baseline characteristics did not differ between two groups, including blood pressure and PRA before intervention. Significant decrease in blood pressure occurred in both group after the intervention, including systolic blood pressure (SBP) , diastolic (DBP) and mean arterial pressure (MAP). However, there are no differences in blood pressure reduction between lisinopril and amlodipine groups. (SBP 24.6 ± 9.3 vs 25.9 ± 8.9 mmHg, p=0.56; DBP 13.3 ± 5.5 vs 11.4 ± 4.8 mmHg, p=0.15; MAP 17.1 ± 5.6 vs 16.3 ± 5.0 mmHg, p=0.55).
Conclusion: Plasma renin activity in melanesian hypertensive patients was normal and administration of lisinopril showed no difference in blood pressure reduction compared with amlodipine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Dwiputra
"Latar Belakang: Proprotein convertase subtilisin kexin-9 PCSK-9 merupakan protein yang menghancurkan reseptor low density lipoprotein LDL sehingga penurunan kadarnya dapat menurunkan kadar LDL. Sebagai bagian dari pencegahan sekunder, latihan resistensi direkomendasikan pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner BPAK.
Tujuan: Mengetahui efek tambahan latihan resistensi terhadap kadar PCSK-9 pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.
Metode: Studi eksperimental randomisasi acak tersamar tunggal membagi 87 pasien pasca BPAK menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol n=43 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II standar sementara kelompok intervensi n=44 adalah pasien yang menjalani rehabilitasi fase II ditambah dengan latihan resistensi tersupervisi. Kadar PCSK-9 diperiksa sebelum dan sesudah rehabilitasi fase II pada kedua kelompok.
Hasil: Setelah menyelesaikan rehabilitasi fase II, didapatkan perbedaan kadar PCSK-9 yang bermakna antara kelompok kontrol dan intervensi 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng/ml, ?= -60,5 ng/ml, 95 CI -7,5 -113,4, p=0.026. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kadar LDL p=0,07, kolesterol total p=0,99, high density lipoprotein HDL p=0,44, dan trigliserid p=0,56 antara kedua kelompok pada akhir rehabilitasi fase II.
Kesimpulan: Tambahan latihan resistensi dapat menurunkan kadar PCSK-9 secara bermakna pada pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani rehabilitasi fase II.

Background: Pro protein Convertase Subtilisin Kexin 9 PCSK 9 is a protein degrading low density lipoprotein LDL receptor that lower LDL. As secondary prevention, resistance training is recommended after coronary artery bypass surgery CABG as a complement to aerobic exercise.
Objective: To determine the effects of additional resistance training on PCSK 9 levels and lipid profile in post CABG patients who undergo phase II cardiac rehabilitation.
Methods: A single blinded randomized clinical trial of 87 post CABG patients was devided into two groups. The control group n 43 consisted of patients who received standard phase II cardiac rehabilitation while intervention group n 44 received standard program and supervised resistance training. PCSK 9 level and lipid profile examination were performed pre and post training.
Results: After completion of phase II cardiac rehabilitation, mean PCSK9 levels in intervention group decrease significantly compared to control group control vs intervention, 377,1 SD 125 vs 316,6 111,1 ng ml, 60,5 ng ml, 95 CI 7,5 113,4 , p 0.026 . Nonetheless, there are still no significant changes in terms of LDL level p 0,07 , total cholesterol p 0,99 , high density lipoprotein p 0,44 and triglyseride levels p 0,56 pre and post intervention between two groups.
Conclusion: The additional resistance training can reduce significantly PCSK 9 levels in patients after CABG surgery who underwent phase II cardiac rehabilitation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58904
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gibran Fauzi Harmani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi sel punca sumsum tulang merupakan salah satu pilihan sebagai terapi regeneratif. Terdapat luaran klinis bervariasi yang berhubungan dengan mekanisme implantasi dan kualitas sel punca. Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan proliferasi, diferensiasi, dan kesintasan sel punca untuk meningkatkan luaran klinis pasca terapi sel punca. Mikro-RNA merupakan RNA non kodon rantai pendek yang menghasilkan regulasi pasca transkripsi yang negatif. Telah diketahui adanya pengaruh mikro RNA 34a miR-34a terhadap kesintasan sel punca sumsum tulang. Ekspresi berlebih miR-34a meningkatkan apoptosis sel punca sumsum tulang. Diabetes mellitus DM meningkatkan ekspresi miR-34a di sel endotel aorta dan serum. Masih belum terdapat studi yang menilai hubungan antara DM dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara DM dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang pada dan mengetahui korelasi antara HbA1C dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang pada pasien PJK yang menjalani terapi sel punca.Metode: Suatu studi potong lintang dengan subjek penelitan berupa pasien PJK yang menjalani terapi sel punca di RSJPDHK. Sampel penelitian yang digunakan adalah sel punca sumsum tulang dari aspirasi sumsum tulang subjek penelitian, sedangkan data sekunder adalah rekam medis. Dilakukan analisis miR-34a dengan metode assay Taqman fast mastermix 7500 dengan menggunakan real time PCRHasil: Terdapat 24 subjek PJK yang telah menjalani terapi sel punca dan diikutsertakan dalam penelitian ini. Subjek dibagi dalam 2 kelompok, yakni DM 13 orang dan non-DM 11 orang . Data primer berupa ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsung tulang, sedangkan data sekunder diambil dari rekam medis. Pemeriksaan kadar HbA1C hanya dilakukan pada kelompok pasien diabetes dengan rerata kadar HbA1C adalah 7,3 1,5 . Terdapat kecenderungan peningkatan ekspresi miR-34a pada pasien dengan DM 0,3 0,24 vs 0,05 0,08, p = 0.9 . Terdapat korelasi positif antara HbA1C pada populasi DM dengan ekspresi miR-34a r=0,601 dan nilai p = 0,039 .Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara diabetes mellitus dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang pada pasien PJK. Terdapat korelasi antara kadar HbA1c pada pasien PJK dengan diabetes mellitus terhadap ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang ABSTRACT
Background Bone marrow stem cell therapy is one of the developing options in regenerative therapy for patients with CHD. There are great variations in clinical outcomes after stem cell therapy which may be caused by stem cell quality. Therefore, it is important to recognize factors that will affect the stem cell quality, especially survivability, to improve clinical outcomes after stem cell therapy. Micro RNA are small non coding RNA that will exert negative post trancriptional regulation. Relationship between micro RNA34a miR 34a and bone marrow stem cell survival has been studied. Increased expression of miR 34a will induce more apoptosis in bone marrow stem cell. Diabetes mellitus DM has been known to increase miR 34a expression in aortic endothelial lining and serum. But to this day, no study has evaluated the association between diabetes mellitus and miR 34a expression in bone marrow stem cell.Objective This study aims to evaluate the relationship between DM and miR 34a expression in bone marrow stem cell and to evaluate correlation between HbA1C and miR 34a expression in bone marrow stem cell in CHD patients who underwent bone marrow stem cell therapy.Methods This is a cross sectional study which included all CHD patients undergoing stem cell therapy in National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK . Primary data are miR 34 expression in bone marrow stem cell taken from subject rsquo s bone marrow aspiration, while secondary data were taken from medical records. MiR 34a analysis was carried out using the Taqman fast mastermix 7500 assay with real time PCR.Results There were 24 CHD patients undergoing stem cell therapy. Two group were compared, DM with 13 patients and non DM with 11 patients. The DM group consisted of older subjects compared to the non DM group. Examination of HbA1c was done only in the DM group with mean value was 7.3 1.5. There seems to be an increase in miR 34a expression in patients with DM 0,3 0,24 vs 0,05 0,08, p 0.9 . There is a positive correlation between HbA1c in DM population and miR 34a expression r 0.601 and p 0.039 .Conclusion There is no significant association between diabetes mellitus and miR 34a expression in bone marrow stem cell in CHD patients. There is a correlation between HbA1c and miR 34a expression in bone marrow stem cell in CHD patients with diabetes mellitus"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Widyantoro
"Latar Belakang. Diabetes dapat mempengaruhi struktur dan fungsi jantung tanpa adanya hipertensi dan aterosklerosis.Dengan meningkatnya risiko gagal jantung dan kejadian kardiovaskular pada pasien diabetes, maka mengetahui penyebab dan mekanisme utama yang mendasari terjadinya disfungsi diastolik menjadi penting dalam upaya mencari strategi pengobatan yang potensial.Studi pre-klinik menunjukkan bahwa Endothelin-1 (ET-1) berperan penting dalam patofisiologi kardiomiopati diabetes. Namun, hubungan antara kadar ET-1 plasma dengan kejadian disfungsi diastolik serta mekanisme yang mendasari belum diketahui dengan pasti.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara kadar ET-1 plasma dengan disfungsi diastolik dan mekanisme yang mendasarinya.
Metode. Sejumlah empat puluh satu pasien diabetes dan non diabetes yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di poliklinik Pusat Jantung Nasional Harapan Kita direkrut secara konsekutif pada bulan Oktober 2012. Fungsi diastolik ventrikel kiri diperiksa dengan echocardiography, sampel darah diambil untuk pemeriksaan ET-1 plasma dengan radioimmunoassay. Pemeriksaan cardiac magnetic resonance imaging (CMRI) dengan kontras gadolinium dilakukan untuk menilai fibrosis diffuse pada miokardium serta MRI spektroskopi untuk menilai kadar trigliserida (steatosismiokardium).
Hasil. Kadar ET-1 plasma lebih tinggi pada kelompok diabetes dibandingkan dengan non diabetes (1.48±0.50 vs. 1.08±0.22 pg/ml, p<0.05). Seluruh pasien diabetes mengalami disfungsi diastolik dengan 17 (85%) pasien mengalami disfungsi diastolik derajat 2 dan 3, sementara 13 (61.9%) pasien non diabetes menunjukkan fungsi diastolik normal. Tekanan atrium kiri yang meningkat juga didapatkan pada 16 (80%) pasien diabetes. Pada pasien dengan derajat disfungsi diastolik derajat 3 didapatkan kadar ET-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan fungsi diastolik normal (1.78±0.50 vs. 1.09±0.19 pg/ml, p<0.05). Sejumlah 17 (85%) pasien diabetes mengalami fibrosis, steatosis ataupun keduanya, sementara 16 (76%) pasien non diabetes yang tidak mengalami keduanya. Kadar ET-1 plasma berkorelasi dengan fibrosis miokardium (Speaman koef. R = -0.394, p<0.05), namun tidak berkorelasi dengan steatosis miokardium (Pearson koef R = 0.259, p=NS). Pasien dengan fibrosis dan steatosis mengalami derajat disfungsi diastolik yang lebih berat, dan menunjukkan kadar ET-1 plasma yang lebih tinggi (1.44±0.53 vs. 1.14±0.25, p<0.05).
Kesimpulan. Kadar ET-1 plasma yang lebih tinggi pada diabetes berhubungan dengan tekanan atrium kiri yang meningkat dan derajat disfungsi diastolik yang lebih berat, serta berkorelasi dengan terjadinya fibrosis miokardium, namun tidak berkorelasi dengan steatosis miokardium.

Background. Diabetes may affect cardiac structure and function independent to atherosclerosis and hypertension. Considering the increased risk of heart failure and cardiovascular event in diabetic cardiomyopathy, investigation of etiology and mechanism of this unique entity is important for developing potential therapy. Endothelin-1 (ET-1) has been associated with development of diabetic cardiomyopathy in pre-clinical study.
Objective. This study aims to investigate correlation of plasma ET-1 with development of myocardial fibrosis and diastolic dysfunction diabetes patient.
Methods. Fourty-one diabetes and non diabetes patient with no history of myocardial infarction and left ventricular hyperthrophy were recruited in this cross sectional study. Plasma ET-1 level were measured with radioimmunoassay, diastolic function were evaluated by Doppler echocardiography, and diffuse myocardial fibrosis were evaluated by post-contrast myocardial T1 relaxation time using cardiac MRI.
Results. Plasma ET-1 level is higher in diabetes group as compare to non diabetes (1.48±0.50 vs. 1.08±0.22 pg/ml, p<0.05). All diabetes subjects developed diastolic dysfunction, with 17 (85%) had grade 2 and 3 diastolic dysfunction, compare to 13 (61,9%) non diabetes patient which showed normal diastolic function. We also observed the increased of left atrial pressure (LAp) in 16 (80%) of diabetes patient. Patient with grade 3 (severe) diastolic dysfunction showed higher plasma ET-1 level as compare to patient with normal diastolic function (1.78±0.50 vs. 1.09±0.19 pg/ml, p<0.05). Diabetes subject had shorter post-contrast T1 relaxation time - reflecting diffuse myocardial fibrosis (440.97±16.97 vs. 489.41±6.73 ms, p<.005), and correlates inversely to plasma ET-1 level (Spearman Coeff R = -0.394, p<0.05).
Conclusion. In conclusion, higher plasma endothelin-1 level is associated with diffuse myocardial fibrosis and diastolic dysfunction in diabetes patient. This may provide additional evidence for the potential clinical use of endothelin receptor blockade in preventing diabetic cardiomyopathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainuddin
"Tujuan : Mengetahui peranan NAC sebagai proteksi terjadinya penurunan fungsi ginjal pada penderita yang menjalani operasi BP AK Latar Belakang : Gangguan ginjal akut (GgGA) merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien yang menjalani operasi bedah pintas arteri koroner (BP AK). Penurunan fungsi ginjal yang terjadi paska operasi jan tung bersifat multifaktoral antara lain : instabilitas hemodinamik perioperatif, gangguan perfusi ginjal, gangguan iskemia reperfusi, dan teraktivasinya jalur inflamasi yang pada akhirnya menimbulkan nekrosis tubular akuL Intervensi fannakologis dengan pemberian N-asetilsistein (NAC) sebagai profilaksis GgGA paska operasi BP AK masih banyak diperdebatkan. Namun efikasi NAC cukup menjanjikan sebagai profilaksis GgGA paska operasi berkaitan dengan efek vasodilator dan anti oksidan yang poten. Metode : Penelitian ini merupakan percobaan klinik tersamar tunggal dengan randomisasi (Randomized clinical trial = RC1) pada penderita yang menjalani operasi BPAK di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUII PJNHK. dari bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 yang mernnuhi kriteria penerimaan. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok antara kelompok perlakuan (NAC) yang mendapat NAC sebelum dan sesudah operasi BP AK dan kelompok kontrol. Dilakukan penghitungan nilai rerata dan simbang baku maupun nilai median hila sebaran data tidak normal. Pengujian kemaknaan statistik dilakukan dengan uji Student t bagi hubungan antara variabel kualitatif dan kuantitatif. Hubungan antara dua variabel kualitatif diuji dengan Chi Square test. Pengambilan kesimpulan statistik didasarkan pada batas kemaknaan sebesar < 0.05. Hasil : Dari 124 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, angka kejadian GgGA didapatkan sebanyak 27 subjek (21.8%). NAC yang diberikan pada kelompok perlakuan temyata hanya bermanfaat secara bermakna menurunkan risiko GgGA selama 6 jam paska operasi (RIFLE- Risk) dibandingkan dengan kelompok kontrol masing-masing dengan 5 (8 .1%) vs 18 (29.0%), P= 0.003 . Selanjutnya selama pengamatan penurunan fungsi ginjal dalam 12 jam (RIFLE-Injury) sampai 48 jam (RIFLE-Failure) tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol masing-masing dengan 4 (6.5%) vs 3 (4.8%), P= 1.000 dan 4 (6.5%) vs 1 (1.6%), P= 0.365.

Aim of the study : To analyze the role ofN- Acetylcysteine (NAC) as the prophylaxis against Acute kidney injury (AKI) in patients after coronary artery bypass graft (CABG) surgery. Background : AKI is one of the most common cause of morbidity and mortality in patients who underwent CABG. AKI following CABG had multifactoral causes namely : perioperative haemodynamic instability, renal perfusion mismatch, ischemia reperfusion injury, and activation of inflammation pathway which consequently causing acute tubular necrosis. Pharmacological intervention by the administration of NAC as the prophylaxis of AKI following CABG surgery was still the matter of controversy. However, it's still promising regarding its own efficacy as vasodilator and potential anti oxidant Methode : A prospective randomized clinical trial, placebo-controlled, singl~blind study was conducted in patients who underwent CABG surgery at the Department Of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia/ National Cardiovascular Centre Harapan Kita Jakarta from May 2011 until August 2011. After being approved by the local ethic committee and written informed consents, subjects were randomly assigned to receive NAC before and after surgery or placebo. All data were analyzed with the calculation of either mean and standard deviation or median whenever abnormal variance was noted. Statistical analyze was performed with Student t test to qualitative and quantitative variables. The association of two qualitative variables was analyzed using Chi Square test. Statistical conclusion was based on the P value ofless than 0.05 Result : There were 124 subjects participating in this study. The incidence of AKI was found in 27 (21.8%) subjects. NAC only showed significantly efficacious in reducing AKI within 6 hours after CABG (RIFLE- Risk) with 5 (8.1 %) subjects with NAC vs 18 (29.0%) subjects with placebo consecutively with P value 0.003. Further observation in the presence of AKI within 12 hours (RIFLE-Injury) till24 hours post operative (RIFLE-Failure) showed no significant difference between NAC and placebo with 4 (6.5%) patients vs 3 (4.8%) patients with P= 1.000 and 4 (6.5%) patients vs 1 (1.6%) with P = 0.365 consecutively. Conclusion : The administration of NAC did not significantly prevent AKI following CABG surgery but only lowered the risk of AKI within 6 hours post operative (RIFLE-R)
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58345
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hatta
"Latar Belakang : Regurgitasi trikuspid (RT) merupakan kondisi yang seringkali ditemukan pada penyakit katup mitral. Selama ini kondisi ini seringkali diabaikan karena terdapat anggapan bahwa RT akan berkurang setelah pasien menjalani operasi katup mitral. Kondisi ini ternyata tidak selalu terjadi dan seringkali pasca operasi RT residual justru dapat berkembang seiring berjalannya waktu. Regurgitasi trikuspid residual selama pengamatan diprediksi dapat memberikan luaran yang buruk pasca operasi sehingga kondisi ini memerlukan tatalaksana yang sesuai.
Tujuan : Mengetahui apakah RT residual pasca operasi katup mitral berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas jangka menengah pasca operasi.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Subyek penelitian adalah pasien yang menjalani operasi katup mitral di RSJPDHK sejak Januari 2011 sampai dengan Desember 2013. Karakteristik dasar, data operasi, serta pemeriksaan ekokardiografi sebelum dan pasca operasi (pre-discharge) yang diperoleh dari rekam medis di catat. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat untuk mengetahui hubungan antara RT residual dengan mortalitas dan morbiditas yaitu rehospitalisasi, klas fungsional NYHA III-IV atau re-operasi.
Hasil Penelitian : Subyek yang diikutsertakan sebanyak 307 pasien dengan 255 pasien (83,06%) terdapat RT residual non signifikan dan 52 pasien (16,9%) RT signifikan. Pada kelompok RT signifikan mortalitas terjadi pada 6 pasien (11,5%) sedangkan pada RT non signifikan sebanyak 10 pasien (3,9%). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat RT signifikan dengan mortalitas (OR 3,196; 95%IK 1,107-9,224; p=0,036). Sebaliknya, tidak terdapat hubungan bermakna antara RT residual dengan morbiditas (OR 1,091; 95%IK 0,536-2,221; p=0,810). Setelah pengamatan dengan durasi 18,7 ± 9,3 bulan terlihat 6% pasien yang pada saat pre-discharge dengan RT residual non-signifikan berubah menjadi RT signifikan dan fenomena ini disebut juga dengan late RT.
Kesimpulan : Pada penelitian retrospektif ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara RT residual signifikan dengan mortalitas, namun tidak didapatkan adanya hubungan bermakna antara RT residual dengan morbiditas. Pada pengamatan jangka menengah tampak bahwa fenomena late RT sudah mulai terjadi meskipun dalam jumlah yang kecil.

Background : Tricuspid regurgitation (TR) is frequently present in patients with mitral valve disease. Tricuspid regurgitation has long been ignored because it was generally believed that TR can regress after succesfull mitral valve surgery. However later studies found that this is not always true, TR can progress post operatively. This residual can affected adversed outcome regarding mortality and morbidty and this condition need accurate and suitable management.
Objective : The purpose of the present study was to know the outcome of residual tricuspid regurgitation post mitral valve surgery regarding mortality and morbidity at the mid term follow up.
Methods : A retrospectively cohort study was conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). We analyzed records of patients who underwent mitral valve surgery in our hospital between January 2011 and December 2013. Baseline and surgical characteristic, echocardiographic pre and post operatively (pre-discharge) was evaluated. Statistycal analysis was done using bivariate and multivariate analysis to determine the association between residual TR regarding mortality and morbidity defined as the composite of rehospitalization, symptom of fungsional class NYHA III-IV, or reoperation.
Results : The total 307 patients was analyzed. Of those subjects, 255 patients (83,06%) revealed non significant residual TR and 52 patients (16,9%) with significant TR post operatively. In patients with significant residual TR post operatively, mortality occured in 6 patients (11,5%) compared with 10 patients (3,9%) in non significant group. There was a significant association between residual TR post operatively with mortality (OR 3,196; 95%IK 1,107-9,224; p=0,036), Conversely, there was no significant association between residual TR and morbidity (OR 1,091; 95%IK 0,536-2,221; p=0,810). After follow up with duration 18,7 ± 9,3 months, there was 6% patients who developed from non significant TR post operatively becoming significant TR and this phenomenon was known as a late TR.
Conclusion : This retrospective study demonstrated that there was a significant association between residual TR postoperatively with mortality but not with the morbidity. During the follow up TR can progress post operatively, known as late TR altough in this study its only found in a small number of patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library