Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isrizal
"Masalah penelitian adalah : (I) Bagaimanakah proses pelaksanaan ToTu? ; (2) Adakah peningkatan pengetahuan terhadap materi (ToTu) antara sebelum dan sesudah mengikuti ToTu? (3) Adakah hubungan antara peningkatan pengetahuan materi ToTu dengan taraf fungsi menyeluruh subyek kelompok eksperimen? ; (4) Apakah ada pengaruh treatment yang berorientasi pada tugas (ToTu) dalam memperbaiki fungsi menyeluruh pasien GBZ ?
Subyek penelitian ialah pasien yang sedang menjalani program rawat inap di Unit Rehabilitasi Medik RSKO, kriteria : (a) Dengan diagnosis penggunaan heroin yang merugikan dan ketergantungan heroin dalam keadaan remisi.; (b) Pendidikan pasien minimal SMA; (c) Pendidikan orangtua tidak ditentukan, (d) Bersedia untuk berpartisipasi di dalam ToTu.Subyek diambil secara insidental dan ditempatkan ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara non random assignment.
Disain penelitian ini tergolong ke dalam evaluation research (Hawe,1994); quasi-experimental design, nonequivalent control group design (Craig &Metze,1986) dan models of combined designs - the dominant-less dominant design (Cresswel,1994:177); termasuk juga ke dalam.
Untuk mengumpulkan data penelitian ini akan digunakan instrumen-instrumen berikut: (1) Skala yang digunakan untuk mengevaluasi taraf fungsi menyeluruh yaitu Addiction Severity Index (AdSeI,McLellan dkk,1980; McLellan, dkk.1980 dalam Wanigaratne,S.dkk ,1995); (2) Pertanyaan untuk mengukur pengetahuan terhadap materi ToTu setelah belajar, dibuat berdasarkan materi setiap tugas dan tugas yang hams dilakukan subyek; (3) Kuesioner evaluasi terhadap proses terdiri dari, perubahan yang dibutuhkan terhadap materi ToTu , form kepuasan pasien, form penilaian diskusi kelompok, form penilaian pasien. (Linney, 7.A & Wandersman,A.1991), ToTu terdiri dari sepuluh tugas pasien dan sepuluh tugas keluarga pasien. Tujuan ToTu adalah (I) meningkatkan pengetahuan pasien tentang ketergantungan zat, (2) membantu pasien mendiagnosa diri sendiri yang berarti mengakui bahwa pasien mempunyai penyakit ketergantungan, (3) memperkenalkan dan memudahkan keterlibatan pasien di dalam program treatment yang efektif terus-menerus, (4) menolong pasien mengambil tanggung jawab pribadi untuk mempertahankan atau memelihara program `kesembuhan'. Bagi keluarga pasien, diharapkan dapat mengambil tanggung jawab sebagai pendukung utama pasien dalam mencapai `kesembuhan'.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian, adalah (1) ToTu dapat diterapkan dan dianggap sangat diminati, berguna dan relevan dengan kebutuhan pasien dan keluarga serta berhasil memperbaiki taraf status medis dan penggunaan zat pada kelompok eksperimen; (2) Ada peningkatan pengetahuan yang signifikan terhadap materi ToTu pada kelompok eksperimen setelah mengikuti program; (3) Bila dilihat secara keseluruhan tidak ada hubungan yang kuat antara peningkatan pengetahuan materi ToTu dengan taraf fungsi menyeluruh kelompok eksperimen. Namun, bila dilihat per aspek, ada hubungan yang cukup kuat antara peningkatan pengetahuan materi ToTu dengan status medis dan status penggunaan zat kelompok eksperimen. Pada aspek fungsi menyeluruh - status pendidikan/pekerjaan, status legal, status social/eluarga, status psikologis tidak terdapat hubungan yang kuat dengan peningkatan pengetahuan materi ToTu. Bila dilihat secara keseluruhan ,tidak ada pengaruh ToTu dalam memperbaiki fungsi menyeluruh pasien GBZ pada tindak lanjut tiga sampai enam bulan setelah selesai dari treatment. Namun bila dilihat dari aspek-aspek taraf fungsi menyeluruh terdapat pengaruh yang signifikan ToTu dalam memperbaiki status medis dan status penggunaan zat.
Pada aspek fungsi menyeluruh : status pendidikan/pekerjaan, status legal, status sosial/keluarga, status psikologis tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari ToTu. Penyebab pertama mungkin karena pelajaran pada tugas sembilan dan sepuluh yang membicarakan pengegahan kambuh dan mewujudkan rencana ke dalarn tindakan belum sempat dilatihkan kepada subyek kelompok eksperimen.
Hal kedua yang menjadi penyebab adalah terhentinya tugas-tugas ToTu untuk keluarga pasien pada tugas kedua dan kurangnya dukungan keluarga dan sosial kepada pasien dalam berjuang mencapai kesembuhan. Saran atau implikasi dari penelitian ini adalah: program dapat diterapkan di RSKO dan pusat pelayanan pasien GBZ lain, baik secara rawat inap maupun rawat jalan. Materi ToTu perlu dimodifikasi dan diperkaya dengan pengetahuan tentang aspek hukum dan etika, dunia kerja dan perencanaan karir di masa datang.
Penelitian mendatang perlu memusatkan perhatian pada perbaikan metode. penelitian terutama disain penelitian, kesulitan logistik berhubungan dengan subyek pasien GBZ (misal sering berpindah, kekurangan konsistensi dalam jaringan sosial), penempatan subyek pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara random assignment to treatment. Untuk tes pemahaman materi ToTu, perlu dibuat kumpulan soal tes secara integratif yang mencakup materi kesepuluh tugas. Pendidikan bagi keluarga berupa pelatihan intensif dalam beberapa hari untuk mengatasi kesibukan anggota keluarga yang terlibat dalam proses treatment pasien."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T3250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Salis Yuniardi
"Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang rentan masalah. Salah satu wujud dari masalah-masalah tersebut adalah apa yang kemudian dikenal sebagai perilaku antisosial. Ada banyak faktor yang diduga berperan pada timbulnya perilaku antisosial pada remaja, di antara faktor-faktor tersebut adalah faktor psikososial. Salah satu faktor yang tercakup dalam psikosial adalah faktor keluarga. Namun berbicara mengenai keluarga dan kaitannya dengan anak, seringkali fokus kita akan langsung menengok pada peran ibu.
Namun pola di dalam keluarga berubah seiring dengan perubahan masyarakat dunia pasca revolusi industri pada tahun 1950-an. Seiring perubahan tersebut, peran ayah dalam keluarga-pun mendapat perhatian dalam kajian-kajian ilmiah terbaru. Beberapa penelitian diantaranya dilakukan oleh Lamb (1971), Heteringthon (1976), Baruch & Barnett (1981), serta US Departement of Justice yang pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidakadanya peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya (Fathering Interprises: 1995-1996, dalam http:11artikel_uslslameto2.htm1) Selanjutnya sangatlah menarik untuk mengkaji hal yang sebaliknya, yaitu bagaimana persepsi, penerimaan, dan identifikasi remaja sendiri, secara kuusus remaja laki-laki dengan perilaku antisosial, terhadap peran ayah dalam keluarga.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bentuk strategi yang dipilih adalah studi kasus. Penelitian ini mengambil subyek penelitian yaitu remaja laki-laki yang berusia antara 16-19 tahun yang berperilaku anti sosial sehingga mendapat atau pernah mendapat hukuman pidana yang saat ini sedang mendapat rehabilitasi atau mengikuti kursus di PSMP Handayani. Subyek yang diambil sebanyak lima orang.
Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu : 1) Para subyek memiliki persepsi jika peran ayah dalam sebuah keluarga sangat penting. la adalah kepala, pemimpin, dan tiangnya keluarga. Dalam perannya ini, tugas paling utamanya adalah sebagai pencari nafkah bagi keluarga dan juga diharapkan dapat memberi perhatian, kasih sayang, dan bimbingan bagi anakanaknya. 2) Kesemua subyek melihat ayah mereka belum menjalankan seluruh peran sebagai ayah yang baik. Ada beberapa ayah yang sudah menjalankan fungsinya sebagai economic providers, namun hampir semua ayah subyek kurang mampu dengan baik menjalankan fungsi : caregivers, friend and playmate, teacher and role model, monitor and disciplinarian, protector. Hampir semua ayah dari subyek masih menjalankan fungsi advocate, namun hanya beberapa dari ayah subyek yang juga menjalankan fungsi resource. Kurangnya kelengkapan dalam menjalankan peran tersebut menimbulkan berbagai perasaan negatif pada para subyek, seperti merasa tidak diperhatikan, tidak dekat, kurang merasa diawasi, bahkan perasaan kesal dan dendam. Pada akhirnya perasaan-perasaan negatif tersebut berujung pada munculnya perilaku anti sosial. 3) Para subyek ingin meniru apa yang positif dari ayahnya, seperti sikap kerja kerasnya. Sebaliknya, mereka ingin memperbaiki apa yang mereka rasa salah dari perilaku - perilaku ayahnya di dalam menjalankan perannya sebagai ayah, seperti masalah pembagian waktu antara kerja dengan keluarga."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Emelia Astuty
"Permasalahan, tantangan dan kesulitan merupakan fenomena hidup yang tidak bisa dihindari. Reaksi setiap orang terhadap berbagai tantangan atau permasalahan dalam hidup mereka temyata berbeda-beda. Perbedaan reaksi ini temyata disebabkan oleh cara pandang yang berbeda terhadap permasalahan yang ada. Salah satu faktor yang mempenganuhi perbedaan itu adalah resiliensi. Resiliensi didefinisikan sebagai karakteristik seseorang untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya (Wagnild dan Young dalam Montheit & Gilboa, 2002).
Setiap tahap usia menghadapi tantangan hidup yang berbeda-beda. Penelitian ini difokuskan pada mahasiswa perantau yang berada di tahun pertama Perguruan Tinggi. Pemilihan ini didasari oleh pemikiran bahwa memasuki dunia kuliah dan sedang menghadapi transisi tahap perkembangan remaja menuju dewasa muda rnenyebabkan mereka harus menghadapi berbagai perubahan. Dan untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dibutuhkan resiliensi.
Penelitian ini menggunakan alat ukur Resilience Scale (Skala Resiliensi) yang dikembangkan oleh Gail Wagnild dan Heather Young pada tahun 1993. Pengembangan Skala Resiliensi dalam bentuk paper-and-pencil questionnaire bertujuan untuk mengukur kapasitas kemampuan individu untuk menerima, menghadapi dan mentransfonnasikan masalah-masalah yang telah, sedang dan akan dihadapi dalam sepanjang kehidupan individu tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menguji validitas dan reliabilitas Skala Resiliensi yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan untuk memperoleh gambaran resiliensi mahasiswa perantau di tahun pertama Perguruan Tinggi yang bertempat tinggal di Asrama UI.
Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa perantau yang sedang menjalani tahun pertama pendidikannya di Perguruan Tinggi dan bertempat tinggal di Asrama UI. Pemilihan subyek tersebut didasari oleh pemikiran bahwa sebagai mahasiswa perantau, subyek harus menghadapi berbagai permasalahan yang terkait dengan perubahan sistem pendidikan dari SMU ke Perguruan Tinggi, tuntutan tugas perkembangan dimana mereka harus belajar mandiri, tidak bergantung sepenuhnya pada orang tua dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, serta tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan budaya tempat mereka menuntut ilmu yang berbeda berbeda dengan latar belakang budaya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa banyak permasalahan yang harus mereka atasi agar mereka bisa berhasil menyelesaikan pendidikan mereka dengan balk. Dan untuk menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan ini dibutuhkan kemampuan yang disebut dengan resiliensi.
Hasil penelitian diperoleh dari 72 subyek yang menjadi responden dalam penelitian ini. Dan perhitungan uji reliabiltas dengan metode alpha cronbach terhadap sub skala Personal Competence diperoleh hasil koefisien reliabilitas sebesar 0.7848, sub skala Acceptance of Self and Life sebesar 0.1857, dan terhadap keseluruhan skala Resiliensi sebesar 0.7341. Hasil ini menunjukkan bahwa sub skala Personal Competence terbukti mengukur domain yang sama, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuan sendiri, sikap mandiri, berpendirian dan kegigihan dalam menghadapi rintangan; sub skala Acceptance of Self and Life tidak mengukur domain yang sama, yaitu pandangan yang seimbang mengenai hidup, kemampuan beradaptasi dan bersikap fleksibel; sedangkan skala keseluruhan terbukti mengukur domain yang sama, yaitu kemampuan individu untuk menerima, menghadapi dan mentransformasi masalah yang telah, sedang dan akan dihadapi sepanjang hidup individu.
Uji validitas dilakukan melalui corrected item-total correlation dimana nilai signifikansi untuk jumlah responden sebanyak 72 orang pada 1.o.s. 0.005 adalah 0.232, diperoleh bahwa dari 17 item pada sub skala Personal Competence terdapat 3 item yang tidak valid, sedang 14 item lainnya valid mengukur domain personal competence; dari 8 item pada sub skala Acceptance of Self and Life terdapat 6 item yang tidak valid, dan hanya 2 item yang valid mengukur domain acceptance of self and life; sedangkan secara keseluruhan terdapat 9 item yang tidak valid dari 25 item yang ada, dengan demikian terdapat 16 item yang terbukti valid mengukur resiliensi seseorang. Dari perhitungan skor total dan item no 26, diperoleh korelasi sebesar 0.577 (signifikan), yang berarti mereka yang memberikan skor tinggi pada item no 26 ini jugs memberi skor tinggi pada keseluruhan skala resiliensi (25 item).
Dari seluruh subyek yang menjadi sampel dalam penelitian ini, sebanyak 2 orang (2.78%) berada pada kategori resiliensi tinggi, 12 orang (16.56%) berada pada kategori resiliensi auk-up tinggi, 45 orang (62.5%) pada kategori resiliensi sedang, 10 orang (13.89%) pada kategori resiliensi agak rendah dan 3 orang (4.16%) berada pada kategori resiliensi rendah.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif agar diperoleh gambaran resiliensi yang lebih lengkap. Dengan begitu hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai data untuk mengembangkan kapasitas individu dan digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan membantu mahasiswa untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Swasono Hadi
"Duka akibat ditinggalkan orang terdekat merupakan salah satu bentuk stressor terberat yang bisa dialami seseorang. Dalam bentuk ekstrimnya terdapat sejumlah kasus tertentu yang berakhir dengan kegagalan dalam mengatasi perasaan duka, ditandai dengan depresi yang berkepanjangan, hilangnya semangat hidup dan kejadian paling ekstrim adalah melakukan bunuh diri (DSM IV-TR, 2000). Dibandingkan rentang usia lainnya, kehilangan orang tua yang dialami anak dewasa merupakan area yang kurang mendapat perhatian. Namun tetap saja kehilangan ini dapat dirasakan sama beratnya dengan kehilangan orang tua pada masa anak-anak atau remaja. Survei terhadap 220 anak dewasa yang ditinggal salah satu orang tuanya menunjukan 1 dari 4 orang masih mengalami masalah sosial dan emosional hingga 5 tahun setelah kematian orang tuanya (Scharlach,1991).
Hasil wawancara mendalam dengan 83 orang antara usia 35 hingga 60 tahun menemukan mayoritas masih menunjukkan emosional distress (mulai dari kesedihan dan menangis hingga depresi dan pikiran untuk bunuh diri) setelah satu hingga 5 tahun, terutama setelah kehilangan ibu. Lebih lanjut hampir setengah dari mereka yang kehilangan salah satu orang tuanya melaporkan mengalami gangguan fisik, seperti sakit, mudah lelah dan kondisi kesehatan umum yang menurun (Scharlach & Fredericksen,I993).
Peneiltian diarahkan pada hal tersebut di atas, yaitu untuk mengetahui secara mendalam proses duka pada individu-individu dewasa yang ditinggal meninggal oleh ibunya. Penelitian ini mengacu kepada sejumlah teori, di antaranya tahapan-tahapan kematian oleh Kubler Ross, tiga tahap proses duka oleh Schultz (dalam Papalia, 1998), dan model singkat duka duka dari Mahoney (2002).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama. Yang pertama adalah mengetahui proses penyesuaian duka pada sebuah keluarga yang memiliki tingkat keeratan yang tinggi satu sama lain dan memiliki ketergantungan emosional besar terhadap sosok ibu/istri yang belum lama meninggal dunia. Tujuan kedua adalah berdasarkan hasil penelitian tersebut, dan juga melalui proses penelitian ini sendiri, diharapkan dapat membawa dampak terapetik bagi para responden penelitian yang terlibat di dalamnya. Oleh karenanya hasil dan manfaat penelitian ini lebih ditujukan langsung dan spesifik kepada para responden penelitian, ketimbang khalayak umum atau pun akademisi. Ada pun yang menjadi responden penelitian ini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari empat individu dewasa (satu duda dan tiga orang anak yang belum menikah), dan masih tinggal dalam satu rumah.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data selain observasi dan wawancara adalah partisipasi langsung oleh peneliti. Dalam hal ini peneliti berperan ganda baik sebagai peneliti sekaligus sebagai responden penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu sekitar satu setengah tahun. Untuk menganalisa dan menginterpretasikan data penelitian antara lain digunakan metode reflektif.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu pertama bahwa masing-masing individu menunjukkan tahapan-tahapan duka yang berbeda satu dengan lain, walaupun mereka berada dalam satu keluarga dan mempunyai keeratan yang tinggi. Hal ini menunjukkan pendekatan menggunakan tahapan-tahapan duka yang universal seperti halnya dikemukakan oleh Ross dalam Papalia (1998) tidak berlaku dalam keluarga ini.
Temuan yang kedua adalah bahwa proses duka pada keluarga H tidak berjalan dalam tahapan-tahapan yang sepenuhnya linear dan progresif namun fluktuatif seiring dengan perjalanan waktu.
Hasil yang ketiga adalah secara umum intensitas duka yang dirasakan paling berat oleh keluarga H adalah di beberapa bulan awal, selanjutnya terjadi masa transisi dan penyesuaian di mana intensitas duka mulai menurun namun setelah itu kembali ada peningkatan intensitas perasaan duka (sedih, kesepian, kehilangan) pada masa di atas setahun.
Hasil keempat adalah mayoritas anggota keluarga menyebutkan selain perasaan sedih mereka juga merasa sedikit lega ketika akhirnya harus kehilangan anggota keluarga mereka. Walau sepertinya kontradiktif dengan ekspresi duka pada umumnya namun hal ini lazim dalam kasus duka di mana orang yang meninggal mengalami sakit lama atau penderitaan yang sangat hebat atau berkepanjangan.
Hasil kelima adalah perbedaan dalam menghadapi, menyesuaikan dan pada akhirnya mengatasi duka nampaknya sangat dipengaruhi antara lain oleh belief systems yang dianut, khususnya yang menyangkut pemberian makna terhadap kematian dan keadaan sesudah meninggal.
Hasil keenam adalah selain memberikan dampak langsung (sedih, marah, kehilangan, depresi dan sebagainya), proses duka juga dapat mendorong perubahan dalam kehidupan seseorang yang mengakibatkan timbulnya dampak-dampak sekunder, yang bisa jadi positif atau pun negatif. Dalam penelitian ini pada beberapa anggota keluarga dampak langsung dari duka sudah berkurang namun justru kemudian dampak sekundernya yang menonjol, seperti halnya perubahan dalam falsafah atau kebiasaan hidup serta perubahan dalam kedekatan hubungan dengan Tuhan.
Hasil ketujuh adalah anggota keluarga H masih berada dalam proses mengatasi duka mereka setelah lebih dari satu setengah tahun. Proses acceptance dan upaya mencari resolusi atas duka terjadi berulang kali dalam kurun waktu tersebut, walau belum mencapai acceptance atau resolution yang benar-benar final seperti yang dimaksud oleh Ross dan Schultz dalam Papalia (1998) atau Mahoney (2002).
Hasil kedelapan adalah keeratan yang tinggi dalam keluarga H berdampak positif menjadikan keluarga tersebut sebagai sistem pendukung yang baik bagi satu sama lain dalam menghadapi duka. Namun di lain pihak keeratan yang tinggi juga berdampak negatif karena membuat mereka semakin susah melepas kepergian sang ibu dan juga susah menerima adanya perubahan atau orang baru.
Sedangkan hasil kesembilan adalah refleksi diri peneliti menemukan bahwa proses duka menyebabkan perubahan-perubahan mendasar, yang hasil akhirnya belum diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa duka dapat memicu proses adaptasi yang sangat panjang, dan bahkan mungkin menjadi bagian dari proses dan pembelajaran seumur hidup.
Keterbatasan utama dalam penelitian ini adalah pada subyektivitas pengumpulan dan interpretasi data hasil penelitian dikarenakan peneliti sekaligus berperan sebagai subyek penelitian. Oleh karena itu apabila dimungkinkan disarankan untuk penelitian partisipatoris minimal ada dua peneliti, di mana peneliti lain bertindak sebagai non-partisipan untuk menjaga obyektivitas penelitian.
Saran praktis untuk responden penelitian adalah mengkomunikasikan masalah duka secara terbuka satu sama lain dan jika dianggap perlu meminta bantuan dari pihak lain yang dianggap mampu. Selain itu perlu mengisi dan beradaptasi terhadap kekosongan peran ibu yang ditinggalkan. Saran lain adalah lebih membuka diri terhadap aktivitas, kehidupan dan cinta baru, terutama bagi para anak yang telah berusia dewasa dan belum menikah."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiva Addina
"ABSTRAK
Salah satu gangguan kejiwaan yang paling parah adalah skizofrenia.
Penderita skizofrenia biasanya menarik diri dari masyarakat dan realita, mereka
hidup dalam fantasinya sendiri yang dipenuhi delusi dan halusinasi (Davison &
Neale, 1998). Menurut Long (1995), penderita skizofrenia mengalami gangguan
di banyak area, seperti pada persepsi, pikiran dan atensi, tingkah laku motorik,
emosi dan fungsinya dalam hidup.
Long (1995) menyatakan bahwa schizoprhenia meliputi perubahan pada
kemampuan dan kepribadian sehingga biasanya keluarga dan teman-temannya
menyadari bahwa orang terseb-jt berbeda dari biasanya. Keberadaan seorang
penderita skizofrenia dalam keluarga dapat menyebabkan masalah finansial,
mempengaruhi kehidupan sosial dan pekerjaan anggota keluarga lainnya, serta
masalah emosional terutama pada saat penderita tersebut relapse (Gottesman,
1991). Adanya anak yang bermasalah dalam keluarga akan menyebabkan
seorang ibu akan menjadi lebih posesif, over control, restriktif dan intrusive
(Page, 1971). Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai
proses dan bentuk coping ibu yang memiliki anak penderita skizofrenia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi. Penelitian
dilakukan terhadap tiga orang ibu yang memiliki anak penderita skizofrenia yang
saat ini tinggal di Jakarta. Kriteria anak tersebut telah didiagnosa oleh dokter atau
psikiater, jenis kelamin tidak dibatasi, berusia antara 20 - 40 tahun dan masih
berada sibawah pengawasan ahli.
Dari hasil penelitian teriihat bahwa ketiga ibu tersebut mengalami stres
karena memiliki anak penderita skizofrenia. Keadaan yang dialami ketiga ibu
menimbulkan masalah-masalah, seperti kekhawatiran terhadap perubahan diri
dan perilaku, serta masa depan anak dan masalah biaya perawatan. Selain itu
terdapat masala-masalah lain yang dialami ibu-ibu tersebut. Qua orang subyek
tidak mendapatkan dukungan penuh dari suaminya, sedangkan suami salah
seorang subyek pernah menderita penyakit yang cukup parah dan cucu yang
dirawatnya mengalami gangguan motorik. Ketiga Ibu tersebut berusaha
menemukan coping yang tepat untuk menghadapl keadaan yang dialamlnya.
Strategi coping tersebut antara lain adalah accepting responsibility, emotionfocused
behavioral coping, escape-avoidance, emotion-focused cognitive coping,
planful problem solving, positive reappraisal, problem-focused behaworal coping,
seeking social support, dan self control. Temuan lain dalam penelitian Inl adalah pengamh ayah terhadap
perkembangan psikologis anak, pentingnya infomnasi mengenai skizofrenia bag!
keluarga penderita dan juga seluruh masyarakat, dan juga pengaruh lingkungan
sebagai pemicu timbulnya skizofrenia. Selain itu diketahui bahwa obat-obatan
terlarang juga dapat menjadi salah pemicu berkembangnya skizofrenia. Hal lain
adalah bahwa dukungan pasangan pada penderita skizofrenia yang sudah
menikah mempengaruhi perkembangan psikologis dan keutuhan rumah tangga
penderita.
Beberapa saran praktis yang didapat dari penelitian ini adalah
pengenalan dan pemasyarakatan skizofrenia di masyarakat agar masyarakat
lebih memahami dan tidak berpandangan negatif terhadap penderita itu sendiri
dan keluarganya. Juga diharapkan keluarganya tidak menutup diri dan malu
karena keadaan penderita, sehingga perkembangan keadaan penderita dapat
menjadi lebih baik dan kembali bersosialisasi dengan masyarakat."
2002
S2823
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surachmad
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983
S2179
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joke Widya
1975
S2177
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melania Wahjuni Kowara
1984
S2213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Olivia
"ABSTRAK
Anak dalam sebuah perkawinan oleh masyarakat Indonesia dipandang penting. Bagi
pasangan yang tidak memiliki anak, adopsi adalah salah satu pemecahan alternatif.
Faktor keluarga besar dan lingkungan sekitar yang memandang kemandulan sebagai hal
yang memalukan, membuat banyak orang tua merahasiakan proses pengadopsian.
Kerahasiaan ini menjadi salah satu masalah bagi orang yang diadopsi karena terhadap
mereka sendiri pun status ini seringkali dirahasiakan juga. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa adopree mengalami beberapa masalah khusus sehingga jumlah
mereka yang dirujuk pada klinik kesehatan mental lebih banyak dariapada orang yang
tidak diadopsi (non-adoptee). Untuk itu ingin diketahui masalah apa saja yang dihadapi
oleh orang yang diadopsi ini dan bagaimana dengan identitas diri pada orang yang
diadopsi. Pembentukan identitas diri merupakan topik sentral pada masa adolesensi.
Maka subyek penelitian ini adalah orang -orang yang telah atau sedang melalui masa
adolesensinya. Orang yang diadopsi menjadi sumber informasi utama. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan wawancara dan observasi sebagai teknik
pengumpulan data.
Hasil penelitian adalah ternyata ketiga subyek merasa terbuang dan ditolak. Timbul
keinginan untuk mencari siapa orang tuanya sebenarnya. Ketiga subyek mengalami
masalah akademis. Seorang subyek tidak meneruskan kuliahnya karena merasa tidak
dapat berkonsentrasi. Pada masa pembentukan identitas dirinya, para subyek disibukkan
dengan pertanyaan tentang asal-usulnya dan siapa orang tuanya sebenarnya.
Salah satu subyek yang telah mengenal orang tua kandungnya kemudian mengalami
masalah dengan hubungan antara orang tua kandung dan orang tua adopsinya. Selain itu
ternyata faktor keluarga besar berperan dalam diri kedua subyek dalam penelitian ini.
Seorang subyek merasa terus ditekan oleh keluarga besarnya, karena saudara»saudara
jauhnya merasa iri karena subyek tersebut diambil dari pasangan yang tidak beruntung.
Subyek lain diberitahu oleh adik sepupu ibunya tetapi ia harus merahasiakan
pengetahuannya itu.
Ketiga subyek dalam penelitian ini adalah perempuan dan ketiganya tidak diadopsi
secara resmi. Untuk mendapatkan gambaran masalah yang lebih lengkap hendaknya
pada penelitian lanjutan diambil subyek dengan karakteristik yang berbeda dengan
karakteristik tersebut. Sedangkan untuk saran praktis, hendaknya orang tua betul~betul
memperhatikan kesiapan subyek pada saat memberitahu statusnya dan selain itu juga
mengantisipasi kemungkinan pemberitahuan status oleh orang lain jika hendak
merahasiakan status adoptee tersebut."
1999
S2626
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Sara
"Holmes & Rahe (1967) pemah membuat sebuah tabel yang mengurutkan hal-hal apa saja yang dapat membuat orang menjadi stres. Pada tabel tersebut, perceraian merupakan urutan kedua setelah kematian pasangan hidup. Oleh karena itu orang yang bercerai harus segera menyesuaikan dirinya, sehingga orang tersebut dapat segera mengatasi rasa sedih, dan marah, menerima dirinya sendiri, anak-anak dan mantan suaminya, kembali bekeija dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan sekitar, dan Iain-lain masalah yang biasanya timbul setelah perceraian. Adapun masalah-masalah yang biasanya dialami oleh mereka yang bercerai adalah masalah secara psikologis/emosi, dalam mengasuh anak, pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, keuangan, sosial hingga seksual (Hurlock, 1980).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami pada wanita dewasa muda yang berpisah/bercerai. Selain itu ingin dilihat pula gambaran dan dinamika penyesuaian diri mereka setelah berpisah/bercerai. Untuk menjawab tujuan penelitian di atas, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap empat orang subyek. Hasil wawancara yang diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Penyesuaian diri tidak selalu dilakukan setelah terjadi perceraian, mengingat adapula orang yang telah melakukan penyesuaian diri jauh sebelumnya, yaitu pada saat mereka berpisah dengan suaminya (Lasswell & Lasswell, 1987). Oleh karena itu penelitian ini akan menggali penyesuaian diri subyek setelah bercerai, maupun pada subyek yang berpisah lalu bercerai. Adapun subyek penelitian ini adalah wanita yang berpisah/bercerai pada usia dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang ditemukan pada keempat subyek penelitian adalah masalah secara psikologis/emosi, yaitu subyek merasa sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Selain itu mereka juga merasa kesepian dan kehilangan sejak berpisah bercerai dengan suami mereka. Masalah lain yang ditemukan pada subyek adalah masalah dalam mengasuh anak, masalah dalam hal keuangan, dan sosial. Subyek dalam penelitian ini tidak raengalami masalah dalam pelaksanaan tugas rumah tangga sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan seks. Waktu yang diperlukan subyek untuk dapat menyesuaikan diri mereka setelah berpisah^e^cerai adalah bervariasi, antara satu/dua sampai lima tahun, bahkan hingga saat subyek diwawancara. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti apakah subyek masih mencintai suaminya atau tidak, lama dan kualitas perkawinan subyek, siapakah yang berinisiatif untuk bercerai, pandangan subyek terhadap perceraian, jumlah anak yang dimiliki, apakah subyek bekeija dan mempunyai penghasilan sendiri, dan lain.lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>