Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 260 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pahrudin Saputra
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul "PEMENUIIAN HAK ATAS RASA AMAN DAN BEBAS DART KETAKUTAN DALAM PELAKSANAAN ADMISI DAN ORIENTASI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS IIA JAKARTA". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis, bahwa tahap admisi dan orientasi narapidana merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan pembinaan narapidana sehingga diperlukan pemenuhan hak-hak asasi narapidana. Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas HA Jakarta dengan metode penelitian kualitatif. Beranjak dari latar belakang di alas, rumusan masalah yang mengemuka adalah : (1) Apakah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Narkotika Jakarta merasa terpenuhi hak atas rasa aman dan bebas dari ketakutan selama masa admisi dan orientasi; (2) Faktor apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pemenuhan hak alas rasa aman dan bebas dari ketakutan selama masa admisi dan orientasi narapidana. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut, metoda pengolahan data yang dilakukan mengarah pada metode deskriptif eksplanatory. Hasil penelitian menunjukan bahwa selama dalam pelaksanaan admisi dan orientasi, hak narapidana atas rasa aman dan bebas dari ketakutan belum terpenuhi. Adapun faktor yang menghambat pemenuhan hak atas rasa aman itu adalah kondisi over crowded, emosi narapidana yang labil, tidak memadainya kualitas pengetahuan dan pemahaman petugas terhadap hak asasi manusia, punish and reward yang kurang ditegakan, dan prosedur pengaduan yang panjang. Memperhatikan hasil penelitian tentang kondisi aktual pemenuhan hak atas rasa aman dan bebas dari ketakutan dalam pelaksanaan admisi dan orientasi narapidana maka perlu dilakukan pengurangan isi lembaga pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan tentang hak asasi manusia terhadap petugas lembaga pemasyarakatan, penerapan sanksi yang tegas dan terukur, menyederhanakan prosedur penyampaian keluhan
ABSTRACT
The title of this research is THE FULFILLMENT OF SECURE AND FREE FROM FEAR RIGHTS OF INMATES ON THE ADMISSION AND ORIENTATION STAGE IN CLASS IIA NARCOTICS CORRECTION INSTITUTION - JAKARTA". The background reason why author decide to choose this title is based on empirical and theoretical studies, that the stage of admission and orientation of inmates is a critical phase in which decides the success of inmates' treatments. In this stage, the fulfillment of human rights for inmates is a necessity. The locus of research is taken in Class HA Narcotics Correction Institution by using qualitative research method. Based on the background above, the construction of problems which developed are: (1) Do the inmates in Class IIA Narcotics Correction Institution feel that the rights of secure and free from fear has been fulfilled in the admission and orientation stage?. (2) Define the factors that become obstacles in order to fulfill the rights of secure and free from fear on the admission and orientation stage. In case of finding the answer of those research questions, the data processing method directed to explanatory descriptive method. The result of research shows that during the admission and orientation stage the rights of secure and free from fear of inmates have not fulfilled yet. However, some factors which become obstacles in fulfillment of the rights of secure are: over crowding condition, instability of inmates emotions, the limitation of human rights knowledge and understanding of officers, punishment and reward norms are not promoted in every aspect of admission and orientation stage, and a long complain procedure. Focusing on the research result about the actual situation in rights secure and free from fear fulfillment of inmates on the admission and orientation stage, several methods shall be taken such as: decreasing the amount of inmates in correction institution, training and education of human rights for officers, implementation of strict and reliable punishment, and simplify the complain procedure.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani
Abstrak :
ABSTRAK
Proses pada sistem peradilan pidana anak didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Ketentuan ini dapat dikatakan merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang hukum acara peradilan pidana anak dimana terdapat beberapa perbedaan dengan proses peradilan pidana dengan orang dewasa. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya peran Balai Pemasyarakatan untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan. Melalui Penelitian kemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan diharapkan mampu melindungi hak asasi anak yang melakukan tindak pidana. Fokus utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi balai pemasyarakatan dalam perlindungan hak asasi manusia pada sistem peradilan pidana anak, dan faktor-faktor penghambat dalam proses tersebut. Pendekatan penelitian yang -dipakai adalah kualitatif dan peneliti menganalisa data yang diperoleh secara induktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan fungsi balai pemasyarakatan pada sistem peradilan pidana anak belum mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana ditetapkan dalam beberapa instrumen hak asasi manusia, yang pada dasamya menyebutkan bahwa proses hukum yang dilalui oleh seorang anak yang melakukan tindak pidana harus didasarkan pada ketentuan hukum dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya faktorfaktor penghambat pada balai pemasyarakatan dalam melaksanakan fungsinya dalam peradilan pidana anak. Hasil penelitian menyarankan bahwa ketentuan yang mengatur tentang fungsi Balai Pemasyarakatan perlu direvisi; meningkatkan sumber daya manusia; dan menjalin komunikasi yang lebih baik diantara aparat penegak hukum.
ABSTRACT
The process of juvenile justice system based on Law Number 3 of the year 1997 on Juvenile Justice. This rule is special regulation about juvenile justice procedures which has differences with adults. One of the differences is the existence of Balai Pemasyarakatan to make social inquiry reports. Trough this report, the functional officer at Balai Pemasyarakatan suppose to make efforts to protect the juveniles. The focus of the research is to find out the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system, and the obstacles of that process. The method used in this research is qualitative and the data analyze is inductive. The results of the research show that the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system have not implemented the principles of human rights which state that all the process at juvenile justice should based on the regulations and only applied as the last resort. This condition caused that Balai Pemasyarakatan meets the obstacles in the implementation of its functions. The research makes suggestions to improve the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system. That are making revision of the regulations on function of Balai Pemasyarakatan; developing the human resources; and having better communication between the law enforcement officials.
2007
T20831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Ferry Fathar
Abstrak :
ABSTRAK Hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia selain hutan di Brazil, pada saat ini telah mengalami kerusakan yang parah. Kerusakan yang terjadi salah satunya disebabkan pembakaran hutan oleh perusahaan pengolah hasil hutan dan perkebunan maupun masyarakat tradisional. Pembakaran tersebut biasanya dilakukan untuk membuka atau menyiapkan lahan untuk ditanarni. Akibat dari pembakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian yang mencakup seluruh bidang kehidupan politik, ekonorni, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (poleksosbudhankam). Memperhatikan akibat yang ditimbulkan begitu luas, sewajibnya pemerintah melindungi hutan dari kerusakan yang lebih parah. Pemerintah harus berani dan tegas menindak setiap pelaku pembakaran dengan hukuman seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera. Untuk mewujudkannya diperlukan penegakan hukum yang kuat berdasarkan sistem peradilan pidana yang terpadu. Namun pada kenyataannya penegakan hukum masih lemah. Pemerintah masih terkesan tidak serius dalam menangani masalah yang membukt malu Indonesia terhadap negara-negara tetangga ini. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya pembakaran hutan setiap tahunnya. Masih terdapat kelemahan--kelemahan baik itu dari peraturan perundang-undangannya maupun lernbaga atau aparat penegak hukumnya. Pengenaan sanksi pidana yang tidak mengindahkan azas lex specialis derogat legi generalis dapat mengakibatkan "dipermainkannya" aturan hukum oleh penyidik dengan yang disidik. Disamping itu, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan dan perkebunan tidak bekerja secara optimal membantu pihak kepolisian menyidik terjadinya tindak pidana pembakaran yang terjadi diwilayah yurisdiksinya. Tidak seriusnya pemerintah jugs terlihat dari kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk memperlancar proses penegakan hukum yang dilakukan. Ini menyebabkan penanganan perkara menjadi lamban ditambah lagi dengan minimnya sumber daya rnanusia yang dimiliki oleh lembagalembaga yang memiliki kewenangan penyidikan disamping kepolisian. Yang terpenting dalam kasus pembakaran hutan ini adalah adanya kemauan dari aparat penegak hukum untuk menindak pelaku karena menyidik satu kasus saja memerlukan biaya operasional yang besar.
ABSTRACT Forest Indonesia as one of the world lung besides forest in Brazil, at the moment have experienced of hard damage. Damages that happened is one of them caused by combustion of forest by company of processor result of plantation and forest and traditional society. The combustion is usually done to open or prepare farm to be cultivated. Effect of combustion of the forest generates loss including all area life of politics, economic, social, cultural, security and defense. Considering generated effect so wide, is government's duty to protect forest from even bigger damage. Government should be brave and straight to put the man behind the bar with the smallest punishment that make people not going to do that again. To realize it needed the straightening of strong law pursuant to integrated criminal justice system. But practically the straightening of law still weaken. Government still impress not serious in handling problem making Indonesia shame to this neighbor countries. This proved by a large number of forest combustion each years. There are weakness from the law and regulation of and government officer or institute enforcers. Imposition of crime sanction which heedless of principality of "lex specialis derogat legi generalis" occur because the investigator can somehow make the rule by himself. Beside that, civil investigator of forest and land are not optimally work to help police to investigated the combustion in their jurisdiction region. Unserious of governmental also seen from the so small budget for process the straightening of law enforcement going smooth. There for, the case handling became slower and with the small number of person in these institution which have its own investigating duty beside police. The most important in forest combustion is the willingness from law enforcer to act to the person, because investigating a single case cost a lot of operational fee.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ladito Risang Bagaskoro
Abstrak :
ABSTRAK
Perlindungan hak-hak korban tindak pidana, merupakan tanggungjawab negara terhadap korban, tanpa terkecuali. Hal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban negara atas ketidakmampuannya dalam melindungi masyarakat, sehingga timbul korban. Namun, efektifitas dan ketepatan sasaran serta bentuk perlindungan yang diberikan Pemerintah Indonesia dinilai masih kurang tepat, khususnya korban tindak pidana terorisme. Setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda atas perlindungan hak korban tindak pidana terorisme, khususnya terhadap peraturan yang mengatur dan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana terorisme, seperti dalam sistem hukum Indonesia, Amerika Serikat dan Republik Jerman. Analisis terhadap perbedaan dan persamaan dari ketiga Negara tersebut tentu dapat menjadi bahan masukan dalam politik hukum pidana Indonesia, khususnya dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia korban tindak pidana terorisme, yang mana akan merujuk pada rekomendasi model perlindungan korban tindak pidana terorisme di Indonesia.
ABSTRACT
The protection of victims right is the state responsibility without exception. It is a state responsibility for its inability to protect the community, resulting in casualties. However, the target and forms effectiveness and accuracy of protection provided by Indonesia is still considered inadequate, especially the terrorism victims Each country has different responses to the protection terrorism victims rights, especially to the regulating rules and forms of protection afforded to victims of terrorism, such as in the Indonesia, the United States of America and the Republic of Germany legal system. The analysis of the differences and similarities of the three States can certainly be an input to Indonesian criminal law policies, especially in the effort to fulfil the terrorism victim human rights, which will refer to the recommendation of terrorism victim rsquo s protection model in Indonesia.
2018
T49759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Anggia Pratami
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas analisis penerapan kebijakan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Sebelumnya pelaksanaan restitusi sangat sulit dilakukan karena tidak ada mekanisme/prosedur yang jelas. Permasalahan dalam PP ini adalah syarat administratif yang cukup membebani korban dan keluarganya, tidak adanya ketegasan siapa yang berhak menghitung restitusi, tidak ada tolak ukur menentukan besaran jumlah restitusi dan tidak ada upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan mekanisme wawancara, dimana penulis menganalisa Peraturan Perundang-Undangan yang dikaitkan sejauh mana peraturan tersebut diterapkan dan berlaku di masyarakat. Hasil penelitian mengungkap Peraturan Perundang-Undangan tidak memiliki pedoman yang sama terkait mekanisme restitusi. KUHAP menggunakan mekanisme penggabungan perkara yang hanya terbatas pada kerugian materiil, PP No.3/2002 tidak memuat mekanisme permohonan restitusi yang diajukan korban, dalam UU LPSK ditemukan adanya ketentuan yang membatasi hak restitusi korban yang berpengaruh pada pelaksanaan PP No.44/2008, UU No.21/2007 memuat upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi dan PP No.43/2017 memuat mekanisme permohonan dan pemberian restitusi, serta restitusi dapat diajukan mulai tahap penyidikan. Dari segi peraturannya, PP No.43/2017 kurang memberikan jaminan terkait restitusi bagi anak yang menjadi korban. Faktor yang menjadi kendala dalam penerapan restitusi bagi anak sebagai korban diantaranya adalah faktor perundang-undangan, faktor kapasitas dan koordinasi antar aparat penegak hukum, faktor ketidakaktifan korban, selama tidak ada permohonan maka restitusi tidak dapat diproses. Kemudian faktor ketidakaktifan lembaga yang mewakili dan melakukan pendampingan bagi korban.
ABSTRACT
The thesis discusses the analysis of the implementation of restitution policy for children who become victims of criminal acts that refers to Government Regulation Number 43 of 2017 about Implementation of Restitution for Child Victims of Crime. Previously the implementation of restitution is very difficult because there is no clear mechanism procedure. The problem in this regulation is the existence of administrative conditions that sufficiently burden the victim and his family, no firmness of who is entitled to calculate restitution, there is no benchmark determine the amount of restitution and no forced effort if the offender refused to pay restitution. This study is normative juridical, in which the authors analyze the legislation which is related to the extent to which the rules are applied and exist in the community. The results of this study reveal the Laws and Regulations do not have the same guidance related to the mechanism of restitution. The Criminal Procedure Code KUHAP uses mechanisms for the merger of cases that are limited to material losses, PP No.3 2002 does not contain the mechanism of the application for restitution submitted by victims. In the LPSK Law, there are provisions that restrict the right of victim restitution which affect the implementation of PP No.44 2008, UU No.21 2007 contains a forced effort if the perpetrator refuses to pay restitution and PP No.43 2017 contains the mechanism of application and restitution, and restitution can be submitted from the investigation stage. In terms of regulations, PP No.43 2017 provide less restitution related guarantees for children who become victims. Factors that become obstacles in the application of restitution for children as victims include the factors of legislation, factor capacity and coordination between law enforcement officers, the factor of inactivity of victims, as long as there is no request then restitution can not be processed. Then the factor of inactivity of the institution that represents and cares for the victim.
2018
T51441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syarifah
Abstrak :
Sistem pemeriksaan perkara sebagai bagian dari penegakan hukum memberi pengaruh yang besar terhadap tercapainya keadilan dan kepastian hukum. Pemeriksaan perkara yang melampaui wewenang dan berbeda-beda yang selama ini dilakukan Mahkamah Agung terbukti telah menimbulkan viktimisasi struktural, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Sistem Kamar adalah sistem pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung yang diterapkan sebagai jalan keluar dari hal tersebut untuk membantu pengadilan kasasi mencapai kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Sejak diterapkan 1 dekade lalu, sistem ini belum sekalipun pernah dikaji efektivitasnya oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini mengkaji efektivitas Sistem Kamar untuk melihat capaian dan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan baik oleh Mahkamah Agung maupun pihak eksternal di luar Mahkamah Agung untuk mengoptimalkan Sistem Kamar. Penelitian ini melihat Sistem Kamar dari sudut pandang kriminologi, khususnya pencegahan kejahatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan evaluatif dari berbagai data primer dan data sekunder yang terkait dengan Sistem Kamar yang tersebar dalam berbagai bentuk. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Sistem Kamar belum mampu mencapai tujuan utamanya dan karena itu membutuhkan revitalisasi. Revitalisasi Sistem Kamar yang diusulkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pencegahan viktimisasi berbasis situasi untuk menutup berbagai kesempatan yang dapat memicu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum. ......The case examination system as part of law enforcement have a major influence on the achievement of justice and legal certainty. The examination of cases that have exceeded the authority of court of cassation and causing disparity of decisions that carried out by the Supreme Court of Indonesia (Mahkamah Agung) has been proven in causing structural victimization, injustice, and legal uncertainty. The Chamber System is a case examination system in the Mahkamah Agung which is implemented as a solution to out of this matter to assist the court of cassation court to achieve unity in the application of the law and consistency of decisions. Since being implemented a decade ago, Chamber System has never been reviewed for its effectiveness by the Supreme Court. This study examines the effectiveness of the Chamber System to see the achievements and improvements that need to be made by both the Mahkamah Agung and external party to optimize the Chamber System. This discuss and analyze the Chamber System from the point of view of criminology, particularly in crime prevention. This study uses a qualitative and evaluative approach from various primary and secondary data related to the Chamber System that is spread in various forms. This study concludes that the Chamber System has not been able to achieve its main objectives and therefore requires revitalization. The revitalization of Chamber System proposed in this study uses a situation-based approach to close various opportunities that can trigger abuse of power, injustice, and legal uncertainty.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Novel
Abstrak :
Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang adil (due process of law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum pada sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) terakumulasi pada sub-sistem peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP, tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem peradilan pidana. ......In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations. One effort to ensure the protection of human rights of a suspect or defendant in the criminal justice process through the institution of law is establishing the institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation subsystem of criminal justice System that are aimed as a control force to the efforts of law enforcement has been given by law. With the policy directions that are based i n the framework of criminal law to the fair process (due process of law), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts made in the law enforcement. At the stage of investigation and prosecution, the investigator and the general prosecutor have the authority to make termination of investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is hopefully expected to minim ize the occurrance of violations of human rights in the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial Commissioner indirectly supervise the implementation of the force action which is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the supervision of police and prosecutors in the case of termination of investigation and termination of the prosecution. So that it can be said that the Judicial Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice system.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25929
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Kusuma Hasari
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Indonesia memiliki PPATK sebagai Financial Intelligence Unit yang hanya bersifat memberikan informasi kepada Polri dan Kejaksaan RI. Hasil laporan analisa yang disampaikan oleh PPATK belum cukup memadai untuk dilakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang. Maka dapat dikatakan bahwa rezim pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Selain itu apabila penyidik (selain Polri) menemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, namun penyidik tindak pidana asal remyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk itu perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada penyidik tindak pidana asal (multi investigators system). ......The focus of this studi is about authority in money laundering investigation in Indonesia. Indonesia has PPATK as a Financial Intelligence Unit that only feeds informations to Police and General Attomey. The infonnations that given by PPATK is not enough to start an money laundering investigation. That is why we can say Indonesian anti money laundering rezim is not running effectively. The problem occurs, when an investigator (except Police) finds some money laundering offences from predicate crime that they are investigating, but that investigator does not have investigation authority. That is why some investigators of predicate crime need giving investigation authority of money laundering (multi investigators system).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26107
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Saptaning Putri
Abstrak :
Tesis ini mengkaji Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Peradilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan Tindak Pidana Umum Pasca Berlakunya Undang-Undang TNI. Bertitik tolak dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 65 Ayat 2 yang mengatur prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Hal ini membawa perubahan sangat mendasar, karena selama ini peradilan militer berwenang mengadili semua tindak pidana yang dilakukan prajurit, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini memberikan hasil bahwa hukum pidana militer merupakan lex spesialis dari hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi yustisiabel peradilan militer. ......This thesis focuses on the review at authority of military court on judgment Indonesian soldier that in case criminal action placing Indonesian Army Law. This issue has been rearranged in law number 34 year 2004 of Indonesian Army, especially in article 65 paragaph 2 with is stated that soldiers should be processed in military court in case of the committed military criminal action, and yet should be processed in general court in case of they commited general criminal action. This brings a fundamental changes regarding authority of processing the soldiers who so far had been processed in military court, either they commited general criminal action or military criminal action in particular. The kind of this research is normative law research with approach is juridical normative. This research shows that military criminal law is a lex specialis of general criminal law which is applicable in military court jurisdiction.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26085
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Bagus Purwanto
Abstrak :
Perkembangan Internet dan umumnya dunia cyber tidak selamanya menghasilkan hal-hal yang positif. Salah satu hal negatif yang merupakan efek sampingan atau memang menjadi tujuan, antara lain adalah kejahatan di dunia cyber atau disebut kejahatan mayantara (cyber crime). Dihadapkan dengan sistem hukum pidana di Indonesia, ada satu pertanyaan penting yang dapat diajukan. Apakah sistem hukum pidana ataupun perundang-undangan yang ada, sudah dapat menjangkau bentuk-bentuk kejahatan cyber crime. Untuk menjawab hal tersebut dilakukan dilakukan penelitian bersifat deskriptif, dengan metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan penanggulangan kejahatan mayantara/cyber crime di Indonesia harus dilakukan dengan upaya penal yaitu dengan menggunakan sarana hukum dan sanksi pidana dan upaya non penal (tanpa menggunakan sanksi pidana). Meskipun secara substansial Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang kejahatan mayantara/cyfter crime. berbagai undang-undang yang sudah ada, telah difungsikan untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan mayantara/cyher crime Terhadap kejahatan cyber crime ini, hukum pidana Indonesia, telah difungsionalisasikan dalam menindak para pelaku kejahatan mayantara Selanjutnya, terkait dengan Locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) kaitannya dengan aspek yurisdiksi kejahatan mayantara, masih menimbulkan permasalahan, karena hukum pidana Indonesia belum dapat menjangkau yuridiksi kejahatan mayantara yang dilakukan di luar wilayah Indonesia. Kedepan, sebaiknya penanggulangan dan penegakan hukum terhadap kejahatan mayantara pertama-tama harus dilakukan dengan menggunakan sarana penal. Untuk itu perlu diatur rumusan tindak pidana yang khusus mengatur mengenai bentuk-bentuk kejahatan mayantara/cyber crime dengan unsur-unsur tindak pidana yang lebih jelas dengan sanksi yang proporsional. Lebih lanjut, hal ini perlu didukung kesamaan persepsi dari aparat penegak hukum dalam memandang kejahatan mayantara. Selanjutnya, perlu dirumuskan di dalam RUU KUHP, tentang locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) dalam kaitannya dengan yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan mayantara/cyber crime khususnya perlu diperluas rumusan mengenai tempat terjadinya tindak pidana. ......Although cyber world has grown fast nowadays, we should consider its bad effect, one of the examples is called cyber crime. Related to the penal code in Indonesia, a question can be asked, has the penal code or the regulations in Indonesia reached out the cyber crime. To answer that question, a descriptive study has been done using a nonn law method. The result of the study is that penal remedy, using legal facility and penal sanction and non penal remedy (without penal sanction), should be used to cope with the cyber crime in Indonesia. Even though Indonesia has no specific regulations about the cyber crime substantially, there are some regulations which are functioned to cope with the cyber crime and also the criminal. Related to Locus delicti, Indonesian law still has some problems about the cyber crime happens outside the Indonesia regional. In the future, it is recommended that the law enforcement use a penal remedy. Therefore, it is necessary to have a formula related to forms of cyber crime with the penal substance and the sanction which is proportional. Moreover, locus delicti should be incorporated in RUU KUHP concerning jurisdiction in cyber crime, especially an extended formula about the Locus delicti itself.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26071
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>