Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rira Wahdani Martaliza
Abstrak :
UHC (Universal Health Coverage) merupakan tujuan utama dari reformasi kesehatan hampir di seluruh negara dan juga menjadi prioritas WHO dimana setiap masyarakat memiliki akses ke layanan kesehatan yang diperlukan. Untuk mendukung terwujudnya UHC maka pemerintah melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh JKN terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat inap dan jumlah hari rawat inap di Pulau Timor, Flores, dan Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2017. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan menggunakan data sekunder Susenas Tahun 2017. Hasil analisis logit dan negatif binomial membuktikan bahwa program JKN meningkatkan probabilitas utilisasi rawat inap sebesar 1,58 kali dengan peningkatkan jumlah hari rawat inap sebesar 0,318 hari rawat inap. Oleh sebab itu, dibutuhkan penguatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan.
UHC (Universal Health Coverage) is the main goal of health reform in almost all countries and is also a WHO priority where every community has access to the necessary health services. To support the realization of UHC, the government implemented the National Health Insurance Program (JKN) since January 1, 2014. This study aims to determine the effect of JKN on the utilization of inpatient health services and the number of inpatient days on Timor, Flores and Sumba Island in East Nusa Tenggara 2017. This study uses a cross-sectional study design using 2017 Susenas secondary data. The results of binomial logit and negative analysis prove that the JKN program increases the probability of inpatient utilization by 1.58 times by increasing the number of hospitalization days by 0,318 days hospitalization. Therefore, it is necessary to strengthen community access to health services by improving health facilities and infrastructure.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Utari
Abstrak :
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan akurasi tes IVA dalam mendeteksi lesi derajat tinggi kanker serviks. Metode: Dua puluh lima subjek dilakukan pemeriksaan IVA, dimana didapatkan hasil IVA positif dan dinilai lima kriteria berdasarkan kecepatan muncul lesi, intensitas warna putih yang kuat, ketebalan lesi berbentuk plak, batas lesi yang tegas dan tepi lesi yang meninggi. Kemudian dilakukan biopsi pada lesi putih yang dihasilkan dan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Hasil histopatologi dikelompokkan menjadi lesi derajat tinggi dan non lesi derajat tinggi. Hasil: Penelitian ini diikuti oleh 25 wanita dengan hasil IVA positif Didapatkan NPP untuk kriteria kecepatan muncul lesi ≤60 detik, ketebalan lesi berbentuk plak, intensitas warna putih yang kuat, batas lesi yang tegas dan tepi lesi yang meninggi, adalah masing-masing sebesar 0,36; 0,33; 0,18; 0,2 dan 0,09. Apabila dua kriteria IVA positif dengan NPP tertinggi, yaitu kecepatan muncul lesi dan ketebalan lesi bentuk plak digabungkan, akan meningkatkan NPP menjadi 0,40. Kesimpulan: Di antara lima kriteria IVA positif yang diuji pada penelitian ini, yang mempunyai nilai prediksi positif paling baik dalam mendeteksi lesi derajat tinggi adalah kriteria kecepatan munculnya lesi dan ketebalan lesi berbentuk plak. ......Objective: To know the factors that can increase the accuracy of VIA tests in detecting high grade lesions. Study design: Twenty-five subjects were performed VIA test with positive results, assessed further by five criterias based on speed of the lesion appear, strong white intensity of the lesions, thick lesions with plaque-shaped, firm-bordered lesions, and rised-edged lesions. Then punch biopsy and histopathology examination were conducted. Histopathology results grouped into high grade lesions and non-high grade lesions. Results: This research followed by 25 woman with VIA positive results. Obtained PPV for five criterias: speed of lesions appear less than 60 seconds, strong white intensity of the lesions, the thickness of lesions with plaque-shaped, firm-bordered lesions, and rised-edged lesions were respectively 0.36; 0.33; 0.18; 0.2 and 0.09. If 2 criterias with best PPV, speed of lesions appear less than 60 seconds and the thickness of lesions with plaque-shaped, were combined, it will improve PPV to 0.40. Conclusion: Among five criterias of VIA positive tested in the research, 2 criterias with best predictive values in detecting high grade lesions are speed of lesions appear less than 60 seconds and thick lesions with plaque-shaped.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruswantriani
Abstrak :
Pendahuluan: Prediksi persalinan preterm penting untuk menunda terjadinya kelahiran preterm dan merujuk ke fasilitas dengan perawatan neonatal intensif. Hal ini penting guna menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatal. Beberapa metode untuk memprediksi persalinan preterm adalah menggunakan prediksi klinis yaitu indeks persalinan preterm atau prediksi biofisik dengan mengukur panjang servik. Tujuan: Membandingkan nilai risiko indeks persalinan preterm dan panjang servik terhadap kejadian kelahiran preterm pada kasus persalinan preterm tanpa ketuban pecah. Metode: Desain penelitian ini adalah case- control menggunakan data dari rekam medis, dilakukan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo sejak Agustus 2013 ? Februari 2014. Semua pasien persalinan preterm tanpa ketuban pecah pada periode tersebut ditelusuri. Dilakukan pengamatan data demografik dan klinis, setelah itu dilakukan penilaian indeks persalinan preterm dan panjang servik. Kemudian selanjutnya pasien ditentukan apakah mengalami kelahiran preterm atau tidak. Hasil: Dari bulan Agustus 2013 - Februari 2014 terdapat 127 kasus persalinan preterm tanpa ketuban pecah, tetapi hanya 57 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik demografik dan klinis pada kelompok indeks persalinan preterm dan panjang servik tidak berbeda bermakna saat dibandingkan. Duapuluh dari 57 subjek mengalami kelahiran preterm (35.1%). Dari hasil analisis bivariat, variabel yang bermakna mempengaruhi kejadian kelahiran pretem adalah indeks persalinan preterm dan panjang servik. Pasien dengan indeks persalinan preterm ≥ 4 memiliki kemungkinan 4 kali lipat (OR = 4,024) untuk mengalami kelahiran preterm. Sementara itu, pasien dengan panjang serviks ≤ 25 mm memiliki kemungkinan hingga 38 kali lipat (OR = 38,00) untuk mengalami kelahiran preterm. Kesimpulan: Indeks persalinan preterm dan panjang servik merupakan variabel yang baik untuk menilai risiko terjadinya kelahiran preterm pada persalinan preterm tanpa ketuban pecah. ...... Introduction: Prediction of preterm labor is important to delay the incident of preterm birth and refers to the facility with a neonatal intensive care. It is important to reduce neonatal mortality and morbidity. Several methods for predicting preterm labor are using clinical prediction : preterm labor index or biophysical prediction with measurement cervical length. Objectives: comparing risk value of preterm labor index to cervical length on preterm birth incident in preterm labor without rupture of membrane cases. Methods: the research was a case control study using data from medical records in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital since August 2013 ? February 2014. All preterm labor without rupture of membrane cases were traced. Demographic and clinical data were observed. After that preterm labor index and cervical length were assessed. Then patients were determined whether they had experienced preterm birth or not. Results: From August 2013 - February 2014 there were 127 cases of preterm labor without rupture of membrane, but only 57 research subjects who meet the inclusion and exclusion criteria. The demographic and clinical characteristics of the index group of preterm labor and cervical length did not differ significantly when compared. Twenty from 57 subjects were experience preterm birth (35.1%). From the results of the bivariate analysis, the variables that significantly affect the incidence of preterm birth are preterm labor index and cervical length Patients with preterm labor index ≥ 4 has a possibility of 4-fold (OR = 4.024) to experience preterm birth. Meanwhile, patients with a cervical length ≤ 25 mm have the possibility of up to 38-fold (OR = 38.00) to experience preterm birth. Conclusions: Preterm labor index and cervical length is a good variable for assessing the risk of preterm birth in preterm labor without rupture of membrane cases.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Radityo Yohakim
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Endometriosis merupakan isu utama yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi dengan keluhan infertilitas. Endometriosis Fertility Index EFI merupakan suatu sistem staging yang sederhana, bermakna, dan bermanfaat secara klinis untuk memprediksi prognosis fertilitas pada pasien endometriosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kehamilan dan hubungannya dengan skor EFI pada pasien endometriosis yang menjalani terapi pembedahan laparoskopi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Carolus. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode kohort prospektif yang dilakukan di RSCM dan RS Carolus pada subjek pasien endometriosis dengan keluhan infertilitas yang dilakukan terapi pembedahan laparoskopi pada tahun 2012-2014. Skor EFI ditentukan dengan mengambil data catatan rekam medis dan video operasi berdasarkan klasifikasi menurut Adamson. Data kehamilan diambil dalam periode 2 tahun follow up. Hubungan antara skor EFI dengan kehamilan dianalisis secara bivariat. Hasil: Terkumpul 51 pasien yang dianalisis. Sebanyak 18 pasien 35,3 diketahui hamil selama durasi pemantauan 2 tahun. Insidensi kehamilan sampai dengan tahun kedua pada kelompok skor EFI 0-3, 4, 5, 6, 7-8, 9-10 beturut turut adalah 0 , 0 , 50 , 25 , 92,9 , 100 . Median skor EFI pasien yang hamil vs tidak hamil yakni: 7 5-9 vs 4 1-8 dengan nilai p
ABSTRACT
Background Endometriosis is among the main issue related to infertility among reproductive age women. Endometriosis Fertility Index EFI is a simple staging system, significant, and has clinical benefit to predict fertility prognosis among endometriosis patients. This study aimed to know incidence of pregnancy and the relationship between Endometriosis Fertility Index EFI score and pregnancy among endometriosis patients underwent laparoscopy in Cipto Mangunkusumo and Carolus Hospitals. Method This was a cohort prospective study conducted in Cipto Mangunkusumo and Carolus Hospitals. Subjects were endometriosis patinets with infertility who underwent laparoscopic surgery at 2012 2014. EFI score was noted by medical records and procedure video, using Adamson criteria. Pregnancy data was collected with two years of follow up duration. The relationship betweem EFI score and pregnancy was analyzed. Results Fifty one patients was recruited in this study with 18 of them 35,3 konw to be pregnant in follow up. Incidence of pregnancy in two years based on EFI score 0 3, 4, 5, 6, 7 8, 9 10 were respectively 0 , 0 , 50 , 25 , 92,9 , 100 . The median EFI score of pregnant patients vs non pregnant was 7 5 9 vs 4 1 8 , p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risnawati Valentina
Abstrak :
Pemanfaatan rawat jalan yang semakin meningkat salah satunya disebabkan oleh meningkatnya kasus Penyakit Tidak Menular (PTM). Salah satu faktor risikonya adalah status merokok. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rawat jalan dengan teori Andersen. Desain pada penelitian ini adalah crosssectional dengan jenis data kuantitatif. Faktor predisposing (predisposisi) yang dikaitkan dengan status merokok dan riwayat PTM, umur lansia, pria, tidak bekerja, pendidikan rendah, menikah adalah kelompok berisiko dalam memanfaatan pelayanan rawat jalan yang tinggi. Faktor enabling (pemungkin) yang jika dikaitkan dengan status merokok dan riwayat PTM, status ekonomi rendah, memiliki jaminan kesehatan swasta dan pemerintah, dan tinggal di pedesaan adalah kelompok berisiko dalam memanfaatkan pelayanan rawat jalan yang tinggi. Faktor need (kebutuhan) yang jika dikaitkan dengan status merokok dan riwayat PTM, mantan perokok dan memiliki keadaan morbiditas adalah kelompok berisiko dalam memanfaatkan pelayanan rawat jalan yang tinggi Adanya keterkaitan antara status merokok, riwayat PTM, dan jaminan kesehatan dirasa perlu untuk membangun kebijakan berdasarkan ke tiga hal tersebut dan membangun kerjasama lintas sektoral.
Outpatient utilization is increasing, one of which is caused by an increase in cases of Non- Communicable Diseases (PTM). One risk factor is smoking status. The purpose of this study was to analyze the factors that influence the use of outpatient care with Andersen's theory. The design in this study is cross sectional with quantitative data types. Predisposing factors that are associated with smoking status and history of PTM, elderly, male, non-working, low education, marriage are at risk groups in utilizing high outpatient utilization. Enabling factors that are associated with smoking status and history of PTM, low economic status, having private and public health insurance, and living in rural areas are at risk in utilizing high outpatient services. Need factor that when associated with smoking status and history of PTM, ex-smokers and having a state of morbidity is a risk group in utilizing high outpatient services. The relation between smoking status, history of PTM, and health insurance is deemed necessary to develop policies based on these three things and build cross-sectoral cooperation.
Depok: Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victorina Arif
Abstrak :
Peningkatan tinggi pada Urban Heat Island (UHI) merupakan salah satu kontributor utama perubahan iklim dan menjadi masalah lingkungan yang mendesak di kota-kota padat tinggi saat ini. Perkembangan lingkungan luar ruang mempengaruhi pola dan perilaku penduduk kota. Parameter iklim dan fisik mempengaruhi kenyamanan termal manusia dalam melakukan aktivitas di luar ruangan. Dalam konteks studi perkotaan, berjalan kaki merupakan salah satu aktivitas ruang luar utama. Namun, iklim sebagai faktor yang mengidentifikasi keberhasilan ruang luar tidak banyak dibahas dalam studi sebelumnya terutama dalam konteks kawasan tropis. Penelitian ini mengkaji iklim mikro dan kenyamanan termal di jalur pejalan kaki Jalan MH. Thamrin dan Sudirman, Jakarta. Analisis penelitian menggunakan simulasi Envi-met dan RayMan untuk mengetahui korelasi variabel fisik dan spasial terhadap iklim mikro dan kenyamanan termal. Tingkat kenyamanan berjalan kaki dianalisis menggunakan simulasi Outdoor Thermal Comfort (OTC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui pengaruh konfigurasi ruang dan modifikasi iklim mikro terhadap kenyamanan berjalan kaki melalui studi kenyamanan termal dan kenyamanan berjalan kaki di kawasan tropis. Penelitian telah menemukan bahwa hampir sembilan jam sehari, dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore dianggap sebagai kondisi yang tidak nyaman karena radiasi matahari yang tinggi. Studi ini menunjukkan bahwa Sky View Factor (SVF) dan Rasio Lebar Tinggi (rasio H / W) secara signifikan berkorelasi dengan kenyamanan termal dan kenyamanan berjalan kaki. Berdasarkan penelitian, untuk mencapai kenyamanan termal di kawasan tropis nilai SVF berkisar 0-0,35 dan rasio H/W di atas 1. Penelitian ini berimplikasi pada teori Oke terutama pada konfigurasi spasial dan kenyamanan termal di wilayah beriklim tropis yang membutuhkan teduhan. Sedangkan bagi perencana kota, vegetasi merupakan strategi yang paling efektif terutama pada kawasan yang telah terbangun dan berkepadatan tinggi. ......Rapid increase of high Urban Heat Island (UHI) intensity as one of the main contributors to climate change is an urgent environmental issue in high dense cities today. The development of outdoor environment influence the pattern and behavior of city dwellers. Climate and physical features parameters affect the thermal comfort of humans doing their outdoor activities. In the context of urban design studies, Walking is a main outdoor activity of pedestrians. However, climate factors in identifying the success of an outdoor design is not frequently discussed especially in the tropical context. This study investigates the microclimate and pedestrian’s thermal comfort in Sudirman and Thamrin sidewalk, Jakarta. Integration of computer simulation models of Envi-met and RayMan was used to determine the correlation of physical and spatial variables with the microclimate and thermal comfort. The level of walking comfort was analyzed using the correlation model Outdoor Thermal Comfort (OTC). This study aims to determine the effect of various spatial configuration and micro-climate modification on thermal comfort and walking comfort in tropical region. Research has found that nearly nine hours a day, from 8 a.m. to 4 p.m. is considered an uncomfortable condition due to high solar radiation. This study shows that Sky View Factor (SVF) and Height to Width Ratio (H / W ratio) are significantly correlated with thermal comfort and walking comfort. This study also found that to achieve thermal comfort in the tropical regions, the value of SVF need to be on the ranges from 0-0.35 while the H / W ratio is above 1. This research has implications on Oke’s theory, especially in spatial planning and thermal comfort in tropical climates that require shadings. Meanwhile, for urban planners, vegetation is the most effective strategy to achieve thermal comfort, especially in developed and high-density areas.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malikus Sumadyo
Abstrak :
Pembelajaran daring menjadi alternatif pembelajaran karena untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang terkendala oleh jarak maupun alasan efisiensi waktu. Selain itu pembelajaran kolaboratif semakin banyak dikembangkan sejak munculnya paradigma pembelajaran konstruktivisme. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa pengalaman belajar dan interpretasi pengetahuan yang didapat sebelumnya menjadi konstruksi pengetahuan mendalam. Teori konstruksivisme sosial menyatakan bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial yang kemudian diinternalisasi. Berdasarkan teori dan bentuk pembelajaran tersebut, pembelajaran kolaboratif daring menjadi alternatif model pembelajaran yang terus dikembangkan dengan menumbuhkan kesadaran metakognitif. Secara empirik pembelajaran dengan memanfaatkan aspek metakognitif telah banyak dilakukan di Indonesia, bahkan kurikulum nasional pun menjadikan metakognisi menjadi salah satu tujuan pembelajaran. Kemampuan metakognitif peserta didik biasanya dinilai pada saat proses pembelajaran menggunakan think aloud atau setelah pembelajaran dengan menggunakan wawancara maupun kuesioner. Penelitian ini bertujuan mengestimasi kemampuan metakognitif dengan menilai aktivitasnya menggunakan persepsi help-seeking sebelum proses pembelajaran. Kegiatan yang bersifat estimasi membutuhkan model. Model metakognitif ini berfungsi untuk mengestimasi kemampuan metakognitif. Kebutuhan help-seeking tidak hanya kebutuhan kognitif tetapi juga kebutuhan sosial untuk berkomunikasi dan berbagi dalam problem solving. Aktivitas help-seeking biasanya tergantung dari persepsi awalnya. Pertanyaannya adalah bagaimana persepsi help-seeking berkorelasi dengan aktivitas metakognitif. Kemudian jika peserta didik mendapatkan perlakuan tertentu dalam pembelajaran, apakah memungkinkan adanya peningkatan aktivitas help-seeking dan metakognitif serta hasil belajar. Sejauh mana perlakuan tambahan atau intervensi metakognitif terhadap proses pembelajaran akan meningkatkan efektivitas pembelajaran. Penelitian disertasi ini bertujuan untuk menjawab dan memberikan gambaran mengenai hubungan kedua faktor tersebut dengan membandingkan antara pra dan pasca intervensi sehingga gambaran tersebut dapat memprediksi aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking berdasarkan persepsi help-seeking. Oleh sebab itu, model metakognitif dan help-seeking diperlukan untuk memenuhi tujuan tersebut. Data tentang persepsi help-seeking diperoleh melalui kuesioner. Data tentang aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking juga diperoleh melalui kuesioner setelah responden diberikan tugas problem solving. Adapun data hasil pembelajaran didapat dari nilai hasil pekerjaan problem solving. Kedua data yang diperoleh melalui kuesioner memberikan hasil yang sangat beragam, oleh karena itu dilakukan proses klasterisasi untuk mengetahui tipe kecenderungannya. Korelasi data persepsi help-seeking dengan aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking dapat diketahui dengan cara menghubungkan kedua data tersebut pada setiap responden. Hal ini juga dilakukan pada pasca intervensi, sehingga perubahan signifikan setelah diberikan intervensi dapat diketahui. Korelasi antara persepsi help-seeking dengan aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking didapatkan dengan mengetahui hubungan masing-masing tipenya. Tipe persepsi help-seeking instrumental dan perceived benefit berkorelasi positif dengan aktivitas metakognitif individu maupun kelompok dan sebaliknya tipe persepsi help-seeking avoidance dan executive berkorelasi negatif. Dari semua tipe persepsi help-seeking hanya memberikan sedikit perubahan pada frekuensi non-human help-seeking dan tidak memberikan perubahan pada frekuensi human help-seeking. Namun setelah diberikan perlakuan intervensi, terjadi perubahan signifikan pada metakognitif individu dan kelompok maupun frekuensi non-human help-seeking tetapi tidak terjadi pada human help-seeking. Model matematis mengenai input berupa persepsi dan output berupa aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking, dapat memberikan gambaran tentang korelasi persepsi help-seeking terhadap aktivitas metakognitif dan frekuensi help-seeking pada pra intervensi maupun pasca intervensi sehingga pemodelan tersebut dapat menjadi perangkat estimasi aktivitas metakognitif berdasarkan persepsi help-seeking. ......Online learning is an alternative learning because it is to meet educational needs which are constrained by distance and time efficiency reasons. In addition, collaborative learning has been increasingly developed since the emergence of the constructivism learning paradigm. Constructivism theory states that learning experiences and interpretations of previously acquired knowledge become in-depth knowledge constructs. Social constructivism theory states that learning occurs through social interaction which is then internalized. Based on these theories and forms of learning, online collaborative learning is an alternative learning model that continues to be developed by cultivating metacognitive awareness. Empirically learning by utilizing metacognitive aspects has been widely carried out in Indonesia, even the national curriculum has made metacognition one of the learning objectives. Students' metacognitive abilities are usually assessed during the learning process using think aloud or after learning using interviews or questionnaires. This study aims to estimate metacognitive abilities by assessing their activities using help-seeking perceptions prior to the learning process. Estimating activities require a model. This metacognitive model serves to estimate metacognitive abilities. Help-seeking needs are not only cognitive needs but also social needs to communicate and share in problem solving. Help-seeking activities usually depend on initial perception. The question is how the perception of help-seeking correlates with metacognitive activity. Then if students get certain treatment in learning, is it possible to increase help-seeking and metacognitive activities and learning outcomes. The extent to which additional treatment or metacognitive intervention in the learning process will increase the effectiveness of learning. This dissertation research aims to answer and provide an overview of the relationship between the two factors by comparing pre- and post-intervention so that this description can predict metacognitive activity and help-seeking frequency based on help-seeking perceptions. Therefore, metacognitive and help-seeking models are needed to fulfill these goals. Data on help-seeking perceptions were obtained through a questionnaire. Data on metacognitive activity and frequency of help-seeking were also obtained through questionnaires after the respondents were given problem solving assignments. The learning outcome data is obtained from the value of problem solving work results. The two data obtained through questionnaires gave very diverse results, therefore a clustering process was carried out to find out the type of trend. The correlation between help-seeking perception data and metacognitive activity and help-seeking frequency can be identified by correlating the two data for each respondent. This was also done post-intervention, so that significant changes after the intervention were given can be identified. The correlation between perceptions of help-seeking and metacognitive activity and frequency of help-seeking is obtained by knowing the relationship between each type. Types of perceptions of instrumental help-seeking and perceived benefits are positively correlated with individual and group metacognitive activities and conversely types of perceptions of help-seeking avoidance and executive are negatively correlated. Of all the types of help-seeking perception, it only gives a slight change in the non-human help-seeking frequency and does not give a change in the human help-seeking frequency. However, after being given the intervention treatment, significant changes in individual and group metacognitive as well as the frequency of non-human help-seeking did not occur in human help-seeking. The mathematical model regarding input in the form of perception and output in the form of metacognitive activity and help-seeking frequency, can provide an overview of the correlation of help-seeking perceptions of metacognitive activity and help-seeking frequency in pre-intervention and post-intervention so that the modeling can be an estimation tool for metacognitive activity based on help-seeking perception.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library