Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novi Lutfiyanti
"Latar belakang: Retensio urine pasca persalinan merupakan salah satu komplikasi tersering dalam persalinan. Salah satu jenis retensi urine yang sulit diketahui adalah tipe covert yang tidak bergejala. Akan tetapi, retensi urine tipe covert dapat menyebabkan retensi urine persisten yang dapat menurunkan kualitas hidup. Diperlukan suatu studi untuk meneliti faktor risiko terjadinya retensi urine tipe covert agar dapat dideteksi lebih dini. Tujuan: Mengetahui faktor risiko retensi urine pasca persalinan tipe covert. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini merupakan ibu yang melakukan persalinan pervaginam di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, RSUD Koja, RSUD Kabupaten Tangerang, dan RSUD Karawang pada
20 September 2019 hingga 27 Februari 2020. Pasien dengan riwayat retensi urine sebelumnya, penggunaan kateter menetap, atau memiliki nyeri VAS 5 meski sudah diberikan analgetik dieksklusi dari penelitian. Pasien yang tidak berkemih 6 jam pasca persalinan termasuk dalam drop out.
Hasil: Didapatkan sebanyak 520 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak terdapat hubungan antara usia ibu dengan kejadian retensio urine pascapersalinan tipe covert (p > 0,05). Paritas primipara lebih berisiko mengalami kejadian retensio urine pascapersalinan tipe covert (p < 0,001, OR 3,8 IK95% 1,87-7,72). Durasi persalinan kala II ≥ 20 menit lebih berisiko mengalami kejadian retensio urine pascapersalian tipe covert (p < 0,001, OR 36,69 IK95% 14,9-90,20). Ruptur perineum
berat (derajat 3 atau 4) lebih berisiko mengalami kejadian retensio urine pascapersalinan tipe covert (p = 0,050, OR 8,54 IK95% 1,00-73,66). Berat bayi saat lahir > 3.000 gram
lebih berisiko mengalami kejadian retensio urine pascapersalinan tipe covert (p < 0,001, OR 8,54 IK95% 1,76-7,59). Persalinan pervaginam menggunakan alat lebih berisiko
mengalami kejadian retensio urine pascapersalinan tipe covert (p = 0,002, OR 4,79 IK95% 1,75-12,99). Tidak terdapat hubungan antara volume urine kala III dengan kejadian retensio urine pascapersalinan tipe covert (p > 0,05). Kesimpulan: Faktor risiko terjadinya retensi urine pasca persalinan tipe covert adalah paritas primipara, durasi persalinan kala II memanjang, ruptur perineum berat, berat
badan lahir bayi besar, dan persalinan pervaginam dengan bantuan alat.

Background: Postpartum urine retention is one of the most common complications in labor. One type of urine retention that is difficult to know is the asymptomatic covert
type. However, covert type urine retention can cause persistent urine retention which could reduce quality of life. A study is needed to examine the risk factors for covert type urine retention so that they can be detected early. Objective: To determine the risk factors for the occurrence of covert urinary retention after delivery.
Method: This study was an observational analytic study with cross sectional. method. The subjects of this study were mothers delivering vaginal deliveries at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Friendship Hospital, Koja Regional General
Hospital, Tangerang District General Hospital, and Karawang General Hospital from September 20th 2019 to February 27th 2020. Patients with a history of previous urinary retention, moderate catheter use, or moderate pain even though analgesics have been excluded from the study. Patients who did not urinate 6 hours after delivery were dropped out.
Result: There were 520 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. There was no relationship between maternal age and the incidence of covert postpartum urine
retention (p> 0.05). Primiparous parity was more at risk of having covert postpartum urine retention (p <0.001, OR 3.8% 95.97-7.72). Duration of second stage of labor ≥ 20 minutes is more at risk of covert postpartum urine retention (p <0.001, OR 36.69 IK95% 14.9-90.20). Severe perineal rupture (grade 3 or 4) is more at risk of having covert postpartum urine retention (p = 0.050, OR 8.54 IK95% 1.00-73.66). The birth weight > 3,000 grams is more at risk of having covert postpartum urine retention (p<0.001, OR 8.54 IK95% 1.76-7.59). Vaginal delivery using a tool is more at risk of
having covert postpartum urine retention (p = 0.002, OR 4.79 IK95% 1.75-12.99). There is no relationship between the volume of urine stage III with the incidence covert
postpartum urine retention (p> 0.05). Conclusion: Risk factors of covert type urine retention are primiparous parity, prolonged duration of second stage of labor, severe perineal rupture, birth weight of large infants, and vaginal delivery with the aid of a tool.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadrians Kesuma Putra
"Konstipasi merupakan salah satu gangguan di bidang uroginekologi yang sering diabaikan oleh pasien. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul yang dapat menyebabkan prolaps kompartemen posterior merupakan salah satu penyebab konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang genital hiatus, badan perineum dan titik Bp terhadap konstipasi pada pasien dengan prolaps kompartemen posterior dan dampak yang ditimbulkannya terhadap kualitas hidup.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan penderita prolaps kompartemen posterior di poliklinik Uroginekologi Rekonstruksi RSUPN dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q), skor konstipasi Cleveland dan Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). Sampel berjumlah 46 orang terbagi 2 masing-masing 23 sampel yang mengalami konstipasi dan tidak konstipasi.
Didapatkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body memiliki hubungan bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p= 0,005) dan didapatkan titik potong 7,5 cm dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 52,2%. Uji multivariat menunjukkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body paling mempengaruhi terjadinya keluhan konstipasi (OR = 12,07, p = 0,024) dibanding dengan letak titik Bp yang juga bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p = 0,003) pada titik potong -0,5 cm dengan sensitivitas 69,9% dan spesifisitas 65,2% akan tetapi hanya memiliki OR = 6,16 dan nilai p = 0,066. Akibat keluhan konstipasi sebanyak 52% sampel mengaku mengalami gangguan kualitas hidup. Jumlah panjang genital hiatus dan perineal body dan letak titik Bp mempengaruhi terjadinya konstipasi.

Constipation is one of the disorders in the uroginecology field which is often ignored by patients. It is known that pelvic floor muscle weakness which can cause posterior compartment prolapse is one of the causes of constipation. Aim of this study to know relationship among genital hiatus, perineal body and Bp point to constipation in patients with posterior prolapse and the impact it has on quality of life.
This study used a cross-sectional design using posterior compartment prolapse patients at the Uroginecology Polyclinic dr. Ciptomangunkusumo hospital at Jakarta. The data obtained consisted of history results, Quantitative examination of Pelvic Organ Prolapse (POP-Q), Cleveland constipation score and Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). The sample consist of 46 people was divided into 2 each, 23 samples with constipation and were not constipated.
It was found that the number of genital hiatus and perineal bodies had a significant relationship to constipation (p = 0.005) and obtained 7.5 cm cut with a sensitivity of 87% and a specificity of 52.2%. Multivariate tests showed the number of length of body genital and perineal hiatus most affected the constipation (OR = 12.07, p = 0.024) cm comparing with Bp Point with sensitivity of 69.9% and specificity of 65.2% but only had OR = 6.16 and p = 0.066. As a result of complaints of constipation, as many as 52% of samples claimed to be able to eliminate quality of life. The number of genital hiatus and perineal lengths of the body and location of BP points can constipation.
"
2019
T55556
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Saputra
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan suatu permasalahan utama kesehatan dengan risiko seumur hidup pada perempuan yang menjalani paling sedikitnya satu kali intervensi pembedahan prolaps. Retensio urin pasca operasi rekonstruksi prolaps organ panggul disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari pemeriksaan hingga penanganan pasca operasi yang berkontribusi terhadap terjadinya retensio urin. Penelitian di RSCM tentang penggunaan kateter 24 jam pada pasien pasca operasi prolapse organ panggul terhadap insiden retensio urin adalah sebesar 29,5%. Penelitian ini akan melakukan perbandingan penggunaan kateter 24 jam yang dibandingkan kateter 48 jam terhadap insiden retensio urin yang nantinya akan menjadi standar baku terbaru di RSCM dan RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Tujuan: Untuk mengetahui mana di antara kateter 24 jam dan 48 jam yang lebih baik untuk mengurangi angka kejadian retensio urin pascaoperasi prolaps organ panggul. Metode: Penelitian diagnosa, uji klinis acak, pengambilan sampel berturut-turut. Perbandingan antara kateter 24 jam dan 48 jam setelah operasi prolaps organ panggul Hasil: Total 54 subjek dalam penelitian ini, 3 subjek (11,1%) di antara 27 subjek dengan kateter 24 jam mengalami retensio urin. 1 subjek (3,7%) di antara 27 subjek dengan kateter 48 jam mengalami retensio urin. Kesimpulan: Penggunaan kateter 48 jam pascaoperasi prolaps organ panggul lebih baik daripada kateter 24 jam dalam mengurangi angka kejadian retensio urin.

Background: Pelvic organ prolapse (POP) is a major health problem with a lifetime risk in women who undergo at least one prolapse surgical intervention. Postoperative retention of urine pelvic organ prolapse reconstruction is caused by a number of factors ranging from examinations to postoperative clients that
contribute to the occurrence of urinary retention. Research at the RSCM about 24- hour catheter use in postoperative pelvic organ prolapse patients for the incidence of urinary retention was 29.5%. This study will compare the use of a 24-hour catheter compared to a 48-hour catheter against the incidence of urinary retention which will later become the latest standard in RSCM and RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Objective: To know which one among 24-hour and 48-hour catheter is better to decrease incidence of urinary retention after pelvic organ prolapse surgery. Methode: Diagnosis research, randomized clinical trial, consecutive sampling. Comparison between 24-hour and 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery Result: Total 54 subjects in this research, 3 subjects (11.1%) among 27 subjects with 24-hour catheter experienced urinary retention. 1 subject (3.7%) among 27 subjects with 48-hour catheter experienced urinary retention. Conclussion: The application of 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery is beter than 24-hour catheter to decrease the incidence of urinary retention.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liem, Raissa
"Pendahuluan: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) merupakan salah satu komplikasi luaran partus pervaginam yang cukup sering ditemukan, mencapai 4,53% dari total persalinan pervaginam. Kejadian OASIS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko inkontinensia fekal (IF) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Pada penelitian ini akan dijabarkan karakteristik dari pasien yang mengalami OASIS di RS Tersier di Jakarta pada tahun 2014-2016 dan luaran inkontinensia fekal pada populasi tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif karakteristik pasien pasca reparasi OASIS di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, dan RS Fatmawati tahun 2014- 2016. Dari total 234 pasien, 58 pasien berhasil dihubungi dan diwawancara dengan kuesioner RFIS untuk mengetahui luaran inkontinensia fekal. Dari 58 pasien, 16 pasien datang untuk USG tranperineal untuk penilaian otot sfingter ani pasca reparasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20.
Hasil Penelitian: Dari total 234 sampel, rerata usia pasien adalah 26,64 tahun, dengan rerata IMT 23,4 kg/m2. Sebagian besar pasien (67,5%) adalah primipara, dengan rerata durasi partus kala II selama 45,1 menit. Tindakan episiotomi dilakukan pada 40,6% pasien, persalinan spontan pada 153 (65,4%) pasien, dengan rerata berat lahir 3217 gram. Dari 58 pasien yang bisa dihubungi, keluhan inkontinensia fekal didapatkan pada 3 orang (5,2%) pasca OASIS dengan berbagai tingkat keparahan (ringan, sedang, dan berat). Dari 16 pasien yang datang untuk USG, ditemukan defek pada EAS pada 3 pasien, dan IAS pada 2 pasien. Kelima pasien tersebut tidak memiliki keluhan IF.
Diskusi: Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap karakteristik pasien dengan OASIS, dan juga sebagai studi awal terhadap kejadian inkontinensia fekal pada populasi OASIS. Didapatkan 3 dari 58 pasien pasca reparasi primer OASIS mengalami inkontinensia fekal. Angka ini cukup rendah dibandingkan studi lain. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan populasi penelitian. Pasien dengan keluhan IF yang memiliki sfingter ani yang intak pada penelitian ini menunjukkan bahwa kontinensia tidak hanya dipengaruhi oleh sfingter ani, namun juga faktor lain seperti otot dasar panggul dan persarafan disekitarnya.
Kesimpulan: Luaran dari reparasi primer OASIS ditemukan beragam dari penelitian ke penelitian. Karakteristik pasien memiliki peran yang penting dalam menentukan angka kejadian OASIS dan juga luaran pasca reparasi. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sample yang lebih besar.

Introduction: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) is a quite common complication of vaginal delivery. It reaches 4,53% from total vaginal delivery. OASIS is associated with an increased risk of fecal incontinence, which affect one's quality of life. The incidence of OASIS and fecal incontinence differs from one study to the others. In this study, characteristics of patients with OASIS in tertiary hospital in Jakarta year 2014-2016 and fecal incontinence outcome among those patients will be described.
Methodology: This study is a descriptive study for characteristics of OASIS patients after primary repair in Cipto Mangungkusumo Hospital, Persahabatan Hospital and Fatmawati Hospital from year 2014-2016. From total 234 patients, only 58 patients could be contacted, and interviewed using Revised Fecal Incontinence Score (RFIS) questionnaires. From total 58 patients, only 16 patients came for further transperineal utlrasound. Data were analized using SPSS 20.
Results: From total 234 patients, mean patient's age is 26.6 years old, with mean BMI 24.8 kgs/m2. Most of the patients are nulliparous (67,5%), with median duration of second stage of labor 45 minutes. Episiotomy was not performed on most patients (59.4%), and most of them underwent spontaneous vaginal delivery (65,4%), with mean baby birthweight 3217 grams. From 58 patients that could be contacted, 3 patients had fecal incontinence complaint (5,2%). From those 58, 16 came for transperineal ultrasound examination, and anal sphincter defects were found in 5 patients, 3 with EAS, and 2 with IAS. All 5 patients did not have any fecal incontinence symptoms.
Discussion: This study is a descriptive study of OASIS patient's characteristics and also as a preliminary study for the incidence of fecal incontinence among OASIS population in Jakarta. The number of fecal incontinence in this study can be considered low (3 out of 58), compared to others. This could be due to differences in study population. Patient with fecal incontinence who has intact anal sphincter in this study shows that incontinence is influenced not only by anal sphincter, but also by other factor such as pelvic floor muscle and surrounding nerve innervation.
Conclusion: The outcomes of primary reparation of OASIS are varied within studies. Patient's characteristics might play an important role in influencing the incidence of OASIS as well as the outcome after reparation. A further study with a bigger sample is necessary."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Permata Sari
"Pendahuluan : Retensi urine pasca-persalinan (RUPP) adalah ketidakmampuan berkemih spontan 6 jam pasca persalinan dengan residu urine 200 ml. Penatalaksanaan RUPP dengan pemasangan kateter urine. Elektroakupunktur meningkatkan kontraksi detrusor dan mendorong buang air kecil serta mengurangi volume residu urine dengan efek samping minimal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas elektroakupunktur dalam mempercepat terjadinya proses berkemih dan mengurangi volume residu urine pada pasien dengan RUPP.
Metode: Desain penelitian adalah uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian diikuti oleh 60 orang subjek penelitian yang dibagi kedalam kelompok elektroakupunktur (n=30) dan sham (n=30). Pada kelompok elektroakupunktur dilakukan penusukan jarum akupunktur kemudian dihubungkan ke stimulator elektroakupunktur dengan gelombang continuous 2 Hz selama 30 menit. Pada kelompok sham jarum hanya ditempelkan saja, disambungkan ke stimulator elektroakupunktur namun rangsang listrik tidak diberikan. Elektroakupunktur dilakukan 2 kali dalam 24 jam pemasangan kateter urine. Luaran yang dinilai adalah waktu miksi pertama dan volume residu urine 6 jam setelah pelepasan kateter.
Hasil: Waktu miksi spontan pertama pada kelompok elektroakupunktur lebih cepat (p<0,001) dan volume residu urine lebih sedikit dibandingkan kelompok sham (p=0,005).
Kesimpulan: elektroakupunktur mempercepat terjadinya miksi spontan dan mengurangi volume residu urine pada pasien dengan RUPP.

Introduction : Post-partum urinary retention (PPUR) defined as the inability to urinate spontaneously after 6 hours postpartum with residual urine ≥ 200 ml. Management of PPUR by inserting an urinary catheter. Electroacupuncture increased detrusor contractions, encourage micturition and reduce residual volume with minimal side effects. The purpose of this study was to determine the effectiveness of electroacupuncture in accelerating micturition and reducing residual urine in patients with PPUR.
Methods : this is a double-blind randomized clinical trial. This study was followed by 60 subjects who divided into electroacupuncture (n = 30) and sham (n = 30) groups. In the electroacupuncture group, an acupuncture needle was inserted and connected to electroacupuncture stimulator with continuous wave 2 Hz for 30 minutes. In the sham group the needles only attached and there’s no electrical stimulation was given. Electroacupuncture was performed 2 times within 24 hours while patient using catheter.
Results : The first spontaneous micturition in the electroacupuncture group faster (p<0.001) and residual volume was less in the electroacupuncture group than the sham group (p=0.005).
Conclusion: electroacupuncture accelerates spontaneous micturition and reduces residual urine volume in patients with PPUR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Herdinda Erudite Rizkinya
"Latar Belakang: Pemeriksaan volume urine kala III merupakan salah satu komponen dalam skor Suskhan guna memprediksi retensio urine pasca persalinan. Selama ini pemeriksaan dilakukan dengan kateter urine yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi saluran kemih. Ultrasonografi (USG) Dietz merupakan alternatif metode pemeriksaan volume urine. Namun, belum terdapat perbandingan antara USG Dietz dan kateter dalam pemeriksaan volume urine kala III.
Metode: Penelitian analitik korelasional dengan metode potong lintang dilakukan terhadap 30 orang ibu yang menjalani persalinan normal pervaginam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Kota Tangerang pada Oktober 2020 hingga Desember 2021. Pasien dengan riwayat retensi urine atau memiliki indikasi pemasangan kateter kontinu dieksklusi dari penelitian. Pemeriksaan volume urine kala III dengan USG Dietz dilakukan dengan rumus volume = tinggi (cm) x lebar (cm) x 5,6. Pemasangan kateter urine dilakukan segera setelah pemeriksaan dengan USG Dietz.
Hasil: Sebanyak 30 orang subjek mengikuti penelitian ini. Didapatkan korelasi sangat kuat antara hasil pemeriksaan USG Dietz dan kateter (r = 0,788, p < 0,001). Didapatkan korelasi terbaik pada kelompok subjek dengan volume urine < 50 cc (r = 0,842, p <0,001). Didapatkan selisih antar pemeriksaan yang tidak bermakna secara statistik (p =0,133).
Kesimpulan: Hasil pemeriksaan volume urine kala III dengan USG Dietz memiliki korelasi positif kuat terhadap pemeriksaan dengan kateter urine.

Background: Examination of the third stage of labor urine volume is one of vital components in the Suskhan score to predict postpartum urinary retention. So far, the examination is done with a urinary catheter, which is associated with increased risk of urinary tract infection. Ultrasonography (USG) Dietz is an alternative method of measuring urine volume. However, there is no comparison between Dietz ultrasound andcatheter in the third stage labor urine volume examination.
Methods: A cross-sectional correlational analytic study was conducted on 30 mothers who underwent normal vaginal delivery at Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang City General Hospital from October 2020 to December 2021. Patients with a history of urinary retention or indications for continuous catheter insertion were excluded
from the study. study. Examination of the third stage of urine volume with USG Dietz was carried out with the formula volume = height (cm) x width (cm) x 5.6. Urinary catheter insertion was performed immediately after examination with Ultrasound Dietz.
Results: A total of 30 subjects participated in this study. There was a very strong correlation between the results of the Dietz ultrasound examination and the catheter (r =0.788, p < 0.001). The best correlation was found in the group of subjects with urine volume < 50 cc (r = 0.842, p < 0.001). The difference between examinations was not statistically significant (p = 0.133).
Conclusion: The results of the third stage labor urine volume examination with USG Dietz had a strong positive correlation with the examination with a urinary catheter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David Luther
"ABSTRAK
Pendahuluan: Dispareunia adalah beban utama pada wanita usia reproduktif. Kondisi ini memiliki dampak langsung pada kehidupan pernikahan, sosial dan professional dari wanita usia reproduktif. Faktor yang dapat berkontribusi dalam terjadinya dyspareunia adalah rupture perineum.Metode:Desain studi potong lintang digunakan dengan memberikan kuesioner Female Sexual Function Index FSFI terhadap wanita postpartum yang terdiagnosis dengan ruptur perineum akibat persalinan per vaginam. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Tangerang pada bulan Oktober sampai Desember 2017. Pasien yang memiliki inflamasi panggul kronis dan riwayat dispareunia sebelumnya dieksklusi.Hasil: Sebanyak 93 subjek terlibat dalam studi ini.; 59 subjek memiliki ruptur perineum ringan derajat I dan II sedangkan 34 subjek lainnya memilki ruptur perineum derajat berat derajat III dan IV . Ditemukan bahwa ruptur perineum berkaitan dengan tejradinya dyspareunia setelah 3-6 bulan setelah terjadi rupture perineum. Kesimpulan: Ruptur perineum derajat III dan IV meningkatkan risiiko terjadinya dyspareunia 3-6 bulan postpartum sampai 5 kali lipat. Studi prospektif selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar yang menginvestigasi risiko dispareunia pada perempuan dengan rupture perineum sebaiknya dilakukan.

ABSTRACT
Introduction: Dyspareunia is major burden in reproductive-aged women. In fact, it has a direct impact on their marital, social and professional life. One factor that may contribute to the risk of developing dyspareunia is perineal tear. To this date, studies regarding the association between perineal trauma and dyspareunia 3 to 6 months after perianal rupture are scarce. This study aims to investigate the association between both variables.Methods: A cross-sectional study design was used by giving Female Sexual Function Index FSFI questionnaires to postpartum women diagnosed with perineal tear due to vaginal birth. The study was conducted at Cipto Mangukusumo Hospital and Tangerang General Hospital between October and December 2017. Those who had chronic hip inflammation and previous history of dyspareunia were excluded.Results: A total of 93 subjects were involved in this study; 59 had mild first- and second- degree while 34 had third- and fourth- degree perineal tears. We found that perineal tear was associated with the occurrence of dyspareunia after 3 to 6 months after perineal rupture.Conclusions: Grade III to IV perineal tear increased the risk of dyspareunia 3 to 6 months postpartum up to 5-fold. Further prospective studies with larger samples assessing the risk of dyspareunia in those with perineal tear should be conducted.
"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Satrya Wibawa
"Latar belakang: Nyeri perineum adalah keluhan umum di kalangan wanita setelah persalinan pervaginam yang dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Berbagai faktor determinan persalinan telah diidentifikasi berpengaruh terhadap peningkatan nyeri perineum setelah persalinan pervaginam. Studi sebelumnya telah berfokus pada nyeri persalinan dan manajemen nyeri pasca operasi caesar tetapi tidak pada faktor yang dapat memperberat derajat nyeri.
Tujuan: Menganalisis dan menilai hubungan faktor determinan persalinan pervaginam dan derajat nyeri perineum postpartum dalam 24 jam setelah persalinan pervaginam.
Metode: Ini adalah studi kasus-kontrol dengan subyek pasien yang menjalani persalinan pervaginam baik secara spontan atau dengan bantuan alat dengan indikasi apa pun di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama tahun 2020. Nyeri perineum dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) dalam waktu 24 jam pasca persalinan setelah pemberian Asam Mefenamat 500mg dosis tunggal secara oral. Perbandingan dilakukan dengan Chi-square atau uji eksak Fisher dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 205 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Peningkatan nyeri perineum (VAS 4-10) ditemukan pada 41 kasus (20%). Peningkatan nyeri perineum banyak ditemukan pada subyek berusia di bawah 30 tahun (p=0,04). Ditemukan hubungan bermakna antara berat badan lahir bayi baru lahir > 3.000 gram dengan nyeri perineum (p<0.001) dengan aOR 8.38 CI 95% (2,8–24,97). Terdapat juga hubungan bermakna antara derajat robekan perineum dengan nyeri perineum postpartum (p 0,006) dengan aOR 41,25. Prosedur episiotomi juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan nyeri perineum postpartum (p < 0,001) dengan aOR 45,2
Kesimpulan: Berat lahir bayi, derajat robekan perineum, dan episiotomi telah terbukti menjadi faktor yang dapat meningkatkan nyeri perineum setelah persalinan pervaginam. Faktor-faktor ini harus dipertimbangkan dalam mengelola nyeri perineum postpartum untuk mencegah morbiditas jangka panjang dari persalinan pervaginam. Studi tambahan dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk kesimpulan yang tepat.

Background: Perineal pain is a common complaint among women after vaginal delivery that may lead to long term morbidity. Various determinant factors in labour have been identified have influence on increasing perineal pain after vaginal delivery. Previous studies have focused on labor pain and post-cesarean delivery pain management but not on the determinant factors.
Objective: Analyze and assess the association of determinant factors in vaginal delivery and the postpartum perineal pain within 24 hours after vaginal delivery.
Methods: This was case-control study including patient underwent vaginal delivery either spontaneously or with assisted vaginal delivery at any indication at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, during 2020. Perineal pain was assessed with Visual Analog Scale (VAS) within 24 hours post delivery after administration of Mefenamic Acid 500mg single dose orally. Comparisons were made with Chi-square or Fisher’s exact test continued with multivariate analysis with logistic regression.
Results: A total of 205 subjects were included in the study. Increased perineal pain (VAS 4-10) was found in 41 cases (20%). Increase perineal pain was commonly found in subjects under 30 years old (p = 0.04). Found significant association between newborn birthweight > 3.000 gram with perineal pain (p<0.001) with aOR 8.38 CI 95% (2,8–24,97). There was also significant association between degree of perineal tears with postpartum perineal pain (p 0.006) with aOR 41.25. Episiotomy procedure also shows significant association with increase postpartum perineal pain (p < 0.001) with aOR 45.2.
Conclusions: Neonatal birthweight, degree of perineal tear, and episiotomy have been shown to be determinant factors increasing perineal pain after vaginal delivery. These factors should be taken into consideration in managing postpartum perineal pain in order to prevent long-term morbidity from vaginal delivery. Additional studies with larger samples are needed for exact conclusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dafnil Akhir Putra
"Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Introduction : Pelvic organ prolapse is known to be related to complications in the form of sexual dysfunction. The area of hiatus genitalia and the strength of pelvic floor muscles are one of the known parameters related to these complications. The aim of this study is to determine the association between the hiatus levator area and the strength of the levator ani in POP cases, specifically focusing on sexual dysfunction issues.
Methods : This study uses a cross-sectional comparison design, which was carried out at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period from February 2023 to May 2024. A gynecological status check, including POP-Q, perineometer, and pelvic floor ultrasound examination, is performed. The categories of dysfunction are grouped based on FSFI scores. The data obtained is then tested in a parametric or non-parametric test according to the normality of the data, with an efficiency limit of alpha 5%. The determination of the cut-off point is measured by the ROC method, the AUC analysis, and the calculation of the sensitivity and specificity values. Then a correlation test is performed to obtain the significance (p) as well as the strength of the correlation (r) on each variable to be examined.
Result : The data was collected on consecutive samples of all new POP patients who came to Uroginecology Polyclinic. There was 40 patients who met the inclusion criteria in the population had 20 sexual dysfunction samples and 20 non-sexual dysfunction samples. There were no significant characteristic differences in the pelvic organ prolapse sample in the sexual dysfunction group or non-sexual dysfunction group. From the T-unpaired test, a meaningful relationship was found between the maximum levator hiatus and the incidence of sexual dysfunction (p=0,000). There was a relationship between the strength of the hiatus levator during contraction and the incidence of sexual dysfunction in women with pelvic organ prolapse, as determined by the Mann-Whitney test (p=0.005). The area of the hiatus levator is obtained at a cutting point of 30,865 cm2 (sensitivity 85%, specificity 80%), and for the cutting point, the strength of the levator ani muscle is 20.5 cmH2O (sensitivity 80%, sensitivity 70%). Based on Pearson's correlation between the area of the hiatus levator and a meaningful FSFI score on the stimulatory domain (p=0,000, r=0.531) and the orgasm domain (p=0,000, r=0.581). Based on the results of the spearman correlation test on the strength of the levator ani muscle, meaningful results were obtained in the stimulus level domain (p=0.015, r=0.383) and in the orgasm domain (p=0.002, r=0.478).
Conclusion : An extensive examination of the hiatus levator with a pelvic floor ultrasound and measurement of pelvic floor muscle strength with a perineometer may be an alternative to help evaluate the risk of sexual dysfunction incidence in postmenopausal POP women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library